Kehancuran Rumah Tangga Membuatku Enggan Menyerah

Dia meradang dan makin marah. Dengan mata melotot dia mengancam akan membawaku dan anak-anak ke tempat yang jauh. “Jika menolak akan aku bakar kamu,” ancamnya. Aku merasa bagai disambar petir. Aku tidak pernah menyangka bahwa kata-kata itu akan dikeluarkan oleh suamiku sendiri. Aku diam tertunduk lesu dan ketakutan. Rasa sayangku terhadap suamiku seketika itu berubah menjadi rasa benci. Aku takut hidupku tamat di tangannya.


Kadang-kadang aku dipanggil Ida, kadang-kadang aku dipanggil Lena. Aku pikir orang perlu tahu nama lengkapku: Mahdalena. Aku lahir hari Kamis malam di bulan Maret 1974. Aku memiliki dua orang kakak dan satu orang adik.

Sebetulnya, orang tuaku memiliki dua anak lagi. Dua-duanya meninggal saat masih bayi. Adik perempuanku meninggal di tahun 1976 karena demam tinggi. Saat itu usianya masih enam bulan. Adik bungsuku, meninggal dunia ketika masih berusia 2,5 tahun karena tercebur sumur di belakang rumah. Setelah peristiwa ini, adikku tinggal satu. Usianya terpaut empat tahun denganku.

Desa tempat aku lahir terletak jauh di pedalaman Kalimantan. Dusun Sukamaju, Desa Nipah Panjang, Kecamatan Batu Ampar. Dusun ini merupakan bagian dari Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Perlu delapan jam perjalanan dengan motor air dari Pelabuhan Rasau Jaya untuk sampai ke desa ini. Orang tuaku memutuskan untuk pindah ke Pontianak pada 1987. Aku masih duduk di kelas 1 SMP saat itu. Rumah di Batu Ampar dijual, dan kami tinggaSungai Raya Kepulauanl di rumah kontrakan.

Sehari-hari, Bapak bekerja sebagai buruh di sebuah perusahaan kayu lapis. Mamak bekerja sebagai buruh cuci. Pendapatan mereka amatlah kecil. Sebagian besar habis untuk membiayai sekolah lima anak dan membayar rumah kontrakan,. Keadaan ini mengurungkan niatku untuk menjadi seorang perawat. Padahal, aku berharap bisa membantu banyak orang bila kelak aku bisa menjalani profesi itu.

Aku kemudian memilih bersekolah di Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA, sekarang menjadi SMK bidang Ekonomi). Aku bersyukur sekali masih bisa melanjutkan sekolah, mengingat banyak temanku yang tidak punya kesempatan untuk mengenakan seragam putih abu-abu kala itu. Bersekolah dengan mengenakan seragam lungsuran kakakku pun tak mengapa. Aku bahagia karena masih bisa bersekolah.

Namun, aku harus terus merasakan getirnya menjadi orang tak berpunya. Baru enam bulan duduk di kelas dua SMEA, aku harus hengkang dari sana. Tunggakan SPP selama enam bulan tak kunjung mampu dibayarkan oleh orang tua. Aku tidak diizinkan mengikuti ulangan umum oleh pihak sekolah.

Aku sendiri yang memutuskan untuk berhenti sekolah. Dengan berlinang air mata, aku berkata kepada Mamak: “Mak, biarlah Kakak berhenti sekolah. Kakak cari kerja saja.”

Keputusan ini aku ambil karena aku merasa telah berulang kali membebani orang tuaku. Dua kali aku dirawat di rumah sakit. Pertama adalah ketika aku duduk di kelas dua SMP. Aku menderita tipus dan harus dirawat selama satu bulan. Yang kedua terjadi ketika aku masih kelas 1 SMEA. Aku harus menginap selama dua hari di rumah sakit karena muntaber. Biaya yang harus ditanggung orang tuaku untuk membayar pengobatanku tentu saja tidak sedikit.

Teman Satu Mesin

Sepuluh hari setelah aku memutuskan berhenti bersekolah, aku mencoba melamar kerja di sebuah pabrik plywood. Salah seorang tetanggaku, Bang Edi namanya, bekerja sebagai satpam di perusahaan itu. Dia bercerita bahwa perusahaan tempatnya bekerja sedang membuka lowongan pekerjaan. Pada masa itu, belum banyak orang yang lulus SMA, sehingga lulusan SD dan SMP masih bisa diterima bekerja. Mereka yang tidak berijazah pun ada yang diterima, asal dibantu oleh “orang dalam”. Berbagai tes harus aku jalani, mulai dari tes fisik seperti lari dan push-up, hingga tes wawancara. Aku berhasil melewatinya dengan baik, sehingga diterima bekerja di pabrik kayu tersebut.

Tugasku adalah memilih dan menyusun kayu-kayu kecil seukuran alat pemindah saluran televisi. Pekerjaan yang ringan saja, menurutku. Jam kerjaku juga sesuai standar peraturan bekerja: delapan jam, mulai dari pukul 07.00 hingga pukul 15.00.

Aku mendapat upah harian sebesar Rp 2.700,00 yang dibayarkan setiap minggu. Jika aku lembur, aku bisa mendapatkan Rp 30.000,00 hingga Rp 40.000,00 per minggu. Untuk mendapatkannya, aku harus lembur selama empat jam. Setelah satu bulan, aku memperoleh gaji pertama. Besarnya Rp 36.000,00. Bukan main senangnya hatiku. Aku bisa membantu Mamak menambah uang belanjanya.

Setelah satu tahun bekerja, aku berkenalan dan terpikat dengan seorang lelaki. Dia bekerja di perusahaan yang sama, namun aku lebih dulu bekerja di sana. Kami sering menjadi partner kerja dalam satu mesin. Dia memasukkan kayu ke mesin dan aku yang menerima hasilnya sebagai barang jadi.

Karena seringnya menjadi “teman satu mesin”, kami sering mengobrol dan saling tertarik satu sama lain. Dua tahun kami berpacaran. Setelah itu, kami melangsungkan pernikahan pada Februari 1994. Kami tinggal di rumah orang tuaku selama empat bulan. Menginjak bulan kelima setelah menikah, kami memutuskan pindah ke rumah kontrakan yang letaknya tidak jauh dari rumah orang tua suamiku. Kami ingin hidup mandiri.

Anak pertamaku lahir pada awal 1995. Seorang bayi laki-laki. Kedua belah pihak keluarga menyambut gembira kehadirannya. Anakku ini adalah cucu pertama bagi mereka.

Aku kelelahan dan jatuh sakit tidak lama setelah melahirkan. Kami pun pindah ke rumah orang tuaku saat bayiku berusia 11 hari. Aku kembali bekerja setelah masa cuti melahirkanku habis. Kedua orang tuaku merawat bayiku selama aku bekerja. Kemana pun mereka pergi, anakku selalu mereka bawa. Anakku bahkan lebih sering tidur bersama kakek dan neneknya ketimbang bersamaku. Aku jadi bebas bergerak. Aku memang senang bergaul. Aku senang bertemu dan berkumpul dengan teman-teman.

Saat anakku berumur 2 tahun, dengan berat hati aku berhenti bekerja karena suamiku mengajak pindah ke rumah kontrakan agar lebih dekat dengan pabrik tempat dia bekerja. Aku tidak ingin ribut. Selama tinggal di rumah orang tuaku, suamiku jarang masuk kerja dengan alasan jauh dan sering terlambat. Meski sedih karena tidak bisa bekerja lagi dan jauh dengan orang tua, aku tetap mengikuti kemauannya.

“Pukul Aku Dulu Jika Kamu Berani!”

Beberapa bulan setelah pindah, pertengkaran seringkali terjadi. Semua sifat asli suamiku keluar. Dia gampang tersulut emosinya, dan sering berkata kasar. Hal sepele seringkali dibesar-besarkan. Suamiku seringkali cemburu tanpa alasan. Gerakku mulai dibatasi. Bahkan aku dilarang berkunjung ke rumah orang tuaku.

Sehabis bertengkar, dia pergi dan berkumpul bersama teman-temannya hingga larut malam. Terkadang dia tidak pulang hingga bisa dipastikan, besok paginya dia tidak mau pergi bekerja dengan alasan mengantuk. Hingga akhirnya dia dipecat.

Di usia pernikahan ke-4 tahun, kami pindah ke rumah orang tuanya karena dia sudah tidak bekerja. Kehidupan kami ditanggung oleh kedua orang tuanya. Namun, kami masih sering bertengkar.

Suatu hari aku merasa jengkel dan kesal, kekesalanku meledak karena aku selalu disalahkan, “Begini tak boleh, begitu tak boleh. Main ke rumah orang tuaku pun tak boleh. Aku tidak tahan harus diam terus di rumah. Aku mau pulang saja ke rumah orang tuaku!” teriakku. “Silahkan. Jika itu mau kamu,” jawabnya. Air mataku bercucuran ketika pulang ke rumah orang tuaku. Aku bawa anakku. Aku merasa malu karena menggantungkan hidup kepada orang tuanya serta selalu ribut dan bertengkar.

Tiga bulan hidup berpisah, biaya hidupku dan anakku ditanggung oleh orang tuaku. Malu rasanya, meskipun sebenarnya aku juga membantu Mamak yang bekerja sebagai pedagang kue. Hati kecilku mengatakan, aku harus bekerja.

Lalu aku pergi mencari pekerjaan ke sana kemari hingga diterima oleh sebuah perusahaan kayu yang memproduksi tripleks, dengan status sebagai karyawan harian lepas. Setelah hampir enam bulan bekerja, aku bertemu dengan suamiku yang ternyata juga bekerja di perusahan yang sama.

