Perempuan yang Menjadi Tulang Punggung

Aku terpaksa menikah hanya karena menginap di rumah kerabat seorang teman lelaki.

Kesusahan hidup sudah aku hadapi saat harus putus sekolah karena Bapak terkena stroke, dan berlanjut ketika suami meninggal dunia secara tiba-tiba.

 

Aku bernama Kunarti. Aku lahir pada 1 Januari 1971 di Pemalang, tepatnya di Desa Bulu, Kecamatan Petarukan, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. Ibuku bernama Sutimah dan bapakku bernama Kadli, seorang purnawirawan TNI Angkatan Laut dan menjabat sebagai bayan (perangkat desa) di desa tempat kami tinggal.

Aku memiliki delapan saudara. Sebelum Ibu menikah dengan Bapak, Ibu sudah punya tiga orang anak, hasil pernikahannya dengan suami sebelumnya. Pernikahan mereka kemudian dikaruniai lima orang anak, dan aku adalah anak nomor dua. Aku merasa senang dan bahagia dengan banyaknya saudara yang aku miliki. Rumah terasa ramai saat itu, sebelum semuanya berpisah karena hidup dengan keluarga masing-masing.

Aku masuk TK tahun 1977. Aku termasuk anak yang beruntung, bisa mengenyam bangku Taman Kanak-Kanak. Pada masa itu, di lingkunganku masih jarang anak masuk TK. Kebanyakan anak-anak pada masa itu langsung masuk SD. Alhamdulillah sekali, kalau aku ingat waktu itu bisa masuk TK sebelum masuk ke SD. Aku bisa merasakan senangnya belajar sambil bermain dan penerapan disiplin lebih dulu dibandingkan dengan teman-temanku yang lain. 

Satu tahun kemudian aku bersekolah di SDN Bulu 04. Aku merasa senang karena di SD aku mendapatkan teman lebih banyak. Hal ini membuat semangat belajarku semakin tinggi. Tetapi kejadian itu tidak mempengaruhi semangat belajarku. Aku tetap menanamkan cita-citaku untuk menjadi guru. Aku selalu meminta Ibu untuk membangunkanku bila subuh sudah datang. Aku akan marah dan menangis bila aku terbangun langit sudah terlihat terang. Aku merasa waktu belajarku berkurang, dan aku tidak tenang. Hasil dari ketekunanku adalah aku terpilih mewakili sekolah untuk lomba cerdas cermat ketika kelas lima dan enam. Aku merasa senang dan bangga. Hingga akhirnya aku lulus SD di tahun 1984.

Berhenti Bersekolah dan Menikah

Ketika aku naik kelas tiga, Bapak terkena stroke ringan. “Siapa yang mau membiayai? Bapak kamu lagi sakit. Uang pensiunan tidak cukup membiayai dua orang.” Itu adalah yang dikatakan Ibu ketika aku pamit hendak mendaftar SMP. Padahal, aku sudah berjanji dengan seorang teman untuk pergi bersama. Temanku itu bahkan sudah datang menjemputku di rumah. Memang, pada waktu itu kakakku masih duduk di kelas tiga SMP. Uang pensiun Bapak yang didapat tiap bulan dipakai untuk berobat, dan sisanya untuk kebutuhan sehari-hari. Tidak akan cukup membiayai sekolahku.

Meski aku ingin sekali melanjutkan sekolah, aku kasihan pada Ibu. Akhirnya aku hanya bisa menangis dan menahan kecewa. Mau bagaimana lagi? Kemudian pada saat seorang saudara ibu main ke rumah kami, aku diajaknya untuk ikut tinggal di rumahnya di Desa Sirangkang. Aku hendak dia sekolahkan di sana. Sayangnya, hanya empat hari aku betah tinggal di sana. Rumah saudara Ibu ini sepi sekali. Aku tidak punya teman sebaya di sana. Akhirnya aku minta pulang lagi ke rumah.

Setelah aku pulang, kerjaku di rumah hanya bermain dengan teman-teman. Pada suatu saat kakakku yang tinggal di Desa Sidodadi, Kecamatan Hanura, Kota Tanjung Karang, Lampung, berkunjung ke rumah. Dia hendak berbelanja pakaian di Pekalongan. Aku dibawanya ketika dia kembali ke Sumatera. Sepanjang perjalanan, aku terkagum-kagum melihat banyak mobil masuk ke atas kapal. Juga hal lain yang membuatku terkesima. 

