Bermartabat dan Berdaya sebagai Perempuan

Aku menikmati masa kecilku dengan bahagia. Senantiasa bersemangat meski sejak usia 6 tahun aku sudah harus membantu mamaku berjualan. Aku sudah bisa bangun pagi tanpa disuruh di usia sebelia itu.

Siti Rahmayani namaku. Sehari-hari, aku dipanggil Rahma. Aku lahir di Batubara, sebuah kabupaten di Sumatera Utara, pada 27 Januari 1982. Ayahku bernama Saibun Batubara, dan mamakku bernama Nurhayati Br Harahap. Mereka memiliki 8 anak, dan aku adalah anak ke-5. 

Saat aku berusia tiga bulan, kami pindah ke Desa Batu Anam Rahuning, Kecamatan Bandar Pulau, Kabupaten Asahan. Desa Batu Anam Rahuning ini berjarak sekitar 65 kilometer dari desa tempat aku lahir. Saat itu ayahku mendapat kerja di PT Rajawali Garuda Mas (RGM) sebagai satpam.

Meski berstatus pegawai, gaji ayahku tidak cukup untuk memenuhi biaya makan, sekolah, dan kebutuhan lain untuk kedelapan anaknya. Hal ini yang membuat Mamak memutuskan untuk berjualan makanan kecil di sekolah pada pagi hari. 

Makanan yang dijual Mamak antara lain berupa  es lilin, kacang tojin, aneka gorengan – pisang, tahu, tempe goreng, bakwan – bubur kacang hijau, nasi lemak, dan nasi goreng. Kegiatan berjualan dilanjutkan pada sore hari di rumah. Bedanya, pada sore hari yang dijual Mamak adalah sayur-mayur.

Aku bersekolah di SDN 017139. Saat jam istirahat, aku bergegas keluar kelas agar dapat membantu Mamak berjualan. Jarak antara sekolah dengan rumah kami yang berdekatan memudahkan Mamak untuk pulang ke rumah setelah jam istirahat sekolah yang pertama, agar bisa memasak dan kembali lagi ke sekolah sebelum jam istirahat kedua. Kegiatan ini kami jalani selama beberapa tahun.

Ketika aku duduk di kelas 4, Mamak tidak lagi datang ke sekolah. Sejak saat itu, aku menggantikan Mamak berjualan. Atas seizin wali kelas, aku menyimpan daganganku di kelas selama jam pelajaran berlangsung. Aku baru menjualnya pada jam istirahat. Meski harus berjualan, aku tetap merasa masa kecilku bahagia.

Aku melanjutkan sekolah di sebuah madrasah tsanawiyah (MTs) swasta yang terletak di Kecamatan Air Batu, Kabupaten Asahan, setelah lulus dari SD di tahun 1994. Orang tuaku bersikukuh menyekolahkanku di MTs karena mereka ingin aku menjadi seorang ustadzah, meski aku ingin sekali bersekolah di SMP. 

Rasa terpaksa ini sempat membuatku bersedih. Namun, lama kelamaan aku menyukai sekolah tersebut, yang berjarak sekitar 3,5 km dari rumah. Aku berangkat dan pulang menggunakan bus sekolah yang difasilitasi perusahaan tempat ayahku bekerja. 

Sayangnya, aku tidak bisa berjualan di MTs ini. Pihak sekolah tidak mengizinkan para siswanya untuk berjualan di kelas. Di luar sekolah, aku menghabiskan masa remajaku dengan mengikuti banyak kegiatan, seperti remaja masjid, panitia kegiatan Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, dan lain-lain.

Pilihanku Mengecewakan Orang Tua

Aku mengecewakan orang tuaku saat aku duduk di bangku SMA. Setelah lulus MTs pada tahun 1997, aku melanjutkan ke madrasah aliyah (MA) yang bernaung di yayasan yang sama. Lokasinya sama dengan madrasah tsanawiyah tempat aku pernah menimba ilmu. 