Aku kaget, jantungku seperti berhenti berdetak. Ada rasa takut, rindu atau cinta saat bertemu kembali dengannya setelah sekian lama. Semua berkecamuk di dalam hati, aku tak tahu harus bagaimana. Aku tidak tahu kalau dia juga bekerja di pabrik itu. Andai saja aku tahu ….

Saat itu dia menatapku dan menarik tanganku untuk mengajak bicara.  Lalu, dia menanyakan kabarku dan anak kami. Hari-hari selanjutnya dipenuhi kata-kata manis dari dirinya, bahwa dia sangat merindukan dan masih sangat mencintaiku. Memang, kami masih saling mencintai. Akhirnya kami seperti orang berpacaran lagi. Setiap hari bertemu dan makan bersama.

Aku merasa takut untuk mengatakan kepada orang tuaku bahwa aku akan kembali bersama dengan suamiku, sehingga aku memintanya datang kepada orang tuaku. Melihat kami masih saling mencintai, orang tuaku setuju bila kami rujuk kembali. Kami memutuskan untuk dinikahkan kembali oleh seorang kyai setempat. Padahal, kami belum resmi bercerai meskipun sudah hampir satu tahun tidak tinggal satu rumah. Aku kembali tinggal bersama suami di rumah orangtuaku.

Beberapa bulan setelah kami membina rumah tangga kembali, aku hamil anak kedua. Kehamilan kali ini terasa berbeda dari yang sebelumnya. Aku lebih sering kelelahan hingga di usia kehamilan tujuh bulan, aku memutuskan berhenti bekerja.

Pada pertengahan 1999, lahir bayi perempuan cantik, anak kedua kami. Bayi mungil ini menambah kebahagiaan keluarga besar kami, karena bayi ini merupakan cucu perempuan pertama. Ibuku mengungkapkan kebahagiaannya dengan bergegas pergi ke pasar membeli beberapa potong baju bayi perempuan keesokan harinya. Aku sangat bersyukur karena masih memiliki kedua orang tua yang begitu sangat memperhatikan dan menyayangiku.

Hidup dengan dua anak, tentu saja membutuhkan biaya yang lebih banyak. Suamiku masih bekerja di tempat yang sama. Penghasilannya tidak mencukupi, apalagi setelah memiliki dua orang anak dia mulai jarang berangkat bekerja. Dia bisa saja tidak berangkat kerja hanya karena alasan malas atau sedang marah. Meski sedang hamil, aku memutuskan berjualan di kantin sekolah menggantikan mamakku untuk menambah penghasilan dan memenuhi kebutuhan hidup.

Saat anak keduaku berusia hampir 4 tahun, tumbuh janin ketiga di rahimku. Seorang bayi perempuan lahir di bulan Mei 2003. Pada saat anak ketigaku berusia satu bulan, lagi-lagi suamiku berulah. Dia bisa menjadi sangat marah dan mengancam berhenti bekerja hanya karena aku tidak pergi membelikannya rokok. Kecewa dan sedih hatiku mendengar pernyataannya itu. Dalam hatiku bertanya, “tak adakah hatimu? Di mana rasa pengertian dan rasa kasihanmu kepadaku?”

Ancaman itu dibuktikannya. Dia tidak lagi bekerja, pergi dan tinggal kembali ke rumah orang tuanya. Dia berhenti menafkahi kami, tak peduli meski ada tiga anak yang harus dipikirkan kehidupannya. Kesal tapi tak berdaya, itulah yang aku rasakan. Belum lama melahirkan, aku harus sendirian menjaga ketiga anakku.

Aku terpaksa harus kembali menggantungkan kehidupanku dan anak-anakku kepada orang tuaku. Melihat rumah tanggaku yang morat-marit, akhirnya kedua orang tua dan kakak tertuaku berinisiatif membelikanku sebuah rumah di daerah transmigrasi lokal. Saat itu kebetulan ada rumah yang dijual dengan nilai Rp 2,5 juta. Harga yang murah, karena dengan jumlah uang itu kami mendapatkan rumah dan kebun jagung seluas setengah hektar.

Orang tua dan saudaraku berharap agar suamiku bisa bekerja mengelola kebun. Mereka juga memberiku modal untuk berjualan sembako. Suatu hari, mertua dan suami datang ke rumah orangtuaku. Mungkin orangtuanya menasehati suamiku tentang kehidupan keluarga. Orangtuaku juga menginginkan aku kembali berkumpul dengan suami dan anak-anak. Mereka membayangkan bagaimana status anak-anak yang tidak berbapak.

Akhirnya, aku dan suami kembali tinggal bersama di rumah pembelian orang tua. Akan tetapi niat baik keluargaku tak disambut baik oleh suamiku. Sudah malas, tak tahu diri pula. Setiap hari dia minta dilayani dan diprioritaskan bak raja. Aku harus membelikannya dua bungkus rokok tiap pagi. Makan harus disediakan. Aku harus segera membuatkan kopi jika dia memintanya, sekalipun di warung sedang ada pembeli. Terlambat sedikit saja, kopi itu akan dibuangnya. Dia tidak memiliki empati sama sekali terhadap istri. Semua beban hidup diserahkannya kepadaku. Semua kulakukan sendiri, mulai dari mengelola warung sembako, membereskan rumah, dan mengurus anak-anak. Pendek kata, akulah tulang punggung keluarga.

Kelakuannya semakin buruk. Dia gemar mengumpulkan teman-temannya dan menggunakan rumah sebagai tempat berjudi saat aku tidak ada. Sampai aku dan ibuku memergoki dia sedang berjudi bersama kawan-kawannya.  Sehari sebelumnya aku pulang ke rumah orangtuaku. Mendengar kami datang, mereka bubar, pergi meninggalkan rumah yang berantakan dan penuh dengan puntung rokok berserakan.

Malam itu suamiku diam tertunduk tanpa bersuara saat mamaku menasehatinya. Namun keesokan harinya setelah mamaku pulang, dia memarahiku. “Orangtuamu terlalu ikut campur dengan kehidupan rumah tangga kita,” katanya dengan muka merah. Saat itu aku mencoba menanggapi dengan pelan meski akhirnya terlontar juga kalimat, “Tak mungkin kita punya rumah, punya tanah dan warung sembako untuk menyambung hidup kita sehari-hari. Dibandingkan orang tuamu yang tidak pernah ikut campur.”

Dia meradang dan makin marah. Dengan mata melotot dia mengancam akan membawaku dan anak-anak ke tempat yang jauh. “Jika menolak akan aku bakar kamu,” ancamnya. Aku merasa bagai disambar petir. Aku tidak pernah menyangka bahwa kata-kata itu akan dikeluarkan oleh suamiku sendiri. Aku diam tertunduk lesu dan ketakutan. Rasa sayangku terhadap suamiku seketika itu berubah menjadi rasa benci. Aku takut hidupku tamat di tangannya.

Kurenungi hidupku. Selama hidup bersamanya, hanya sependek ruas jari saja aku mengenyam manisnya madu pernikahan. Selebihnya hanya ada sakit hati karena pertengkaran, keributan dan kata-kata kasar yang tidak henti. Awal berkenalan, berpacaran, semuanya terasa indah. Namun, setelah berumah tangga baru terungkap semua keburukannya. Belum lagi sifat cemburunya yang tak beralasan. Terhadap sepupuku atau dengan sepupunya sendiri dia merasa cemburu. Perhatian dan kasih sayangnya terhadap anak-anak juga kurang. Sering marah dan berkata kasar ke anak-anaknya; saat dia terganggu karena anak-anak berisik, jika anak-anak terlambat datang saat dia memanggil dan memberi perintah. Pernah suatu hari dia akan memukul anaknya saat terlambat membelikan rokok hingga aku merasa terluka. “Pukul dulu aku jika kamu berani,” tantangku saat itu kepadanya.

Aku merasa lelah dengan pertengkaran-pertengkaran yang selalu saja terjadi. Harapanku agar hidup keluargaku bisa lebih baik seperti keluarga lainnya dan menunjukkan keberhasilanku kepada orang tuaku yang telah begitu banyak membantuku hanyalah angan belaka.

 

Bahagia Tanpa Suami

 

Bulat keputusanku untuk berpisah dengannya. Rasa cinta dan kasih sayangku itu pudar dan hilang bersama timbulnya rasa benci dan sakit hati yang amat dalam. Menjelang akhir tahun 2003, aku memutuskan berpisah. Aku pergi meninggalkan rumah bersama ketiga anakku dan kembali ke rumah orang tuaku. Saat itu anak-anakku masih kecil-kecil. Anak pertamaku berusia 9 tahun, yang kedua 4,5 tahun dan yang kecil masih berusia 7 bulan.

Dua minggu aku meninggalkan rumah, aku mendapatkan informasi dari tetanggaku bahwa suamiku juga pergi. Mungkin dia malu, karena itu adalah rumah pemberian orang tuaku. Mendengar informasi itu, aku bersama ketiga anakku pulang kembali ke rumah kami dan memulai kehidupan baru.  Aku merasa tenang hidup bersama ketiga anak-anakku. Tidak ada pertengkaran, tidak ada rasa marah, jengkel dan sakit hati lagi. Aku melanjutkan hidupku dengan semangat.

Namun setelah hampir satu bulan, suamiku mendadak datang lagi. Aku benar-benar kaget. Jantungku berdegup kencang tak menentu. Takut, benci, semua rasa campur aduk saat aku harus menghadapinya. Namun aku berusaha menenangkan diri. Singkat kata ia meminta rujuk kembali. “Demi masa depan anak-anak,” katanya.

Namun, hati ini sudah tidak bisa menerimanya, apapun alasannya. Dengan pikiran matang dan mantap, aku menolak dan menerima takdirku hidup menjanda. Aku mengatakan bahwa sudah tidak ada lagi kecocokan sehingga lebih baik menjalani hidup masing-masing. “Jika anak-anak sudah besar, pandai saja dia mencari bapaknnya,” ucapku dengan tegas.

