Kesulitan Hidup Memberiku Kekuatan
Kisah Hidup Siti Rokayah

Menjadi TKI adalah cara terbaik bagiku untuk membantu orang tua. Jalan ini aku tempuh setelah putus sekolah. Setelah terpukul karena kehilangan anak, perlahan aku bangkit. Pekka membuka cakrawalaku, sekaligus membantuku untuk menjadi kuat.


 

Desa Pekan Bandar Khalifah adalah kampung kelahiranku. Di desa yang di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara ini, aku lahir pada 1973. Aku anak kedua dari lima orang bersaudara. Namaku Siti Rokayah, dan biasa dipanggil Rokayah.

Bapakku bekerja sebagai penjual ikan keliling. Beliau mengambil ikan dari nelayan pada malam hari, lalu mengayuh sepeda tuanya berkeliling kota untuk menjajakan ikan di pagi buta.

Seringkali, Bapak tidak berhasil menjual ikan-ikan yang telah dibelinya. Bapak pernah terpaksa menukarnya dengan buah-buahan, karena tidak ada yang membelinya. Bahkan, semua ikan yang telah Bapak beli dibawa pulang karena tidak ada yang membeli. Kalau sudah begitu, Bapak akan mengasinkan ikannya agar bisa dijual kembali menjadi ikan garam (ikan asin). Tentu saja, harganya akan menjadi sangat murah. Bapak pun merugi.

Sejak berusia tujuh tahun aku mulai mengalami sakit gangguan lambung (maag) yang bisa kambuh setiap minggu. Aku sudah mencoba berbagai cara untuk mengobatinya, seperti meminum obat dari dokter sampai ramuan herbal dari dedaunan yang direbus Ibu. Namun, penyakit itu berulang kali datang hingga aku merasa lelah. Aku juga merasa sedih dan kasihan kepada orang tuaku, karena harus menyisihkan uang agar aku bisa berobat. Padahal, untuk makan sehari-hari saja kami masih kesulitan.

 

Kehilangan Bapak

Kesulitan ekonomi yang menghimpit kami membuat Bapak memintaku untuk tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA. Aku hanya bisa sekolah sampai tamat SMP. Saat itu kakakku duduk di kelas 1 SMA dan masih membutuhkan banyak biaya. Bapak memintaku agar mengalah dan membantunya bekerja untuk mencari tambahan penghasilan.

Aku merasa sangat marah dan kecewa, karena dipaksa untuk mengalah kepada kakakku. Dalam kekecewaanku, aku memutuskan untuk pergi dari rumah dan tinggal bersama Bibi di Batubara.

Tiga bulan kemudian, Bapak datang menemuiku. Dia meminta maaf. Air mata penyesalan tumpah membasahi pipinya. “Nak, mari kita pulang, jangan marah lagi dengan Bapak sama Mamak dan maafkan segala kekurangan kami,” pintanya lirih.

Mendengar ucapan Bapak, dadaku terasa sesak. Aku tersadar telah melukai hati kedua orang tuaku. Aku menyadari tidak ada orang tua yang tidak menginginkan anaknya tidak bahagia. Aku merasa bahwa keadaanlah yang memaksa mereka mengambil keputusan sulit tersebut. Lalu, aku putuskan untuk pulang bersama Bapak dan mencoba melamar pekerjaan di kampung.

Alhamdulillah, aku diterima bekerja di PT Ahlindo Perkasa Alam, sebuah perusahaan mebel di Deli Serdang, Sumatera Utara. Aku bekerja selama lima tahun. Walaupun penghasilan yang aku dapat tidak seberapa, namun cukup membantu meringankan beban orang tua dalam memenuhi ekonomi keluarga.

Sampai suatu ketika Bapak dipanggil pulang ke pencipta-Nya. Aku kembali merasa hancur, sedih, dan begitu kehilangan. Ditambah lagi, setelah kepergian Bapak, keadaan ekonomi kami tambah terpuruk.

Mamak terpaksa bekerja di tambak udang sebagai pembersih kolam. Upahnya hanya lima ribu rupiah per hari. Kadang, Mamak juga menjadi buruh dengan menanam padi saat musim tanam dengan upah sepuluh ribu rupiah per hari. Dengan penghasilan seperti itu, Mamak tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup kami setiap hari. Apalagi kakak dan adik-adikku masih butuh biaya untuk pendidikan.