Masa muda yang belum banyak pengalaman membuatku tidak berpikir panjang. Saat duduk di kelas 3 MA, seorang kawan mengajakku merantau ke Jambi untuk bekerja. Aku lantas mendesak orang tuaku untuk mengizinkanku pergi. Orang tuaku tidak bisa berbuat banyak. Mereka benar-benar kecewa, tetapi tetap merelakan aku pergi karena aku sudah tidak mau bersekolah lagi.

Di Jambi, aku bekerja sebagai karyawan sebagai sales kosmetik dengan gaji 900 ribu rupiah per bulan. Aku menumpang tinggal di rumah kerabat teman yang mengajakku bekerja selama aku bekerja di sana. 

Awalnya aku berpikir, aku akan mengurangi beban dan membahagiakan orang tua dengan mengirim uang hasil kerjaku kepada mereka. Namun kenyataan ternyata tidak seindah yang aku impikan. Aku tidak siap untuk hidup dengan orang tua. Jauh dari orang tua ternyata membuatku menderita. Apalagi di waktu aku sakit malaria. Akhirnya aku memutuskan untuk pulang, dan orang tuaku menerimaku kembali dengan senang hati.

Melalui Dua Pernikahan

Beberapa bulan setelah pulang dari Jambi, aku menikah dengan seorang pria yang dikenalkan oleh teman kerjaku. Namanya Hendra. Dia menjadi tempatku bersandar, karena dia selalu memberiku perhatian dan mengerti keadaanku. Pekerjaannya adalah sopir di perusahaan tempat ayahku bekerja. 

Sayang, rumah tangga kami hanya berjalan mulus di masa awal pernikahan. Setelah 4 bulan menikah dan dia berhenti bekerja, kehidupan rumah tangga kami berubah. Kami jadi sering bertengkar, dan kami berdua tidak ada yang mau mengalah. Masalah kecil sering kali berubah menjadi masalah besar. Padahal, saat itu aku sedang hamil 2 bulan. 

Hendra lalu pamit untuk merantau ke Malaysia. Dia masih menghubungiku lewat telepon seluler milik tetangga di bulan pertama dan kedua setelah dia pergi. Tetapi setelah bulan ketiga, Hendra seperti menghilang. Dia tidak lagi mengirim kabar. Putriku lahir tanggal 15 Juli 2001, tanpa kehadiran ayahnya. Aku memberinya nama: Julia Wulandari.

Dengan pasrah aku menjalani kehidupanku, mengurus anak dan menggantikan Mamak berjualan sayur-mayur, kue-kue, dan gorengan di depan rumahku. Kadang-kadang aku juga mengantar pesanan ke rumah orang yang memesan daganganku.

Ketika putriku berusia tiga tahun, terhembus kabar akan datang seorang lelaki untuk meminangku. Kabar ini aku dengar langsung dari kakakku. Dia memberitahuku ketika aku sedang memandikan anakku. Aku lalu berpikir, bahwa aku perlu waktu untuk memikirkannya. Namun, ternyata laki-laki itu datang lebih cepat dari yang aku duga.

Aku terkejut ketika menerima kedatangan laki-laki itu. Dia ternyata sudah jauh lebih tua dariku. Usia kami terpaut 17 tahun. Menurut ayahku, dia masih terbilang saudara jauh kami. Aku sontak menolak perjodohan ini. Statusnya saat itu adalah duda dengan lima orang anak. Selain usianya sangat jauh lebih tua dariku, hal lain yang membuatku memberontak adalah usia anak pertamanya, yang hanya tiga tahun lebih muda dariku. Mana mungkin aku menikah dengan laki-laki yang lebih pantas untuk menjadi ayahku?

Namun, orang tuaku terus-terusan membujuk dan menasihatiku. Lebih dari satu bulan aku bergeming, hingga akhirnya aku pasrah dan ikhlas mengikuti keinginan mereka.

