Biarkan Aku Menjadi Lilin Yang Bisa Menyinari Bumi

 

Hujan lebat disertai petir menyelimuti kediaman Bapak Fajar dan Ibu Halimah Rabu sore, 21 Maret 1976. Saat itu, Ibu Halimah tengah menahan sakit luar biasa. Dia berjuang hidup demi dirinya dan bayi yang masih berada dalam perutnya. Ibu Halimah sedang dalam proses melahirkan anak ke-5, dibantu Hj. Mariatul Kiptiyah, bidan setempat. Hujan masih turun dengan derasnya, ketika bayi itu lahir dengan bobot 2 kg dan panjang badan 53 cm. Sang bayi keluar tanpa gerak dan tangis, sehingga dia dinyatakan meninggal dunia karena terlilit ari-ari.

Ibu Halimah tidak terima bayinya dinyatakan telah meninggal. “Seisi rumah menangis melihat kondisi bayi yang dilahirkan tidak bernyawa lagi, berharap akan ada suara tangis bayi lagi yang akan menambah suasana bahagia keluarga sederhana kami,” ungkap salah seorang kerabat yang menemani proses persalinan sang ibu. 

Bayi itu pucat pasi. Tidak memerah seperti bayi yang baru lahir. “Wes bueng ka tana bejik jiah. Mareh se apes bik sial norok se mateh kabbi (Sudah buang ke tanah bayi itu, biar apes dan sial ikut itu yang meninggal),” seorang sepupu dari orang tua bayi itu berkata.

Hanya dalam hitungan detik, bayi itu digeletakkan di tanah dengan anggapan perlakuan itu bisa membuang sial. Lima menit kemudian terjadi keajaiban. Allah berkehendak lain. Subhanallah. Sungguh kuasa Allah Maha Besar. Sang bayi yang terbaring kaku di tanah menangis dengan suara yang begitu keras. Oek…, oek…, oek. Semua yang berada di rumah itu terkejut sekaligus bahagia. Sang bayi telah hidup dari kematian. Bayi itu pun diberi nama: Hamimah.

 

Bergelut Kemiskinan Sejak Kecil

Kenyataan yang aku alami ketika lahir sama sekali tidak membekas pada diriku. Aku tumbuh menjadi anak yang sehat dan kuat. Pada tahun 1983, aku mulai bersekolah di SDN 1 Tanah Merah, dan melanjutkan pendidikan ke SMP Tanah Merah di tahun 1990. Aku tidak lagi bersekolah setelah lulus SMP di tahun 1993. Bapakku yang bekerja sebagai tukang becak tidak sanggup membiayai bila aku melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Penghasilan yang beliau dapat per hari hanya berkisar Rp 300,00 hingga Rp 700,00. Uang itu hanya cukup untuk membeli satu kilogram beras. 

Aku menyadari keadaan keluargaku yang serba kekurangan. Itulah sebabnya, aku mencoba bekerja walaupun aku masih sangat belia. Aku mulai bekerja serabutan ketika duduk di kelas tiga SMP. Mulai dari bekerja sebagai asisten rumah tangga, pengasuh anak, hingga membantu orang belanja ke pasar. Dengan melakukan semua itu, aku mendapat Rp 300 ribu per bulan. 

Untuk menambah pendapatan, aku menjual kerupuk rempeyek dari kampung ke kampung. Dengan berjualan seperti ini, aku bisa mendapatkan uang Rp 10.000 – Rp 15.000 per hari. Semua pekerjaan ini aku lakukan hingga sekarang. Aku tidak pernah mengeluh. Aku terus bergiat dan bersemangat mencari uang. Aku hanya berpikir bagaimana bisa membantu orang tua yang hanya berprofesi sebagai tukang pijat dan tukang becak. 

Dengan bekal pendapatan sendiri, aku mendaftar untuk ikut program pendidikan Paket C (setara SMA) para tahun 2008. Setelah lulus, aku mencoba mendapatkan pengalaman baru dengan melamar menjadi guru TK di RA Nur Achmad di Desa Baipajung, Kecamatan Tanah Merah, Kabupaten Bangkalan, Provinsi Jawa Timur. Senyum di wajah kedua orang tua dan rasa bangga mereka adalah motivasi terbesar bagiku untuk melakukan semua itu. Dua hal itu membuatku senantiasa bersemangat untuk maju. Hasil dari kerja kerasku bukan hanya untuk diriku, tetapi juga untuk kedua orang tuaku, keluarga, dan masyarakat.

