Bunggong Jeumpa yang Pantang Menyerah

Menjadi yatim sejak kecil, bekerja sebagai TKI, menderita kanker payudara, hanyalah sedikit dari liku kehidupan yang aku jalani. Pekka memungkinkanku untuk semakin kuat untuk pantang menyerah.

Aku sudah menjadi anak yatim ketika usiaku belum lima tahun. Saat itu, di suatu hari di tahun 1980, ayahku meninggal dunia. Aku belum bisa mengenang sosok Ayah, karena beliau wafat saat usiaku masih  empat tahun. Namun, aku benar-benar kehilangan beliau. Semasa hidupnya, Ayah berjualan ikan dengan berkeliling kampung, juga bertani di sawah. Sepeninggal Ayah, Ibu menjadi tulang punggung keluarga. Beliau bekerja sebagai buruh tani dan menjual kue basah yang beliau buat sendiri ke warung-warung yang ada di desa kami.

Aku bernama Idawati. Terlahir sebagai anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Bapak M. Hasan dan Ibu Saudah Ahmad  pada tahun 1975. Kami tinggal di Desa Dayah Kumba, Kecamatan Mutiara Timur, Kabupaten Pidie, Daerah Istimewa Aceh.

Kakek memasukkanku ke sekolah dasar bersama dengan pamanku, adik bungsu Ibu, yang seusia denganku. Selama aku bersekolah, Ibu yang membiayai. Hampir setiap hari, Ibu, dibantu Kakak, bangun pukul 3 dini hari untuk membuat kue. Mereka baru membangunkanku pukul 6 pagi untuk menghitung kue yang akan dititipkan di beberapa warung. Aku yang bertugas mengantarnya, yakni setiap pukul 7 pagi. Setelah semua kue dagangan selesai aku antar, baru aku berangkat ke sekolah. Aku tamat SD di tahun 1987 dan meneruskan ke SMP Negeri Blang Malu. Tiga tahun kemudian aku lulus dan melanjutkan pendidikanku ke SMA Beureunun. 

Untuk membantu Ibu mencari uang, aku menitipkan kue buatannya di kantin sekolah. Berbeda dengan teman-temanku yang bisa jajan di kantin, aku tidak pernah punya uang untuk membeli makanan. Namun aku tidak memedulikan hal itu. Hari demi hari aku lalui bersama Kakak dan Ibu. Alhamdulillah, Kakak bisa menyelesaikan pendidikannya di SMA pada tahun 1991. Aku menyusulnya dua tahun kemudian.

 

Menjadi TKI

Aku tidak bisa meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi setelah lulus SMA. Oleh karena itu aku mencoba melamar pekerjaan sebagai pencari nasabah di Asuransi Jiwasraya, dan diterima. Sayang, aku hanya bisa bertahan bekerja di perusahaan itu selama satu tahun, karena aku tidak bisa mencapai target jumlah nasabah yang harus aku dapat. Di tahun 1995, ada agen resmi pengurusan TKI ke Malaysia yang berkantor di Kota Mini Beureunun, Pidie. Agen ini merupakan cabang dari kantor yang berlokasi di Medan, bernama PT Wirakaritas. 

Aku tertarik melamar untuk bekerja sebagai TKI di Malaysia karena aku ingin mengambil alih tanggung jawab Ibu yang sudah semakin tua. Selain itu, aku membutuhkan pekerjaan agar bisa mendapatkan uang yang akan aku gunakan untuk mengobati penyakit yang aku derita. 

Sudah lama aku menyadari ada benjolan yang tumbuh di payudara kiriku. Benjolan ini pertama kali aku ketahui ketika aku masih duduk di kelas 3 SMP, ketika sedang mandi. Aku periksakan kondisi ini ke dokter, yang mendiagnosa benjolan itu sebagai tumor tidak ganas. Selama tiga bulan aku harus mengkonsumsi obat-obatan herbal. Pengobatan alternatif ini aku pilih setelah sebelumnya berobat ke rumah sakit yang membuat aku harus dioperasi. Untuk membayar biayanya, Ibu terpaksa menjual dua bidang tanah. Namun, kedua cara ini tak kunjung menghilangkan benjolan itu. 