Setelah bercerai, berpisah tepatnya – karena kami belum resmi bercerai melalui pengadilan – aku menjalani lika-liku kehidupan sebagai orang tua tunggal.  Aku bertekad untuk tidak terpuruk dan hanyut dalam kesedihan. Aku harus bangkit dan berpikir positif, juga dewasa. Mungkin ini yang terbaik bagi kehidupanku, hidup tanpa suami dan menjadi tulang punggung pencari nafkah bagi anak-anakku. “Kita ambil jalan masing-masing, kamu urus hidup kamu, dan aku mengurus kehidupanku,” begitu ucapan terakhirku saat berpisah dengan suamiku.

Di luar aktivitas mencari nafkah buat anak-anak, aku menenggelamkan diri dalam kegiatan pengajian. Tiga kelompok pengajian aku ikuti sehingga aku tidak sedih memikirkan penderitaanku. Hari-hari aku lalui dengan beribadah, mendekatkan diri kepada Illahi.

Aku tidak pernah keluar rumah jika tidak ada keperluan. Pernah suatu hari, datang satu laki-laki mendekati. Aku masih bisa bersikukuh untuk menutup rapat perasaanku, terlebih setelah mengetahui laki-laki itu sudah berkeluarga. Dia adalah tetanggaku sendiri. Itulah yang membuat aku takut untuk keluar rumah jika tidak ditemani oleh anak-anak. Aku tidak mau dicap perempuan penganggu suami orang. Aku selalu berprinsip: walau aku janda, aku harus berperilaku baik. Aku berusaha melakukan hal-hal yang positif.

Aku bersyukur karena anak-anakku penurut dan membanggakan. Mereka selalu mendapat nilai terbaik di sekolahnya. Prestasi mereka menjadikanku lebih bersemangat. Dalam doa kutitipkan harapan agar anak-anakku menjadi orang yang berhasil, sukses, membanggakan dan selalu menjadi penyejuk hatiku.

Masa-masa awal menyandang status janda terasa berat bagiku. Apalagi aku harus menghidupi tiga anak. Tetapi aku merasa bersyukur, aku sudah terlepas dari kehidupan laki-laki yang selalu menyakiti perasaanku, dan justru menjadi beban dalam hidupku.

Ternyata setelah kujalani, hidupku justru lebih bahagia setelah berpisah dengan suamiku. Apalagi keluargaku sangat mendukung, sangat peduli dan selalu siap membantu kekurangan kami. Aku pun bisa menyandang status janda tanpa beban. Hari-hari aku jalani bersama anak-anak dan kedua orang tuaku dengan senang dan rasa bahagia.

Sejauh itu, aku baik-baik saja. Hingga cobaan kembali terjadi ketika bapakku meninggal dunia karena sakit lambung pada tahun 2005, bertepatan dengan Iduladha. Tepat satu tahun kemudian, Mamak menyusul Bapak. Kini kedua orang tuaku telah tiada. Aku merasakan sedih dan kehilangan. Sudah tidak ada lagi tempatku berkeluh kesah dan tempat anak-anakku bermanja-manja. Aku juga merasa belum banyak berbakti dan belum sempat membahagiakan keduanya. Hanya doa yang selalu kukirimkan untuk kedua orang tuaku.

Sepeninggal orang tua, kehidupan ekonomiku menjadi lebih berat. Aku lalu pindah untuk tinggal bersama adik dan kakakku yang seorang guru. Kami menempati rumah peninggalan orangtua. Aku sudah tidak punya rumah lagi. Rumah yang orang tuaku belikan untukku dulu, aku jual pada tahun 2004. Kebutuhan sehari-hariku dan anak-anak ditanggung oleh kakakku. Aku hanya perlu membantu membereskan rumah dan mengasuh anak-anaknya. Selain kakakku, ada tiga saudara lain yang membantu biaya sekolah anak-anak. Namun, aku berusaha untuk memenuhi sendiri kebutuhan lainnya.

Aku bekerja dan bekerja. Aku lakoni berjualan baju dan kosmetik dengan cara berkeliling dari desa ke desa, dari gang ke gang. Sayangnya, modalku menyangkut di utang. Aku banting haluan. Aku bekerja di warung makan milik pamanku. Warung itu buka pada malam hari yaitu mulai jam 17.00 sore hingga 06.00 pagi. Fisikku terlalu lelah dengan pekerjaan seperti itu. Belum lagi Paman selalu marah jika aku datang terlambat. Aku kembali berjualan di kantin sekolah, tempat aku berjualan dulu. Pendapatan dari hasil kerja di kantin tidaklah seberapa. Aku harus bisa memutar modal dan menyisihkan uang untuk jajan dan tabungan anak-anak. Aku merasa lebih tenang, karena anak-anak juga bisa membantuku.

 

Titik Awal Pendakian

Benar kata guru mengaji, “Tuhan tidak akan memberi cobaan melampaui batas kemampuan hambaNya.” Di saat aku berada pada titik terendah kehidupanku, datang tamu dari Pekka.

Saat itu aku baru saja pulang dari berjualan. Tiba-tiba aku kedatangan tamu. Mereka adalah Bainah, dan Idawati. Mereka menjelaskan tentang program bantuan dari Pekka berupa perlengkapan sekolah seperti baju seragam, tas, sepatu dan alat tulis bagi anak-anak janda tidak mampu. Anak keduaku yang masih duduk di kelas 2 SD terpilih dan lolos dari seleksi mereka. Saat itu yang menjadi penanggung jawab pendataan program beasiswa tersebut adalah Bainah, Ketua Kelompok Pekka Kapuas. Aku sangat senang karena selama ini kami tidak pernah menerima bantuan apa pun.

Ibu Bainah kemudian menjelaskan tentang pogram Pekka dan mengajak aku ikut bergabung menjadi anggota kelompok Pekka. Dengan penuh semangat dan wajah yang berseri-seri beliau bercerita tentang pengalamannya ke Jakarta. Beliau bahkan sempat bersalaman dan berfoto bersama Ibu Megawati, Presiden RI ke-5. Dengan nada membujuk, dia berusaha sekali meyakinkanku untuk bergabung. “Iya…. Nantilah ye,” jawabku sambil tersenyum. Saat itu hatiku masih belum tergerak untuk bergabung karena aku merasa belum paham tentang Pekka.

Aku pun hadir dalam acara pembagian bantuan perlengkapan sekolah. Saat itu hadir Mbak Kholillah, pendamping lapang Pekka. Di saat itu aku agak sedikit malu karena belum mengenalnya. Dan di tempat itu, aku juga bertemu dengan Ibu Zainab. Beliau adalah salah satu pedagang yang membantu menjualkan kue buatanku. Selama ini Ibu Zainab juga selalu mengajakku untuk bergabung di kelompok Pekka.

Hatiku baru terbuka untuk bergabung pada bulan Januari 2007. Kuikuti langkah kaki Ibu Zainab ke RT 03/RW 02 Desa Kapur, menuju rumah Nek Yon, anggota yang berusia lebih dari 70 tahun. Hari ini tiba giliran rumahnya untuk dijadikan tempat pertemuan rutin. Aku pun resmi menjadi anggota Kelompok Pekka Kapuas di Desa Kapur.

Hari itu aku hanya duduk diam, malu dan sedikit canggung karena ada beberapa yang aku belum kenal. Aku mengamati dan melihat proses pertemuan itu. Aku diperkenalkan oleh Ibu Zainab sebagai anggota baru di kelompok mereka. Aku menangkap kesan bahwa ketiga puluh dua anggota kelompok itu telah berumur. Aku lihat ada satu yang paling muda, usianya belum genap 30 tahun. Kami berdua saling berpandangan dan tersenyum ketika mengulurkan tangan untuk berkenalan. Namanya Agusniwati, dia bendahara di kelompok itu.

Agus kemudian menjelaskan kepadaku tentang kegiatan Pekka. Pertemuan kelompok dilakukan rutin setiap dua minggu, pada hari Selasa. Selanjutnya, Agus menyampaikan bahwa salah satu kegiatan yang dilaksanakan di kelompok adalah simpan pinjam. Tujuan kegiatan ini adalah melatih anggota Pekka untuk menabung dan membantu anggota lain yang membutuhkan. “Sisihkan uang kita meski sedikit, jika kita memerlukan uang bisa diambil. Dengan yang sedikit itupun kita bisa membantu teman-teman lain. Nanti yang membutuhkan bisa meminjam,” katanya.

Makna perempuan kepala keluarga aku pahami dari pendamping lapang Pekka yang lain, yaitu Dany Fitriyana, yang hadir dalam pertemuan kelompok hari itu. Saat itu Danny menjelaskan bahwa Pekka adalah organisasi perempuan yang menjadi kepala keluarga, yaitu perempuan yang suaminya meninggal, bercerai, selanjutnya perempuan yang suaminya pergi merantau keluar kota maupun keluar negeri, perempuan yang suaminya sakit menahun -yang tak kunjung sembuh sehingga si perempuan yang menjadi tulang punggung untuk mencari nafkah bagi keluarganya, dan ada juga perempuan yang masih lajang (belum menikah) sehingga dia menjadi tulang punggung untuk menghidupi orang tuanya dan adik-adiknya. “Perempuan yang suaminya pergi tak pulang-pulang seperti Bang Toyib juga bisa menjadi anggota kelompok Pekka,” kata Dany sambil tertawa lepas dan kami semua ikut tertawa bersamanya.