 

Masa aku bergabung di Pekka

Aku berumur 47 tahun (2023), tinggal di belakang Puskesmas Tanah Merah Kabupaten Bangkalan. Pada tahun 2010 aku bergabung di kelompok Pekka. Sebelum gabung dengan Pekka aku hanya gadis desa yang tidak tau apa – apa, bisa dibilang bodoh, awam, takut bicara di depan umum. Aku tipe perempuan yang jarang keluar rumah, sampai untuk memiliki teman pun aku merasa takut, karena menurutku dengan status keluargaku yang miskin tidak akan mungkin ada orang yang mau berteman denganku. Aku anak tukang pijit dan tukang becak… naif sekali pikiranku saat itu.

Pemikiran naifku ini berubah hingga pada suatu hari, rumahku kedatangan tiga perempuan bernama Mbak Kholilah, Mbak Reni, dan Mbak Ida. Mereka datang ke Madura dengan tujuan membuka wilayah baru untuk kegiatan PEKKA (Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga), dan indekos di rumahku. Di hari pertama kedatangan mereka, aku mendengar pemaparan mengenai apa itu Pekka, dan apa yang akan dilakukan mereka bertiga selama di Madura. Aku hanya diam mendengarkan, seraya sambil mencerna satu per satu cerita yang mereka sampaikan.

Ketiga tamu ini kemudian memintaku untuk mengumpulkan perempuan di kampungku, agar bisa mendengarkan sosialisasi mereka tentang Pekka. Keesokan harinya, aku pun mengundang beberapa orang untuk datang ke rumahku. Namun, hingga pukul 16.45, hanya sembilan orang yang datang. 

Pertemuan dibuka langsung oleh teman-teman dari Pekka. Mereka menyampaikan semua hal mengenai Yayasan Pekka, mulai dari apa yang dimaksud dengan Pekka, visi dan misi Yayasan, tujuan membentuk kelompok, hingga kegiatan yang dilakukan. Alhamdulillah, semua ibu yang datang merasa tertarik dan bersedia untuk bergabung.

Pada hari itu juga kami membentuk kelompok Pekka pertama di Desa Tanah Merah Dajah, Kecamatan Tanah Merah, Kabupaten Bangkalan. Kelompok ini kami beri nama “Janur Kuning”. Banyak sekali pembelajaran dan ilmu yang aku dapatkan selama bergabung dengan kelompok ini.

Sebelum pertemuan diadakan, ada salah seorang warga berpesan kepadaku agar berhati-hati. Dia juga memintaku untuk tidak menceritakan kegiatan yang dilakukan pemerintah kepada Pekka, karena Pekka adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Menurut dia, LSM datang hanya untuk mencari-cari kesalahan dan meminta uang kepada pemerintah. Hal ini sudah sering dialami pemerintah desa, kecamatan, dan kabupaten. Saat itu aku kebingungan sendiri. Aku tidak mengerti apa yang harus aku ceritakan kepada ketiga tamuku nanti. 

Namun, semakin lama aku menjalani kegiatan bersama Pekka, anggapan itu semakin terkikis. Apalagi setelah aku sering dilibatkan dalam berbagai kegiatan, misalnya pembentukan kelompok baru, kunjungan-kunjungan ke pemerintah setempat, juga advokasi dan sosialisasi ke desa-desa di Kecamatan Tanah Merah, Kabupaten Bangkalan.

Ada tiga kegiatan Pekka yang aku ikuti yang membekas dalam diriku. Kegiatan pertama adalah yang diadakan pada tanggal 2 Desember 2011, yakni Pelatihan Pengembangan Kepemimpinan Kepala Keluarga. Kedua adalah Pelatihan Pendataan Sistem Pemantauan Kesejahteraan Berbasis Komunitas (SPKBK) yang dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 9 Maret 2012. Ini adalah kali pertamaku pergi ke luar pulau Jawa, juga naik pesawat terbang. Rasa senang, bangga, sekaligus takut bercampur menjadi satu dalam benakku.

Kegiatan yang ketiga adalah ketika aku kembali dikirim ke Jakarta untuk mengikuti Semiloka Nasional: Akta Kelahiran Hak dan Keadilan Setiap Anak Indonesia pada tanggal 12 Desember 2012. Untuk acara ini, setiap provinsi mengirim 2 kader Pekka dan wakil dari Pengadilan Agama tingkat kabupaten. Kegiatan ini dilaksanakan di Hotel Santika, Jakarta.