Selama hidup di Sumatera, aku mengalami hal-hal yang tidak pernah terjadi selama aku tinggal di desaku di Jawa. Di sana aku melihat melihat ular, melihat biawak saat sedang mencuci piring di sungai sendirian. Pengalaman lain yang aku dapat begitu tinggal di Sumatera adalah aku melihat perempuan mengendarai mobil. Selama di sana, aku tinggal bersama keluarga kakak laki-lakiku yang berbeda ayah denganku. Walaupun berbeda ayah, tapi kami tetap rukun. Setiap harinya, kegiatanku diisi dengan mengaji, bermain, dan juga membantu kakakku mengasuh anaknya. 

Setahun lamanya aku tinggal di Lampung, tiba-tiba aku mendapat kabar dari kakak perempuanku bahwa bapakku sakit parah, sehingga aku diminta untuk pulang ke Pemalang. Saat itu, kakak perempuanku sedang berkunjung ke Lampung, dan aku memutuskan untuk ikut pulang ke Pemalang bersamanya. Setelah aku pulang ke Pemalang, kegiatanku sehari-harinya diisi dengan merawat Bapak yang sedang sakit dan bermain dengan teman-teman sebayaku. Tiga bulan setelah aku kembali ke Pemalang, bapakku mengembuskan napas terakhirnya.

Setelah kepergian bapakku, aktivitasku hanya bermain saja. Aku sempat ingin dijodohkan dengan tetangga yang tinggal di belakang rumahku. Ia seorang laki-laki dari Kabupaten Batang. Suatu hari, aku pergi berkunjung ke rumah kakak perempuanku di Desa Kalirandu yang masih terletak di kecamatan yang sama dengan desa tempatku tinggal. Saat aku berkunjung ke sana, ternyata ada seorang laki-laki yang melihatku dan ia tertarik untuk berkenalan denganku. Kemudian ia datang ke rumah kakakku saat aku sedang di sana.

Di saat yang bersamaan, tetanggaku, seorang laki-laki dari Kabupaten Batang juga mencariku di rumah, tetapi aku tidak ada, sehingga ia mencari informasi ke mana aku pergi. Ia pun tahu kalau aku pergi ke rumah kakak perempuanku di Desa Kalirandu. Saat itu, ia berniat untuk mengajakku berpacaran, lalu ia menyusulku ke rumah kakakku. Sesampainya ia di dekat rumah kakakku, ia melihat aku sedang duduk bercengkerama dengan seorang laki-laki dari Desa Kalirandu, sehingga ia memilih untuk pulang.

Beberapa waktu kemudian setelah aku berkenalan dengan laki-laki dari Desa Kalirandu, ia mengajakku ke rumah bulik-nya (bahasa Jawa dari bibi) atau adik perempuan ibunya. Namun saat di perjalanan motornya rusak, dan baru selesai diperbaiki ketika sudah larut malam. Akhirnya, aku diminta bermalam di rumah bulik-nya karena ia harus bekerja malam itu dan ia tidak sempat mengantarku pulang. 

Semua keluargaku kebingungan mencariku karena aku tidak pulang hingga pagi hari. Mereka akhirnya tahu bahwa aku ada di rumah bulik-nya yang terletak di Desa Kalirandu. Kakakku, Kepala Dusun (Kadus), serta beberapa pemuda desa mendatangi rumah bulik-nya. Ketika mereka datang, ia belum pulang kerja dan hanya bertemu dengan bulik-nya. Bulik-nya pun menjelaskan kronologi kejadiannya. 

Walaupun sudah dijelaskan kronologinya, mereka tetap meminta pertanggungjawaban dengan menunggu laki-laki itu pulang kerja dan membawa kami ke desaku di Desa Bulu. Sesampainya di Desa Bulu, kami diminta untuk menjelaskan ulang kronologinya. Setelah mendengarkan penjelasan dari kami, pihak desa memutuskan bahwa ia tetap harus menikahiku sebagai tanda pertanggungjawaban karena telah membawa anak perempuan orang menginap.

Setelah kejadian itu, kami lalu mempersiapkan pernikahan kami. Akhirnya di tanggal 3 Maret 1987, kami resmi menikah. Aku lalu diboyongnya untuk tinggal di Desa Kalirandu. Kami dikaruniai empat orang anak. Anak pertamaku perempuan, dan ketiga adiknya laki-laki. Aku hidup seperti orang-orang pada umumnya: suami bekerja dan aku sebagai ibu rumah tangga. 

