Berjuang Sampai Akhir
Kisah Diri Roro Murdiyasih

Memiliki dua ibu membuatku sedih. Ayahku sering pergi, ibuku sering merasa sendiri. Pertengkaran dengan ipar, ditinggal orang tua juga suami adalah kesulitan hidup terbesar yang pernah aku hadapi. Pekka membuat hidupku terasa sangat berarti. 


 

Dua ibu dan delapan saudara. Latar belakang ini yang aku miliki sebagai anak dari seorang laki-laki yang memiliki dua istri. Roro Murdiyasih namaku, lahir di Pemalang tanggal 22 Mei 1974. Ayahku, R. Martolo, seorang pegawai di Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Pekalongan. Ketika ditugaskan di Pemalang, ayahku bertemu dengan ibuku yang bernama Suniti. Pada saat itu, ibuku sudah berstatus janda dan memiliki dua anak. Sementara, ayahku sudah memiliki istri bernama Siti Khotijah dan memiliki tiga orang anak. Ayah dan Ibu menikah pada tahun 1973. Pada masa itu, belum ada peraturan yang melarang Pegawai Negeri Sipil (PNS, saat ini disebut ASN – Aparatur Sipil Negara) untuk memiliki lebih dari satu istri. Peraturan yang ada hanya menegaskan pernikahan kedua dan selanjutnya harus mendapat persetujuan dari istri pertama. 

Sebagai anak dari pasangan Ayah Martolo dan Ibu Suniti, aku terhitung sebagai anak pertama. Adikku dua orang, yang masing-masing berjarak dua tahun. Dengan demikian, aku mempunyai delapan orang saudara dari dua ibu dan dua ayah. Sebagai anak, aku sedih melihat ayahku memiliki dua istri. Kadang beliau berada di Pekalongan, tinggal bersama ibu tiriku, terkadang beliau ada bersama kami. 

Aku memulai pendidikanku dari jenjang taman kanak-kanak. Pada tahun 1978, aku bersekolah di TK Pertiwi, Pemalang. Kemudian aku melanjutkan ke SD Negeri Saradan 01, Kabupaten Pemalang, pada tahun 1980. Aku tidak menemukan kesulitan untuk membaca dan menulis ketika mulai bersekolah SD, karena di rumah aku diajarkan menulis dan membaca oleh Ibu. Beliau bekerja sebagai guru di SD tempat aku bersekolah. Aku lulus dari SD tahun 1987, dan meneruskan pendidikanku ke SMP Negeri 5 Pemalang. 

Sejak kecil, aku menjalani hidup yang sederhana, dengan suka dan dukanya. Karena aku anak pertama, maka aku membantu Ibu dengan merawat adik-adikku. Aku juga memasak dan mencuci pakaian sebelum berangkat sekolah. Setelah pekerjaan rumahku selesai, aku mengayuh sepedaku menuju sekolah. 

Tiga tahun kemudian, aku lulus dan melanjutkan ke SMK Negeri Pekalongan, jurusan Tata Boga. Aku memilih jurusan ini agar bisa langsung memiliki keahlian setelah lulus SMK. Sekolah ini terletak di kota yang sama dengan tempat tinggal ibu tiriku. Sehingga, selama bersekolah di SMK, aku tinggal bersama beliau. Kenyataannya, ibu tiriku sangat sayang kepadaku. Dia sangat memperhatikanku.

Sepanjang ingatanku, Ibu selalu bertengkar dengan Ayah. Yang menjadi sumber keributan di antara mereka bukan persoalan ekonomi, tetapi karena kurangnya kasih sayang dari Ayah, karena cinta Ayah yang terbagi dua antara Ibu dengan istri pertamanya. Bila sedang kesal dengan Ayah, ibu berpesan, agar kelak bila aku menikah, aku tidak memilih laki-laki yang telah beristri, seperti ayahku. 

 

Pasang Surut Kehidupan di Usia Muda

Lulus dari SMK di tahun 1990, aku bekerja di Rumah Makan Bu Nani yang terletak di Jalan Simpang Lima, Semarang. Aku bekerja di tempat ini selama tiga tahun. Sejak awal aku bekerja, ada seorang laki-laki yang memberi perhatian lebih kepadaku. Di saat aku masuk kerja, laki-laki ini sudah bekerja di Rumah Makan Bu Nani selama enam tahun. Rupanya dia menaruh hati kepadaku. Akhirnya, kami menikah pada 4 Mei 1995. 

