Dari Korban Perceraian Menjadi Pejuang Martabat Perempuan

Perceraian orang tua membawaku tinggal di beberapa tempat berbeda ketika kecil. Pengalaman ini membentukku pribadiku untuk tidak mudah menyerah. Hal ini menjadi bekal bagiku dan anak-anak setelah suamiku meninggal dunia. Tidak mudah, tetapi selalu ada jalan. Pekka membantuku mempermudah jalan itu.

Aku biasa dipanggil Mama Dono, meski namaku yang sebenarnya adalah Ruth Herlina. Anak pertamaku bernama Sardono Tandikaraeng, yang sehari-hari dipanggil Dono. Sejak dia lahir, aku dipanggil Mama Dono. 

Aku lahir di Polewali pada 15 September 1969. Ketika aku lahir, kabupaten ini masih bernama Kabupaten Polewali-Mamasa. Bapakku bernama Bongga Pasau, dan ibuku bernama Sambolempan. Mereka bercerai ketika aku masih kecil. Keduanya lalu menikah lagi, sehingga aku tinggal bersama Kakek dan Nenek di Rante, Balla Kalua.

Nenekku meninggal ketika aku duduk di kelas 3 SD. Oleh karena itu, aku pindah untuk tinggal bersama paman dan bibiku di Toraja. Aku tinggal di sana sampai kelas 5 SD. Setelah itu aku pindah ke Polewali untuk tinggal bersama bapak kandungku, karena Kakek sudah tidak sanggup lagi untuk merawatku. Aku lulus SD pada tahun 1981, dan melanjutkan pendidikanku ke SMP Negeri 1 Polewali. Pada waktu itu aku tinggal bersama ibu tiriku. 

Sewaktu tamat SMP di tahun 1984, aku bercita-cita untuk meneruskan ke SPG (Sekolah Pendidikan Guru). Namun, niat itu aku urungkan dan banting stir meneruskan ke SMEA (sekarang SMK jurusan Ekonomi). Keputusan ini aku ambil karena SMEA ini berlokasi tidak jauh dari rumah. Aku tidak mau membebani orang tuaku untuk mengeluarkan biaya transportasi, karena SPG yang menjadi minatku berada jauh dari rumah. Jaraknya kurang lebih 10 km, dan hanya akan bisa ditempuh dengan angkutan umum. Aku harus mengeluarkan ongkos pulang-pergi sebesar Rp 500,00. Akhirnya aku memilih melanjutkan SMEA karena bisa dijangkau dengan jalan kaki.

Menikah dan Menjadi Janda

Aku langsung menikah setelah lulus SMEA dengan laki-laki pilihanku sendiri. Aku mengenal dia saat aku masih SMP dan dia kelas 2 SPG. Dia adalah cinta pertama dan terakhirku. Kami bisa dekat karena kita bertetangga saat aku tinggal bersama ayahku. Kami pun satu gereja, sehingga kami sering bertemu. Aku menganggap dia sudah mapan, karena dia adalah seorang guru SD dan sudah berumur 25 tahun dan saya berumur 18 tahun.

 Pernikahan kami dikaruniai lima orang anak, empat laki-laki dan satu perempuan. Ketika anak bungsuku berusia tiga tahun, suamiku jatuh sakit. Aku berupaya keras membawanya berobat, namun sia-sia. Setelah berjuang selama enam tahun melawan kanker sumsum tulang belakang, suamiku tutup usia pada 26 Agustus 2011 dan berumur 51 tahun.

Sepeninggal suami, aku berjuang sendiri dalam membesarkan dan menyekolahkan anak-anakku. Tantangan hidup yang tentu saja berat, namun aku tetap menjalaninya dengan senyum dan semangat. Aku berpikir bahwa di balik penderitaanku ini, Tuhan pasti memiliki rencana yang indah untukku. Memang, aku menerima tunjangan pensiun sebagai janda dari mendiang suamiku. Tetapi itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup kami berenam. Untuk menambah pendapatan, aku beternak babi, menggarap sawah, kebun, juga menggembala kerbau. Tidak mudah memang, tapi tetap harus aku jalani.

Sejak menyandang status janda, banyak komentar yang datang dari orang-orang yang tinggal di sekitarku. Kebanyakan meragukan apakah aku bisa menghidupi kelima anakku. Selain itu, ada juga yang beranggapan aku akan menjadi perempuan yang gampang dirayu laki-laki yang banyak uang. Apalagi anakku banyak. Memang ada beberapa lelaki yang merayuku, namun aku tidak mau meladeni mereka.

