Gigih Menggapai Cita-cita, Modal Terbesarku Memotivasi Anak

Di awal masa perceraian aku hampir gila memikirkan siapa yang menafkahi aku dan anakku. Aku mengurung diri dalam depresi yang berlarut-larut. Pekka membantuku keluar dari jalan kelam.

Nuraini namaku. Di tahun 2022 ini, usiaku genap 46 tahun. Ayahku bernama Saleh, dan ibuku bernama Zaenab. Aku memiliki dua saudara laki-laki dan dua saudara perempuan. Kami hidup sangat sederhana, dengan kemampuan ekonomi yang pas-pasan. 

Sejak kecil, ayahku sudah sering sakit. Keadaan ini membuatku harus ikut mencari nafkah sejak berusia 12 tahun. Bila mendapat libur dari pondok pesantren tempat aku menuntut ilmu, aku ikut menggembala dengan orang tua. Orang tuaku memang mencari nafkah dengan cara bertani dan beternak. Selain itu, aku juga bekerja sebagai buruh tani dan berjualan di pasar.

Aku tinggal di Desa Banyu Urip, Kecamatan Gerung, Kabupaten Lombok Barat. Desa tempat tinggalku ini sangat sepi dan aman. Letaknya jauh dari kota, dan dikelilingi gunung seperti Gunung Batu Idung di sebelah barat dan Gunung Mareje di sebelah selatan. Penduduknya berjumlah sekitar 4.000 jiwa. Sebagian besar mata pencaharian utama mereka adalah bertani. Sawah dan ladang pun terhampar luas di desaku ini.

Kebanyakan perempuan di desaku turut membantu suami mereka mencari nafkah. Sebagian dari mereka melakukannya dengan cara merantau ke luar negeri untuk bekerja sebagai TKI. Meski punya peran dalam menghidupi keluarga, perempuan tidak pernah dilibatkan dalam rapat desa. Sehingga, mereka tidak akan tahu bila ada hal-hal yang terkait dengan desa kami.

Lokasi desa kami memang jauh dari Georeng, kecamatan yang menjadi pusat pemerintahan Lombok Barat. Atau bahkan dari Mataram, ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Barat. Namun, jalan-jalan di desaku sudah diaspal. Penduduk di desa kami pun sudah menikmati aliran listrik. Selain itu, sudah banyak terdapat sekolah, termasuk madrasah. Luas sawah pun menjadi semakin menyusut, karena banyak rumah yang dibangun di tepi jalan raya. Akibatnya, harga tanah di desaku semakin mahal.

 

Bertemu Jodoh di Tanah Arab Saudi

Pada tahun 1996, aku berangkat ke Arab Saudi untuk menjadi TKI. Saat itu di kampungku memang sedang marak perekrutan TKI. Setelah 6 tahun bekerja, aku bertemu dengan suamiku. Kami menikah secara siri di tempat kami merantau. Suamiku berasal dari Lombok Tengah, dan ketika kami menikah, dia bekerja sebagai supir, sementara aku sebagai TKI

Setelah satu tahun menikah, aku dan suami pulang ke Lombok. Keinginan untuk pulang timbul ketika aku mengetahui bahwa aku hamil. Aku ingin mengurus pernikahan secara sah, sesuai dengan hukum yang berlaku di negaraku. 

Suamiku memutuskan kembali ke Arab Saudi untuk bekerja ketika kandunganku menginjak usia tujuh bulan. Anakku lahir di tahun 2003, tanpa kehadiran ayahnya. 

Konflik rumah tangga mulai terjadi ketika suami memintaku untuk ikut ke Saudi dan meninggalkan anak kami. Menurut dia, anak kami bisa tinggal bersama Akungnya (ibuku). Namun, aku menolak. Aku tidak mau meninggalkan anakku. 

Aku diceraikan melalui SMS pada tahun 2006. Pada saat itu, dia sudah menikah lagi di Arab Saudi. Namun, aku baru  mengurus perceraian secara resmi pada tahun 2008. Di masa-masa awal menjanda, aku merasa tertekan, bingung, dan sedih. Aku merasa takut karena waktu itu anakku masih kecil dan tidak ada yang menafkahi. Aku tidak memiliki pekerjaan waktu itu. Tinggal pun masih menumpang dengan orang tua. Aku  menjanda selama 16 tahun, hingga aku menikah lagi di tahun 2019.