Kehilangan Suami

Menginjak usia perkawinan ke-35, suamiku meninggal dunia karena sakit. Awalnya masuk angin. Aku kerik punggungnya, dan berobat ke dokter di hari Senin. Karena tidak kunjung membaik, suamiku kembali memeriksakan diri ke dokter di hari Kamis berikutnya. Hari Sabtu pagi suamiku berkata bahwa jika minum obat dadanya terasa sesak. Akhirnya dia minta tiduran di kamar. Waktu aku sedang memasak nasi, aku mendengar suamiku memanggil-manggil dari kamar. Aku lari menghampiri dan mendapati suamiku sudah sulit untuk bernapas. 

Kemudian aku memanggil dokter ke rumah. Ketika dokter sampai di rumahku, ternyata suamiku sudah meninggal. Dokter yang memeriksa berkata bahwa suamiku terkena serangan jantung. Sementara menurut orang Jawa, suamiku terkena angin duduk. 

Saat itu juga aku merasa hidupku hancur seketika karena anak bungsuku masih berusia empat tahun, dan dia masih membutuhkan kasih sayang seorang bapak. Dengan segala keterbatasan, aku hidup bersama anak keduaku dan juga anak ragilku (bahasa Jawa dari bungsu).

 Ketika suamiku meninggal, anak pertamaku sudah menikah di tahun 2008, dua tahun setelah ia tamat SMK. Anak keduaku sudah tamat SMK dan sudah bekerja, dan anak ketigaku sedang berkuliah. Anak ketigaku tinggal bersama dengan kakakku karena ia tak memiliki anak, sehingga ia ingin mengasuhnya. Saat ini, anak ketigaku sudah lulus kuliah dan anak bungsuku sedang melanjutkan pendidikan SMP-nya di pondok pesantren. Alhamdulillah, segala keperluan anak bungsuku dipenuhi oleh ketiga kakaknya.

PEKKA Mencerahkan Hidupku

Tahun 2014 bulan Oktober, ada kader Pekka datang ke Desa Kalirandu dan meminta izin kepada Kepala Desa untuk membentuk kelompok Pekka. Beliau mengizinkan dan menyerahkannya kepada ibu-ibu PKK. Aku termasuk yang mendapat undangan dari pengurus PKK. Pada undangan itu tercantum “mengundang perempuan yang menjadi tulang punggung”. kemudian aku bertanya kepada ibu anggota PKK yang mengantar undangan: “saya kan bukan tulang punggung, walaupun suami saya sudah meninggal.” Kemudian ibu anggota PKK itu, Ibu Siti Hasanah namanya – menjawab “sudah, tinggal hadir saja.” 

Aku datang memenuhi undangan pertemuan yang diadakan pada tanggal 10 Oktober 2014 di Balai Desa Kalirandu. Di situ sudah banyak perempuan lansia yang hadir. Di dalam pertemuan tersebut disepakati pembentukan kelompok dan memilihku untuk menjadi ketua, karena aku dinilai paling muda, serta memenuhi kriteria pekka. Kelompok ini kami beri nama Kelompok Citra Sejati. 

Setelah bergabung beberapa bulan di kelompok, aku dan anggota yang lain mendapat Pelatihan Visi, Misi, dan Motivasi Berkelompok. Salah satu materi yang aku ingat dalam pelatihan itu adalah Pekka ingin dekat dengan pemerintah desa. Aku dalami betul materi itu, karena aku juga ingin sekali menyampaikan uneg-unegku kepada pemerintah desa tentang keterlibatan perempuan atau pemberdayaan untuk perempuan di Desa Kalirandu. Selama ini, usulan yang masuk lebih didominasi oleh hal-hal yang terkait dengan infrastruktur, seperti perbaikan jalan. 

Di luar Pelatihan Visi, Misi, dan Motivasi Berkelompok, aku juga betul-betul memperhatikan materi yang diberikan selama pendampingan rutin oleh pendamping lapang dan kader. Aku ingin maju, ingin seperti orang-orang yang bisa berbicara di depan orang banyak. Bagai gayung bersambut, pada suatu hari aku dibuatkan surat oleh fasilitator lapang untuk diserahkan kepada Kepala Desa yang isinya meminta agar Pekka dilibatkan bila ada kegiatan atau musrembang. Permintaan dari Pekka ini disetujui oleh Kepala Desa. Sejak saat itu Pekka selalu dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan yang ada di desa.

Pekka pun mendapat undangan untuk hadir dalam Musrembang. Dan di undangan tersebut tertera namaku: Kunarti Pekka. Saat itu aku merasa senang sekali dan langsung mengajak teman-teman untuk ikut hadir di acara Musrenbang yang diselenggarakan di pendopo Balai Desa Kalirandu pada malam tanggal 24 Februari 2015. 