Aku tinggal bersama mertuaku setelah menikah. Satu tahun kemudian, kami dikaruniai anak pertama. Aku melahirkan dengan cara operasi Caesar. Saat itu, suamiku sudah tidak lagi bekerja di Rumah Makan Bu Nani. Dia bekerja di pabrik tekstil. Meski gajinya tidak seberapa, hidup kami terasa tenteram. 

Di tahun 2002, aku hamil anak kedua. Ketenteraman rumah tanggaku mulai terguncang karena perteng karan-pertengkaranku dengan adik dari suamiku . Lama kelamaan aku tidak tahan dengan pertengkaran yang aku hadapi, sehingga akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke Pemalang. Aku melahirkan anak kedua dengan cara normal pada tahun 2002. 

Tiga bulan setelah melahirkan, aku kembali ke rumah mertuaku di Kauman Wiradesa, Pekalongan. Aku menjalani hidup yang serba pas-pasan bersama suami dan anak-anakku tercinta. Aku membuka warung kecil dan berjualan sembako untuk membantu suami mendapat penghasilan tambahan.

Pada tahun 2002, dibuka pendaftaran untuk seleksi perangkat desa. Suamiku mengikuti proses seleksi itu dan berhasil lulus. Usai pelantikan, suamiku mulai bertugas di Balai Desa Kauman. Setiap hari dia berangkat dengan mengendarai sepeda. Sebagai istri seorang pamong, aku aktif dalam kegiatan desa sebagai kader Posyandu, sejak tahun 2002 hingga sekarang. Aku juga mulai aktif terlibat di kegiatan PKK RT dan PKK Induk. 

 

Pedihnya Ditinggal Orang Tua

Ayahku pensiun pada tahun 2003, dan sejak saat itu beliau mulai sering jatuh sakit. Sejak saat itu pula, Ayah lebih sering beraktivitas di rumah bersama ibuku di Pemalang. Berbagai cara Ayah tempuh untuk tetap bisa menghidupi adik-adikku dan dua istrinya. Ayah mulai beternak ayam, burung, dan merpati. Aku bersyukur, usaha Ayah ini berhasil.

Keberhasilan usaha Ayah membuatnya tergerak untuk membantuku. Pada tahun 2004, aku dan suami mengontrak rumah di Pemalang. Kehidupanku jadi tenteram, karena aku terhindar dari pertengkaran-pertengkaran dengan dengan adik iparku. 

Tidak berapa lama, ayahku jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Setelah satu pekan, ayah dinyatakan sembuh. Namun, kesedihan lain datang menyusul. Istri pertama Ayah meninggal dunia. Meski masih dalam keadaan sakit, Ayah bersama Ibu memaksakan diri untuk melawat ke Desa Landungsari, Pekalongan. 

Sepeninggal ibu tiriku, sejak tahun 2004, Ayah menghabiskan seluruh waktunya dengan tinggal bersama Ibu. Kehidupan Ayah dengan ibu kandungku terasa lebih baik, karena tidak lagi hidup dalam keadaan terbagi dua. 

Ayahku kembali jatuh sakit pada 20 Juli 2005 dan dirawat di Rumah Sakit Ashari. Ibu dengan setia menunggui ayahku di rumah sakit dan bergantian dengan anak-anak Ayah yang lain. Ibu sangat kelelahan merawat Ayah, sehingga ikut jatuh sakit. Akhirnya Ibu pun dirawat di Rumah Sakit Umum pada saat yang bersamaan. Dokter yang memeriksa mendiagnosis Ibu terkena kanker usus. Di dalam usus besarnya terdapat bejolan besar yang menyumbat jalannya proses BAB (Buang Air Besar).

Setelah satu pekan dirawat, ayahku sembuh dan diizinkan pulang dari rumah sakit. Sebaliknya, Ibu harus menjalani operasi. Tiga hari setelah dioperasi penyakit Ibu semakin parah. Akhirnya Ibu berpulang menghadap Illahi pada tanggal 3 Agustus 2005. 49 hari kemudian, pada tanggal 2 Oktober 2005, Ayah menyusul Ibu. Dalam satu tahun, kami harus menghadapi peristiwa menyedihkan yang menimbulkan duka mendalam. Kedua orang tuaku menghadap Illahi hanya berselang 49 hari. Ya Allah, kuatkanlah hambamu ini. 