Setelah tiga bulan bergabung aku dipilih menjadi salah satu peserta Pelatihan ToT Pengorganisasian Masyarakat tingkat provinsi yang bertempat di Aula Gedung Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Kalimantan Barat. Semua peserta diharuskan menginap. Aku sangat terharu, ini merupakan kali pertamaku ikut pelatihan.  Aku bisa bertemu dan berkenalan dengan teman-teman dari beberapa perwakilan kelompok yang berasal dari kota Pontianak dan Kubu Raya.

Di saat itulah aku juga mulai mengenal Mbak Mien dan Mbak Kodar dari Yayasan PEKKA yang menjadi fasilitator. Awalnya kami berkumpul di kelas besar dan peserta diajak untuk memahami persoalan yang dialami oleh perempuan, terutama perempuan kepala keluarga dan mengidentifikasi apa yang menjadi kebutuhan perempuan.

Selanjutnya kami dibagi dalam empat kelas kecil, yaitu kelas hukum, politik, ekonomi dan aku di kelas kesehatan. Di kelas kesehatan dipelajari tentang hak dan kesehatan reproduksi perempuan. Dan perlunya pemerintah memberikan pelayanan kesehatan khusus bagi perempuan, lansia, ibu hamil dan anak-anak.

Ada hal yang berkesan dan tak terlupakan yang terjadi di pelatihan di bulan Maret 2007 itu; Mungkin juga bagi sebagian kader PEKKA yang lain. Saat itu aku diminta untuk presentasi hasil dari kelas kesehatan dan tidak sengaja aku mengucapkan kata “ejakulasi” hingga suasana saat itu menjadi heboh. Aku masih ingat betul, Mbak Mien dan Mbak Kodar termasuk yang tertawa lebar ketika mendengar kata itu. Namun saat itu aku cuek saja karena aku sendiri juga belum mengetahui artinya.

Tapi berkat kata “ejakulasi” mereka jadi mengenalku. Yang pasti, sejak peristiwa “ejakulasi” itu, jalan pengabdianku di Pekka terasa lancar. Siapa sangka, setelah bergabung dengan kelompok Pekka Kapuas, Kalimantan Barat pada Januari 2007, jalan hidupku seperti berbalik arah. Dari seorang janda menderita, menjadi wanita berhati baja.

Setahun bergabung di kelompok, aku dipercaya menjadi bendahara. Aku bertanggung jawab menangani administrasi keuangan kelompok dan bertugas menerima uang tabungan, setoran dan pembayaran anggota dan menyimpannya dengan baik.

Terkadang aku merasa takut, karena sebagai bendahara aku memegang tanggung jawab yang besar. Jika uangnya selisih harus dicari hingga cocok dengan catatan yang ada. Aku khawatir bila uangnya hilang, karena aku harus menggantinya.

Tahun 2007 kami bersepakat membentuk LKM atau Lembaga Keuangan Mikro, sebagai wadah organisasi bagi kelompok-kelompok simpan pinjam yang selama ini sudah terbentuk.

Memetik Kepercayaan

Puncak kepercayaan dari anggota kelompok terkait urusan simpan pinjam adalah, aku dipercaya menjadi ketua LKM Pekka Mandiri Kecamatan Sungai Raya. Aku menjabat ketua LKM pada periode tahun 2007 – 2016. LKM adalah Lembaga Keuangan Mikro atau koperasinya Serikat Pekka, di mana anggotanya adalah unit kelompok-kelompok tingkat desa. Kegiatan rutin dilakukan  setiap akhir bulan setelah semua kelompok sudah melakukan transaksi di kelompoknya masing-masing. Pengurus kelompok menyetorkan tabungan simpan pinjam dari kelompok-kelompok mereka ke koperasi di tingkat kecamatan.

Bukan berarti LKM yang aku pimpin tidak menghadapi kendala. Ada beberapa permasalahan di dalam LKM, seperti anggota sulit membayar pinjaman, ada anggota yang tidak punya tabungan tapi mau meminjam, dan ada anggota yang baru masuk sudah mau meminjam dan mengancam tidak berhenti jika tidak diberi. Ini menjadi bagian pahit menjadi pengurus dalam menghadapi anggota yang bermacam-macam tingkahnya. Dan sebagai pengurus, kami selalu pulang terakhir setelah semua urusan transaksi simpan pinjam, pencatatan, dan penghitungan uang selesai.

 

Terbang ke Jakarta

 

Buah dari kekonsistenanku dalam menjalankan amanah ini adalah: aku selalu diutus untuk mewakili Serikat Pekka untuk mengikuti pelatihan, baik yang diadakan oleh Yayasan PEKKA maupun pemerintah. Hasilnya, pengetahuanku semakin bertambah, aku semakin aktif berkegiatan, juga mulai berani maju berbicara di depan orang banyak. Selain itu, aku semakin banyak memiliki teman.

Aku terpilih sebagai satu dari 36 anggota untuk mewakili Pekka di Kalimantan Barat dalam Forum Nasional Pekka ke-2 di Grand Cempaka Putih, Jakarta, pada Desember 2007. Aku sampaikan kabar baik dan gembira ini kepada saudara dan anak-anakku, terutama kakakku. Beliau bahkan sampai mengambil cuti mengajar agar bisa menjaga anak-anakku dan anaknya. Selama ini akulah yang menjaga mereka, di saat kakakku bertugas mengajar. Jarak antara sekolah tempat dia mengajar dengan rumah sangat jauh, sehingga kakakku baru bisa pulang ke Pontianak setiap akhir minggu.

Hatiku berdebar kencang ketika hendak berangkat. Ini adalah kali pertama aku naik pesawat. Apalagi pesawat yang akan aku tumpangi tertunda keberangkatannya karena masalah teknis. Kami harus menunggu tujuh jam di Bandar Udara Supadio. Untung saja saat itu kami berangkat berombongan. Ada 25 orang yang terdiri dari 3 pendamping lapang dan 22 anggota kelompok Pekka dari berbagai kelompok yang ada di Kalimantan Barat yang berangkat, sehingga tidak terasa terlalu membosankan. Sekitar pukul 22.00 WIB kami tiba di hotel.

Belum hilang ketertegunanku naik pesawat, kini aku kembali terkagum melihat kemewahan hotel itu. Ini kali pertama aku ke Jakarta dan kali pertama kali pula aku menginap di hotel. Tak henti-hentinya hatiku mengucap syukur atas nikmat ini.  Aku berpikir, jika tidak masuk Pekka mana mungkin hal ini terjadi kepadaku.

Keesokan harinya, sekali lagi aku dibuat kagum oleh Yayasan PEKKA, karena saat itu berkumpul ratusan perempuan kepala keluarga dari delapan provinsi di Indonesia. Berbagai rangkaian acara dilaksanakan. Di situ kami bergembira, bertambah teman, bertambah ilmu. Setiap anggota Pekka menyampaikan pengalaman mereka. Setiap provinsi menampilkan karya-karya daerahnya dan kekhasan budayanya mulai dari makanan, tarian, hingga pakaian adat.  Pengalaman yang tidak terlupakan. Dari sini aku semakin bersemangat dan terpacu untuk menambah ilmu dan pengalamanku di Pekka.

Menjadi Ketua Serikat Kecamatan

Pada tahun 2009, aku terpilih menjadi Ketua Serikat Pekka Kecamatan Sungai Raya melalui Mubes yang diselenggarakan di Kelurahan Kampong Dalam, Kecamatan Pontianak Timur, Kota Pontianak.  Dalam Mubes ini semua anggota serikat bisa dengan bebas berpartisipasi dalam menyampaikan pendapat dan gagasannya untuk pengembangan organisasi. Dalam forum ini juga, anggota serikat dapat menggunakan haknya untuk dipilih dan memilih pengurus yang bisa dipercaya untuk mewakili, menyuarakan dan memperjuangkan hak-hak Serikat Pekka ke pemerintah.

Selama ini, aku giat melakukan pendekatan kepada individu untuk bergabung dengan kelompok Pekka, menguatkan kelompok yang sudah terbentuk dengan melakukan kunjungan, berdiskusi, juga memberikan Pelatihan Visi, Misi, dan Motivasi Berkelompok. Selain menguatkan kelompok, aku kerap melakukan kunjungan untuk melakukan sosialisasi kepada pemerintah daerah dari tingkat desa, kecamatan, hingga kabupaten maupun anggota dewan. Semua itu aku lakukan untuk mengusulkan kebutuhan anggota Pekka dan masyarakat miskin. Atas dasar itu, teman-teman menganggap aku memiliki kemampuan dalam berkomunikasi baik dengan masyarakat maupun pemerintah.

Tugas dan tanggung jawabku sebagai ketua serikat adalah mendampingi kelompok, memperluas keanggotan dan kelompok di desa lainnya, memimpin rapat di pertemuan kader, membuat rencana dan memberikan usulan gagasan untuk kemajuan serikat, menghadiri undagan di pemerintahan dan lembaga lain dan melakukan advokasi.

Kegiatan serikat di kecamatan adalah mengadakan pertemuan kader serikat tingkat kecamatan. Di dalam ini kita melakukan refleksi, membagi tugas pendampingan kelompok, membahas materi untuk dibagikan ke kelompok yang akan didampingi dan membuat rencana untuk pertemuan bulan depan.

Aku merasakan banyak perubahan setelah menjadi pengurus serikat tingkat kecamatan. Di antaranya adalah aku sudah bisa berbicara di depan orang banyak, memimpin rapat, membuat rencana, memberikan usulan untuk serikat, dan aku juga sudah dilibatkan dalam menghadiri Musrembang di tingkat kecamatan dan Musrembang kabupaten. Aku juga menghadiri kegiatan jaringan dari lembaga lain dan ikut dalam Aliansi Perempuan Kalimantan.  Saat itu belum ada kepengurusan serikat di tingkat kabupaten.