Pada saat tiba waktunya rapat, hujan turun. Tetapi aku dan teman-teman tetap berangkat dengan memakai payung. Karena ini adalah pengalaman pertama ikut Musrembang, aku berangkat tepat pukul 20.30 WIB. Setibanya di Balai Desa, belum ada tamu undangan yang hadir. Aku dan dua orang temanku memilih untuk berteduh sambil menunggu di warung. Kami malu bila menunggu di pendopo desa, karena saat itu belum ada orang yang datang. Dengan sabar kami menunggu hingga akhirnya tamu undangan hadir. 

Hujan lebat membuat Musrenbang Desa baru dimulai pukul 21.30 WIB. Tidak ada perempuan yang hadir selain kami dari Pekka. Ketika ditawarkan untuk pengusulan kegiatan non-fisik, hanya Pekka yang bisa mengajukan usul, karena perwakilan dari bidang kesehatan dan Ketua PKK tidak hadir. 

Kami mengusulkan pelatihan komputer dan tata rias pengantin. Usulan itu diterima, namun usulan yang terealisasi di tahun 2015 merupakan usulan dari Desa Iser terkait timbangan bayi karena dianggap lebih mendesak. Untuk tahun 2016, Musrenbangdes baru akan dilakukan di akhir tahun. Kami masih mengumpulkan usulan dari anggota kelompok Pekka untuk di sampaikan dalam Musrenbangdes, dan salah satu usulan yang kami sampaikan tetaplah pelatihan menjahit. Akhirnya, usulan kami tidak hanya diterima, namun juga direalisasikan pada tahun 2018.

Pada tanggal 23-24 Februari 2015, aku mendapat undangan untuk mengikuti musrembang Kecamatan Petarukan. Setiap desa dihadiri lima orang perwakilan, dan aku mewakili unsur perempuan. Selain aku, hadir Bapak Kepala Desa, Istri dari Bapak Kepala Desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Kaur Desa – yakni pemimpin urusan-urusan yang ada di Sekretariat Desa Kaliandru. 

Hari pertama, tanggal 24 Februari, semua yang ikut musrembang kecamatan berkumpul di pendopo kecamatan. Acara dimulai dengan registrasi, pembukaan, pemaparan dan tanya jawab. Lalu dilakukan pembagian dua kelompok untuk acara keesokan harinya, yaitu pembagian kelompok nonfisik, yakni pembangunan yang bersentuhan dengan sumber daya manusia, seperi kegiatan untuk perempuan dan Posyandu, serta kelompok fisik, yakni pembangunan yang terkait dengan sarana seperti jembatan dan jalan.

Pada hari kedua, aku merasa agak takut karena belum pernah memaparkan atau melakukan presentasi di hadapan orang banyak. Aku mewakili usulan nonfisik dari beberapa desa. Acara dimulai dengan mengambil nomor urut pemaparan. Untungnya, aku sebagai perwakilan Desa Kalirandu mendapat urutan keempat, jadi aku bisa melihat peserta lain ketika memaparkan usulan mereka. 

Ketika tiba giliranku, aku mengajukan usulan pelatihan komputer dan tata rias pengantin. Setelah semua pemaparan nonfisik disampaikan, diumumkan pengusulan yang mendapat skor paling tinggi. Pada waktu itu yang mendapatkan nilai tertinggi adalah Desa Widodaren yaitu pengusulan program bank sampah mandiri dan pelatihan pengelolaan sampah. Usulan dari desaku tidak diterima karena mendapat peringkat ranking ke-4 untuk kategori usulan non-fisik. Meski gagal, aku kembali diikutkan pada musrembang kecamatan di tahun berikutnya, yakni tahun 2016. Aku merasa senang dan bangga karena bisa bertemu dengan pejabat desa di seluruh Kecamatan Petarukan. 

Sejak saat itu aku semakin sering dilibatkan dalam kegiatan desa. Aku merasa beruntung bergabung dengan organisasi Pekka, karena membuka pengetahuanku. Ketika ada mahasiswa yang KKN di desaku pada  bulan Maret 2015, mereka melibatkanku dalam kegiatan yang mereka lakukan. Mereka mengajakku untuk ikut ke kampus mereka, STIT Pemalang. 

Interaksi dengan para mahasiswa ini memberi pengalaman yang luar biasa. Aku merasa seperti sekolah lagi. Para mahasiswa itu sangat ramah dan baik. Mereka membuatku merasa nyaman untuk menanyakan hal-hal yang belum aku pahami. 