 

Menjadi TKI

Saat usiaku sudah genap sembilan belas tahun, aku meminta izin kepada keluarga untuk menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia. Saat itu Mamak dan Nenek tidak mengizinkan karena penyakit lambungku masih sering kambuh. Namun, aku yakinkan mereka bahwa aku bisa menjaga kesehatanku. Aku bekerja demi membantu Mamak membiayai sekolah adik-adik, paling tidak mereka bisa bersekolah sampai lulus SMA.

Berbekal informasi dari kawan-kawan dan adik sepupu yang sebelumnya sudah menjadi TKI di Malaysia, aku memberanikan diri pergi ke Medan untuk mencari agen TKI resmi yang direkomendasikan.

Aku mengikuti proses yang disyaratkan, mulai dari tes kesehatan sampai menyerahkan surat-surat yang diperlukan sebagai dokumen administrasi. Alhamdulillah, aku dinyatakan lulus persyaratan dan mendapat visa bekerja.

Di Malaysia, tepatnya di Pulau Pinang, aku bekerja di PT Mattel, sebuah perusahaan pembuat mainan anak-anak, sebagai operator bagian pengecatan. Upah yang aku terima saat itu sebesar 400 Ringgit atau setara dengan Rp 300 ribu per bulan. Upah tersebut adalah upah bersih yang aku terima, setelah dikurangi biaya untuk membayar jasa agen TKI yang aku cicil setiap bulan dari gajiku. Pendapatanku baru bertambah jika bekerja lembur.

Hari-hari pertamaku di perantauan terasa sangat berat. Aku harus pintar-pintar mengelola penghasilanku untuk biaya hidup dan untuk dikirim kepada Mamak di kampung. Penyakitku yang sering kambuh juga sangat mengganggu pekerjaanku. Aku sering bertanya-tanya di dalam hati, mampukah aku menjalani tanggung jawab yang berat ini dengan kondisi kesehatanku.

Hingga suatu hari, teman kerjaku, Noni, berkata bahwa penyakitku bisa sembuh dengan cara melawannya. Dia menyarankan agar aku mengkonsumsi makanan yang menjadi pantangan untuk penyakitku. Aku ikuti sarannya dengan meminum Cocacola dan makan dua irisan buah nanas dengan keadaan perut kosong. Tentu saja sesudahnya aku langsung kesakitan.Aku bahkan sempat tidak sadarkan diri sehingga harus dilarikan ke klinik untuk dirawat.

Setelah sembuh, aku tidak jera dan justru mencobanya berulang kali sambil berpikir jika Allah mau mencabut nyawaku, aku siap. Aku sudah sangat lelah dengan penyakit ini. Ada juga kawan yang menyarankan agar aku berpuasa rutin setiap hari Senin dan Kamis. Semua saran dan nasihat aku lakukan agar aku bisa sembuh dan sehat.

Alhamdulillah, entah karena terapi atau pengobatan yang mana, akhirnya aku bisa sembuh. Hingga kini penyakit itu tidak lagi kambuh. Sungguh perjalanan yang cukup panjang dan tidaklah mudah. Namun, aku menyadari bahwa semua berkat pertolongan Allah SWT, hingga akhirnya aku bisa membantu Mamak membiayai sekolah adik-adik hingga tamat SMA.

 

Bertemu Jodoh

Bulan Desember tahun 1995, di area Tapak Pesta Sungai Nibong, Penang, Malaysia, sedang diadakan Pesta Pulau Pinang. Pesta ini adalah sebuah agenda tahunan yang berlangsung selama bulan Desember. Pesta Pulau Pinang ini digelar dalam bentuk pasar malam yang terbuka bagi seluruh kalangan masyarakat. Ada berbagai wahana permainan di sana. Tak hanya itu, berbagai pameran juga digelar untuk memeriahkannya.

Aku dan teman-teman kerja berkunjung ke sana, dan secara tidak sengaja bertemu dengan laki-laki asal Sulawesi, juga seorang TKI. Sejak saat itulah kami saling mengenal dan semakin dekat satu sama lain.

