Berdaya Berkat Kegigihan dan Menolak untuk Menyerah

Gigih dan penuh perjuangan. Itulah garis besar dari hidupku. 16 tahun aku merawat anakku satu-satunya setelah dia didiagnosis menderita thalassemia. Perceraianku dengan suami membuatku harus berjuang demi putriku. Undangan dari Ketua RT tempat tinggalku mempermudah perjuanganku yang kala itu terasa tidak ada akhir.

Khotimatul Karimah namaku. Di tahun 2022 ini, usiaku sudah menginjak 47 tahun. Aku tinggal di Desa Kauman, Kecamatan Wiradesa, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Aku lahir di tengah keluarga besar. Orang tuaku memiliki sembilan orang anak.

Aku tidak mengenyam pendidikan tinggi. Pendidikan formal yang pernah aku dapatkan hanyalah belajar di pondok setelah lulus SD, selama tiga tahun. Namun, di pondok inilah jiwa kepemimpinanku terasah. Aku terpilih menjadi ketua murid, padahal jumlah jumlah murid yang belajar di pondok itu mencapai 100 orang. Aku jadi harus bisa memimpin, dan dituntut untuk berani berbicara di hadapan teman-temanku. Pengalaman ini kelak menjadi bekal yang sangat bermanfaat bagiku ketika bergabung dengan Pekka.

Aku menikah di usia 24 tahun, dengan seorang lelaki yang diperkenalkan oleh oleh seorang kerabat. Perlu enam bulan bagi kami untuk bisa saling mengenal dan akhirnya memutuskan untuk menikah. Saat itu, pekerjaan suamiku adalah seorang penjual peti ikan. Setelah menikah, dia beralih profesi menjadi tukang kayu dan membuka usaha sendiri. Kami dikaruniai dua orang anak.

Putri pertamaku lahir pada tahun 2001, dan adiknya lahir dua tahun kemudian. Pada tahun 2004, kedua anakku terserang diare. Saking parahnya, mereka membutuhkan tambahan darah. Setelah dokter melakukan pemeriksaan lebih lanjut, kedua anakku dinyatakan menderita thalassemia. Mereka harus menjalani transfusi darah setiap bulan untuk bertahan hidup. Anak pertamaku mengalami trauma setelah menjalani transfusi darah pertama, dan menolak untuk melakukannya lagi. Ketika ini terjadi, aku baru berusia 29 tahun.

Anak pertamaku kondisinya benar-benar menurun di tahun 2011. Dia tidak sanggup lagi untuk bertahan, dan meninggal dunia. Dia baru duduk di kelas 4 SD saat itu. Anak keduaku masih terus menjalani transfusi darah setiap bulan. Sejak aku bergabung dengan Pekka, transfusi darah yang dia jalani didanai oleh BPJS. Aku tidak perlu mengeluarkan uang lagi untuk membayar biayanya. 

Pada tahun 2012, aku menggugat cerai suamiku. Perselingkuhan yang dia lakukan menjadi alasan terbesarku untuk menggugat cerai. Proses perceraian yang aku jalani terasa panjang dan melelahkan. Aku sampai harus dua kali mengajukan gugatan cerai. Gugatan pertama ditolak oleh Pengadilan Agama meski aku telah menjalani tujuh kali persidangan. Hakim memutuskan bahwa aku dan laki-laki itu tetap pasangan suami istri yang sah. Selanjutnya, hakim meminta kami untuk melakukan mediasi keluarga. 

Berbekal putusan tersebut, suamiku melaporkanku ke Polres Pekalongan dengan berbagai tuduhan. Aku pun harus memenuhi panggilan dari pihak kepolisian hingga empat kali akibat laporannya tersebut. Setelah mendengarkan keteranganku, pihak Polres Pekalongan menganggap tidak ada kasus. Pelaporan ini pun mendorongku untuk menggugat cerai suamiku untuk kedua kali. Alhamdulillah, gugatan kedua ini dikabulkan oleh Pengadilan Agama.