Aku memenuhi persyaratan administrasi untuk bekerja sebagai TKI. Namun, setelah melakukan cek kesehatan di Rumah Sakit Fakinah, Banda Aceh, agen yang mengurusku mengatakan bahwa aku tidak bisa lolos karena kondisi kesehatanku. Tetapi aku memohon kepada agen tersebut agar aku bisa diloloskan untuk berangkat menjadi TKI karena aku benar-benar membutuhkan pekerjaan. Aku menjelaskan kondisi keluargaku, bahwa aku berasal dari keluarga miskin dan membutuhkan uang untuk bisa berobat. Kondisi ini yang mendorongku untuk menjadi TKI. Agen tersebut pun luluh hatinya, dan meloloskan aku untuk berangkat.

Pada tahun 1996, aku berangkat ke Malaysia. Bekerja di sebuah pabrik plastik sebagai operator mesin, pabrik yang bernama Lee Huat yang dimiliki oleh warga negara Malaysia etnis Cina. Pabrik yang memproduksi tempat makanan dan mainan anak-anak, yang akan dieskpor ke Amerika dan Australia. Selama satu tahun aku sebagai operator. Setelah itu, aku diangkat menjadi leader di bagian pemakingan, yang dalam bahasa Indonesia berarti pengepakan.   

Setelah bekerja selama dua tahun, aku mengalami demam tinggi sampai harus dilarikan ke klinik yang bekerjasama dengan perusahaan tempat aku bekerja di lokasi Kepong, Menjalara, Malaysia. Aku sudah lupa apa nama kliniknya. Dokter yang memeriksa keadaanku di klinik tersebut merujukku untuk diperiksa di rumah sakit terbesar di Kuala Lumpur karena fasilitas di klinik tersebut terbatas. 

Setelah satu bulan menjalani pemeriksaan, dokter Sarah, seorang warga negara Malaysia keturunan India yang merupakan dokter yang menanganiku, menyatakan ada 12 benjolan di kedua payudaraku. Dokter Sarah adalah seorang spesialis kanker payudara yang praktik di rumah sakit tempat aku dirawat ini. Aku terpaksa menjalani operasi pengangkatan benjolan. Operasi pertama dilakukan pada Desember 1998. Ada enam benjolan yang diangkat dalam operasi itu. 

 

Menembus Barikade Konflik

Satu bulan setelah menjalani operasi aku mendapat cuti untuk pulang ke Aceh. Pada masa itu Aceh sedang dilanda konflik. Aku dijemput Ibu di Bandara Polonia Medan. Begitu bertemu denganku, Ibu langsung bercerita bahwa dalam perjalanan menuju Aceh, kami akan menemui dua pemeriksaan yang dilakukan TNI, untuk mengetahui apakah ada anggota GAM yang berada di dalam bus. Pos pemeriksaan itu berada di wilayah Aceh Utara dan Aceh Timur. Ibu juga mendengar kabar, orang yang diketahui baru pulang dari Malaysia akan diturunkan dan ditanya, apa tujuannya pergi ke Malaysia. 

Berdasarkan kabar tersebut, Ibu memintaku untuk membersihkan segala tempelan yang bertuliskan Kuala Lumpur dan Malaysia yang ada di tas atau barang bawaanku. Ibu juga berpesan agar aku menjawab bahwa kami baru pulang dari Medan, bila nanti ditanya petugas saat pemeriksaan. Agar aman, aku terpaksa menyembunyikan pasporku di celana dalam. Bila petugas tahu aku baru datang dari Malaysia, aku bisa dicurigai sebagai orang GAM, atau yang biasa disebut inong Balee.

Benar kata Ibu. Bus yang kami tumpangi diberhentikan di suatu tempat di wilayah Aceh Timur. Aku tidak tahu, apakah yang memeriksa kami adalah GAM atau TNI. Mereka sama-sama mengenakan seragam tentara. Seluruh penumpang diperiksa dan ditanya hendak pergi ke mana. Seorang penumpang dicurigai, sehingga diminta untuk turun dari bus. Setelah itu bus diperbolehkan untuk meneruskan perjalanan. Satu pemeriksaan lagi terjadi di Lhokseumawe, Aceh Utara. Alhamdulillah, kali ini tidak ada penumpang yang dicurigai dan dalam beberapa jam Ibu dan aku sudah sampai di rumah.

Aku benar-benar menikmati masa cutiku di rumah bersama Ibu dan  Kakak yang saat itu tinggal serumah dengan Ibu. Kakakku mengalami gangguan jiwa dan ditinggal suaminya untuk menikah lagi. Sampai akhirnya Ibu menjemput Kakak untuk dirawat dan diobati. Setelah 8  tahun menikah, kakakku dikaruniai seorang anak perempuan berusia sekitar 7 tahun dan tinggal bersama Mak Cik (adik ayah) di Desa Tongweng – Pidie, karena tidak cocok dengan  ibu tirinya. 