Aku hampir gila memikirkan siapa yang akan menafkahi aku dan anakku di masa awal aku menyandang status perempuan kepala keluarga. Seorang sepupu lantas memberiku buku berjudul La Tahzan, dan setelah membacanya aku menyadari bahwa air mata tidak akan menyelesaikan masalah, dan masa lalu tidak mungkin bisa aku ulang. Akhirnya, aku bangkit.

Terbukanya Jalan

Pada Januari 2007, aku bergabung dengan Pekka. Saat itu, aku tertarik melihat adikku yang lebih dahulu bergabung. Aku melihat adikku mendapat banyak teman, informasi, serta ilmu setelah masuk menjadi anggota Pekka.

Sejak bergabung dengan Pekka, aku merasa senang. Aku mendapat teman yang bisa mendengarkan curahan hatiku. Aku pun bisa mendapatkan pandangan lain dari teman yang juga bercerita tentang kehidupan mereka kepadaku. Aku seperti mendapat kekuatan baru.

Selain mendapat teman, ilmu, dan informasi, Pekka pun membantuku mengatasi masalah ekonomi. Aku bisa berjualan dengan cara meminjam modal usaha dari koperasi Pekka. 

Hari-hariku kemudian diisi dengan berbagai kegiatan, mulai dari sosialisasi, diskusi kelompok, diskusi dengan pemerintah desa, pelatihan-pelatihan, juga dengan menjadi pengajar sebaya untuk kelas-kelas tematik.

Aku mulai belajar bersiasat membagi waktu. Saat aku aktif berkegiatan bersama Pekka, aku juga kuliah dan aktif di desa. Aku harus bisa memanfaatkan waktuku sebaik mungkin, karena aku adalah orang tua tunggal yang juga harus mencari nafkah untuk anakku.

Aku membagi waktu berdasarkan urgensi kegiatan. Ketika aku harus mendahulukan kuliah, aku akan meminta kader lain untuk menggantikanku bila ada kegiatan Pekka di saat yang bersamaan. Bila aku hendak bepergian dan meninggalkan anakku, aku akan meminta ibuku untuk mengasuhnya. Kegiatan desa tidak terlalu menyita waktuku, karena acara yang diadakan tidak terlalu sering dan hanya berupa rapat.

Pengalamanku berkegiatan bersama Pekka memberiku informasi mengenai pentingnya dokumen legalitas diri, termasuk Akta Perceraian. Sebelumnya, aku tidak mengerti pentingnya Akta Perceraian untuk dokumen kependudukan anakku, bila dia sudah berhak memiliki KTP nanti. Karena ketidaktahuanku, aku baru mengurus perkara perceraianku pada tahun 2008. Alhamdulillah, Pengadilan Agama mengabulkan gugatanku dan secara resmi aku bercerai dari suamiku.

Tak Kenal Menyerah Menggapai Cita-cita

Aku tidak menempuh pendidikan formal di waktu kecil. Kondisi perekonomian keluarga yang serba pas-pasan membuatku hanya bisa menuntut ilmu di pesantren. Aku baru memiliki ijazah pendidikan formal setelah aku mengikuti program kejar paket ketika aku sudah dewasa. 

Aku termotivasi untuk bersekolah hingga ke jenjang yang tinggi demi anakku. Aku bertekad agar anakku bisa mengenyam pendidikan yang lebih baik dariku. Aku memandang penting pendidikan. Menurutku, bila kita tidak menempuh pendidikan formal dan tidak memiliki ijazah, kita akan mendapat kesulitan untuk memperoleh pekerjaan.

Sejak kecil, aku bercita-cita untuk menjadi guru. Aku ingin seperti ibuku yang selain bertani, juga bekerja sebagai guru mengaji. Motivasiku untuk menggapai cita-citaku semakin kuat setelah aku bergabung dengan Pekka.

Ketika aku lulus program Kejar Paket C pada tahun 2010, aku belum berpikir untuk kuliah – apalagi memperoleh gelar sarjana. Lokasi kampus yang jauh dari desaku menjadi penghalang utama yang membuatku berpikir beribu kali untuk kuliah. 