 

Menambah Sayap

Pada 2010, Pekka mulai dikembangkan di Kecamatan Kakap dan Kecamatan Teluk Pakedai. Bersama dengan kader Pekka Sungai Raya dan fasilitator lapang, aku bertugas mensosialisasikan program Pekka dan membentuk lima kelompok baru di Kecamatan Kakap, yaitu di Desa Sungai Itik, Punggur Besar, Jeruju Besar dan dua kelompok di Sungai Kakap. Tiga kelompok di Kecamatan Teluk Pakedai, yaitu dua kelompok di Desa Teluk Pakedai dan satu kelompok di Desa Teluk Pakedai Hulu.

Selain melakukan pendampingan kelompok, pendampingan pengurus dan pendampingan individu pada anggota, aku juga dipercaya untuk memfasilitasi Pelatihan Visi-Misi dan Motivasi Berkelompok. Awalnya kegiatan pelatihan Visi Misi dan Motivasi Berkelompok dilakukan oleh fasilitator lapang Yayasan PEKKA. Dengan semakin banyaknya kelompok dan untuk meningkatkan kapasitas kader-kader di wilayah, tugas tersebut mulai dilakukan juga oleh kader. Untuk dapat menjadi fasilitator dalam Pelatihan Visi Misi dan Motivasi Berkelompok atau pelatihan-pelatihan lainnya, kami dilatih dalam satu kegiatan ToT (Training of Trainer) dan dibekali dengan modul serta media pelatihan.

Pelatihan Visi, Misi, dan Motivasi Berkelompok merupakan pelatihan wajib bagi semua anggota Pekka. Pelatihan ini bertujuan untuk membangun visi kelompok secara bersama-sama, memahami arti berkelompok dan manfaat berkelompok, sehingga tumbuh semangat untuk berkelompok dan merasakan manfaatnya Pelatihan ini biasanya dilakukan setelah kelompok berusia tiga bulan. Jangka waktu ini dipilih karena menunjukkan keseriusan para anggotanya untuk berkelompok.

Ada beberapa kesan mendalam yang aku rasakan selama memfasilitasi pelatihan ini. Ada cerita yang sedih, mengharukan dan ada juga cerita yang lucu sehingga sangat berkesan bagiku. Contohnya: salah seorang ibu, sebut saja Ramnah. Ramnah bercerita jika dulu dia ingin bersekolah, namun dia memiliki banyak adik sehingga ayah dan  ibunya yang bekerja sebagai petani harus bekerja keras untuk menghidupi anak-anaknya. Ramnah merupakan anak tertua dari tujuh bersaudara. Saat dia menyatakan keinginannya tersebut, ibunya berkata, “Jika kamu ke sekolah berarti periuk di rumah kita harus bergantung saja di dinding karena Ibu tidak bisa pergi kerja karena harus menjaga adik-adikmu.”

Saat itu ibunya memberikan dua pilihan, bersekolah tetapi perut lapar atau menjaga adik-adiknya. Ramnah harus mengorbankan keinginannya agar keluarganya tetap bisa makan. Selama pelatihan, awalnya hampir semua ibu yang ikut merasa kaku dan malu untuk menceritakan kisah hidup mereka. Namun perlahan sikap mereka itu mencair, dan mereka menjadi senang karena permasalahan yang mereka hadapi bisa didengarkan dan didiskusikan penyelesaiannya dalam kelompok. Mereka juga senang karena materi yang diberikan menarik, dengan permainan-permainan serta diselingi dengan bernyanyi bersama.

Pengkaderan merupakan tantangan tersendiri bagi Pekka. Ada anggota yang malu, takut sehingga tidak mau berbicara, ada yang tidak menindaklanjuti apapun hasil pelatihan, juga ada yang mengundurkan diri. Namun tidak semuanya gagal. Banyak juga yang setelah mendapatkan pelatihan menjadi kader pengerak di wilayahnya. Dia yang awalnya tidak penah keluar rumah, tidak pernah berkumpul, setelah bergabung di kelompok Pekka dan mendapatkan pelatihan menjadi termotivasi dan menjadi aktif serta mau terlibat di segala kegiatan.

Setelah kader di antara mereka lahir, aku mulai mengurangi intensitas pendampingan di wilayah tersebut. Peran mendampingi kelompok tersebut selanjutnya dilakukan oleh kader-kader lokal di kecamatan atau kelompok masing-masing.

Menjadi Paralegal

Masih di tahun 2010, aku mengikuti Pelatihan Paralegal di Gedung PKK Melati Jaya, Jakarta Selatan. Ilmu tentang hukum dan kasus-kasus hukum dipelajari dalam pelatihan ini. Dari pelatihan ini aku mendapatkan pemahaman baru tentang ketidakadilan terhadap perempuan, sistem hukum, bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan, keparalegalan, bagaimana cara mendampingi kasus baik secara litigasi dan non litigasi serta bagaimana jalur hukum pidana dan hukum Perdata.

Sepulang dari pelatihan, aku memberanikan diri mengajukan gugat cerai ke Pengadilan Agama Kabupaten Mempawah. Saat itu aku ditemani oleh Mbak Fitria Villa Sahara dari Yayasan PEKKA Jakarta untuk mengajukan gugat cerai dengan cara pro deo. Pro deo adalah proses berperkara di pengadilan secara gratis dengan biaya dibebankan ke negara melalui anggaran Mahkamah Agung RI sebagai pemberian layanan hukum bagi masyarakat yang tidak mampu.

Ternyata aku  merupakan pengguna dana pro deo pertama di tahun itu. Setelah melalui dua kali sidang di pengadilan, aku resmi menyandang status janda cerai. Aku merasa lega dan senang karena statusku sudah jelas. Dengan pengalamanku berhadapan dengan hukum itulah aku mulai berani mendampingi teman-teman anggota serikat Pekka dan masyarakat yang tidak mampu.

Pada tahun 2010, anak-anak di Kabupaten Kubu Raya masih banyak yang belum memiliki Akta Kelahiran. Sedangkan saat itu pembuatan Akta Kelahiran harus dilakukan melalui sidang Pengadilan Negeri (PN). Tentu saja hal ini memberatkan masyarakat, terutama masyarakat miskin.  Waktu itu Kabupaten Kubu Raya baru mengalami pemekaran sehingga masyarakatnya harus membuat KK, KTP yang baru sesuai dengan alamat Kubu Raya. Untuk itulah, aku bersama kader lain  ingin membantu meningkatkan akses  masyarakat untuk mendapatkan identitas diri mereka.

Aku bersemangat untuk mengajak teman-teman kader untuk mendata masyarakat yang tidak mampu agar memiliki Surat Nikah dan Akta Kelahiran bagi anak-anak ibu Pekka dan masyarakat miskin. Pengumpulan data ini terbagi menjadi dua tahap. Tahap pertama berhasil mengumpulkan 80 data, dan sisanya terkumpul pada tahap dua sehingga terkumpul 140 data.

Bermodal data yang terkumpul kami kemudian melakukan advokasi ke Bupati Kubu Raya. Di rumah kediaman Bupati, aku bersama Kholillah menceritakan bahwa dari hasil data kami masih banyak anak Kubu Raya yang belum memiliki Akta Kelahiran dan Buku Nikah. Kami juga membahas tentang kesulitan masyarakat untuk membuat dispensasi sebagai syarat pembuatan Akta Kelahiran saat itu, karena harus melalui sidang  di pengadilan sebelum datang ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Kami meminta Bupati untuk memberikan surat rekomendasi sehingga akte bisa diterbitkan.

Bupati menyampaikan bahwa dia akan membantu terkait dispensasi kelahiran. Namun untuk isbat nikah, Bupati mengatakan belum ada dananya. Bupati juga meminta agar Pekka menyuarakan perlunya penghapusan aturan dispensasi dalam pembuatan Akta Kelahiran melalui sidang di tingkat nasional, karena itu menyulitkan masyarakat.

Berkat advokasi yang dilakukan ini, Pekka berhasil membantu 87 berkas pembuatan Akta Kelahiran tahap petama dan 67 berkas pada tahap kedua melalui dispensasi dari Bupati. Aku merasa senang bisa membantu orang banyak, apalagi apa yang aku lakukan itu  membuahkan hasil.

 

Mengasah Kepemimpinan

Masih di tahun yang sama, aku berkempatan mengikuti Pelatihan Kepemimpinan Tingkat Lanjut untuk Kader Pekka. Pelatihan ini dilakukan di tingkat nasional, tepatnya di Wisma LPP Yogyakarta, dan diikuti oleh perwakilan kader dari delapan provinsi. Kami diajarkan cara mengorganisir perempuan lainnya. Di sini aku belajar membedakan antara pemimpin dengan bos. Berbeda dengan bos yang merasa dirinya adalah atasan yang selalu memerintah dan menyalahkan bawahannya, seorang pemimpin selalu mengajak dan mengayomi anggotanya sehingga semua anggota menjadi senang saat kita ajak berdiskusi dan melakukan sesuatu yang positif.

Pelatihan Kepemimpinan ini kemudian dilakukan juga di wilayah yang difasilitasi secara langsung oleh staf Yayasan PEKKA, yaitu Mbak Kodar dan Mbak Mien. Kali ini aku ikut dilibatkan menjadi fasilitator pelatihan untuk menerapkan ilmu yang sudah didapatkan dari Yogya. Aku sedikit grogi karena dilihat orang Yayasan PEKKA. Ini merupakan pengalaman pertamaku dalam memfasilitasi ibu-ibu yang menjadi perwakilan berbagai kabupaten.

 

Mendaki Lebih Tinggi

Pada 2011, bertempat di Desa Rasau Jaya Umum, Kecamatan Rasau Jaya Pekka Kubu Raya menyelenggarakan Forum Wilayah ke-4. Forum Wilayah (Forwil) merupakan salah satu wadah berkumpulnya anggota Pekka dari kelompok-kelompok yang ada di Kalimantan Barat, yakni yang tercakup dalam wilayah Kabupaten Mempawah, Kota Pontianak, dan Kabupaten Kubu Raya.