Selain itu, aku juga aktif terlibat dalam kegiatan lain, yakni: praktik pembuatan bubuk jahe merah, penanaman jahe merah – aku mendapat bibit lengkap dengan kantung wadah tanamnya, serta pendataan dan pemetaan desa.

Undangan kegiatan lain datang pada tanggal 2 Maret 2015 berupa undangan rapat untuk membahas Posdaya, yaitu tempat tinggal mahasiswa yang melakukan KKN, yang diadakan di Pendopo Desa Kalirandu. Kegiatan-kegiatan tadi menambah rasa percaya diriku. Pelajaran lain aku dapatkan dari pertemuan kader yang dilakukan tiap bulan, dan mencoba mengisi materi di kelompok.

Berbagai Bekal yang Aku Nikmati

Serikat Pekka menggelar Diskusi Perlindungan Sosial pada tanggal 3 Maret 2015 di Desa Kalirandu. Bertempat di pendopo Balai Desa Kalirandu, diskusi ini melibatkan anggota Pekka Citra Sejati dan kader Pekka almarhum Suermi yang saat itu menjabat sebagai ketua serikat, Rahayu dari Divisi Ekonomi, Haning dari Divisi Media Foto, dan kader pekka lainnya seperti Taminah dan Sri Doati. Acara ini membahas permasalahan yang dihadapi masyarakat terkait perlindungan sosial, dan menghadirkan narasumber dari Dinas Sosial, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, Dinas Kesehatan, Kantor Bulog Pemalang, serta para tokoh masyarakat dan perangkat desa.

Acara diskusi ini lalu diikuti berbagai kegiatan yang memberiku pengalaman-pengalaman baru. Seperti mendampingi kelompok Mekar Jaya di Dusun Keboijo. Acara ini diadakan pada tanggal 13 April 2015 dan bertempat di center Pekka. 13 hari kemudian, aku mengikuti seminar sehari bertema “Politik Konspirasi RA Kartini untuk Kemajuan Perempuan Indonesia” yang diselenggarakan oleh Gerakan Organisasi Wanita (GOW) di Pendopo Kabupaten Pemalang. Pada 26-28 Mei di tahun yang sama, aku dan 7 kader dari Pemalang mengikuti Pelatihan Paralegal di Pekalongan bersama Pekka Kabupaten Pekalongan dan Kota Pekalongan. Acara ini bertempat di Desa Kauman, Kecamatan Wiradesa, Kabupaten Pekalongan.

Untuk kali pertama, aku mengunjungi kantor Disdukcapil Pemalang. Pada 11 Juni 2015, Anti, seorang fasilitator lapang, menugaskan dua orang kader Pekka untuk berkunjung ke kantor dinas tersebut. Taminah, kader yang akan berangkat, mengajak kader lain bernama Miharni. Aku menyatakan keinginanku untuk ikut. Namun, aku tidak diizinkan karena yang ditugaskan hanya dua orang.

 Aku bersikeras untuk ikut, dan mengatakan bahwa aku siap menanggung sendiri biaya transportasinya. Lalu seorang kader menelpon faslap, dan diputuskan aku diizinkan untuk ikut. Pada saat itu, aku merasa dianggap belum berpengalaman. Namun, karena menyadari minimnya  pengalaman yang aku miliki, aku terdorong untuk ikut berangkat dan mempelajari apa-apa saja yang dilakukan selama mengadakan kunjungan ke kantor-kantor dinas. Selama kunjungan, aku merasa sangat senang karena mendapat banyak sekali pengalaman dan ilmu-ilmu baru, salah satunya adalah ilmu terkait administrasi kependudukan, yang mana ilmu tersebut juga dapat aku bagikan ke kelompok-kelompok Pekka.

Pengalaman lain yang mengesankan adalah ketika mengikuti pertemuan dengan Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT) Australia, yang diadakan pada 10 Juli 2015. Pertemuan ini dihadiri 15 orang, 2 laki-laki dan 13 perempuan. Perwakilan dari Australia bernama Ibu Farida dan Paulin sebagai penerjemah, dan beliau bertanya kepada ibu-ibu Pekka yang hadir, apa pengalaman selama bergabung dengan Pekka, apa yang dirasakan setelah masuk Pekka, dan apa suka dukanya menjadi pekka? Unit Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik (UPKPP) mewakili jawaban dari para ibu Pekka, dan menjawab bahwa Pekka memberi banyak pengembangan wawasan dan pemikiran, serta memberi pengalaman dan pengetahuan baru.