Setelah kematian orang tua, aku menempati rumah orang tua di Pemalang, sesuai dengan pesan Ayah. Aku lega, tidak lagi berpindah dari rumah kontrakan yang satu ke rumah kontrakan yang lain. 

Selama tinggal di Pemalang, kami hidup serba kekurangan. Saat itu anakku masih kecil-kecil, dan kami hidup dalam keadaan serba kekurangan. Suamiku bekerja di luar kota, dan hanya pulang satu kali dalam seminggu. Dua tahun lamanya aku menjalani kehidupan seperti ini. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk kembali tinggal bersama mertuaku di Pekalongan.

 

Ujian Datang Silih Berganti

 

Sebelum aku kembali ke Pekalongan di tahun 2008, aku mengunjungi makam kedua orang tuaku. Di hadapan pusara mereka, aku mengutarakan bahwa aku sudah menjalankan amanat Ayah. aku juga mengutarakan maksudku untuk kembali ke Pemalang, semoga aku mendapatkan rezeki di tempat mertua.

Aku kembali menghadapi caci maki dari saudara-saudara iparku. Tidak tahan menghadapi hal itu, aku kembali mengontrak rumah yang pernah aku tinggali dulu. Selama tinggal di kontrakan, aku dan suami memikirkan cara untuk bisa membeli rumah.

Beberapa tahun sebelumnya, aku dan suami pernah membeli sebidang tanah, dan sempat membangun pondasi rumah di atasnya. Sayangnya, proses pembangunan itu terhenti di tengah jalan, sehingga akhirnya kami juga dengan harga Rp 20 juta. 

Setelah beberapa lama, aku dan suami berhasil mendapatkan rumah yang cocok untuk kami tinggali. Rumah itu dijual dengan harga Rp 40 juta. Aku berharap sekali rumah itu berjodoh dengan kami, apalagi kami sudah memiliki uang dengan jumlah separuh dari harga rumah itu. Kami tinggal mencari separuhnya lagi. 

Suamiku lalu memutuskan untuk menjual sawah garapan, yang dia dapatkan haknya sebagai perangkat desa untuk jangka waktu lima tahun. Tanah bengkok istilahnya. Tanah ini berhasil kami jual dengan harga Rp 25 juta. Hatiku benar-benar girang. Akhirnya kami bisa memiliki rumah sendiri. 

Untuk menambah pendapatan, suamiku bekerja sambilan dengan menjadi juru parkir di tempat praktik seorang spesialis penyakit dalam, dr Anto. Kami benar-benar membutuhkan penghasilan tambahan, karena anak-anakku sudah bersekolah.

Kepedihan hidup seperti enggan pergi dari hidupku. Di tengah perjuangan kami memenuhi kebutuhan hidup, suamiku tiba-tiba meninggal dunia pada 2 Agustus 2017. Malam sebelumnya, suamiku menghadiri sebuah hajatan di kampungku. Pulangnya, suamiku langsung masuk kamar dan menguncinya, lalu tidur. Namun, pagi harinya dia tidak kunjung bangun. Aku mengetuk pintu kamarnya berkali-kali, dia tetap tidak terbangun. Aku ambil tangga dan naik ke tembok untuk melihat keadaan suamiku dari batas tembok. Rumah kami memang belum memiliki langit-langit. Aku lihat suamiku tidur telentang dan tidak bergerak. Aku berteriak memanggil tetangga dan saudara-saudaranya. Setelah pintu kamar berhasil dibuka paksa, kami mendapati suamiku sudah tidak bernyawa. Dia telah meninggalkan kami semua, pindah ke alam barzah. 

 

Melangkah Sendiri

40 hari setelah suamiku pergi, aku kebingungan. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Hingga akhirnya seorang teman mengajakku untuk ikut belajar di Akademi Paradigta (AP) yang diadakan di Gedung Serba Guna Dukuh Ketingan, Desa Kauman, Kecamatan Wiradesa, Kabupaten Pekalongan selama delapan bulan. Kelas dibuka tiga kali dalam satu minggu, yang dimulai dari pukul 13.00 WIB sampai 17.00 WIB. Aku mendapat ilmu yang diajarkan oleh Mbak Lia dan Mbak Khotim. 