Perceraian membuatku harus bergelut dengan hidup. Aku harus mampu menghidupi dua putri kecilku. Untuk mencukupi kebutuhan hidup, aku bekerja sebagai pengendara ojek motor bagi pelanggan tetap. Hal ini aku lakoni hingga sekarang. 

Selain itu, aku bekerja sebagai buruh jahit. Dari kedua pekerjaan ini, aku bisa memperoleh sekitar 600 ribu rupiah. Saat ini, anakku sudah duduk di kelas 12 SMK. Sejak dia masuk SD, aku selalu menemui kepala sekolah untuk meminta keringanan biaya sebesar 50 persen. Alhamdulillah, permohonanku selalu dikabulkan pihak sekolah.

 

Menemukan Jalan Keluar

 

Sebuah undangan pertemuan datang ke rumahku pada bulan November 2014. Pertemuan tersebut diadakan di rumah Ketua RT, Pak Ikhsanudin. Bu RT sendiri yang mengantarkan undangan itu. “Hadir ya, Bu. Akan ada bantuan karena yang diundang para janda,” Bu RT menjelaskan kepadaku sambil memberikan undangan itu.

Pertemuan tersebut ternyata bertujuan untuk memperkenalkan organisasi Pekka. Nantinya, pertemuan ini dilakukan secara rutin, setiap bulan. Dalam pertemuan pertama ini, terbentuk dua kelompok bernama Jaya Mandiri dan Berkah Mandiri. Masing-masing kelompok terdiri dari 17 orang. Aku pun terpilih sebagai sekretaris untuk kelompok Jaya Mandiri.

Sejujurnya, aku sama sekali belum paham apa itu Pekka. Dengan halus aku menolak ajakan untuk hadir lagi dalam pertemuan kedua dan ketiga. Baru ketika Ibu Anti, fasilitator lapang Pekka,  dengan penuh semangat dan pantang menyerah mengajakku datang ke pertemuan keempat, aku bersedia hadir. Pertemuan keempat ini diisi dengan Pelatihan Visi, Misi, dan Motivasi Berkelompok yang beliau fasilitasi.  Barulah di sini aku tergugah untuk benar-benar serius bergabung dengan Pekka. 

Dua bulan setelah pertemuan ketiga, aku dan seorang anggota kelompok Jaya Mandiri lainnya, Syukriyah, terpilih untuk mengikuti workshop tingkat provinsi yang diadakan Pekka. Kami terpilih karena posisi kami sebagai pengurus kelompok. Selain itu, kami berdua tidak punya kegiatan lain yang waktunya bersamaan dengan workshop ini, sehingga menghalangi kami untuk berangkat.

Workshop ini diadakan selama tiga hari di Kota Tegal, dan dihadiri perwakilan Pekka dari Kabupaten Brebes, Tegal, Pemalang, Batang, dan Kota serta Kabupaten Pekalongan. Materi-materi yang diberikan benar-benar membuka mataku. Aku jadi benar-benar memahami, bahwa Pekka adalah organisasi yang menjadi wadah untuk kami kembangkan di Kabupaten Pekalongan. Berbekal materi tersebut, aku dan Syukriyah merasa siap untuk menjalankan kegiatan yang diadakan Serikat Pekka.

Berbagai Kegiatan Pekka Mengasah Kemampuanku

Ibu Anti kemudian mulai mengajakku dan Syukriyah untuk membentuk kelompok-kelompok Pekka baru. Kami juga dibantu oleh kader-kader Pekka dari Kabupaten Pemalang seperti Ibu Taminah dan Sri Doati. Sayangnya, hanya dua orang itu yang masih aku ingat namanya. Padahal, banyak kader Pekka dari Kabupaten Pemalang yang telah membantu kami.

Di tahun yang sama, aku terpilih untuk terlibat Diskusi Hukum di tingkat kabupaten yang diadakan Pekka. Acara ini diadakan di Aula Balai Desa Kauman. Perwakilan dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, Dinas Sosial, Pengadilan Agama, dan Kantor Urusan Agama Kecamatan Wiradesa hadir sebagai narasumber. Peserta dalam diskusi ini cukup banyak, di antaranya adalah kepala dari empat desa di Kecamatan Wiradesa, dua orang pamong desa, tiga orang perwakilan kelompok Pekka, juga tokoh agama dan tokoh masyarakat.