Setelah perkenalan yang cukup lama, kami memutuskan untuk menikah pada  April 2000 di rumah orang tuaku di Deli Serdang. Usiaku saat itu sudah 25 tahun dan suami berusia 27 tahun.

Setelah menikah, aku dan suami kembali ke Malaysia untuk bekerja. Kami masing-masing melanjutkan kontrak kerja. Aku di PT Mattel dan suamiku sebagai buruh bangunan di sebuah perusahaan.

Satu tahun kemudian aku hamil, dan saat usia kehamilan lima bulan aku memutuskan untuk mengambil cuti pulang ke Indonesia dengan diantar oleh suami. Aku menunggu persalinanku dan tinggal di Deli Serdang bersama Mamak, sementara suamiku harus kembali ke Malaysia untuk kembali bekerja.

 

Kembali Merantau

Tanggal 21 Juli 2001, aku melahirkan bayi laki-laki dengan keadaan sungsang, Posisi ini menyebabkan bagian yang keluar lebih dulu adalah bagian pantat bayi dengan posisi miring dan tali pusar terlilit di bagian tangan dan kaki. Proses mengeluarkan bayiku sangat lama, sehingga dia tidak tertolong lagi.

Ketika itu, semua harapan dan kebahagiaanku menjadi sirna. Bayi yang kuharapkan bisa menambah kebahagiaan dalam rumah tanggaku malah membawa duka yang mendalam. Rasanya aku ingin mati saja bersama bayiku. Sampai-sampai aku merasa bahwa Tuhan tidak pernah adil kepadaku, karena selalu merenggut kebahagiaanku, mengambil orang-orang yang sangat berarti dalam hidupku.

Berkat dukungan kuat dari keluarga dekat, aku mampu melewati masa-masa sulit itu. Hingga pada bulan Ramadhan, Desember tahun 2001, suami memutuskan untuk mengajakku tinggal dan menetap di kampung halamannya di Kelurahan Kalia-lia, Sulawesi Tenggara.

Awalnya, aku sangat kesulitan beradaptasi dengan masyarakat setempat karena perbedaan adat, budaya, tradisi dan bahasa. Aku sering merasa asing dan bingung. Tapi lama-kelamaan aku betah juga. Aku selalu mencoba berbaur dengan masyarakat setempat dengan cara mengikuti kegiatan-kegiatan yang biasa dilakukan di daerah itu, seperti: majelis taklim. Di kegiatan ini aku bahkan terpilih menjadi wakil ketua majelis taklim kelurahan sejak tahun 2002 sampai sekarang.

Pada awal Oktober 2002, aku melahirkan anak ke-2. Nurul, begitu kami memanggilnya, adalah bayi perempuan yang lincah dan sangat pintar berbicara. Tak jarang orang-orang yang mendengarnya bicara berkata bahwa putriku “aneh”. Aku, ibunya, kadang merasa takut mendengar ucapannya yang sudah seperti orang dewasa.

Saat putriku berusia 18 bulan, suamiku mengajak kami ke Medan untuk menemui Mamak. Mertuaku sangat ingin melihat cucu perempuannya yang pertama. Setelah tujuh bulan berada di Bandar Khalifah, tepatnya memasuki hari ke-29 Ramadhan, putriku mengalami panas tinggi. Aku langsung membawanya ke dokter untuk diperiksa. Aku sempat melihat ada bintik-bintik merah di perut putriku, tapi dokter bilang itu tidak apa-apa.

Sejujurnya, hati dan perasaanku sudah tidak enak. Perasaan ini semakin bertambah karena anakku tidak mau makan dan minum. Kondisi kesehatannya juga semakin menurun.

Setelah memasuki hari ke-3 Idulfitri, tiba-tiba putriku berkata: Mama, Nurul mau makan yang banyak tapi disuapi sama Mama.Kuambilkan bubur nasi dan aku suapi seperti yang dia minta, senang sekali rasanya melihat dia sudah mau makan banyak, pikirku dia pasti bisa sembuh.