Hingga akhirnya seorang kenalanku yang juga seorang ustad, Mahsun Zakaria namanya, menawariku untuk bergabung di universitas yang baru membuka cabang di dekat desa kami. Jaraknya hanya 2 km dari rumahku. Aku pun menyanggupi untuk mengambil kuliah di Jurusan Pendidikan, Universitas Nurul Hakim. Aku baru pindah kuliah ke kampus yang terletak di pusat kota setelah menginjak semester 3. 

Kampus yang terletak di pusat kota jaraknya sangat jauh dari rumahku. Aku harus mengeluarkan uang hingga sebesar Rp 50 ribu untuk ongkos pulang pergi dengan menggunakan ojek. Aku tidak bisa mengandalkan angkutan umum (angkot) karena jarang sekali ada. Aku juga tidak memiliki sepeda motor. Satu-satunya cara yang bisa aku lakukan untuk bisa berangkat ke kampus adalah dengan menghentikan kendaraan yang lewat agar aku bisa menumpang hingga bisa sampai ke kota. Cara ini aku lakukan sampai aku lulus kuliah.

Aku berhasil lulus di tahun 2016, setelah lima tahun kuliah. Saat itu, anakku duduk di kelas 6 SD. Ijazah yang aku peroleh dari universitas ini aku gunakan untuk mendaftar sebagai tenaga pendidik. Hingga saat ini, enam tahun sudah aku mengajar di PAUD. Sebelum menjadi guru di PAUD ini, aku aktif dalam kegiatan desa dan menjadi anggota BPD (Badan Permusyawaratan Desa). 

Warna-Warni Hidupku Bersama Pekka

Awalnya, banyak anggota masyarakat di sekelilingku yang beranggapan negatif atau kurang baik. Alasannya, aku sering pulang ke rumah setelah magrib, bahkan kadang tidak pulang, karena mengikuti kegiatan Pekka.

“Pekka ini sekolah apa dari pagi sampai malam, apa kalian ini bergosip yang tidak-tidak?” Aku teringat pertanyaan yang dilontarkan supir mobil yang biasa kami sewa untuk pergi mengikukti kegiatan Pekka di kecamatan lain.

Perlahan tapi pasti, kesan negatif itu terhapus. Terlebih setelah aku banyak membantu masyarakat seperti membantu masyarakat mendapatkan identitas diri, atau pendampingan kasus perempuan dan anak. Tak jarang, mereka memujiku sebagai bentuk apresiasi terhadap bantuan yang sudah aku berikan kepada mereka.

Salah satu kegiatan Pekka yang paling aku rasakan manfaatnya adalah Pelatihan Advokasi. Kegiatan ini difasilitasi oleh Ibu Romlawati dari Yayasan Pekka Jakarta dan diadakan di Kantor Desa Batu Kumbung, Kecamatan Lingsar, pada tahun 2009. Dalam pelatihan ini, aku dilatih untuk bisa berbiara di hadapan orang banyak, bagaimana menghadapi masyarakat, tokoh-tokoh, dan aparat pemerintahan desa. 

Aku langsung mempraktikkan ilmu yang aku dapat selama mengikuti Pelatihan Advokasi di desaku. Didampingi faslap Siti Zamraini, aku melakukan sosialisasi peraturan-peraturan yang terkait dengan perlindungan perempuan dan perlindungan sosial kepada masyarakat. Aku ingat, advokasi pertama yang aku berikan adalah mengenai pemberian bantuan raskin dan BPJS.

Pelatihan lain yang berkesan bagiku adalah Pelatihan Paralegal di tahun 2008. Pelatihan ini difasilitasi oleh Mbak Villa dari Jakarta dan diadakan di Pura Lingsar, sebuah tempat wisata yang ada di Kecamatan Lingsar.

Pelatihan ini memberi materi tentang gender dan kodrat. Aku benar-benar terkesan dengan materi yang dipaparkan, sehingga sampai hari ini aku masih bisa mengingatnya dengan baik. Betapa peran-peran yang disematkan kepada gender tertentu sangat merugikan, bukan hanya bagi perempuan, tetapi juga bagi laki-laki.