Bergabung dengan Pekka

Bulan April 2015, aku bergabung untuk menjadi anggota Pekka. Pada waktu itu seorang faslap bernama Ibu Susana Rawa datang mensosialisasikan Pekka di dusun kami. Aku datang di pertemuan ketiga, karena sebelumnya aku belum tertarik. Pada saat aku bergabung, di pertemuan itu dilakukan pembentukan kelompok Salukoki yang beranggotakan 15 orang, dan aku ditunjuk menjadi ketua. Tetapi aku menolak, aku lebih memilih untuk menjadi anggota. Aku merasa belum sanggup untuk memimpin kelompok. Di bulan April itu terbentuk empat kelompok di Kecamatan Balla, Kabupaten Mamasa. 

Beberapa kali Ibu Susana Rawa mengajak beberapa orang di antara kami untuk menemani beliau. Namun kami tidak punya kesempatan karena sibuk menenun. Namun, aku bersedia untuk menemani beliau melakukan sosialisasi di rumah Bapak Kepala Desa Balla pada tanggal 15 September 2015, karena pada hari itu aku tidak terlalu sibuk menenun. Dan sejak saat itu, aku selalu menemani faslap untuk membentuk kelompok, pergi dari dusun ke dusun yang ada di Kecamatan Balla dan Kecamatan Mamasa. 

Kedua kecamatan ini masih termasuk dalam kabupaten yang sama dengan tempat tinggalku. Pada saat itu aku berperan sebagai juru bahasa karena pada saat sosialisasi di kampung-kampung banyak ibu-ibu yang tidak bisa berbahasa Indonesia sehingga harus berbicara bahasa daerah. Terkadang, ketika kami melakukan sosialisasi kegiatan Pekka, termasuk pembentukan kelompok dan simpan pinjam, ibu-ibu tidak mengerti penjelasan yang diberikan faslap. Sehingga, aku harus menjelaskannya lagi dengan bahasa daerah agar penjelasan yang diberikan faslap bisa mencapai sasaran. 

Kegiatan ini membuatku sering bepergian dan meninggalkan rumah sejak pagi hingga malam hari. Aku menemani Ibu Susanna pergi dari satu desa ke desa lain untuk sosialisasi dan pembentukan kelompok. Melihat hal itu, beberapa tetanggaku sering bertanya, apa yang aku lakukan. Aku pun memberi pengertian dengan menjelaskan kegiatanku bersama Pekka. Dan syukurlah, mereka mau mendengarkan dan memahami, bahkan mendukung kegiatanku bersama Pekka.

Tanpa aku sadari, perjalananku dengan Ibu Susana Rawa sebagai faslap berlangsung selama tiga bulan. Itu termasuk mengunjungi kelompok-kelompok setiap bulan bersama Ibu Agnes Kabelum dari NTT yang bertugas di Mamasa. Beliaulah yang menempatkanku pada posisi kader. Aku pun terhitung sebagai kader pertama yang terlibat dalam sosialisasi pembukaan Serikat Pekka di Mamasa. Posisi ini membawaku ke Jakarta untuk mengikuti kegiatan-kegiatan Pekka bersama teman-teman dari provinsi lain.

Berbagai Pelatihan

Pada bulan Desember 2015, aku dan Marniati diutus ke Jakarta untuk mengikuti Semiloka Perempuan Hebat untuk Ketahanan Sosial dan Desa Berdaulat. Aku merasa kaget, gembira, bercampur ragu. Baru kali ini aku mengikuti kegiatan Pekka di tingkat nasional, dan akan naik pesawat. Ketiadaan pengalaman membuatku selalu bertanya kepada orang lain tentang bagaimana cara kita agar masuk ke dalam pesawat. 

Setelah selesai mengurus bagasi, kami menuju ruang tunggu untuk bertemu dengan teman kami yang berasal dari wilayah Bone. Ada tiga orang dari wilayah itu yang sudah lebih berpengalaman naik pesawat. Di dalam pesawat Marniaty berkata, sebaiknya aku buang air kecil di pesawat agar kami bisa bercerita nanti bahwa kami sudah pernah buang air kecil di pesawat. Saat di toilet pesawat, kami bergantian menunggu di depan toilet karena kami takut terkunci di dalamnya. 