Beberapa menit kemudian putriku muntah-muntah. Aku langsung membersihkan muntahnya dan pergi ke kamar mandi untuk mencuci bajunya. Belum juga selesai mencuci, tiba-tiba mamakku berteriak memanggil: Mari cepat lihat anakmu, tinggalkan cucianmu itu!” Aku hanya menjawab, “Tunggu sebentar, Mak.” Mamakku marah dan berkata: “Jangan sampai kamu tidak dapat lagi anakmu!” Dan benar saja, belum sempat aku menggendongnya, putriku sudah menghembuskan nafas terakhirnya.

Aku hanya bisa menatap jenazah putriku dengan penuh penyesalan dan amarah pada diri sendiri. Namun saat itu ada yang aneh, air mata almarhum putriku terus mengalir meskipun sudah diusap dengan kapas. Akhirnya aku minta izin kepada pengurus jenazahnya untuk memangku dan memandikannya untuk yang terakhir kali.

Aku berbisik di telinganya dan berkata: Mama sudah ikhlas dan jangan menangis lagi.” Dalam sekejap, air matanya berhenti mengalir. Orang-orang yang melihatnya merasa heran dan bertanya apa yang aku bisikan di telinganya. Lalu aku jelaskan bahwa kita harus ikhlas. Apapun itu dan seberat apa pun beban duka yang kita rasakan, karena kita pasti akan kembali kepada-Nya.

Setelah kepergian almarhum putriku, suami memutuskan untuk kembali bekerja ke Malaysia menjadi buruh bangunan, dan aku menetap di rumah Mamak selama sekitar dua tahun.

Setelah suamiku kembali dari Malaysia, kami kembali memutuskan untuk menetap di Kalia-lia, hingga sekarang. Saat ini kami dikaruniai empat orang anak, tiga laki-laki dan satu perempuan. Aku kembali berbaur dan mengaktifkan diri dengan berbagai kegiatan di desa. Suamiku sehari-hari bekerja sebagai nelayan dan bertukang. Lalu pada tahun 2013, suamiku dipilih menjadi ketua RT.

 

Mengenal Pekka

Tahun 2015, aku mendapat undangan dari kelurahan untuk mengikuti sosialisasi tentang Pekka. Seorang perempuan bernama Yusniah memperkenalkan dirinya sebagai fasilitator lapang. Yusniah menjelaskan secara panjang lebar tentang Pekka. Bahwa perempuan kepala keluarga adalah perempuan yang menghidupi atau menafkahi keluarganya sendiri, atau pencari nafkah utama seperti perempuan yang ditinggal suami karena meninggal, cerai hidup, perempuan yang suaminya sakit-sakitan, perempuan yang ditinggalkan suaminya tanpa ada kabar.

Saat itu aku belum tertarik dan belum paham tentang apa yang dijelaskan. Aku juga berpikir bahwa organisasi ini tidak ada untungnya buatku.

Aku baru mulai tertarik setelah Ibu Yusniah juga menjelaskan beberapa kegiatan yang dilakukan oleh Pekka, salah satunya kegiatan simpan pinjam. Sosialisasi ini juga menjelaskan bahwa di Pekka kita juga akan diajarkan mengenai berbagai informasi dan pengetahuan, khususnya mengenai hak-hak perempuan.

Setelah memahami hal itu, aku memutuskan untuk ikut bergabung di Pekka. Saat itu, harapanku adalah akan ada perubahan besar yang bisa aku lakukan dan wujudkan bersama perempuan lainnya agar kehidupan ekonomi masyarakat terutama perempuan bisa lebih baik lagi. Suami dan orang-orang terdekat juga sangat mendukungku. Meski demikian, tak sedikit juga orang-orang yang menghalangiku untuk bergabung di Pekka karena merasa takut tersaingi dan tidak ingin melihat aku maju.

Satu kelompok terbentuk di desa kami satu bulan kemudian. Nama kelompoknya adalah Serumpun. Ibu Yusniah dan kader Pekka yang mendampingi saat itu mengajarkan kami bagaimana seharusnya berkelompok.