Minggu, 8 Agustus 2004, aku resmi menjadi istri Abdul Karim Sipahutar. Aku dan anakku lantas diboyong ke rumahnya yang terletak di Jalan Kenanga, Lingkungan VIII Kelurahan Sirantau, Kecamatan Datuk Bandar, Kota Tanjungbalai. Kami tinggal bersama keempat anak tiriku. Salah seorang anaknya telah menikah dan telah memiliki rumah sendiri. Letak rumahnya tidak jauh dari rumah ayahnya.

Awalnya, aku malu dan merasa tidak percaya diri bila berjalan di samping suamiku. Aku takut menjadi cemoohan orang. Namun, aku belajar ikhlas dan menerima suamiku apa adanya. Aku juga menemui banyak kesulitan untuk menyesuaikan diri dan mengawali kehidupan rumah tangga dengan lima anak yang masih kecil. Anak tiriku yang kedua masih duduk di bangku kelas 2 SMP waktu itu. Sementara, anakku masih balita dan belum bersekolah. 

Beratnya kehidupan rumah tangga yang aku rasakan membuatku sering dirawat di rumah sakit karena penyakit maag dan tekanan darah rendah. Ini terjadi di tahun pertama pernikahanku, dan baru berhenti setelah aku hamil.

Dari pernikahanku dengan Abdul Karim, aku mendapat dua orang putra. Suasana semakin ramai dengan tujuh anak dalam satu rumah. Sementara, aku harus menghadapi segala permasalahan di rumah sendirian. Suamiku jarang ada di rumah. Dia bekerja mengurus ladang untuk memenuhi kebutuhan hidup kami. Bila ke ladang, itu berarti suamiku akan pergi selama satu bulan. Lalu pulang dan tinggal di rumah selama satu minggu, untuk kemudian pergi lagi. Begitu seterusnya.

Hal terberat yang aku rasakan ketika memulai hidup sebagai istri seorang duda adalah keengganan anak-anaknya menerimaku. Mereka terbayang kisah ibu tiri yang kejam, seperti yang banyak diceritakan banyak orang. Butuh waktu panjang hingga mereka mau menerimaku sebagai ibu mereka. 

Mereka memang sempat tidak mau berbicara denganku. Namun, lambat laun sikap dingin mereka mencair. Mereka berbagi cerita, termasuk tentang hubungan mereka dengan pacar masing-masing. Mereka juga bersikap penuh perhatian saat aku sakit.

Jalan Baru Mengatasi Kesunyian

Kebosanan mulai menghinggapiku, karena kehidupan yang aku jalani hanya seputar urusan domestik: dapur, sumur, dan melayani anak-anak dan suami. Sementara umurku semakin bertambah. Anak-anak tumbuh besar dan mulai bersekolah. Untuk mengatasi kebosanan ini, aku mengikuti UPPKS (Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera) pada tanggal 20 Oktober 2016. Pada saat yang bersamaan, diadakan pula penobatan kampung KB di bawah naungan BKKBN.

Hingga suatu hari, sebuah becak barang datang membawa perabotan milik tetangga baru. Dia akan menempati rumah yang terletak persis di depan rumah Nisa, temanku. Becak barang ini tidak memiliki tenda dan bangku, tidak seperti becak yang membawa penumpang.

Tetangga yang baru pindah ini bernama Neli. Dia pindah dari Desa Sei Apung, Kecamatan Tanjungbalai, Kabupaten Asahan. Setelah berkenalan, Neli beberapa kali bercerita tentang organisasi bernama Pekka. Saat itu, aku hanya mendengar dan menanggapi cerita Neli sambil lalu. Neli pun berjanji untuk memperkenalkanku dengan Pekka.

Perlu dua tahun bagi Neli untuk menepati janjinya. Suatu sore setelah asar, beberapa sepeda motor berhenti di depan rumah seorang tetanggaku, Hajjah Nurmadnah. Sebelumnya, ada kabar bahwa sore itu akan datang tim pendata bansos. Orang pun berdatangan ke rumah Hajjah Nurmadnah. Ada sekitar 40 orang yang datang.