Ketika mengalami gangguan jiwa, kakakku sedang mengandung anak keduanya. Pada waktu itu, usia kandungannya baru dua bulan. Setelah 3 bulan melahirkan anak keduanya, alhamdulillah, kakakku sembuh. Selama satu tahun kakakku sakit, aku yang menanggung biaya pengobatan dan biaya melahirkan. Aku juga  menanggung biaya semua kebutuhan bayinya seperti susu formula, karena kakakku tidak bisa menyusui bayinya saat itu. Seluruh uang untuk memenuhi kebutuhan itu aku kirim dari Malaysia.

Setelah sembuh, kakakku mengikuti tes CPNS dan lolos menjadi guru SD di SD Kareng Tiro. Satu tahun bekerja sebagai guru, mantan suaminya menceraikan istrinya, dan minta rujuk kembali dengan kakakku. Ibu sempat tidak merestui permintaan rujuk ini, karena Ibu khawatir kakakku akan mengalami ganguan jiwa lagi, dan ditinggalkan kembali oleh suaminya. Namun karena kakakku memikirkan anak-anaknya. Alhamdulillah, mereka berdua hidup rukun bersama dan bahagia. 

Beberapa pekan aku tinggal di Aceh, untuk kemudian kembali lagi ke Malaysia. Baru dua minggu aku bekerja, aku harus masuk rumah sakit lagi untuk menjalani operasi kedua. Enam benjolan lagi yang harus diangkat dari payudaraku. Dokter menyatakan aku sudah sembuh setelah operasi kedua ini. Separuh dari biaya pengobatanku ditanggung oleh perusahaan tempatku bekerja. 

Aku terikat kontrak untuk bekerja di Malaysia selama lima tahun. Ketika kontrak kerjaku habis di tahun 2000, aku masih ingin bekerja dan meminta untuk bisa bekerja satu tahun lagi. Namun, peraturan dari Kerajaan Malaysia mengharuskan tenaga kerja asing yang telah tinggal lebih dari 5 tahun di Malaysia untuk menjadi warga negara Malaysia. Jadi aku harus pulang dulu ke Indonesia dan membuat paspor yang baru. Setelah selesai, aku baru bisa kembali ke Malaysia tanpa harus menjadi warga negara Malaysia. 

 

Pernikahan Melalui Perjodohan

Sayang, begitu aku pulang ke Aceh, Ibu menyuruhku menikah dengan salah seorang kerabatnya. Kami terikat tali persaudaraan yang cukup jauh. Calon suamiku adalah anak dari kakaknya Nenek, ibu dari ibu saya. Perjodohan ini bertujuan untuk menyambung tali silaturahim, juga agar aku bisa membangun keluarga yang baik. 

Aku tidak sanggup menolak permintaan Ibu. Jadilah, aku menikah dengan Ahmadi, laki-laki pilihan Ibu pada 2001. Baru setelah tiga tahun menikah, kami dikaruniai anak. Anak pertama kami, laki-laki, lahir pada 1 Februari 2004. Dia kami beri nama Tusyar Radd Nadi. 

Ketika bayiku baru berusia 10 bulan, gempa bumi dan tsunami terjadi di Aceh. Saat itu, aku sedang mengandung anakku yang kedua. Usia kandunganku sudah mencapai delapan bulan. Alhamdulillah, seluruh keluargaku terlindungi dari bencana tsunami tersebut karena kami tinggal di rumah ibuku yang terletak di Kampung Dayah Kumba. Kebetulan, saat tsunami terjadi, suamiku sedang bersama kami. Sayangnya, kios tempat usaha suamiku di Banda Aceh hancur. Anak keduaku lahir dua bulan setelah tsunami, yakni pada tanggal 2 Februari 2005.

Sebelum menikah, suamiku telah lima tahun menjalankan usaha di Banda Aceh, tepatnya di Kampung Baru. Dia menyewa kios kecil untuk usaha obras kain perca, kerudung, taplak meja, dan tirai yang dikirim oleh warga yang menjual kerajinan seperti itu. Setelah menikah, dia tinggal sendiri di Banda Aceh, sementara aku dan anak-anak tinggal di Kampung Dayah Kumba bersama Ibu. Setiap bulan aku mengunjungi suamiku di Banda Aceh. Namun, kadang-kadang suamiku yang pulang ke Dayah Kumba. 