Beberapa hari sebelum acara, aku bersama Syukriyah mengantar undangan acara untuk para peserta dan narasumber. Sambil mengantarkan undangan, kami juga menjelaskan tentang organisasi Pekka kepada mereka. Semua pihak yang kami undang menerima dan menyambut kami dengan baik. Hanya Kepala Pengadilan Agama yang tidak bisa menemui kami secara langsung.

Dua hari setelah mengantar undangan ke kantor Pengadilan Agama, aku mendapat telepon yang memintaku untuk kembali datang. Menurut orang yang menghubungiku, Kepala Pengadilan Agama meminta agar aku memaparkan secara langsung mengenai organisasi Pekka.

Aku datang memenuhi permintaan beliau bersama seorang teman. Jantungku berdebar tidak karuan ketika aku duduk menghadap Kepala Pengadilan Agama. Namun, baru saja kami berdua hendak menjelaskan tentang Diskusi Hukum dan organisasi Pekka, Kepala Pengadilan Agama memotong dan berkata dengan nada marah, “Undangan kok kayak gini. Kurang lengkap. Organisasi baru dan kecil-kecilan ya, Mbak?”

Aku marah dan merasa tidak terima atas ucapan Kepala Pengadilan Agama tadi. Namun, aku masih bisa menahan diri. Aku pamit untuk keluar ruangan dan menelepon Ibu Anti. Sebagai seorang fasilitator lapang, Ibu Anti mampu membesarkan hatiku dan mengajarkan bagaimana aku harus bersikap bila menghadapi situasi seperti itu.

Setelah berhasil menenangkan diri, aku kembali ke ruangan Kepala Pengadilan Agama. Aku jawab dengan tegas, meski tetap ingat untuk merendahkan diri:  “Mampu kami seperti itu, Pak. Semoga itu juga untuk pembelajaran ke depannya. Dan apabila Bapak berkenan hadir, dengan senang hati kami berdua menerima. Tetapi kalau tidak bisa hadir tidak apa-apa, Pak.”

Ternyata, pada hari pelaksanaan, semua narasumber dan peserta hadir tepat waktu. Acara berjalan dengan lancar. Acara diskusi dimoderatori oleh faslap Jawa Tengah, Ibu Anti. Semua narasumber memberikan apresiasi yang memuaskan. Padahal, peserta memberi banyak pertanyaan, dan para narasumber bisa memberi jawaban yang memuaskan.

Panitia acara ini terdiri dari kader Serikat Pekka Pemalang untuk seksi kegiatan, serta seksi konsumsi dan perlengkapan dari kader Pekka Kabupaten Pekalongan. 

Hasil Diskusi Hukum yang diselenggarakan Pekka ini bisa aku bagikan kepada orang lain. Materi yang paling berguna menurutku adalah menggugat dengan cara pro deo. Cara ini bisa dimanfaatkan oleh masyarakat yang tergolong tidak mampu namun perlu mengajukan gugatan cerai. Bila menempuh cara ini, mereka tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun, alias gratis. Selain itu, masyarakat perlu mengetahui, bahwa ada kuota 14 kasus cerai dengan cara pro deo setiap tahun untuk setiap kantor Pengadilan Agama tingkat kabupaten. 

 

Aku sudah membuktikan bahwa cara pro deo ini benar-benar bisa dilakukan dengan cara mendampingi Syukriyah. Aku mendampingi dia mengajukan gugatan cerai karena telah ditinggal tanpa kabar oleh suaminya selama enam tahun. Syukriyah pun termasuk masyarakat tidak mampu. 

 

Dari pembuktian yang aku lakukan bersama Syukriyah, aku bisa memberi motivasi bagi teman-teman yang ingin mengajukan gugatan cerai dengan cara pro deo. Ada banyak orang yang meminta bantuanku, namun aku mengecek dulu kasusnya. Apabila pihak perempuan yang bersalah, aku segan membantunya.