Neli kemudian memperkenalkan orang-orang yang datang sore itu, yakni seorang fasilitator lapang bernama Rika, dan seorang kader Pekka bernama Ibu Nuraidah. Rika lalu menjelaskan maksud kedatangan mereka, yakni untuk memperkenalkan organisasi Pekka. Setelah sekitar 20 menit Rika berbicara, satu per satu orang yang berkerumun di rumah Hajjah Nurmadnah pergi. Hingga akhirnya tersisa 12 orang yang tetap setia mendengarkan penjelasan mengenai Pekka.

Aku masih mengingat dengan jelas kata-kata Rika sore itu: “Di sini Pekka akan memberikan ilmu yang dapat diterapkan di kehidupan. Seperti memberi pancing, ikan tidak langsung didapat. Namun kita bisa mendapatkan trik-trik untuk memancing, sehingga ikan akan didapat dengan mudah.” Dalam kesempatan tersebut, Rika juga mengundang kami untuk mengikuti Musyawarah Besar yang akan dilaksanakan di Gedung Sejarah pada keesokan harinya. 

Aku datang memenuhi undangan Rika bersama Hj. Nurmadmah. Namun, kami bertiga tidak bisa berlama-lama mengikuti Mubes ini, karena ada pertemuan mendadak untuk kegiatan UPPKS. 

Dua bulan setelah Mubes tersebut, Rita – Ketua Serikat Pekka Tanjungbalai, bersama Hernilawati (Nila) dan Ida datang datang ke rumahku. Mereka datang ke tempatku karena saat itu di rumah Hj. Nurmadnah sedang ada tamu. 

Sebelumnya, Neli telah mengundang 14 orang lainnya untuk juga datang ke rumahku. Mereka pun berkumpul menunggu Nila dan Ida. Dalam pertemuan ini, Nila kembali memperkenalkan program Pekka. Nila menyampaikan siapa saja yang masuk kriteria pekka, juga tujuan program Pekka yakni melakukan perubahan sosial dan mengangkat harkat martabat janda dalam masyarakat. 

Kami langsung membentuk kelompok saat itu juga. Jumlah anggota kelompok ini sama dengan jumlah orang yang datang, yakni 12 orang. Aku terpilih menjadi sekretaris kelompok. Aku betul-betul tertarik untuk ikut dalam kegiatan kelompok, karena aku ingin mempunyai kegiatan di luar rumah, dan mengikuti pertemuan rutin yang diadakan setiap bulan. 

Dua minggu setelah kelompok terbentuk, kami diajak untuk mengikuti Pelatihan Visi, Misi, dan Motivasi Berkelompok. Pelatihan ini difasilitasi oleh Nila dan Ida. Dari penjelasan yang dipaparkan Nila, aku jadi memahami maksud dan tujuan Pekka. Bagiku, pengorganisasian yang dilakukan Pekka sangat masuk akal. Mereka mengajari kami tujuan berkelompok dan membangun kesadaran kritis agar perempuan berdaya.

Saat itu kami bersepakat untuk melakukan pertemuan rutin dan kegiatan simpan pinjam. Kami memilih kegiatan simpan pinjam karena ingin menyisihkan uang belanja dan uang yang kami himpun untuk membuat usaha. Uang iuran bulanan ke Serikat yang telah disepakati bersama adalah Rp 10.000/bulan. Biasanya kami mengadakan pertemuan setiap akhir bulan. 

Iuran bulanan kelompok akan dipinjamkan kepada anggota yang membutuhkan. Biasanya,  anggota yang meminjam dibatasi paling banyak 3 orang, dan setiap  orang hanya bisa meminjam paling besar Rp 200 ribu. Alasan dari kebijakan ini adalah karena uang iurannya terbatas dan tidak boleh dihabiskan. 