Kegiatan Mubes ini dihadiri oleh perwakilan anggota Serikat Pekka dari Kecamatan Sungai Raya, Kakap dan Rasau Jaya.  Selain aku, ada dua orang lain yang dicalonkan. Setelah melalui proses pemilihan, aku terpilih menjadi ketua, Maisarah sebagai sekretaris dan Bainah sebagai bendahara. Saat itu Kecamatan Kakap tidak bisa mencalonkan pengurus dari wilayahnya karena belum memenuhi persyaratan karena masih termasuk wilayah yang baru.

Deg-degan dan malu, itulah yang aku rasakan saat itu. Apalagi ini merupakan kali pertama pembentukan serikat tingkat kabupaten di Kubu Raya. Ada kekhawatiran di dalam hatiku. Bagaimana jika aku tidak mampu menjalankan amanah yang diberikan, apalagi posisiku sebagai kepala keluarga yang harus membagi waktu untuk mencari uang dan mengurus anak.

Setelah selesai pemilihan, kemudian diadakan rapat untuk membuat rencana kerja satu tahun ke depan. Kegiatan yang akan dilaksanakan di antaranya adalah pendataan dan pendampingan kasus dokumen identitas, KLIK Identitas Hukum, dan kegiatan peningkatan ekonomi anggota khususnya di bidang pertanian karena sebagian besar anggota adalah petani.

Serikat melakukan pendekatan ke Bupati Kubu Raya untuk meminta rekomendasi pembuatan akte tanpa sidang. Hasilnya ada 140 dokumen untuk Akta Kelahiran diurus Pekka dengan rekomendasi Bupati. Hanya saja untuk permohonan isbat nikah dan pelaksanaan pelayanan terpadu (Yandu) belum dapat  dilaksanakan karena belum ada pendanaan. Yandu hasil advokasi ini baru kemudian terlaksana mulai tahun 2016 dengan dana hibah dari Pemda Kubu Raya dan dilaksanakan secara rutin setiap 2 tahun.

Hal lain yang diurus serikat adalah lumbung padi dan jurnalisme warga. Ada dua lumbung padi yang dikembangkan saat itu di Kubu Raya, yaitu di Sungai Raya dan Rasau Jaya. Lumbung ini dibuat untuk menampung panen anggota dan juga bisa dipinjamkan saat anggota membutuhkan.

Pada masa itu juga ada penerbitan jurnalisme warga melalui SMS gateway. Ini merupakan salah satu kegiatan yang dikembangkan untuk memantau program pemerintah. Aku mendapat tugas sebagai editor, yang salah satu tugasnya adalah menyeleksi informasi pengaduan masyarakat yang masuk melalui SMS. Informasi tersebut kemudian disusun dalam satu buletin yang akan digunakan sebagai salah satu bahan advokasi berbasis bukti ke dinas terkait.

Mulai tahun 2013, keterlibatan Pekka dengan pemerintah daerah secara intensif dilakukan. Serikat Pekka mendorong dinas-dinas terkait seperti Dinas Kependudukan dan Pencatatan sipil, Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, KUA, dan Polsek setempat untuk hadir dalam diskusi kampung; Mereka jadi bisa mendengarkan secara langsung keluhan dari masyarakat, dan mereka bisa memberikan informasi tentang program pemerintah terkait dengan benar.

Aku berusaha menjalankan peran sebagai ketua serikat dengan baik semampuku. Meskipun saat itu tidak ada motor, aku usahakan pinjam dari sana-sini agar bisa melakukan pendampingan atau mengikuti setiap kegiatan yang direncanakan.

Banyak perubahan yang menurutku terjadi. Suara dan pengaruh Serikat Pekka lebih didengar dan dikenal. Kini Serikat Pekka Kubu Raya mulai dilibatkan dalam Musrembang dan rapat dengan OPD di kabupaten. Misalnya, untuk merumuskan SDG’s. Sedangkan secara pribadi, kemampuan berkomunikasi dan berkoordinasiku berkembang. Jiwa sosial dan kepedulian bertambah karena semakin dekat dengan masyarakat, lebih sensitif terhadap kebutuhan masyarakat miskin. Selalu ingin membantu karena banyak keberhasilan yang dicapai.

Masih di tahun yang sama, aku juga mengikuti Pelatihan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang difasilitasi oleh Mbak Mulyati dari Seknas Pekka Jakarta. Pesertanya adalah pengurus LKM. Ada perwakilan dari LKM Sungai Raya, Rasau Jaya, dan Kakap. Kegiatan ini dilaksanakan di Center Pekka Sungai Raya selama tiga hari, dengan Pelatihan ini bertujuan agar semua pengurus memahami cara mencatat dan membuat pembukuan yang baik dan benar. Setelah mengikuti pelatihan ini aku semakin mengerti dan bertambah ilmu tentang pencatatan pembukuan karena semua harus dilakukan dengan baik dan benar agar LKM yang kita kelola sehat dan dipercaya.

Pengakuan keberadaan serikat Pekka terlihat juga dari berbagai undangan yang ditujukan ke organisasi Serikat Pekka, salah satunya adalah seminar yang diadakan sebuah NGO bekerja sama dengan Pemda Kubu Raya, Kegiatan ini dilaksanakan di Hotel Gardenia, Kubu Raya. Serikat Pekka dan beberapa organisasi lainnya, dinas-dinas, tokoh masyarakat, tokoh agama, DPR dan Pemerintah hadir pada acara ini. Kegiatan seminar ini membahas tentang SGDs Kabupaten Kubu Raya di bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi, sosial dan budaya. Saat itu peneliti dari JARI Borneo menyampaikan pentingnya transparansi dalam proses pembangunan. Dari kegiata ini aku mendapatkan gambaran tentang persentase pendanaan masing-masing bidang, yaitu bidang kesehatan, pendidikan, dan sebagainya.

 

Menanam di Kebun Lain

Untuk memperluas jangkauan penerima manfaat program, pada tahun 2012 Pekka melakukan perluasan ke kabupaten lainnya yaitu di Kabupaten Bengkayang, tepatnya di Desa Sungai Kran, Sungai Raya,  Rukmajaya, Karimunting, di Kecamatan Sungai Raya Kepulauan. Selain aku, Diana, Dany dan Kholillah ada beberapa kader lain terlibat yaitu Yunida, Suryani, Sundari, Mailana, Nurjanah, Siti Rodiyah, Asmawati, Hartiah, Rohaya. Ini merupakan kali pertamaku dalam melakukan pengembangan Serikat Pekka ke kabupaten lain. Kami berbagi tugas dalam prosesnya.

Untuk sampai ke Sungai Raya Kepulauan, maksimal kami harus berangkat dari rumah pukul 6 pagi menuju halte bus. Bus dengan rute Pontianak – Bengkayang ini akan menempuh perjalanan selama empat jam. Kami juga tetap membawa motor untuk transportasi lokal di lokasi. Motor tersebut harus dinaikkan ke atas bus. Pada kedatangan kedua di Bengkayang, ban motor Dani pecah tersangkut besi bus.

Sebelum turun ke lapangan, kami mengurus perizinan ke Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) dan secara paralel kami juga melakukan kunjungan ke Bupati dan Dinas Pemberdayaan Perempuan untuk sosialisasi program PEKKA. Kantor bupati dan Kesbangpol begitu jauh. Rutenya sangat rawan, jalan turun naik dan berliku melintasi kawasan Gunung Pandreng atau orang biasa menyebutnya Gunung Obat Nyamuk karena jalannya melingkar seperti obat nyamuk. Perlu tiga jam perjalanan dari Sungai Raya Kepulauan untuk sampai di lokasi, itu artinya tujuh jam perjalanan jika dari rumahku. Di perjalanan aku mabuk berat, lima kali muntah saat berangkat dan lima kali saat pulang.

Meski mabuk sepanjang perjalanan tapi fisikku masih kuat dan aku tetap bersemangat. Aku merasa senang karena punya kesempatan pergi ke kabupaten baru. “Saya salut sama  Kakak ni. Walaupun muntah semangat jika diajak makan. Meski dimuntahkan lagi, tetap semangat makan lagi,” ujar Diana yang disambut tawa dari yang lain. Itulah cerita lucuku saat pengembangan Pekka di Kabupaten Bengkayang yang tak pernah terlupakan.

Kelompok pertama yang terbentuk di Bengkayang adalah kelompok Pekka Perintis. Pak Sukarni yang kebetulan masih kerabat Suriyani, Kader Pekka Kubu Raya merupakan tokoh masyarakat yang membantu sosialisasi Pekka ke masyarakat.

Secara umum banyak suka dan duka saat melakukan pembentukan kelompok Pekka, khususnya di wilayah baru. Sukanya merasa senang jika saat kita sosialisasi disambut dan direspon baik oleh Kepala Desa, RT dan masyarakat setempat; atau saat mereka langsung bersemangat membentuk kelompok hingga aktif sampai sekarang. Sebaliknya, sedih rasanya saat ada kelompok yang baru sebulan terbentuk sudah bubar atau  saat sosialisasi tidak direspon baik, dijanjikan oleh aparat atau masyarakat akan membentuk kelompok pada bulan depan, namun saat kami datang, tidak ada orang  yang mau datang.

Selain pengembangan wilayah dan pelatihan dasar di kelompok, pada tahun 2012 ini juga dilaksanakan Pelatihan Paralegal di Kabupaten Bengkayang. Kegiatan ini dilaksanakan selama empat hari di Desa Sungai Raya, Kecamatan Sungai Raya Kepulauan, Kabupaten Bengkayang.  Pengurus dan anggota yang potensial menjadi kader paralegal Pekka adalah  perwakilan dari kelompok Pekka di Bengkayang diundang untuk ikut dalam kegiatan ini.