 

Kepercayaan Diri Membuatku Berdaya Sebagai Pekka

 

Banyaknya anggota masyarakat yang meminta pendampingan dariku untuk menyelesaikan masalah mereka benar-benar membuatku terkesan. Sosok Khotimatul Karimah yang hanya tamatan SD, dan bukan siapa-siapa di desanya, ternyata bisa berinteraksi dengan orang-orang berpangkat tinggi dan membantu masyarakat.

Ilmu yang aku dapat dari kegiatan-kegiatan Pekka yang aku ikuti, juga selama mendampingi faslap Jawa Tengah, Ibu Anti yang begitu telaten membimbingku, bisa bermanfaat untuk keluargaku, masyarakat, dan tentu saja diriku sendiri. Aku merasa bangga karena bisa berguna bagi orang lain. 

 

Sejak bergabung dengan Pekka, aku bisa berhubungan secara dekat dengan aparat pemerintah, mulai dari tingkat RT, RW, desa, kecamatan, hingga kabupaten. Aku bahkan bisa bertatap muka langsung dengan Gubernur Jawa Tengah, Bapak Ganjar Pranowo. Saat itu, aku hadir dalam acara Musrembang Wilayah yang diadakan di Kabupaten Brebes pada tahun 2020. Aku hadir mewakili pengurus Serikat Kabupaten Pekalongan. Dalam acara musrembang ini, aku meminta bantuan koperasi dan pelatihan. 

 

Dari sekian banyak permohonan bantuan yang aku ajukan, yang terlaksana hanya satu: pelatihan pembuatan masker dan face shield. 5 kelompok yang masing-masing terdiri dari 10 orang terlibat dalam pelatihan ini. Pelatihan ini diadakan setelah pandemi Covid 19 melanda dunia, beberapa bulan setelah Musrembang Wilayah diadakan.

 

Pejabat lain yang berhasil aku temui adalah Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Ibu Yohana Yambisa. Ketika itu aku hadir sebagai promotor Pekka untuk mengikuti kegiatan Pekka Perintis yang diadakan oleh Yayasan PEKKA pada tahun 2016. Saat itu, aku ditemani Lia, Kunarti, dan Mimin.

 

Hal yang paling berkesan bagiku selama mengikuti kegiatan Pekka Perintis ini adalah pengalaman pertama kali datang ke Jakarta, dan pertama kali pula naik kereta api. Aku selalu merasa geli bila terkenang kekonyolanku saat salah masuk lift. Aku hanya bisa diam di dalam lift yang terus naik turun dan tidak tahu harus meminta tolong kepada siapa. Hal lain yang membuatku senang mengikuti kegiatan ini adalah aku memperoleh telepon genggam berbasis android.

 

Manfaat lain yang aku dapatkan dari Pekka adalah aku bisa membantu saudara-saudara kandungku untuk mendapatkan Akta Kelahiran. Saat itu, kedua orang tuaku telah meninggal dunia dan Surat Nikah mereka sudah tidak jelas lagi keberadaannya. Padahal, Surat Nikah amat dibutuhkan untuk mengurus Akta Kelahiran. Aku bersyukur, para pejabat dan pegawai di dinas terkait yang aku kenal sejak Diskusi Hukum bersedia membantuku. Alhamdulillah, sekarang semua saudara kandungku sudah memiliki Akta Kelahiran.

 

Keinginanku untuk terus berkiprah bersama Pekka masih tetap tinggi. Banyak pembelajaran dan pengalaman yang aku dapat ketika menjadi pengurus Serikat Pekka Kabupaten Pekalongan. Namun, anakku tetap harus diprioritaskan. Saat ini aku memilih untuk tidak terlibat dalam kepengurusan serikat, dan hanya aktif sebagai anggota kelompok Pekka. Kondisi kesehatan anakku semakin memerlukan pendampinganku, dan aku memilih untuk tidak sering meninggalkannya. Aku berharap kondisi anakku tetap stabil dan sehat, sehingga dia bisa beraktivitas seperti remaja lainnya, dan mampu menggapai cita-citanya.

 

Bagikan Cerita Ini

Cerita Terkait

Leave a Comment