Suamiku baru memiliki empat mesin obras dan renda. Setelah 1,5 tahun menikah, modal usaha kami bertambah sehingga kami mampu menyewa toko dua lantai, dan menambah mesin obras dan renda hingga 8 mesin jumlahnya. Kami juga berencana untuk mengembangkan usaha dengan menjual kain, resleting, kancing, serta bahan baku jahit menjahit lainnya. 

Belum sempat kami memulai bisnis yang kami kembangkan ini, tsunami menerjang. Habislah semua modal usaha yang telah kami kumpulkan. Kerugian yang kami derita mencapat Rp 50 juta. Toko rata dengan tanah, barang-barang kami habis tanpa sisa. Kami pun tidak bisa menjalankan usaha, modal kami habis sama sekali. Sudah tidak mungkin lagi meminta pemilik toko untuk mengembalikan uang yang sudah kami bayarkan. Dia dan keluarganya tewas diterjang tsunami. Namun, aku tetap berprasangka baik kepada Allah. Mungkin bila suamiku tidak datang menengok kami di kampung, dia akan tewas diterjang tsunami.

Suami akhirnya memutuskan tinggal bersamaku dan Ibu. Tiga bulan dia membantu menggarap sawah yang aku sewa. Kemudian suamiku dijemput seorang sepupunya yang meminta suamiku untuk bekerja di toko sembako miliknya. Toko itu terbilang besar dan ramai, terletak di Desa Peniti, Banda Aceh. Salah satu lokasi yang tidak terkena bencana tsunami. Selama bekerja di sana, suamiku pulang setiap dua bulan untuk menengok kami.

 

Bertemu dengan Pekka

Desa tempatku tinggal, Desa Dayah Kumba, kedatangan seorang pendamping lapang Pekka, Bapak Muhammad, pada tahun 2001. Beliau datang untuk mengajak ibu-ibu janda berkelompok. Sebagian menerima ajakan beliau, sebagian menolak. Mereka yang menerima ajakan Bapak Muhammad berhasil membentuk kelompok Pekka di desa kami, dengan nama Kelompok Sepakat. Ibuku, Saudah, terpilih menjadi ketua. Selain Ibu, Ibu Nurhasanah terpilih sebagai sekretaris dan Aisyah sebagai bendahara.

Meskipun pada waktu itu aku belum menjadi anggota, tetapi aku sudah membantu Ibu mengisi buku-buku kelompok. Pada waktu itu aku berpikir, aku tidak bisa ikut menjadi anggota Pekka karena aku bukan janda. Aku berpegang pada kata-kata Bapak Muhammad, bahwa ibu-ibu yang memiliki suami tidak bisa menjadi anggota Pekka, dan kelompok Pekka dikhususkan bagi ibu-ibu yang sudah menjadi janda. Padahal, aku berharap sekali bisa menjadi anggota Pekka.

Tidak lama setelah kelompok ini terbentuk, Seknas Pekka memberikan modal usaha yang disebut dana usaha (UEP: Usaha Ekonomi Perempuan) sebesar Rp 20 juta. Sebelum dana ini cair, Pak Muhammad mengadakan pertemuan dan mengatakan bahwa dana ini adalah milik ibu-ibu Pekka Desa Dayah Kumba. Kabar tentang dana ini sampai ke telinga orang GAM. Mereka mendatangi salah seorang pengurus kelompok untuk meminta bagian dari dana bantuan tersebut. Siang malam mereka mendatangi rumah pengurus kelompok secara bergantian. Hingga ketika dana itu cair, dua orang perempuan datang ke rumahku pada pukul 8 malam. Mereka mengetahui bahwa Ibu adalah ketua kelompok Pekka di desa kami. Ibu menyerahkan uang sebesar Rp 4 juta kepada mereka. Sisa dari dana UEP tersebut, yang berjumlah Rp 16 juta,  kemudian dibagikan kepada para anggota kelompok.

 

Menjadi Kader Pekka

Setelah lima tahun hanya membantu Ibu mengurus kelompok,  aku memutuskan untuk menjadi anggota kelompok Pekka pada tahun 2006. Sebelumnya, aku tidak mendapat informasi bahwa seorang perempuan boleh bergabung dengan Pekka, apabila suaminya merantau. Terlebih lagi, aku bukan satu-satunya perempuan yang ditinggal merantau oleh suaminya. Banyak perempuan di desaku mengalami hal yang sama. Keadaan ini membuatku mememandang statusku sebagai hal yang biasa. Masyarakat di desa tempatku tinggal tetap menghargai kami, dan tidak memberi pandangan negatif pada kami. 