Namun, sekarang sudah berbeda. Sejak kelompok kami sudah bergabung di Lembaga Keuangan Mikro (LKM) pada tahun 2017, kami bisa mendapat pinjaman maksimal mencapai Rp 1 juta/orang tanpa membatasi jumlah orang yang meminjam dalam setiap bulan. Syaratnya hanya satu: anggota yang meminjam uang harus memiliki usaha atau jasa, yang pemasukannya masih sedikit. Uang pinjaman yang diberikan LKM harus digunakan hanya untuk usaha.

Aku merasa sangat senang sekali karena terbantu dengan adanya dana LKM yang bisa menambah modalku untuk berjualan jajanan dan es di rumah. Hampir semua anggota Pekka merasakan manfaat dari pinjaman LKM.

Pelatihan Pengorganisasian Masyarakat

Pada tanggal 18 Juli 2017, Nila datang membawa kabar gembira. Kelompok kami diwajibkan mengirim tiga sampai lima orang perwakilan untuk mengikuti Pelatihan Community Organizer (pengorganisasian masyarakat) yang akan diadakan di Center Pekka Sumatera Utara, Jalan Lingkar Utara Sipori-pori, Kapias Pulau Baya, Teluk Nibung, Kota Tanjungbalai. 

Memenuhi kewajiban yang disebutkan Bu Nila, kami bertiga: aku, Ibu Hj. Nurmadnah, dan Syafriani datang untuk mengikuti pelatihan pada hari Selasa, 18 Juli 2017. Teman-teman lain dari kelompok kami tidak bisa hadir, salah satu alasannya adalah karena sebagian dari mereka masih mempunyai balita.

Kami berangkat dengan mengendarai sepeda motor – aku dibonceng oleh Ibu Hj. Nurmadnah. Setelah 20 menit berkendara, kami tiba di Center Pekka yang sudah dipenuhi ibu-ibu peserta pelatihan. Acara dimulai tepat pukul 9 WIB, difasilitasi oleh faslap Mardhiah dan materi diberikan oleh mentor Hernilawati dan co-faslap Hasmurina. Pelatihan diawali dengan perkenalan. Kami menyebutkan nama, alamat, status pernikahan, pekerjaan, dan nama kelompok masing-masing.

Aku dan kedua kawanku sangat senang mengikuti pelatihan ini. Kami mendapat kawan baru, serta ilmu yang belum pernah aku dapatkan sebelumnya. Dalam pelatihan hari pertama, kami diajari Teknik Dokumentasi dan Publikasi, termasuk rumus 5W + 1H untuk menulis berita. Selain itu, wawasanku tentang perbedaan posisi laki-laki dengan perempuan jadi terbuka. Betapa perempuan sering mendapat ketidakadilan, selalu tertekan, dan merasa tertindas karena kuatnya budaya patriarki yang mengedepankan laki-laki dan mengesampingkan hak-hak perempuan. Pola pikir masyarakat yang masih kuat di lingkungan kami ini membuat perempuan tidak memiliki kapasitas dan menghalangi perempuan untuk menjadi pemimpin dan duduk dalam pemerintahan.

Aku pribadi menyepakati pola pikir kesetaraan hak ini. Aku tidak pernah segan menyuruh anak laki-lakiku untuk mencuci piring dan mengepel lantai. Awalnya dia memberontak dan berkata, “Mak, kok aku sih yang mencuci piring dan mengepel? Sedangkan aku anak laki-laki. Kan ada Kak Lili.” Dengan lemah lembut aku menjawab, “Nak, kalau anak laki-laki yang mengerjakan pekerjaan seperti itu tidaklah salah, Sayang. Sebab, bukan anak perempuan aja yang harus bekerja seperti itu. Andai kata kakaknya sakit atau pergi kan sudah tak canggung lagi anak Mamak yang kerjakan.” Anak bujangku pun melangkah pergi ke dapur dan mencuci piring. Setelah selesai, dia langsung mengepel lantai.