Kebingunganku dan Marniaty tidak berhenti setelah kami mendarat. Kami juga kebingungan ketika sampai di hotel. Karena, itu juga merupakan kali pertama bagi kami untuk menginap di hotel. Saat itu kami mengindap di Hotel Santika, Jakarta. Kami tidak tahu bagaimana caranya naik lift. Yang kami berdua lakukan adalah menunggu orang lain yang juga akan naik lift. Bukan hanya itu. Kami juga panik ketika harus berurusan dengan pintu kamar hotel. Kunci pintu yang berupa kartu, yang juga berfungsi sebagai alat untuk menyalakan lampu dan alat elektronik yang ada di dalam kamar tertinggal saat kami turun. Tetapi masalah ini segera teratasi karena petugas hotel sigap melayani kami. 

Namun, selama mengikuti kegiatan aku merasa senang. Banyak sekali pelajaran yang aku dapat, juga teman baru dari provinsi lain. Aku mengenang ketika aku menolak ditunjuk sebagai ketua kelompok. Sekarang, aku menghadapi hal yang jauh lebih besar dari yang pernah aku bayangkan. 

Berkembang dengan Berbagai Kegiatan

Satu tahun setelah mengikuti semiloka, aku sudah mengikuti banyak kegiatan, seperti Pelatihan Visi dan Misi Berkelompok, Pelatihan Pengorganisasian, juga Pelatihan Manajemen Pembukuan, yang dilaksanakan di wilayahku sendiri dengan difasilitasi oleh faslap dan utusan dari Seknas, yakni Romlawati. 

Pada tanggal 6-10 Desember 2016, aku kembali ke Jakarta untuk mengikuti Munas Pekka ke-3. Aku berangkat bersama Ibu Martha dari Pebassian. Pada saat itu aku sedang kurang sehat. Namun, aku merasa mengemban amanah sebagai perwakilan dari serikat. Aku pun berusaha sekuat tenaga untuk tetap bisa mengikuti seluruh rangkaian acara, sehingga aku memanfaatkan waktu untuk beristirahat sebaik mungkin agar kembali bugar. 

Aku ingat sekali dulu saat belum bergabung di Pekka, aku malu berdiri di depan banyak orang untuk berbicara. Setelah bergabung di Pekka, aku menjadi  lebih percaya diri untuk berbicara di depan banyak orang. Aku juga mampu berdiskusi dengan aparat pemerintah untuk mendapatkan informasi yang masyarakat biasa pun sulit untuk mendapatkannya.

Manfaat lain untuk pribadiku sendiri pun aku rasakan setelah bergabung dengan Pekka. Kondisi perekonomian keluargaku semakin membaik berkat penjualan hasil panen kopi ke kelompok-kelompok lain yang ada di Serikat Pekka

Berkat usaha itu, aku berhasil menyekolahkan anak-anakku. Anak pertama dan keduaku sudah menikah dan tinggal di kabupaten lain. Anak keempatku pun sudah menikah. Namun dia bersama istri dan anaknya tinggal bersamaku. Bila dia dan menantuku bekerja, aku menjaga anak mereka. Aku pun tinggal bersama anak ketigaku yang sudah bekerja, namun belum menikah. Sementara, Si Bungsu masih kuliah.

Anak-anak memang sangat mendukung kegiatanku bersama Pekka, karena kebetulan Ibu Susanna tinggal di rumahku selama bertugas di Mamasa. Mereka jadi bisa mengetahui dengan jelas kesibukanku, dan apa yang aku lakukan ketika melakukan sosialisasi Pekka dan pembentukan kelompok.

Masyarakat dan aparat desa tempat tinggalku juga memberi dukungan kepadaku, setelah melihat kelompok Pekka terbentuk dan kegiatan-kegiatan Serikat Pekka yang kami lakukan. Perlahan tapi pasti, semakin banyak perempuan kepala keluarga yang bergabung menjadi anggota Pekka. Pandangan yang meremehkan terhadap perempuan yang berstatus kepala keluarga pun semakin berkurang. Aku benar-benar bersyukur karena telah menjadi bagian dari pembawa perubahan ini.(Nurfa/Lits)

 

Bagikan Cerita Ini

Cerita Terkait

Tantangan itu Ada di Kampungku: Kisah Diri Am

Tantangan itu Ada di Kampungku Kisah Diri Amlia Aku...

Perjuangan dari Masa Kecil yang Membuahkan Ha

Perjuangan dari Masa Kecil yang Membuahkan Hasil Kisah...

Leave a Comment