Setelah menjadi anggota, aku mengikuti beberapa pelatihan, seperti Pelatihan Visi, Misi, dan Motivasi Berkelompok, Kepemimpinan, dan Pembukuan. Lalu di tahun 2006 ini pula, aku mengikuti Musrembang di kantor kecamatan. Perwakilan dari desaku hanya empat orang; dua laki-laki dan dua perempuan. Perwakilan ini dipilih langsung oleh Kepala Desa Dayah Kumba. Ini adalah pengalaman pertamaku ikut Musrembang, dan membuatku tersadar kalau perempuan harus terlibat langsung dalam pembangunan desa. 

Hasil dari Musrembang ini adalah pembentukan klaster pendanaan desa yang disebut PPK (Program Pembangunan Kampung). Camat Mutiara Timur juga memutuskan bahwa dalam melaksanakan pendanaan untuk pembangunan Desa Rambong dan Desa Dayah Kumba harus memilih dua orang kader untuk disertakan dalam kepengurusan. Satu minggu setelah Musrembang, diadakan pertemuan desa dan  keputusan Pak Camat ini kemudian dimusyawarahkan dalam pertemuan tersebut, yang diadakan di Desa Rambong. 

 

Anggaran Desa dan KPMD

Ibu, yang juga menghadiri Musrembang, tidak dapat menghadiri rapat di Desa Rambong. Aku lalu hadir menggantikan Ibu. Ternyata, aku adalah satu-satunya perempuan yang hadir, sehingga aku yang terpilih sebagai KPMD (Kader Pemberdaya Masyarakat Desa) untuk mewakili perempuan. Perwakilan laki-laki yang ditunjuk adalah Bapak Burhan dari desa Rambong.

Sejak saat itu aku mulai aktif berkegiatan di desa, dan mendapatkan honor sebesar Rp 150 ribu per bulan. Aku jadi banyak belajar dan mulai bisa memahami bagaimana sistem pemerintahan di desa. Selain itu aku juga banyak mendapat peningkatan kapasitas melalui pelatihan-pelatihan yang aku ikuti di Pekka. Banyak kegiatan desa yang aku ikuti, seperti musyawarah desa di tahun 2006 yang memutuskan usul irigasi persawahan. 

Untuk hadir dalam sistem peringkat di kecamatan, Kepala Desa memilih enam perwakilan –  tiga laki-laki dan tiga perempuan. Sistem peringkat ini diberlakukan untuk seluruh Kecamatan Mutiara Timur, dan desa kami kalah dalam pemungutan suara. Dengan demikian, tidak ada kegiatan pembangunan di desa kami pada tahun 2006. Desa kami harus menyediakan pendanaan sendiri untuk membangun irigasi. 

Desaku kembali membuat usulan untuk sistem peringkat, atau yang biasa kami sebut perengkingan, di kecamatan pada tahun 2008. Kali ini yang diusulkan adalah pembangunan rabat beton. Sayang, lagi-lagi kami gagal karena ada syarat administrasi yang tidak lengkap. Baru di tahun 2009 desa kami bisa mendapat anggaran pembangunan, itu pun setelah kami tidak lagi bergabung dengan Desa Rambong dalam usulan pendanaan. 

Pada tahun itu, pemerintah desa mengadakan musyawarah desa karena KPMD harus dipilih kembali. Lagi-lagi aku terpilih, kali ini bersama perwakilan laki-laki bernama Nurdin Noob. Tahun 2013 aku mengundurkan diri. Tujuh tahun sudah aku menjadi KPMD, lelah juga rasanya. Seusai bertugas sebagai KPMD, masyarakat desa seperti tidak mau melepasku. Aku diangkat menjadi kader PKK. Posisi ini tetap membuatku aktif berkegiatan, namun tidak terlalu sibuk seperti ketika masih bertugas sebagai KPMD. Sekarang, aku bisa lebih aktif dalam mengelola kelompok Pekka Sepakat.