Salah satu modul yang diajarkan adalah mengenai Pelayanan Publik. Kami mendapat tugas lapang dari mentor, dan harus diselesaikan dengan cara mengunjungi Puskesmas, balai desa, kantor polisi, dan kantor yang memberikan pelayanan publik lainnya. Aku bersyukur, para mentor menjelaskan isi materi yang ada dalam modul dengan jelas, sehingga kami para peserta Akademi Paradigta dengan mudah menerapkannya ketika mendapat tugas lapang. Ketika seluruh modul selesai diajarkan, kami mendapat tugas untuk membuat karya tulis. 

Setelah melalui proses konsultasi, maka kami dinyatakan lulus dan diwisuda pada 13 Maret 2018. Wisuda diadakan di Gedung Kota Pekalongan, yang terletak di sekitar alun-alun Mataram, dan dihadiri para peserta Akademi Paradigta dari berbagai kabupaten yakni Kabupaten dan Kota Pekalongan, Pemalang, Brebes, Tegal, dan Batang.

Setelah lulus dari Akademi Paradigta, aku menggantikan posisi suamiku untuk menjalankan tugas-tugasnya di Badan Kredit Desa (BKD) dan PSN. Kegiatan di BKD meliputi simpan-pinjam anggota di desa yang sistemnya berdasarkan bagi hasil. Penarikan simpanan pokok dilakukan setiap minggu. Aku berkeliling mendatangi para nasabah yang berhutang ke BKD. Aku jalankan tugas ini selama dua tahun, yakni sepanjang 2019 dan 2020. Akhirnya aku memutuskan keluar dari BKD, dan memilih untuk menekuni kegiatan yang dilakukan kelompok Pekka di desa maupun di serikat. 

Aku membentuk kelompok Pekka di desaku dengan nama Makmur Jaya Abadi. Aku menjabat sebagai ketua, dengan jumlah anggota mencapai 20 orang. Kami mengisi kegiatan kelompok dengan membuat jahe instan, kerupuk duduh pindang, abon daging sapi, juga membahas materi-materi mengenai administrasi kependudukan, BPJS, dan akte kelahiran. Kami juga berlatih senam anti-stroke dan membuka koperasi simpan pinjam yang prosesnya adalah dari kita untuk kita. 

Meski sudah menjadi ketua kelompok Pekka, sampai sekarang aku masih aktif di kegiatan desa seperti Posyandu, PSN, PKK RT dan PKK Induk. Aku berusaha sebaik mungkin agar bisa membagi waktu antara kegiatan desa dengan kegiatan Pekka, agar semua tugasku bisa terlaksana. Aku bisa membagi tugas baik tugas dari desa, Puskesmas dan Pekka. Terkadang, aku juga diminta untuk mengurus Akta Kelahiran, kartu keluarga, KTP, dan BPJS. Di waktu lain, aku diminta tetangga untuk memasak. Aku tetap melakukannya agar aku bisa mendapatkan uang untuk menghidupi anak-anakku dan membayar biaya sekolah mereka. 

 

Semakin Aktif Bersama Pekka

Berbekal pengetahuan yang aku dapatkan selama mengikuti Akademi Paradigta, juga pengalamanku sebagai ketua kelompok, membuat aku ditunjuk untuk membantu kegiatan Pekka di Petungkriyono pada tahun 2019. Kegiatan ini merupakan program KOMPAK yang berjalan selama satu tahun. Agar mengetahui permasalahan yang dihadapi warga Petungkriyono, kami membuat Rencana Tindak Lanjut (RTL) sebelum memulai kegiatan Pekka ini. 

Dalam kegiatan ini aku bersama Mbak Khotim bolak-balik ke Petungkriyono selama satu minggu. Kegiatan utamanya adalah membentuk kelompok Pekka di Desa Telogo Pakis, Desa Songgowedi,dan Desa Yosorejo. Setelah kelompok terbentuk, kami pun menyelenggarakan KLIK PEKKA bagi warga di Petungkriyono. 