Lalu kami, para anggota kelompok, melakukan pemilihan pengurus. Dari sini terpilihlah ketua kelompok yaitu Ibu Wamimah, Ibu Misrifah Ramli sebagai sekretaris, dan aku terpilih sebagai bendahara. Kami menyepakati pertemuan kelompok dilakukan setiap tanggal 12.

Pertemuan pertama kami lakukan di pasar, di meja-meja tempat berjualan. Pada pertemuan pertama ini disepakati jumlah simpanan pokok setiap bulan sebesar Rp 10 ribu dan simpanan wajib Rp 5 ribu.

Pada saat itu, aku masih belum tahu tentang pembukuan, bagaimana caranya untuk mencatat simpanan anggota dan membuat laporan keuangan, apa fungsi buku tabungan anggota, buku kas sampah, kas harian, rekap simpanan, rekap pinjaman, sisa hasil usaha (SHU), dan juga neraca. Namun semua itu aku pelajari secara bertahap dengan dibimbing oleh Ibu Yusniah. Setelah dua bulan, pertemuan dilakukan di rumah ketua kelompok sampai sekarang.

 

Pekka Menumbuhkan Rasa Percaya Diriku

Setelah bergabung dengan Pekka, aku sering mengikuti pelatihan-pelatihan, rapat serikat dan berbagai kegiatan lain. Pelatihan pertama yang aku dapatkan adalah Pelatihan Visi, Misi dan Motivasi Berkelompok.

Dalam pelatihan ini, kami diajarkan bagaimana cara menyampaikan pesan yang benar kepada anggota atau orang lain melalui permainan pesan berantai. Semua anggota merasa senang dan gembira.

Tahun 2016, aku mengikuti Pelatihan Manajemen Pembukuan yang difasilitasi oleh Ibu Baralia, Ibu Yusniah dan Rini di Aula Kantor Kecamatan Bungi. Aku diajari cara mengelola keuangan, terutama keuangan simpan pinjam kelompok, dan juga seluk-beluk pembukuan, mulai dari mencatat pembukuan simpan pinjam yang benar sampai membuat laporan neraca.

Awalnya aku merasa kesulitan dan bingung. Tetapi setelah aku belajar dan mempraktikkannya, barulah aku bisa mengerti. Aku sangat senang mendapatkan kesempatan belajar tentang manajemen pembukuan. Ini membantu pekerjaan aku sebagai bendahara kelompok.

Pada tahun ini, aku juga terlibat dalam kegiatan diskusi hukum. Saat itu aku ditugaskan untuk membaca Laporan Kegiatan Serikat. Diskusi ini dilaksanakan di Aula Kantor Kelurahan Kalia-lia dan dihadiri narasumber dari Dinas Perikanan, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Lurah, fasilitator lapang PEKKA, anggota kelompok Pekka dan masyarakat umum. Di samping itu aku juga mendapat ilmu pengetahuan tentang KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) dan bagaimana solusi terbaik untuk mengatasi KDRT serta apa penyebabnya.

Setelah satu tahun aku bergabung di Serikat Pekka Kabupaten Buton Selatan, akhirnya Serikat Pekka Baubau bisa terbentuk dan punya pengurus sendiri. Kami mengadakan pemilihan pengurus serikat melalui Musyawarah Besar Serikat Pekka Baubau yang diselenggarakan tanggal 16 Juni 2016 dan bertempat di Gedung Serba Guna SMPN 7 Baubau. Saat itu yang terpilih menjadi ketua adalah Ibu Murfin, sekretaris adalah Ibu Suriati dan bendahara adalah Ibu Yuni.

Aku bersyukur bisa terlibat kembali dan berpartisipasi dalam kegiatan Deklarasi Serikat Pekka. Kali ini aku ditugaskan untuk membaca doa di awal acara. Aku sangat terharu sekali ketika Ibu Wakil Walikota mengukuhkan Serikat Pekka Baubau, sekaligus melantik pengurus Serikat Pekka Baubau. Kebahagiaan dan kekaguman terpancar di wajah kami hingga tak terasa air mata menetes di pipi menahan rasa haru. Akhirnya Serikat Pekka Baubau bisa berdiri dan mandiri sampai saat ini.