Selain Dany, Kholillah dan Diana, ada aku dan Mbak Sundari menjadi fasilitator dalam pelatihan ini. Aku merasa senang dan bangga. Ini pertama kalinya aku memfasilitasi pelatihan paralegal di tingkat kabupaten. Setelahnya, aku mulai dilibatkan untuk memfasilitasi Pelatihan Manajemen Keuangan, Pelatihan Pengorganisasian Masyarakat atau Community Organizing (CO), kepemimpinan dan kesehatan reproduksi.

Kegiatan lainnya yang dilakukan pada tahun 2012 adalah mengikuti semiloka dengan tema “Peran Perempuan untuk Transformasi dan Pencegahan Konflik” yang diselenggarakan oleh Ombudsman. Kegiatan ini dilaksanakan di Hotel Randayan Kabupaten Kubu Raya.

Di tahun 2012 ini pula, aku bersama dengan Mailana, Suryani dan Sudiatun mengikuti Kelas Pendidikan dan Wisuda Keuangan untuk Perempuan Matang yang diselenggarakan PPSW dan SPBK. Dengan mengikuti kegiatan ini, aku lebih memahami cara mengelola uang sehari-hari sehingga bisa menyisihkan uang untuk menabung untuk investasi di masa depan.

Kegiatan lainnya yang aku ikuti adalah workshop dengan tema “Pekerja Anak dan Dampak Buruk Eksploitasi terhadap Anak”. Kegiatan ini diselenggarakan oleh BPPKB Kubu Raya bekerjasama dengan Aisyiah. Selain senang mendapatkan ilmu dan teman baru, aku merasa bangga karena Pekka diminta memberikan pendapat dan masukan terkait pekerja anak.

Belum selesai masa jabatanku sebagai pengurus serikat kabupaten, pada tahun 2013 aku dipercaya menjadi ketua Serikat Pekka Provinsi Kalimantan Barat dalam Mubes Pekka tingkat provinsi. Acara ini digandengkan dengan pelaksanaan Forwil Pekka Kalbar V.

Dengan amanah yang diberikan padaku ini, aku merasa bertanggung jawab untuk memajukan dan mengembangkan Serikat Pekka yang lebih luas. Aku tidak lagi hanya memikirkan kemajuan Serikat Pekka Kabupaten Kubu Raya saja, tapi  Serikat Pekka seprovinsi.

Tahun ini Yayasan PEKKA kembali mempertemukan anggota Pekka di seluruh Indonesia dalam acara Forum Nasional Pekka III yang berlokasi di Hotel Grand Cempaka, Jakarta Pusat. Perwakilan Pekka dari delapan provinsi berkumpul. Selain aku, ada 40 orang anggota Pekka lainnya dan tiga orang faslap sebagai perwakilan Kalimantan Barat.  Forum seperti ini adalah hal yang dinantikan oleh banyak anggota Pekka di seluruh Indonesia karena bertemu kembali dengan anggota Pekka,  bertambah teman dan berbagi pengalaman dari wilayah lain.

Saat itu aku diminta untuk menjadi ketua sidang pada acara Munas Serikat Pekka. Ini merupakan pengalaman pertamaku memimpin sidang di tingkat nasional yang dihadiri oleh 500-an orang anggota Pekka dari 18 provinsi. Salah satu hasil keputusan sidang adalah penetapan Siti Aminah, Kornelia Bunga, dan Siti Hasanah sebagai pengurus Federasi Serikat Pekka periode 2013 s/d 2016. Merasa senang dan bertambah ilmu karena aku bisa berkunjung ke Kemendagri dan banyak hal yang dapat aku tanyakan disana terkait kepengurusan dokumen identitas diri.

 

Derap Langkahku Semakin Bertambah

 

Sebagai Ketua Serikat Pekka Provinsi Kalimantan Barat, pada tahun 2014 aku diundang untuk mengikuti pelatihan “Peningkatan Kepemimpinan Kader Pekka untuk Perluasan dan Perkembangan Serikat Pekka” yang dilaksanakan di Hotel Novotel, Surabaya. Dengan pelatihan ini diharapkan akan lahir kader yang bisa mengembangkan Serikat Pekka di wilayahnya masing-masing.

Aku juga mendapatkan Pelatihan Jurnalisme Warga di Hotel Santika Bekasi Jakarta. Dalam kegiatan ini kami belajar cara membuat berita dan cerita. Belajar membuat cerita menggunakan 5W + 1H. Pulangnya kami harus membuat berita kegiatan-kegiatan dan cerita ibu-ibu Pekka untuk diterbitkan dan sebagai bahan untuk advokasi ke pemerintah

Launching Klinik Layanan Informasi dan Konsultasi PEKKA atau biasa disingkat dengan KLIK PEKKA diselenggarakan juga pada tahun ini. Aku terlibat dalam kepanitiaan KLIK saat itu. Staf Yayasan PEKKA Jakarta, Pengadilan Agama, KUA, Disdukcapil, Kader Serikat Pekka, Camat dan Kades hadir dalam kegiatan yang diresmikan oleh Wakil Bupati Kubu Raya di Kecamatan Rasau Jaya  ini.

Diskusi kampung juga mulai intensif dilakukan di beberapa desa di Kubu Raya. Dinsos, Dinkes, KUA, Capil dan Polsek merupakan instansi yang biasa turun lapang mengikuti acara tersebut. Masyarakat desa merasa senang karena dengan adanya diskusi kampung mereka bisa menyampaikan permasalahan mereka di desa dan mereka bisa mendapatkan informasi langsung dan pemecahan permasalahan mereka dari dinas terkait.

Pada tahun 2015, Serikat Pekka melakukan perluasan wilayah ke Kabupaten Landak. Selain aku ada Kholillah, Asmawati dan Kristina Utami yang bertanggungjawab dalam kegiatan ini. Pemerintah daerah cukup mendukung program Pekka yang akan dilaksanakan disana.

Peristiwa penting lainnya yang terjadi di tahun ini adalah Pelatihan Pelayanan Terpadu Identitas Hukum. Berlokasi di Hotel Mercure Pontianak Kalbar,  pelatihan ini ditujukan bagi petugas dan mitra pelaksana pelayanan terpadu untuk meningkatkan layanan kepemilikan buku nikah dan akta kelahiran.

Pasca pelatihan, aku dan beberapa kader lainnya terlibat dalam kepanitiaan launching Pelayanan Terpadu (YANDU) yang diselenggarakan di Kantor Desa Pematang Tujuh Kecamatan Rasau Jaya, Kabupaten Kubu Raya. Desa tersebut dipilih sebagai tempat pelaksanaan kegiatan karena banyak data masyarakat yang belum memiliki buku nikah termasuk kepala desanya.

Acara ini merupakan kerjasama antara  Serikat Pekka dengan  Pemda Kubu raya. Pemda mengalokasikan dana sebesar 175 juta rupiah agar dikelola Serikat Pekka untuk pelaksanaan YANDU. Mewakili Serikat Pekka, aku memberikan kata sambutan di depan pejabat penting daerah dan tamu-tamu undangan lainnya. Satu pengalaman yang sangat luar biasa, ada kebanggaan tersendiri disana.

Aku menjadi salah satu anggota tim pembaharuan. Kegiatan ini difasilitasi oleh Pak  Wilarsa dan Mbak Etik. Tim Yayasan PEKKA bersama pengurus Federasi lain yaitu Nursia Yaru, dan Nurhasanah bertanggung jawab untuk merumuskan kelembagaan gerakan Pekka ke depannya. Dalam forum ini dibahas tentang bagaimana pengembangan Federasi Serikat Pekka.

Masih di tahun yang sama, aku mengikuti Bimbingan Teknis Pengawasan Pelayanan Publik yang diselenggarakan di Hotel Golden Tulip Pontianak Kalbar. Hadir dalam kegiatan tersebut perwakilan dari Ombudsman RI, dinas-dinas terkait dan lembaga organisasi di Kota Pontianak dan Kubu Raya. Melalui kegiatan-kegiatan semacam inilah aku banyak mengenal teman-teman baru dari Dinas Kesehatan, Perhubungan, Capil, Pendidikan dan Camat dari beberapa wilayah, juga mendapat informasi baru tentang pelayanan publik. Aku juga mengetahui jika dinas-dinas yang bekerja di bidang pelayanan publik harus harus memberi pelayanan dengan baik, jika tidak bisa diadukan dan di laporkan kepada Ombusman untuk ditindaklanjuti.

Akademi Paradigta

 Pada tahun 2016 mulailah dikembangkan pendidikan kepemimpinan perempuan secara terstruktur melalui Akademi Paradigta di Kubu Raya. Peluncuran akademi ini diselenggarakan di Aula Kantor Bupati Kubu Raya dan dibuka oleh Wakil Bupati Kubu Raya yang sangat mendukung kegiatan ini.  Hadir dalam kegiatan tersebut BPMPD, Dinas PP, para camat dan kades. Sebagai ketua serikat, aku diminta memberikan kata sambutan dalam kegiatan tersebut.

Proses penyelenggaraan kegiatan ini sangat panjang. Diawali dengan sosialisasi  ke kantor BPMPD, Dinas PP, camat dan desa-desa oleh Dani dan Umi Reny sebagai koordinator pendidikan bersama delapan orang mentor Akademi Paradigta serta Mbak Wilu dari Yayasan PEKKA.

Pelaksanaan kelas belajar pertama dilaksanakan di Sungai Raya Satu tepatnya di Center Pekka Desa Ambangah disusul kelas Sungai Kakap di kantor CU Muara Pesisir Lama. Pengalamanku bertambah, semakin mengenal banyak desa, para kepala desa, camat dan teman-teman baru yang menjadi akademia Paradigta.