Berbekal ilmu yang aku pelajari dalam berbagai pelatihan, aku jadi bisa mendampingi masyarakat dalam membuat dokumen identitas diri seperti Kartu Keluarga, Kartu Tanda Penduduk, Akta Kelahiran, juga Surat Nikah. Pendampingan yang aku lakukan membuatku bisa mengenal pejabat pemerintah secara langsung, di antaranya adalah Kepala Pengadilan Agama dan Kepala Pengadilan Negeri Kabupaten Bangkalan.

Kegiatan lain yang aku lakukan bersama Pekka adalah sosialisasi dan advokasi ke Pengadilan Agama, terkait akses isbat nikah dengan cara pro deo, yakni berpekara secara gratis ke Pengadilan Agama Kabupaten Bangkalan. Alhamdulillah, advokasi yang kami lakukan menghasilkan kerjasama dengan Pengadilan Agama Kabupaten Bangkalan. Pekka pun mendapat kuota 100 kasus dengan cara pro deo di Pengadilan Agama dalam waktu satu tahun. 

Agar masyarakat miskin bisa mengakses isbat nikah dengan biaya terjangkau, sebagai tindak lanjut advokasi ke pemerintah kabupaten, kami mulai mencobanya di salah satu desa yang sudah ada kelompok Pekka, yakni Desa Batangan, Kecamatan Tanah Merah, Kabupaten Bangkalan. Caranya adalah dengan mendorong pemerintah desa untuk menganggarkan dana isbat nikah secara prodeo bagi warga yang tidak mampu. Dana tersebut bisa diambil dari Anggaran Dana Desa (ADD).

Aku bersyukur, Kepala Desa Batangan sangat kooperatif dalam menanggapi usulan kami. Selang beberapa bulan, Pekka bersama Pengadilan Agama dan pemerintah desa melakukan Sidang Keliling untuk melakukan pelayanan sidang kepada masyarakat tidak mampu. Acara ini diadakan di Kantor Desa Batangan. 

Tanggal 28 November 2013 Pekka Kab. Bangkalan Provinsi Jawa Timur mendapat penghargaan dalam kegiatan “Kesehatan Pekka Terinovatif (Posyandu Lansia)” yang sering kami lakukan di kelompok Pekka dan kami bekerja sama dengan puskesmas tanah merah Dajah, Kec. Tanah Merah Kab. Bangkalan.

Tahun 2013 Serikat Pekka Kabupaten Bangkalan mengadakan Forwil (Forum wilayah), yang dihadiri semua kader Pekka yang ada di Kabupaten Bangkalan, tokoh masyarakat, tokoh adat, dan pemerintahan desa, kecamatan serta kabupaten. Agar Forwil berjalan dengan lancar banyak hal yang harus kami persiapkan untuk mendukung kegiatan ini.

Tidak ada kata terlambat untuk belajar. Begitu semboyan hidupku. Di tahun 2015, aku termotivasi untuk kembali bersekolah. Aku akan kuliah, menggapai cita-citaku yang dulu kandas. Untuk mewujudkannya, aku menabung sedikit demi sedikit. Aku sisihkan uang yang aku peroleh dari biaya transportasi yang diberikan kepadaku untuk kegiatan Pekka, juga dari gajiku sebagai pengasuh anak. Aku pun berhemat. Setiap pengeluaran aku hitung secara ketat.  

Sampai akhirnya aku berhasil memperoleh gelar Sarjana (S1). Aku bangga sekali. Anak seorang tukang pijat dan tukang becak bisa menjadi sarjana. Dengan ijazah sarjana di tangan, aku mulai mengajar di sebuah Taman Kanak-Kanak. Untuk melengkapi keahlianku, aku mengikuti Workshop Sosialisasi dan Implementasi Kurikulum 2013 Raudhatul Athfal yang diselenggarakan oleh Ikatan Guru Raudhatul Athfal (IGRA) Kabupaten Bangkalan pada tanggal 13 April 2016.

Aku kembali mendapat kepercayaan untuk mengikuti beberapa pelatihan yang difasilitasi oleh Seknas Pekka. Di antaranya adalah Pelatihan Pengolahan Pengalaman Perempuan dalam Mengakses Program Perlindungan Sosial, Akademi Paradigta tahun ajaran 2017, Pelatihan Lokakarya Jurnalis Warga Pekka: Menulis Pengalaman (Mengorganisir KLIK PEKKA). Semakin banyak aku mengikuti pelatihan dari Pekka, aku semakin jatuh hati pada organisasi ini. Semakin banyak ilmu dan pengalaman yang aku dapat.

Setelah aku mengikuti beberapa kali pelatihan Jurnalis Warga Pekka (JWP) aku mulai suka menulis dan bercerita tentang semua kegiatan maupun kejadian yang terjadi di kelompok pekka dan Masyarakat. 