Hari berikutnya kami mendapat pembelajaran mengenai perempuan dan impian hidupnya. Kami diminta bermimpi bagaimana diri kami di sepuluh tahun mendatang. Insya Allah terlaksana. Pada saat itu aku bermimpi mempunyai rumah yang pekarangan depannya dipenuhi bunga dan sayur mayur ditanami di pekarangan belakang. Aku ingin bekerja dengan giat dan menabung sehingga aku bisa menyekolahkan mereka, hingga ada yang menjadi dokter. Aku bertekad untuk pantang menyerah, sabar, ikhlas, dan berdoa serta berikhtiar agar aku bisa memiliki rumah kos dan naik haji. 

Pelatihan CO ini membuatku menjadi sangat tertarik dengan isu perlindungan sosial, kebijakan pemerintah untuk melindungi individu, rumah tangga, atau masyarakat umum dari resiko yang muncul akibat guncangan ekonomi dan sosial serta bantuan bagi mereka yang rentan terhadap resiko tersebut. Bantuan itu berupa KIP (Kartu Indonesia Pintar), KIS (Kartu Indonesia Sehat), PKH (Program Keluarga Harapan), KKS (Kartu Keluarga Sejahtera), bedah rumah, dan Raskin/Rastra.

Ke Tanah Jawa

Minggu subuh, 13 Agustus 2017, aku berangkat ke Gadog, Bogor, Jawa Barat, untuk mengikuti Pelatihan Jurnalisme Warga Pekka (JWP). Aku terpilih mengikuti kegiatan Pelatihan JWP karena keaktifanku di kelas CO. Itulah kali pertama aku naik pesawat, jadi aku senang sekali. Utusan dari Sumatera Utara untuk mengikuti pelatihan ini ada empat orang: dua orang dari Asahan (Narti dan Fuji), dua lainnya dari Kota Tanjungbalai (aku dan Titin). 

Pelatihan digelar keesokan harinya, yakni Senin, 14 Agustus 2017. Tempat pelatihannya bernama Pusdiklat Altar Karya di Desa Suka Manah, Mega Mendung, Bogor. Seperti pelatihan yang diadakan Pekka lainnya, acara diawali dengan perkenalan. Satu per satu peserta menyebutkan nama, alamat, status pernikahan, dan hobi. Kami juga membuat kesepakatan waktu dan piket. Ada 25 peserta dari 25 kabupaten yang hadir dalam pelatihan ini.

Di hari pertama ini, kami mempelajari pengelolaan pengalaman perempuan dalam mengakses program perlindungan sosial melalui Jurnalisme Warga Pekka (JWP). Kami juga belajar menjadi jurnalis warga Pekka untuk meliput atau menganalisis dan mengumpulkan berita secara benar, seperti layaknya wartawan. Tujuannya adalah mendorong berjalannya sistem kemasyarakatan dan sosial yang adil gender melalui tulisan mengenai kegiatan yang dilakukan komunitas Pekka. Sepulang dari pelatihan, para peserta diwajibkan membuat buletin Pekka yang terbit setiap enam bulan.

Hari ke-4 pelatihan bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Kami mengadakan upacara peringatan Kemerdekaan, dan aku terpilih sebagai petugas pembaca teks Pembukaan UUD 1945. Di hari terakhir pelatihan diumumkan pemenang lomba penulisan, dan tulisan kelompokku yang berjudul “Kepemilikan BPJS” mendapat juara 2. Aku dan Fausiyah dari Sulawesi Utara, Saniah dari Sumatra Barat, Emay Humairoh dari Banten yang merupakan anggota kelompok tentu saja senang, karena mendapat hadiah. 