Karena banyaknya program yang harus dijalankan, maka masa tugasku yang tadinya hanya satu minggu, bertambah menjadi tiga minggu. Aku pun harus meninggalkan anak-anakku untuk bisa menjalankan tugas dari Pekka ini. Belum lagi, aku sempat hampir mengalami pelecehan seksual yang dilakukan oleh pengendara ojek yang aku tumpangi saat hendak berangkat ke Petungkriyono. Entah dari mana datangnya keberanianku, saat pengendara ojek itu hendak melakukan perbuatan yang tidak sepatutnya, aku berkata, “Mas, memang sampeyan ndak ingat istri dan anak di rumah?” Alhamdulillah, pengendara ojek itu tidak jadi melakukannya, dan meninggalkanku di tempat sepi.

KLIK Pekka untuk warga Petungkriyono diadakan pada tanggal 15 Oktober 2019 di Desa Songgowedi. Warga pun berduyun-duyun datang untuk mengajukan permohonan pembuatan Kartu Keluarga, KTP, BPJS, jamban, dan pernikahan pro deo. Pengajuan ini dilayani langsung oleh petugas dari dinas terkait yang hadir dalam KLIK Pekka, agar prosesnya jadi lebih mudah. Acara KLIK Pekka kemudian dilanjutkan dengan diskusi kampung yang berisi tanggapan dari dinas-dinas terkait atas usulan masyarakat. Setelah KLIK Pekka selesai, data yang dikumpulkan diberikan ke pihak desa untuk dipilah dan menentukan kecamatan yang didahulukan pelayanannya.

KLIK Pekka kedua diadakan pada 25 November 2019 di Desa Telogo Pakis. Acara ini diisi oleh petugas BPJS yang langsung mengoreksi kesalahan penulisan nama, alamat, atau tempat tanggal lahir yang tertera di Kartu Indonesia Sehat. Keesokan harinya, diadakan diskusi kampung yang dihadiri oleh camat dan lurah setempat.

KLIK Pekka ketiga dilaksanakan pada 21 Januari 2020 di Dusun Karang Gondang. Tempat ini dipilih karena tempatnya yang strategis dan tidak berjauhan dengan desa lain. Dalam KLIK Pekka kali ini, aku dan teman-teman mendapat bantuan dari lurah setempat yang menyediakan angkot atau doplak bagi warga yang ingin hadir dalam KLIK Pekka. Usulan yang paling banyak diajukan adalah penyediaan jamban sehat agar masyarakat, terutama yang tinggal di Sawangan, Totogan, tidak lagi buang air besar di sungai.

Setelah itu, kegiatan yang aku ikuti banyak sekali. Antara lain adalah sosialisasi HIV/AIDS bagi kader desa. Kegiatan ini dirasa penting, karena di Wiradesa, tercatat sudah ada 28 orang yang terserang penyakit ini. Setelah itu, aku mengikuti Rapat Serikat Pekerja yang diadakan pada 2 Maret 2020. 

Kegiatanku bersama Pekka berkurang secara drastis setelah itu, akibat wabah Covid-19. Meski demikian, aku sempat terlibat dalam pemberian bantuan kepada anggota-anggota kelompok Pekka yang mengalami kesusahan akibat serangan wabah ini. Bantuan tersebut berupa nasi bungkus, sembako, juga masker dan faceshield. Kegiatan ini diadakan sebagai kerjasama Pekka dengan Dinas P3AKB, yang dilakukan pada tanggal 21 Agustus 2020.

Selama pandemi, Pekka mengadakan kegiatan melalui Zoom. Salah satunya adalah pendataan kelompok dan anggota Pekka yang masih aktif di Petungkriyono, pada tanggal 11 Agustus 2020. Selain itu, Pekka juga mengadakan pelatihan pembahasan ekonomi digital secara online agar ibu-ibu Pekka bisa bekerja melalui HP selama pandemi.

Sejak 2021, aku tidak lagi begitu mengikuti kegiatan bersama Pekka karena aku telah menikah untuk kedua kali. Sekarang, aku lebih banyak terlibat dalam kegiatan desa. Anak-anakku sudah mentas, yang pertama sudah berkeluarga dan tinggal di Jakarta. Sementara yang bungsu masih bersekolah di tingkat SMA. 

Bagikan Cerita Ini

Cerita Terkait

Leave a Comment