Pada tanggal 19 Agustus 2015, aku mewakili Pekka bersama 8 jaringan komunitas lain mengikuti rapat jaringan persiapan temu komunitas di Jalan Mgr Sugiyopranoto No 34, Semarang. Rapat ini dihadiri oleh Kelompok Kerja Keadilan Gender dan Hak Asasi Manusia (KJHam), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, dan sebuah organisasi perempuan bernama Survivors Sekartadji. Isu seputar perempuan dibahas dalam rapat ini. 

Selain itu, dibahas pula susunan kepanitiaan untuk temu komunitas, dan menunjuk Ibu Muyas dari KPI sebagai ketua, Yayuk dari LDR KCH sebagai sekretaris, dan Rima dari Ashanty sebagai bendahara. Sementara, humas kepanitiaan dijabat oleh Ida dari HBW, tim fasilitator diisi oleh Eko (KJHam), Rima (Yasanti), Anti (Pekka), Dian (KPI), Lang (UPIPA), Lili, Sari, Tri/Wiwit (SPEKHAM) dengan Eko sebagai koordinator tim. 

Aku merasa minder saat mengikuti rapat, karena aku belum paham materi yang dibahas. Juga bahasa yang digunakan selama rapat menurutku terlalu berat. Mereka orang-orang berpengalaman, sementara aku hanya lulusan SD yang mengikuti ujian kejar paket C. Disepakati pula bahwa acara temu komunitas ini akan diadakan di Bandungan, Ambarawa, pada 8-9 September 2015.

Pengalaman lain yang mengesankan adalah ketika aku mengikuti lokakarya penguatan peran tokoh agama dalam mewujudkan keluarga yang sejahtera dan berkeadilan. Acara ini diisi oleh Dra. Maria Ulfah Anshor dan Faqihuddin Abdul Qodir, MA sebagai narasumber, dan dihadiri oleh para ustad dari wilayah yang sudah ada komunitas Pekka-nya. 

Aku sempat merasa kalut, bahkan ingin menangis karena diminta untuk mengoordinasi anggota Pekka di wilayah Pemalang yang ingin mengikuti acara Alimat. Saat itu aku belum terlalu berpengalaman dalam mengoordinir anggota, sehingga aku merasa panik. Aku bahkan diminta untuk menjadi pembawa acara, padahal aku belum mempunyai bekal untuk menjadi seorang pembawa acara. 

Sebagai persiapan untuk menjadi pembawa acara, aku berusaha mencari ustad yang juga seorang Lebe. Namun, aku tidak bisa mengajak beliau ke acara Alimat karena jadwal acaranya sudah padat. Akhirnya, aku hanya menemui beliau untuk membuatkan tulisan pembukaan acara. Berbekal tulisan dari beliau, aku memberanikan diri untuk menjadi pembawa acara dalam acara lokakarya Alimat ini.

Para anggota Pekka di Kecamatan Petarukan mendapatkan pelatihan dari Dinas Sosial, yakni Pelatihan Keterampilan bagi Wanita Rawan Sosial Ekonomi (WRSE) pada 12 Oktober 2015. Anggota Pekka yang masih muda, pengurus kelompok, dan anggota yang waktunya luang ikut dalam pelatihan yang durasinya satu bulan ini. Pelatihan ini bertempat di LPK Filbert, Kelurahan Petarukan.

Sekali lagi, aku mendapat kesempatan untuk mengikuti pelatihan. Kali ini adalah Pelatihan Data Tingkat Provinsi di Center Pekka Batang pada 23 November 2015. Pelatihan ini difasilitasi oleh Anwar dari Seknas PEKKA. Aku mencatat ada tiga orang yang paling bersemangat mengikuti pelatihan ini, yakni aku sendiri, almarhum Suermi dari Pemalang, dan almarhum Maryati dari Brebes. Kami benar-benar bersemangat karena itu adalah kali pertama kami belajar komputer.

Aku ikut serta dalam Mubes Pekka di Center Pemalang pada 15 Desember 2015 yang dihadiri Ibu Mien dari Seknas Pekka. Peserta mubes ini datang dari Serikat Pemalang, Tegal, Kabupaten Pemalang, Kota Brebes, Yogyakarta (Bantul), juga Madura (Sampang). Hadir juga faslap Anti, Dhesi, Dian, dan Rina. Dalam mubes ini, aku diangkat menjadi ketua Serikat Pemalang pada masa transisi 1 tahun, menggantikan Sri Doati. Sebelumnya, selama satu tahun aku menjadi semacam pejabat ketua serikat sementara, karena selama itu Ibu Sri Doati tidak bisa berjalan yang membatasi mobilitas beliau.