 

Menjadi Kader Paralegal

Fazriah, seorang fasilitator lapang yang biasa dipanggil Aji, menunjuk aku sebagai kader paralegal karena aku dianggap berani dan terbiasa berhadapan dengan masyaraat desa sehingga aku dipandang amampu mendampingi msyarakat yang membutuhkan pendampingan hukum. Selain itu, aku juga pernah mengikuti Pelatihan LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa)  selama 1 minggu di komplek SLB di Desa Bambi, Kota Sigli ketika aku berusia berusia 19 tahun, dan aku mendapat sertifikat dari pelatihan tersebut. 

Kasus pertamaku setelah diangkat menjadi kader paralegal adalah mendampingi isbat nikah pada awal tahun 2021. Orang yang aku damping saat itu kebetulan adalah anggota Pekka bernama Ibu Risna Afrina. Ketika itu, Ibu Risna Afrina hendak membuat Akta Kelahiran untuk anaknya yang ketiga. Namun, petugas di Disdukcapil mengatakan Buku Nikah miliknya palsu. Petugas tersebut mengecek kesahihan data di Buku Nikah milik Bu Risna, dan memang datanya tidak ada, sehingga dikatakan palsu. Kami bingung, kenapa baru kali ini Disdukcapil menyatakan bahwa Buku Nikah Ibu Risna palsu, padahal pada saat pembuatan Akta Kelahiran anak yang pertama dan kedua tidak ada masalah. Hal kedua yang membuat kami bingung adalah mengapa Buku Nikah yang dikeluarkan oleh KUA Kecamatan Mutiara Timur bisa dikatakan palsu oleh Disdukcapil Kota Sigli. 

Bu Risna lalu mendatangi KUA Kecamatan Mutiara Timur, tempat dia menikah, untuk pengecekan Buku Nikah dan bertanya mengapa sampai bisa dikatakan palsu oleh Disdukcapil. Petugas KUA pun mengecek dan ternyata memang palsu. Buku Nikah tersebut kemudian tersebut ditarik oleh KUA, dan Bu Risna diberi surat keterangan bahwa betul Ibu Risna telah menikah dan pernikahannya terdaftar di KUA Kecamatan Mutiara Timur. Aku dan Bu Risna mendatangi Mahkamah Syariah untuk mencari tahu cara isbat nikah dan persyaratannya, agar Bu Risna kembali bisa memiliki Buku Nikah. 

Setelah kami berhasil mendapat informasi mengenai isbat nikah di kantor Mahkamah Syariah, Ibu Risna berpikir untuk langsung mendaftarkan isbat nikah yang hendak dia ajukan agar tidak bolak-balik, karena jarak yang kami tempuh untuk sampai ke Mahkamah Syariah sudah langsung. Beruntung, dokumen persyaratan yang diminta sudah lengkap. 

Petugas yang melayani meminta kami untuk membayar formular sebesar Rp 50 ribu. Selain itu, kami diminta membayar biaya isbat nikah sebesar Rp 220 ribu yang harus ditransfer ke rekening Mahkamah Syariah. Karena awalnya kami hanya berniat mengumpulkan informasi, Ibu Risna tidak membawa uang dalam jumlah besar. Sama halnya denganku, yang hanya membawa uang untuk biaya transportasi. Namun kami tetap membayar biaya pendaftaran, sehingga uang kami hanya tersisa Rp 5 ribu. Kami kebingungan karena perut kami keroncongan. Kami belum makan sejak pagi.

Akhirnya kami mencoba mencari saudara yang tinggal di dekat kantor Mahkamah Syariah, sekadar untuk menumpang salat Dzuhur serta berharap ditawari makan siang. Alhamdulillah, harapan kami untuk mendapat makan siang gratis terwujud.

Dua pekan setelah mendaftar, Bu Risna mendapat surat panggilan untuk melakukan isbat nikah dengan membawa dua orang saksi. Akhirnya, Buku  Nikah bisa diperoleh Bu Risna tiga hari setelah isbat nikah. 

Biaya kader dalam  melakukan pendampingan  untuk kegiatan hukum ini didanai oleh program AIPJ  (Australia Indonesia Partnership for Justice), namun untuk biaya isbat ditanggung oleh masyarakat yang melakukannya. Isbat Nikah  digelar di Gedung Coklat Kecamatan Mutiara Timur, Kabupaten Pidie. 

Setelah melihat keberhasilanku dalam mengurus isbat nikah dalam kegiatan ini, masyarakat sudah mulai mempercayaiku dalam mengurus identitas diri. Mereka datang kepadaku untuk mengurus Akta Kelahiran, KTP, dan KK. Aku akan membantu dengan senang hati tanpa meminta imbalan atau memungut biaya.