KLIK Pekka Perdana 

Serikat Pekka menggelar rapat bulanan yang diadakan pada Jumat, 25 Agustus 2017 di Aula Center Pekka Sumut, Jalan Lingkar Utara Sipori-pori. Rapat ini diikuti oleh Serikat Pekka Kota Tanjungbalai dan Serikat Pekka Asahan. Rapat ini membahas tentang KLIK Pekka yang akan diadakan di Jalan Kenanga lk.VIII, Sirantau Datuk Bandar kota Tanjungbalai, tepatnya di tempat kelompokku, Semelur. Acara dimulai dari pukul 09.00 WIB dan dihadiri beranggotakan 30 orang. Hasil dari rapat ini adalah rencana kegiatan selama 6 bulan ke depan. 

Ternyata, sepulang dari Gadog, aku menjadi penulis JWP pertama di kampungku sendiri. Aku juga ditunjuk menjadi panitia perencanaan dan persiapan KLIK Pekka, dan diskusi kampung. Persiapan KLIK Pekka membuatku mengenal beberapa orang di instansi-instansi pemerintahan. Ada dari DPRD, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan,Dinas Sosial, PKH, Catatan sipil dan kelurahan. 

Hasil dari KLIK PEKKA adalah rekapitulasi kasus yang kami kumpulkan dirujuk ke Dinas sosial dan kami menandatangi perjanjian kerjasama dengan Dinsos. Selain itu, aku sering menerima kunjungan dari anggota masyarakat di rumahku yang ingin berkeluh kesah mengenai permasalahan yang mereka hadapi. Aku jadi sering keluar masuk kantor instansi untuk mendampingi penyelesaian kasus, serta advokasi.

Akhirnya aku pun telah terbiasa menjadi JWP di setiap kegiatan, dan mendampingi masyarakat serta instansi-instansi di kota Tanjungbalai sebagai paralegal. Aku telah dikenal baik sebagai jurnalis dan paralegal. Aku bahkan bisa bertukar nomor telepon dengan orang-orang di instansi pemerintah. 

Selama persiapan KLIK, kami panitia menyikapi masalah dengan baik dengan cara duduk bersama dan ditengahi oleh Wali Amanah dan Pengawas Serikat waktu itu. Kami tidak pernah merasa kerepotan, karena kami sudah membagi tugas dengan baik. Acara KLIK ini diadakan pada 10 Januari 2018 dan dihadiri oleh lebih dari 200 orang. Ada 225 kasus yang didata dalam acara ini. Seluruh perwakilan dari instansi-instansi pemerintahan Kota Tanjungbalai datang dan mendukung penuh acara tersebut. Acara ditutup dengan foto bersama.

Menuai Hasil

Suamiku meninggal dunia pada tanggal 17 Februari 2022. Sekarang aku tidak lagi tinggal di rumah suamiku. Aku dan anak-anakku tinggal di rumah kontrakan yang letaknya tidak jauh dari rumah almarhum suami. Aku memilih lokasi ini untuk tempat tinggal karena letaknya dekat dengan sekolah anakku. Aku senantiasa bersyukur, karena aku masih diberikan kesehatan. 

Pada awalnya saat aku bergabung di Pekka, masyarakat berkomentar bahwa aku kurang kerjaan. Untuk apa aku mengurusi masalah orang, begitu kata mereka. Tetapi, setelah mereka melihat dan merasakan manfaat dari kerja-kerja Pekka, mereka berbalik mendukung penuh kegiatanku. 

Pekka juga sudah memberikan perubahan ekonomi untuk keluargaku. Selama berkegiatan, uang untuk biaya transportasi yang aku keluarkan diganti. Bahkan, apabila kita memfasilitasi, ada juga honor sebagai fasilitator dan pengganti makan siang. Terkadang ketika aku mendampingi warga, mereka dengan sukarela memberiku uang. Meski aku menolaknya, mereka bersikukuh untuk memberinya, dengan cara memberikan uang itu kepada anakku. Aku betul-betul merasa dihargai. Pekka telah membuatku berdaya, dan bermartabat sebagai perempuan.

 

Bagikan Cerita Ini

Cerita Terkait

Leave a Comment