Transformasi dalam Diri

Perlahan tapi pasti, diriku semakin berubah menjadi lebih baik setelah bergabung dengan Pekka. Bila menengok ke masa lalu, aku adalah perempuan pemalu yang takut salah bila berbicara di depan orang banyak. Sekarang, aku sudah berani berbicara di depan umum, berani mengutarakan pendapat ketika diundang di forum-forum desa, dan bisa membantu masyarakat. Aku juga berkesempatan mengenal banyak pejabat pemerintahan, mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten, dan provinsi. Aku bahkan bisa mengobrol secara langsung dengan Ketua Penggerak PKK Kabupaten Bangkalan, yang juga istri Bupati Bangkalan. Semua itu aku anggap sebagai rezeki dari Allah yang luar biasa. Bagiku, bisa dekat dengan pejabat daerah adalah sebuah kebanggaan tersendiri.

Tentu saja, semua keberhasilan itu tidak mudah untuk aku raih. Banyak tantangan dan hambatan yang aku hadapi, seperti fitnah dan terhadap apa yang aku lakukan. Tudingan negatif itu muncul karena aku sering pulang malam setelah melakukan kunjungan kelompok dan perluasan wilayah Pekka ke tempat yang lokasinya cukup jauh dari rumah. Sebagian orang beranggapan aku keluar malam untuk jalan-jalan bersama suami orang. Sebagian yang lain mengira aku keluar seharian untuk menjajakan diri. Tidak sampai di situ. Ketika aku harus menjalani operasi untuk mengangkat kista dari rahimku pada tahun 2016, ada yang menganggap aku hamil di luar nikah dan operasi yang aku lakukan adalah untuk menggugurkan kandungan. Aku tentu saja merasa sakit hati mendengar omongan miring tersebut. Namun, aku hanya bisa bersabar dan bertawakal. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk membuktikan bahwa semua omongan miring itu tidak benar. Semua hal buruk yang aku hadapi hanyalah motivasi agar aku semakin bergerak maju dan berjuang bersama Pekka.

Salah satu hambatan terberat yang aku hadapi dalam hidup adalah penyakit kista. Setelah diangkat pada tahun 2016, aku mengira kista dan miomku tidak akan tumbuh lagi. Namun, kenyataannya adalah aku harus merasakan sakit yang luar biasa setiap kali datang bulan, meski telah menjalani operasi. Dokter kandungan yang memeriksaku menyarankan agar rahimku diangkat, karena setelah menjalani pemeriksaan melalui USG, ternyata miomku tumbuh lagi dan membesar. 

Aku terkejut dan sedih sekali. “Ya Allah, cobaan apa lagi ini?” jeritku dalam hati. Aku hanya bisa menangis mendengar ucapan dokter yang memeriksaku. Bagiku, rahim adalah satu-satunya harta yang dimiliki perempuan. Apalagi yang bisa aku banggakan kalau aku harus membuang rahimku?

Di sela tangisku, dokter mengatakan, “Jika Mbak nggak mau angkat Rahim, Mbak cepet nikah saja”, ujarnya. Akupun menjawab, “Dok….. menikah tidak segampang membalikkan telapak tangan, nikah bukan untuk sehari atau dua hari, dan apakah ada yang mau menikah dan menerima keadaanku saat ini, mungkin cukup sulit bagiku Dok“, gerutuku. Dokter itu pun menggelengkan kepala mendengar penuturanku. 

Dokter itu lalu memberi obat penghilang rasa nyeri. Untuk itu, aku harus mengeluarkan uang sekitar Rp. 300.000 – Rp. 400.000 untuk membeli obat setiap bulan. Untuk mendapatkan uang sejumlah itu aku harus tetap bekerja. Aku lakukan apa pun, asal pekerjaan itu halal dan bisa menghasilkan uang untuk biaya berobat. Di masa pandemi Covid-19 ini, aku merasakan beban yang sangat luar biasa karena aku tak bekerja tapi aku harus tetap beli obat, yang memang sudah menjadi kebutuhanku saat ini. 

 

Selain menambah pengalaman dengan mengikuti kegiatan Pekka, di Pekka juga aku bertambah saudara dari 20 provinsi. Bagiku ini suatu kesempatan besar untuk bisa berkembang dan maju ketika aku berada di Pekka. Aku setuju dengan beberapa pepatah yang mengatakan di balik kesulitan ada kemudahan, di balik kesedihan ada kebahagian, di balik kesuksesan ada doa ibu yang menyertai langkah kita.(Kodar/Lits)

 

Bagikan Cerita Ini

Cerita Terkait

Leave a Comment