 

Saatnya Perempuan Memimpin

Wawasan dan pengetahuan yang aku dapat dari berbagai pelatihan yang diselenggarakan Pekka, juga dorongan dari masyarakat, membuat aku memberanikan diri untuk maju sebagai calon kepala desa pada tahun 2015. Tidak mudah memang, karena sebagian besar masyarakat di desa tempat tinggalku masih berpikir kalau perempuan tidak boleh menjadi pemimpin. 

Hal pertama yang aku lakukan untuk maju dalam pencalonan ini adalah mendaftar ke Kantor Urusan Agama (KUA). Aku harus lulus tes agama, seperti tes membaca Al-Qur’an dan salat, sebelum memenuhi persyaratan lainnya. Alhamdulillah aku lulus dan mendapatkan sertifikat untuk mencalonkan diri sebagai kepala desa. 

Aku satu-satunya calon kepala desa saat itu, dan perempuan pula. Pencalonanku ini membuat para lelaki gerah, sampai keluar kata-kata dari masyarakat, “Ayam betina sudah berkokok ayam jantan tunggu apa lagi, tidak malukah? Kades sebelumnya menjabat selama 8 tahun dan tidak ada lagi yang mencalonkan sebagai kepala desa di desa kami. Setelah aku mendaftarkan diri, akhirnya masuk 2 calon kepala desa lain – keduanya laki-laki – bernama  Bustami dan Nurdin Ismail .

Beberapa oknum sempat memaksaku untuk mengundurkan diri.  Namaku bahkan tidak tertera dalam daftar calon kepala desa. Keluargaku pun sempat diteror. Akhirnya karena ada permintaan dari keluarga yang tidak ingin ribut dan dimusuhi oleh masyarakat desa, aku mengundurkan diri.

Bapak Bustami akhirnya yang terpilih. menjadi kepala desa. Kepala Desa yang baru ini belum paham bagaimana menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Akhirnya beliau memilihku untuk menjadi PJ Kades sementara, karena melihat potensiku.  Setelah bisa menjalankan amanat yang beliau emban, Pak Bustami mengangkatku untuk menjadi Sekretaris Desa, dan memintaku untuk mendapatkan SK Sekdes dari kecamatan untuk mengikuti pelatihan bagi sekdes. 

Aku tidak berhasil mendapatkan SK tersebut. Usut punya usut, sekdes lama masih punya hubungan saudara dengan Pak Camat. Aku pun dituduh berselingkuh dengan Kepala Desa. Padahal hubungan kami hanya sebatas hubungan kerja. Sekdes yang lama ini bahkan berniat menurunkan Kepala Desa. Dia mendatangi setiap rumah dan meminta masyarakat untuk menandatangani surat pernyataan untuk menurunkan Kepala Desa. Namun, tindakannya ini keburu diketahui masyarakat. 

Kepala Desa kemudian melibatkanku dalam melakukan advokasi bagi pemimpin perempuan desa dan menjadi aparat desa. Masyarakat kemudian mendukungku untuk menjadi sekretaris desa. Tanpa persetujuan dari Bapak Camat, aku tetap ditunjuk dan menjalankan tugas sebagai sekretaris desa selama 6 bulan. Aku sering melakukan pertemuan di malam hari, sehingga sempat ada yang berkata,Perempuan jangan ikut rapat”, apalagi kalau rapat itu diadakan pada malam hari. Mereka beralasan bahwa perempuan tidak bisa memegang rahasia dan khawatir aku membocorkan ke masyarakat jika ada penyalahgunaan keuangan. 

Aku merasa tidak ada aturan yang melarangku sebagai perempuan untuk ikut rapat, dan tidak ada hubungannya antara memegang rahasia dengan perempuan atau laki-laki. Maka aku tetap berangkat ke Meunasah untuk melakukan rapat. Harapanku saat itu, dengan adanya perempuan di struktur desa, perempuan lebih didengar dan anggaran desa lebih leluasa diusulkan. 

Karena kasus penolakan terpilihnya aku sebagai sekretaris desa oleh Pak Camat, warga dan Kepala Desa akhirnya mengadukan Pak Camat kepada Bupati, karena tidak memberikan wewenang kepada Kepala Desa untuk memilih sekdesnya. Bapak Bupati memerintahkan kami untuk menyampaikan pesan kepada Pak Camat bahwa pemilihan sekretaris desa itu merupakan wewenang Kepala Desa. Bapak Bupati juga meminta agar Pak Camat membaca UU Kemendagri tentang Peraturan Pemilihan Sekretaris Desa. Selain itu, Bapak Bupati juga menelepon Pak Camat untuk memintanya datang ke kantor Bupati. Tetapi Pak Camat tidak memenuhi panggilan Bupati. 