 

Menjadi PEKKA PERINTIS

Pada November 2016, aku terpilih untuk mengikuti Pelatihan Nasional Tim Promotor PEKKA PERINTIS di Bogor. Aku sangat senang sekali bisa terpilih dan diberi kesempatan untuk mengikuti pelatihan ini, padahal aku belum lama bergabung di Pekka.

Bersama Ibu Linda Paliran, aku berangkat menuju Bogor dengan pesawat. Meskipun bukan kali pertama aku naik pesawat – dulu sewaktu bekerja sebagai TKI di Malaysia, aku cukup sering bepergian dengan pesawat. Tapi kali ini rasanya berbeda. Aku naik pesawat bukan untuk mencari uang, namun untuk menimba ilmu.

Setibanya di Bogor aku kaget melihat jalan raya yang macet. Belum pernah rasanya aku melihat kemacetan di jalan raya seperti di kota Bogor ini. Aku juga tertegun kagum melihat pemandangan dan keindahan Kota Bogor yang sejuk, banyak pohon dan taman yang terawat rapih di sepanjang jalan.

Aku semakin bahagia ketika melewati Istana Bogor. Cantik sekali istana itu, gumamku dalam hati. Pada Pelatihan Tim Promotor PEKKA PERINTIS ini aku mendapat banyak hal baru terutama tentang menggunakan telepon seluler berbasis Android dengan aplikasi Wordpress Mobile. Nantinya, kami para promotor harus menulis lima belas cerita dan mengirimkannya melalui aplikasi  tersebut.

Setelah pulang dari pelatihan, aku menjadi lebih bersemangat untuk mencari calon PEKKA PERINTIS. Tugas ini menjadi pengalaman berharga bagiku. Bagaimana tidak, aku sempat diusir dengan tidak sopan oleh si pemilik rumah yang saat itu aku kunjungi, karena dianggap hanya mencari tahu tentang urusan rumah tangga orang. Namun, ada juga yang bersedia bercerita dan membagi masalah keluarganya untuk aku tuangkan ke dalam tulisan.

Aku menjelaskan bahwa cerita mereka berguna sekali untuk memotivasi perempuan-perempuan lain agar bisa kuat seperti mereka. Tentu saja cerita mereka sangat menguatkanku juga. Semua cerita tersebut aku kirim melalui aplikasi Wordpress Mobile. Satu-satunya kendala bagiku adalah sinyal. Pernah suatu malam aku mengajak suami berkeliling dengan motor mencari lokasi jaringan yang baik, karena harus segera mengirimkan satu cerita.

Satu bulan kemudian aku kembali berangkat ke Jakarta dalam rangkaian kegiatan Temu Nasional Pekka Perintis, di Hotel Grand Sahid Jaya. Hotel ini adalah hotel termewah yang pernah aku datangi. Aku sangat kagum pada diriku sendiri karena bisa sampai di titik ini. Aku juga sangat kagum pada Yayasan PEKKA karena bisa menyelenggarakan acara sebesar ini, di tempat semewah, ini bersama orang-orang hebat.

Dalam acara ini, aku bisa bertatap muka langsung dengan Menteri KPPPA, Ibu Yohana Susana Yambise. Aku juga bertemu dan mendengarkan pidato Ibu Dewi Hutabarat yang membahas tentang Gerakan Ekonomi Solidaritas Indonesia/ASBE Indonesia. Masih hangat dalam ingatanku bagaimana beliau menjelaskan tentang rantai pasok solidaritas yang dibangun dari unit-unit usaha rakyat yang menguat dalam bentuk-bentuk kelompok usaha bersama, koperasi di desa. Kelompok usaha rakyat ini harus saling menguatkan bersama BUMDES, dan didasari semangat untuk bertumbuh bersama menjadi kekuatan ekonomi yang mensuplai kebutuhan lokal maupun pasar yang lebih luas.

Kesempatan untuk bisa berkumpul kembali bersama teman-teman promotor dari 34 provinsi menambah semangatku. Beberapa teman dari beberapa perwakilan provinsi berbagi cerita saat mencari PEKKA PERINTIS.