Selain itu, aku pernah ikut serta dalam Pelatihan Pendidikan yang difasilitasi oleh Ibu Rom dari Yayasan Pekka Jakarta, pada tahun 2010 di Kantor Desa. Aku dan peserta lain dilatih Keaksaraan Fungsional, seperti tips untuk mengajar baca tulis bagi lansia. Setelah lulus dari kelas ini, aku diangkat menjadi pengajar lansia. Sungguh tugas yang tidak mudah. Para lansia yang aku ajar kesulitan dalam menulis dan menghapal angka. Untuk menyiasati kesulitan ini, materi ajar diubah dengan berfokus pada membaca Al-Qur’an dan terjemahannya.

Terus Merancang Masa Depan

Aku merasakan perubahan dalam diriku sejak bergabung dengan Pekka. Aku jadi bisa membantu masyarakat, memiliki banyak teman, memiliki pengetahuan tentang hak dan kewajiban sebagai perempuan di desa, dan sebagai WNI. Kiprahku di Pekka membuat masyarakat mempercayaiku, terutama untuk berkonsultasi mengenai berbagai hal. Aku jadi selalu dilibatkan dalam kegiatan desa seperti rapat desa, musyawarah desa, dan musrembang desa. Selain itu, pelatihan-pelatihan dari Pekka yang aku ikuti membuatku mengerti bagaimana bertutur kata yang baik, 

Aku juga selalu dilibatkan dalam kegiatan di desa seperti rapat desa, musyawarah desa, dan Musrembang Desa. Selain itu, dari pelatihan yang Pekka berikan, aku belajar bertutur kata yang baik. Aku jadi paham teknik berbicara dengan pemerintah dan menyampaikan informasi yang bisa dipahami oleh masyarakat.

Berkat kapasitasku ini, aku bisa mengusulkan anggaran desa yang sesuai untuk kebutuhan masyarakat, seperti kegiatan ekonomi atau sekolah untuk perempuan (Akademi Paradigta). Bila aku melakukan advokasi, suaraku cukup didengar. Advokasi yang sudah aku lakukan bersama Pekka adalah melaksanakan isbat nikah bagi masyarakat yang tidak mampu pada tahun 2011, 2012, dan 2013. 

Di tahun 2018, kami mendampingi teman-teman kader Pekka ke Desa Babussalam untuk mendapatkan dukungan dana bagi penyelenggaraan Akademi Paradigta, dan mereka berhasil mendapatkan dana sebesar 7 juta rupiah. Keberhasilan yang sama kami capai di Desa Tempos. Kami mendapat dukungan dana sebesar 9 juta rupiah untuk Akademi Paradigta

Di tahun 2020, kami mendampingi Pekka ke Desa Banyu Urip untuk menyelenggarakan Pelatihan Paralegal. Alhamdulillah, pada tahun 2021, Pemerintah Desa Banyu Urip memberikan dana sebesar 5 juta rupiah untuk penyelenggaraan Pelatihan Paralegal Pekka.  advokasi sekolah paralegal kami di realisasikan, pemerintah desa Banyu Urip memberikan dana sejumlah 5 juta untuk mendukung kelas paralegal Pekka.

Aku berharap berbagai pelatihan dan Akademi Paradigta yang telah diselenggarakan melahirkan perempuan-perempuan hebat yang bisa terlibat dalam kegiatan di desa, dan suara mereka selalu didengar. 

Keinginan terbesar dalam hidupku adalah membahagiakan anakku. Alhamdulillah, saat ini anakku, Nadya namanya, sudah duduk di bangku kuliah semester 1. Anakku selalu mendengar hal-hal positif tentangku. Banyak yang mengatakan bahwa meskipun aku janda, aku banyak berkontribusi pada masyarakat. Nadya pernah berkata bahwa dia bangga memiliki ibu seperti diriku. Dia bisa menerima keadaan kami meski hidup tanpa ayah. Dia juga tidak berkeberatan setiap kali aku harus pergi meninggalkannya, karena dia paham bahwa aku sedang belajar dan mencari rezeki.

Nadya dan aku tinggal di rumah ibuku sejak aku menikah. Hingga di tahun 2017, aku mulai membangun rumah sendiri. Aku cicil bahan-bahan materialnya, dan pelan-pelan membangun rumah itu mulai dari pondasi. Gempa yang menggunang Lombok di tahun 2018 sempat menunda penyelesaian pembangunan rumahku. Alhamdulillah, rumah itu bisa rampung di akhir 2018.

 

Bagikan Cerita Ini

Cerita Terkait

Leave a Comment