Tidak adanya kepastian yang jelas membuat kami menemui wartawan dan menyampaikan permasalahan tersebut agar dimuat menjadi berita di koran Serambi. Berita mengenai camat yang menghalangi kepala desa memilih sekdesnya tersebar luas di desa kami, sampai ke Bapak Bupati. Pak Camat merasa malu dan marah. Dia lalu datang ke Bapak Bupati untuk meminta bantuan, namun Bapak Bupati tidak bisa membantu karena berita sudah diketahui oleh seluruh warga. 

Bapak Bupati memutuskan untuk memutasi Bapak Camat menjadi Kepala Seksi Pemerintah di kantor Bupati agar dia bisa lebih memahami peraturan pemerintahan. Setelah satu tahun, beliau dimutasi lagi ke kantor Kekominfo. Setelah mutasi terakhir ini, periode Bapak Bupati habis, tepatnya pada akhir tahun 2016. 

Bupati Baru, bernama Bapak Roni Ahmad dan biasa kami panggil Abusi – mengetahui permasalahan ini. Beliau memberi dukungan yang kuat bagi perempuan untuk menjadi pemimpin. Setelah camat yang bermasalah tadi, sudah lima kali terjadi pergantian camat. Dan pada saat pergantian camat yang keenam, terpilih seorang perempuan untuk menjabat posisi sekretaris camat yang menjabat selama satu tahun. Setelah itu, sekretaris camat tersebut diangkat menjadi camat. Camat perempuan pertama di Kecamatan Lawaeng. Bersamaan dengan pelantikan Camat Lawaeng, ada enam perempuan lain yang dilantik Bupati sebagai camat.

Akhirnya, terwujudlah perubahan di mana perempuan bisa memimpin. Selain camat perempuan, ada pula perempuan yang diangkat menjadi kepala desa di beberapa desa. Selain itu, perempuan juga sudah dilibatkan dalam pemerintahan desa. Aku sendiri diangkat sebagai Kaur (pemerintahan Gampong) di Desa Daya Kumba selama 6 tahun sejak 2015.

 

Terima Kasihku pada Pekka

Pada bulan Februari 2021 diadakan Mubes (Musyawarah Besar) Serikat Pekka dan aku terpilh menjadi pengurus Serikat Pekka kabupaten sebagai bendahara. Di desaku, banyak perempuan yang sangat tertarik masuk kelompok Pekka. Aku tentu sangat merasa tertantang  karena begitu banyak perempuan yang antusias ingin masuk sebagai anggota Pekka. Tetapi sebagai pengurus, aku juga mengingatkan mereka untuk benar-benar berpikir matang sebelum masuk menjadi anggota Pekka. Jika punya keinginan yang kuat untuk menjadi anggota, maka organisasi akan kuat, begitu ucapku kepada mereka.

Pada bulan Juli 2021, diadakan seleksi penanggung jawab program dari seknas PEKKA untuk proyek dari World Bank dan  AIPJ2. Serikat kami mengusulkan 3 nama, yaitu Irzawati, Irawati, dan aku sendiri.  Aku terpilih sebagai penanggung jawab program World Bank dan Irawati sebagi penggangung jawab program AIPJ2. Tentu saja, beban dan tanggung jawabku di serikat semakin bertambah karena selain tanggung jawab sebagai bendahara aku juga bertanggung jawab pada jalannya program World Bank.

Begitu banyak pelajaran dan ilmu yang aku peroleh selama aktif di Pekka. Aku sudah mampu mendampingi masyarakat untuk mendapatkan legalitas hukum seperti mengurus Akta Kelahiran, Akta Perceraian, dll. Aku juga sudah mampu mendampingi masyarakat untuk mendapatkan legalitas hukum seperti mengurus Akta Kelahiran, Akta Cerai, dan lain-lain. Aku juga sudah mampu mendampingi dan menjelaskan tentang bantuan sosial dari pemerintah pusat. Dan yang paling penting adalah, aku sudah lebih berani berbicara di depan umum untuk memberikan sambutan pada berbagai acara, juga sudah mampu memimpin rapat.(Astri/Lits)

 

Bagikan Cerita Ini

Cerita Terkait

Leave a Comment