Aku ingat, salah satu teman dari Papua bercerita tentang perjuangannya mencari PEKKA PERINTIS sampai dikejar-kejar anjing, hingga dia masuk got dan terus berlari karena sangat ketakutan. Lalu, aku ingat pengalamanku saat diusir dengan tidak hormat. Aku meyakinkan diriku bahwa kami adalah perempuan hebat yang terlahir dari perjuangan gerakan perempuan Indonesia yang siap menjadi inovator.

 

Aku Terbang Lebih Tinggi

Pada tahun 2017 aku mengikuti pelatihan Pembuatan Tungku Abu Dapur di kelompok Maseddi, Kelurahan Waliabuku, bersama Ibu Yusniah, beberapa kader dan perwakilan anggota kelompok, serta empat orang mahasiswa dari Universitas Haluoleo, Kendari. Kami bersama-sama mempelajari proses pembuatan tungku abu dapur, dengan bahan dasar tanah dan abu gosok dari sekam padi untuk dijadikan dapur tempat memasak. Kegiatan pelatihan ini sangat membantu meningkatkan ekonomi keluarga sehingga menambah penghasilan keluarga.

Selain itu aku juga terlibat dalam rapat serikat untuk berbagi informasi tentang perkembangan kelompok, membahas tentang laporan keuangan kelompok dan membuat rencana untuk kegiatan pelatihan data serta persiapan untuk kegiatan FPK (Forum Pemangku Kepentingan) mengenai Perlindungan Sosial.

Setelah beberapa minggu, sampailah kami pada kegiatan FPK yang bertempat di Aula Kantor DP3A (Dinas Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak) yang melibatkan Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial), BAPPEDA (Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah), camat, lurah, faslap, serta pengurus serikat juga beberapa perwakilan anggota kelompok di enam kecamatan.

Dalam FPK, kami membahas tindak lanjut dari kegiatan KLIK PEKKA yang telah dilaksanakan di beberapa kelurahan, terutama yang terkait isu perlindungan sosial, seperti bantuan yang tidak tepat sasaran. Selain itu Pekka bersama pemerintah kota dan kelurahan bersama-sama mencari solusi terbaik dari setiap permasalahan yang ditemui di saat KLIK PEKKA.

Aku masih ingat, perwakilan dari Dinas Sosial mengatakan bahwa penerima bantuan sosial harus masuk dalam database. Sementara, banyak kendala yang dihadapi bagi penerima bantuan sosial seperti data tidak valid. Dan pihak pemerintah meminta peran serta Serikat Pekka untuk bekerjasama dan bersama-sama saling memberikan informasi terkait isu perlindungan sosial.

Pada KLIK Pekka tahun 2018 yang diadakan di Kelurahan Kalia-lia, terdapat kasus yang cukup aneh. Dari 300 orang yang kami daftarkan sebagai penerima KIS, hanya ada satu nama yang tercatat sebagai penerimanya.

Aku membantu mencari dan mengumpulkan data-data tersebut, dan menyerahkannya kepada Ibu Hasna untuk dilanjutkan prosesnya. Lalu bersama Ibu Hasna, kader-kader Pekka langsung melakukan konfirmasi ke Puskesmas Loulou untuk menanyakan berapa sebenarnya jumlah penerima KIS. Benar saja: dari 300 data yang tercatat hanya satu orang yang menerima. Pihak Puskesmas juga kebingungan.

Lalu, mereka melanjutkan konfirmasi ke pihak kelurahan dan meminta agar Pekka bisa menjadi perpanjangan tangan pihak kelurahan. Akhirnya, 300 orang tersebut bisa menerima KIS.

Tahun 2018 aku terlibat sebagai peserta dalam kegiatan SDGs yang dilaksanakan di Aula BAPPEDA Kota Baubau selama tiga hari. Pada hari kedua, aku diberi tugas sebagai pembaca doa. Pada kegiatan ini aku bisa duduk bersama dan berdiskusi dengan OPD (Organisasi Perangkat Daerah), Lurah, Camat dan Organisasi Masyarakat, PKK, Fathayat dan yang lainnya. Ini menjadi kebanggaan tersendiri buatku.