Beberapa bulan kemudian diselenggarakan Seminar Akademi Paradigta di Aula Kantor Camat Sungai Kakap. Kegiatan ini bertujuan untuk memperkenalkan Akademi Paradigta kepada pemerintah daerah mulai tingkat desa hingga kabupaten. Seminar Akademi Paradigta ini dihadiri oleh Bupati Kubu Raya yang sekaligus memberi kata sambutan dan membuka acara seminar. Aku merasa senang karena Camat Sungai Kakap sangat membantu dan mendukung penuh acara ini dengan menegaskan semua kepala desa untuk hadir.

Tahun 2018, berlokasi di Hotel Santika Bekasi, seluruh tim mentor, koordinantor pendidikan  Akademi Paradigta bersama Yayasan PEKKA di Indonesia melakukan refleksi dan Perencanaan Strategi Akademi Paradigta.  Di sini kami juga merefleksikan dan evaluasi pelaksanaan kelas serta mereview modul-modul yang sudah diajarkan pada Akademia; apakah sulit atau mudah untuk dipahami. Pada kesempatan ini ada penambahan praktik fasilitasi modul 7-10 dan modul kebangsaan di depan tim Yayasan PEKKA sebagai pelatih.

Sebagai tindak lanjut rekomendasi dari Tim Pembaharuan yang telah dilaksanakan sebelumnya, pada tahun ini dilakukan Mubes Serikat Pekka se-Kalimantan Barat yang berlokasi di Center Pekka Ambagah. Hadir pengurus Serikat Pekka dari empat kabupaten. Mubes dilakukan sesuai dengan ketentuan yang sudah di buat oleh Tim Pembaharuan. Saat itu Mbak Villa hadir sebagai salah satu tim pembaharuan yang memfasilitasi proses Mubes.

Tahun 2016 merupakan tahun yang tak terlupakan bagiku karena dalam Musyawarah Nasional Federasi Serikat Pekka bertema “Pengembangan Kepemimpinan dan Organisasi Federasi Serikat Pekka” di Hotel Santika Bekasi Jakarta pada tanggal 6-10 Desember 2016, aku dipercaya menjadi pemimpin sidang pada acara Munas. Aku pun terpilih menjadi bendahara bersama Siti Hasanah dari Cianjur sebagai  ketua dan Siti Nurhalimah dari Lombok Tengah sebagai Sekretaris.

Rangkaian kegiatan akademi paradigta terus berlanjut. Pada tahun 2017, diadakan Semiloka Nasional  Pengembangan Kepemimpinan Perempuan Desa. Selain tim mentor, kegiatan ini juga dihadiri oleh perwakilan akademia, kepala desa dan BPMD  dari wilayah dimana Akademi Paradigta dikembangkan. Wakil Bupati Kubu Raya secara khusus diundang karena dukungannya terhadap kelas Paradigta dengan lahirnya Peraturan Bupati Kubu Raya yang mengatur alokasi Dana Desa untuk Akademi Paradigta

Wisuda Akademi Paradigta angkatan pertama dilakukan di Aula Kantor Bupati Kubu Raya. Bunda Nani dan Oemi Faezati hadir dalam kegiatan tersebut bersama Bupati Kubu Raya, Pemda, PP, BPMPD, dinas-dinas terkait, camat-camat, kades-kades, BPD, PKK, tim mentor dan tentu saja para akademia Paradigta yang dinyatakan lulus.

Untuk memperluas jangkauan akademi Paradigta pada tahun kedua dilakukan Pelatihan Mentor gelombang II yang berlokasi di Wisma Kanopi Kota Pontianak. Mbak Nunik dari Yayasan PEKKA ikut memfasilitasi kegiatan tersebut bersama koordinator pendidikan dan tim mentor lama. Penambahan kelas rencananya akan dilaksanakan di kecamatan baru dan dan pengembangan di Kabupaten Mempawah dan Kota Pontianak.

Dalam pengembangan Akademi Paradigta ini, aku diberi tanggungjawab untuk mendampingi penyelenggaraan kelas di Kecamatan Telok Pakedai Kabupaten Kubu Raya dan Kelurahan Sungai Pinyuh Kabupaten Mempawah. Kelas Paradigta Kecamatan Telok Pakedai diikuti sejumlah 43  orang akademia sedangkan di Kelas Kabupaten Mempawah 32 orang. Sosialisasi, orentasi dan pembukaan kelas di lakukan di kantor kecamatan masing-masing kelas.

Merunduk di Tempat Tertinggi

Munaslub Federasi Serikat Pekka diselenggarakan, tepatnya pada Mei 2018 di Gadog Desa Sukamanah Mega Mendung Bogor. Munaslub ini dilaksanakan karena ketua federasi akan menikah. Berdasarkan ketentuan dalam AD/ART jika ada  pengurus yang akan menikah maka harus mengundurkan diri. Aturan ini berlaku baik di tingkat nasional sampai kepengurusan di tingkat wilayah. Dalam Munaslub ini aku terpilih dan ditetapkan menjadi pengurus Federasi periode 2018-2021.

Tak terasa, sebelas tahun sudah aku meniti perjalanan bersama PEKKA, sejak di Kubu Raya hingga kini di tingkat nasional. Perasaan bercampur aduk, antara bangga dan rasa tanggung jawab yang semakin besar.

Agak berat rasanya menjadi ketua Federasi. Tanggung jawab bertambah. Banyak hal harus dipikirkan untuk kemajuan dan perkembangan Federasi dan Serikat Pekka di seluruh provinsi. Namun terbesit juga rasa bangga, bagiku, untuk keluarga dan terutama Serikat Pekka Kabupaten Kubu Raya. Ada rasa haru saat petugas lapangan Kholilah menyampaikan kepada Bupati, para Kepala Dinas, dan Camat di Kubu Raya, ihwal kedudukanku saat ini sebagai Ketua Federasi Serikat PEKKA Nasional, mewakili 20 provinsi di seluruh Indonesia. Juga mengabarkan, dengan posisi tersebut, aku pun bertugas di Jakarta mulai Agustus 2018. Seketika para pejabat yang terhormat mengucapkan selamat dan memujiku hebat karena putra daerah Kalimantan Barat bisa menjadi ketua di tingkat nasional. Mereka begitu bangga, dan aku bahagia bisa menjadi kebanggaan mereka. Sungguh aku tidak menyangka jika aku akan sampai di titik ini.

Saat aku diminta untuk bertugas di Jakarta, aku tidak bisa memutuskan sendiri dan harus berdiskusi bersama anak-anak dan keluargaku, namun kemudian mereka mengembalikan keputusan semuanya di tanganku. Jika itu baik untuk karierku mereka hanya bisa mendorong dan menyemangati. Dukungan dan dorongan mereka itulah yang sesekali justru mengoyak rasa kesedihanku karena harus berpisah.

Kepergianku kali ini bukan seperti biasa. Seperti pergi pelatihan saja yang biasanya hanya pergi paling lama dua minggu setelah  itu pulang dan bertemu kembali dengan mereka. Namun kali ini, aku harus pergi selama bertahun-tahun.

Belum lagi pergi, aku berpikir dan tidak bisa tergambar rasanya  harus berpisah lama, jauh dan memendam rindu mendalam. Membayangkan berpisah dengan keluarga, kampung halaman dan Pekka di wilayah. Ini seringkali membuat aku tidak bisa menahan derai air mata. Meski setelah ditumpahkan, aku merasa lega. Aku kembali menyemangati diri, aku berpikir lagi demi perkembangan kemajuan Federasi dan Serikat Pekka di wilayah, aku harus bisa dan kuat untuk kedepannya.

Aku pun menyetujuinya untuk pindah di Jakarta sebagai tugas dan tanggung jawabku sebagai pengurus Federasi. Bulan Agustus 2018, aku mulai bertugas dan berkantor di Sekretariat Federasi Serikat Pekka Jakarta.

Ada kebingungan saat awal mulai berkantor. Apa yang harus kukerjakan? Bagaimana cara melakukannya? Apa dulu yang harus aku kerjakan? Banyak pekerjaan yang tidak aku pahami. Akhirnya aku hanya mengikuti saja proses pendampingan yang dilakukan oleh Yayasan PEKKA.

Pertama diajak menghadiri undangan, lagi-lagi begitu canggung dan malu. Berjumpa dengan orang-orang yang belum kukenal sebelumnya, orang-orang yang kukira berpendidikan tinggi. Mereka fasih berbahasa Inggris.

Aku bersyukur, aku bisa lekas beradaptasi. Terlebih setelah mengenal teman dari lembaga lain. Federasi PEKKA pun mulai dikenal. Bahkan, sering dilibatkan dalam banyak kegiatan. Salah satunya, menjadi panitia yang membahas Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).

Aku senang dan  merasa bangga saat aku menjelaskan tentang Federasi Serikat Pekka di depan umum yang selama ini Yayasan PEKKA saja yang melakukan. Aku juga menyampaikan beberapa kegiatan yang sudah dilakukan serikat pekka di 20 provinsi, seperti: KLIK PEKKA, Diskusi Kampung dan Yandu dengan mengakses dana Pemda hingga membuat lembaga lain tertegun dan mengucapkan kata hebat.

Lepas dari segala kekurangan yang ada, setidaknya aku berusaha menjadi pengurus Federasi Serikat Pekka dengan sebaik-baiknya. Melaksanakan tugas internal maupun eksternal. Dalam banyak kesempatan aku memaparkan kegiatan-kegiatan Serikat PEKKA di 20 provinsi.(Yanto/Lits)

Bagikan Cerita Ini

Cerita Terkait

Leave a Comment