Sebagai Ketua Serikat

Setelah ditunjuk menjadi ketua serikat pada tahun 2015, aku tidak menunda waktu untuk mengembangkan Pekka. Di awal tahun 2016, aku melakukan perluasan wilayah di Kecamatan Ampelgading. Pada saat hendak membentuk kelompok di Desa Banglarangan, Kecamatan Ampelgading, aku belum berani melakukan sosialisasi di hadapan orang banyak. Aku merasa perlu melibatkan faslap Sri Urianti dan kader lain untuk melakukan hal itu. Pada pembentukan kelompok yang diadakan pada 31 Januari 2016 di rumah seorang anggota PKK, hadir 29 orang. Mereka sepakat untuk membentuk kelompok yang diberi nama Gayamsari, dan menunjuk Driasih sebagai ketua, Sriati sebagai sekretaris, dan Sri Amiati sebagai bendahara.

Pada pembentukan kelompok berikutnya, yakni di Desa Karang Talok, Kecamatan Ampelgading, aku masih belum berani melakukan sosialisasi sendiri. Acara yang diadakan pada tanggal 21 Februari 2016 ini diadakan di Balai Desa dan dihadiri oleh istri Kepala Desa, serta faslap dan kader. Bukan itu saja. Peserta pertemuan ini diundang langsung oleh Kepala Desa. Hal ini membuat mereka yang dianggap memenuhi kriteria Pekka dan menerima undangan langsung dari Kepala Desa hadir, meskipun mereka berasal dari gom (dusun) yang jauh lokasinya dari Balai Desa. 

45 orang hadir dalam pertemuan ini, dan mereka langsung kami bagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama diberi nama Mawar Indah, terdiri dari anggota yang berasal dari Dusun 3. Ciana ditunjuk sebagai ketua, Nok Eti sebagai sekretaris, dan Rohati sebagai bendahara. Kelompok kedua diberi nama Melati Putih, yang anggotanya berasal dari Dusun 1 dan 2, dengan menunjuk Turipah sebagai ketua, Kuniti sebagai sekretaris, dan Sri Atun sebagai bendahara. Semuanya berasal dari satu desa, yakni Desa Karang Talok. Di daerahku, satu desa memang bisa terdiri dari 3 hingga lima dusun.

Pada saat pembentukan turun hujan deras, Bu Ermi, mantan Ketua Serikat Kabupaten Pemalang yang membonceng motor tidak berhenti berdoa karena ada petir dan waktu sampai di Balai Desa Karangtalok baju Bu Ermi basah sehingga dipinjami baju oleh kader desa, karena kondisi sudah tua badannya menggigil kedinginan.

Menjadi Pekka Perintis

Di tahun yang sama, aku diajak oleh kader Pekalongan untuk mengikuti acara Pekka Perintis di Jakarta. Banyak sekali pengalaman yang aku peroleh selama mengikuti acara ini, juga teman yang datang dari seluruh provinsi di Indonesia. Aku bahkan bisa bertemu langsung dengan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak saat itu, Ibu Yohana Susana Yembise. Beliau meminta kami untuk menceritakan apa saja yang telah kami lakukan selama ini, agar bisa menjadi inspirasi bagi masyarakat. Aku tidak ingin melupakan pengalaman ini, sampai-sampai aku mencetak semua foto yang aku ambil selama mengikuti Pekka Perintis Nasional.

Di akhir 2015, aku menginjakkan kaki di Semarang untuk hadir dalam acara Komunitas Perempuan Sekartaji. Selain Pekka, banyak lembaga lain yang hadir. Salah satunya adalah Yasanti. Dalam acara ini, mereka membahas isu-isu perempuan. Aku kebingungan dengan istilah ‘isu’. Dalam hati aku bertanya, “Isu-isu itu apa ya?” Setelah aku mendengarkan pendapat yang disampaikan dalam forum ini, aku baru paham bahwa isu berarti permasalahan. 

Ketika dalam perjalanan pulang, aku mengatakan kepada Anti – yang juga datang ke acara tersebut – bahwa aku tidak sanggup mengikuti acara ini lagi, karena aku merasa minder. Anti menanggapi perkataanku dengan menjawab: “Belum memulai jangan menyerah dulu. Lakukan saja dulu.” Kata-kata ini menumbuhkan keberanianku, juga rasa percaya diriku.