Baru kali ini aku mendengar tentang SDGs (Sustainable Development Goals). Setelah mendengar pemaparan tentang SDGs, aku jadi mengerti tentang tujuan pembangunan berkelanjutan untuk peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat secara berkesinambungan. Aku senang sekali bisa hadir sebagai peserta dalam kegiatan ini. Rasanya aku mendapat banyak pelajaran, informasi dan istilah baru, juga kenalan baru.

 

Terus Melangkah Maju dan Senantiasa Bersyukur

Aku serap sebaik mungkin ilmu yang aku dapat di setiap pelatihan. Semua itu bisa menjadi bekalku dalam berkegiatan di kelompok, juga untuk dibagikan di lingkunganku. Senang rasanya saat bisa berbagi ilmu dan pengalaman yang membangun untuk para perempuan lainnya, khususnya bagi para perempuan kepala keluarga.

Ada rasa bangga juga pada diri ini ketika bisa dikenal oleh pemerintah setempat karena membawa nama Pekka. Dulu, sebelum aku bergabung di Pekka, aku tidak dikenal di masyarakat. Apalagi aku adalah pendatang. Aku bahkan dipilih sebagai koordinator seksi perlindungan di tingkat kelurahan sejak tahun 2019 hingga sekarang. Hal ini selaras dengan program bantuan hukum yang ada di Pekka seperti PKH (Program Keluarga Harapan) dan KIS (kartu Indonesia Sehat) yang biasa kami upayakan.

Ada dua mimpi besarku dalam hidup ini, yang pertama aku ingin menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang banyak, dan yang kedua aku ingin sekolah hingga jenjang perguruan tinggi. Melalui Pekka, aku bisa mewujudkan mimpi besarku yang pertama.

Sampai saat ini aku terus belajar dan berproses bersama para perempuan kepala keluarga lainnya untuk menjadi inspirasi hidup dan mengamalkan semua ilmu yang sudah aku terima selama ini untuk kesejahteraaan perempuan kepala keluarga. Sementara untuk impianku yang kedua, biarlah anak-anakku yang akan mewujudkannya.

Aku akan terus berjuang selagi aku mampu demi keempat anakku. Mereka harus punya mimpi besar dan membiarkan aku yang berjuang untuk memenuhi biaya sekolah mereka. Takkan kubiarkan seorang pun dari mereka menghadapi kekurangan biaya sekolah seperti aku dulu.

Sekarang anak-anakku sudah tumbuh besar. Yang pertama sudah duduk di kelas 2 SMA, yang kedua sudah duduk di kelas 2 SMP, yang ketiga duduk di kelas 1 SMP, dan yang paling bungsu kelas 4 SD.

Sudah delapan tahun ini suamiku dipercaya sebagai ketua RT. Namun, untuk mencukupi kebutuhan kami sehari-hari, dia pergi ke laut untuk mencari ikan atau atau bertukang jika ada yang membutuhkan tenaganya. Aku pun menyadari bahwa penghasilan suamiku tidaklah cukup untuk membiayai pendidikan anak-anak dan kebutuhan kami sehari-hari.

Untuk menopang ekonomi keluarga, kini mata pencaharian tambahan kami adalah beternak kambing. Aku sudah menekuninya sejak tiga tahun yang lalu. Berawal dari modal yang diberikan kakak iparku berupa 10 ekor kambing. Aku merawatnya dan setelah berkembang biak aku membagi 5 ekor kambing kepada adik iparku. Sekarang total kambing yang kami ternakkan ada 11 ekor.

Aku ingin mencoba beternak sapi, tapi modal yang aku miliki saat ini belum cukup. Namun aku tidak akan menyerah. Pengalaman hidup mengajarkanku banyak hal bahwa tidak ada yang perlu aku takuti selama aku mau berusaha dan berharap penuh pada Yang Maha Kuasa serta tidak lupa untuk bersyukur atas segala nikmat-Nya.

 

Bagikan Cerita Ini

Cerita Terkait

Menggapai Mimpi Bersama “Kartini”: Kisah

Menggapai Mimpi Bersama “Kartini” Satu per satu im...

Pekka Menjauhkanku Dari Rentenir: Kisah Diri

Pekka Menjauhkanku Dari Rentenir Aku sempat terjerat b...

Leave a Comment