Dalam dua tahun berikutnya, yakni 2016 dan 2017, aku melakukan perluasan wilayah di kabupaten lain, salah satunya adalah Kabupaten Kendal. Awalnya, kader lain yang ditunjuk untuk melakukan perluasan wilayah di sini. Namun, dia mengalami kecelakaan, sehingga aku yang ditunjuk untuk menggantikan. Ada dua orang dari Pemalang yang ditunjuk untuk memenuhi tugas ini, yakni Taminah dan aku. Kami diminta oleh faslap untuk berangkat ke Kendal dengan menggunakan kereta. Inilah pertama kalinya aku naik moda transportasi ini. Aku naik kereta ekonomi dari Stasiun Pemalang menuju Stasiun Kendal. 

Saat melakukan sosialisasi, aku dianggap orang-orang di Kendal sebagai sales yang hendak melakukan demo sebuah produk. Bahkan, ketika menerima kedatangan kami, anak pemilik rumah yang dijadikan tempat aku menginap mengatakan: “Maaf Bu, kami tidak menerima orang demo produk.” Aku lalu menjelaskan kepadanya bahwa aku adalah kader Pekka yang sebelumnya sudah meminta izin kepada Bapak Carik (Sekretaris Desa). Beliau mengatakan kalau aku bisa tinggal di salah satu rumah warga yang ditunjuk oleh beliau. Akhirnya anak tersebut mengizinkan kami masuk. Di kampung orang, aku bisa membentuk dan memfasilitasi kelompok. 

Di tahun berikutnya, aku lebih banyak melakukan kegiatan di kabupaten tempat aku tinggal, Pemalang. Di tahun ini, kami mengadakan KLIK PEKKA, Diskusi Kampung, dan Forum Pemangku Kepentingan (FPK). Kegiatan-kegiatan ini mengasah kemampuanku dalam memfasilitasi, termasuk mengatasi grogi ketika berhadapan dengan orang-orang dari berbagai kantor dinas dan aparat desa.

Pandemi Covid-19 memaksa kami untuk membatasi kegiatan di luar rumah. Kami pun belajar menggunakan aplikasi Zoom karena Yayasan Pekka melakukan berbagai kegiatannya dengan menggunakan aplikasi ini sejak pandemi merebak.

Pelatihan pertama yang aku dapatkan melalui Zoom adalah Pelatihan Pendataan. Selama berlangsung, aku harus benar-benar fokus pada fasilitator yang mengajarkan pengisian kuesioner. Ketika pertama kali menggunakan Zoom, aku sangat kagok dan belum terlalu paham cara penggunaannya karena belum terbiasa, sehingga aku seringkali memanggil anakku untuk membantuku memahami aplikasi ini. Sekarang aku sudah terbiasa menggunakan aplikasi ini. Bahkan, kalau ada kader Pekka yang kesulitan dalam menggunakan Zoom, aku bisa mengajari mereka.

Aku beruntung, tidak ada orang yang menghalangiku untuk berkegiatan bersama Pekka. Keluargaku pun begitu mendukung, meski terkadang mereka mengeluh waktuku untuk keluarga berkurang karena aku sering pergi ke luar kota untuk mengikuti kegiatan.

Pandangan anak lelakiku juga berubah dalam hal kesetaraan. Misalnya, sekarang dia paham bahwa pekerjaan rumah bukan hanya urusan istri, sehingga dia mau turun tangan membantu mengurus rumah dan anak. Pendapat yang diberikan istrinya pun selalu didengar. Apa pun keputusan yang diambil, selalu diambil oleh mereka berdua.

Masyarakat di lingkungan tempat tinggalku pun sudah bisa memberi kepercayaan kepadaku. Aku pernah ditawari untuk menjadi ketua RT. Mereka beralasan bahwa aku sudah memiliki banyak pengalaman, terutama dalam mengkoordinir orang, juga telah sering bertemu dengan pihak pemerintah, baik di tingkat desa, kecamatan, maupun kabupaten. Namun, aku menolaknya karena waktuku sudah habis tersita sebagai ketua serikat. 

Pekka tidak hanya memberiku ilmu tentang kehidupan, tetapi juga komunikasi dengan orang banyak, bahkan sampai teknologi terkini. Bonusnya adalah kepercayaan yang didapat dari banyak orang, karena kami selalu diajarkan untuk membantu orang lain tanpa pamrih.(Dian/Ella/Lits)

 

Bagikan Cerita Ini

Cerita Terkait

Leave a Comment