Liku Perjalanan Hidupku
Kisah Diri Sumarniati

 

Derita bersuamikan laki-laki tukang berjudi dan selingkuh sempat membuatku terpuruk. Namun, ajaran untuk hidup mandiri yang aku dapat sejak kecil membuatku mampu untuk bangkit. Pekka datang membuka jalanku untuk membantu orang lain.


Aku punya tiga nama panggilan: Marni, Sumar, dan Umang. Namun, sebenarnya namaku adalah Sumarni. Aku tinggal di Dusun Dasan Geria Selatan, sebuah dusun kecil yang menjadi bagian dari Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Di tahun 2022, aku genap berusia 44 tahun. Aku lahir sebagai anak keempat dari enam bersaudara.

Saat aku masih kecil, ayahku adalah kepala dusun. Untuk mencukupi kebutuhan kami berdelapan, beliau bekerja sebagai kusir cidomo, atau delman dalam bahasa Indonesia. Ibuku berjualan bubur beras di rumah. Kemampuan ekonomi keluarga kami sangat terbatas. Kondisi ini membuat aku dan keempat saudaraku hanya bisa bersekolah hingga tingkat SMP. Sementara, kakak pertamaku tidak bersekolah.

Orang tuaku senantiasa mengajarkanku untuk selalu mandiri. Ketika bersekolah, aku hanya diberi uang saku sebesar Rp 150,00, dengan rincian Rp 100,00 untuk ongkos perjalanan dan sisanya untuk jajan. Aku kerap bekerja sendiri agar bisa mendapat tambahan uang jajan, dengan mengumpulkan padi sisa panen orang lain di sawah. Padi itu aku kumpulkan, lalu aku jemur. Setelah kering, padi itu aku bawa ke tempat penggilingan padi. Berasnya aku jual dan uangnya aku gunakan untuk membeli baju dan kebutuhan lain. Terkadang, aku juga diupah orang lain untuk menanam kacang dan mencari kayu bakar.

Setelah tamat SMP, aku pernah ikut kursus menjahit. Sayangnya, aku tidak pernah menjadi penjahit karena belum memahami benar ilmu yang aku dapat. Selain itu, aku khawatir hasil jahitanku akan mengecewakan orang lain.

 

Terjebak Tukang Judi

Dua tahun setelah tamat sekolah, di tahun 1996, aku pernah menjadi anggota Hansip perempuan di desa. Bersama rekan sesama anggota Hansip, aku mengikuti lomba gerak jalan desa dan meraih juara ke-2. Ini mengawali karierku di desa. Selanjutnya, aku menjadi staf di kantor desa sampai tahun 2000. Aku berhenti bekerja karena menikah.

Laki-laki yang meminangku bekerja sebagai buruh bangunan, dia tidak tamat Sekolah Dasar. Setelah menikah, aku tinggal bersama mertua dan 4 adik ipar di rumah berukuran 4×5 meter persegi. Suamiku sangat malas dan jarang sekali bekerja. Kalau pun pergi bekerja, uangnya dipakai untuk mabuk dan judi. Untuk makan sehari-hari, sulit sekali. Pernah aku tidak punya beras sama sekali untuk dimasak. Aku minta nasi kepada ibu mertua, tapi hanya dapat omelan. Aku menangis. Saat itu aku hanya bisa makan kerupuk dan garam. Berat sekali rasanya tinggal bersama mertua dan adik-adik ipar, terlebih punya suami pemabuk dan penjudi. 

 

Aku tidak bisa mengharapkan dari penghasilan suami, jadi aku membantu tetangga mencuci botol. Untuk 50 buah botol yang aku cuci, aku mendapat upah lima ribu rupiah. Uang itu aku pakai untuk membeli kebutuhan rumah tangga. 

Satu tahun menikah, kami dikaruniai seorang anak perempuan. Aku melahirkan di kampung orang tuaku di Desa Dasan Geria, tanpa ditemani suami. Ibuku yang mengurusku selama nifas. Setelah satu bulan melahirkan, aku kembali ke rumah mertua. Kebiasaan judi dan minum suamiku makin menjadi. Dia bukannya bekerja untuk anak istri, malah pesta minuman di rumah tetangga. Kalau tidak ada yang bisa dimakan, aku disuruh pulang ke rumah orang tuaku, dan aku pun menurutinya, pulang.

 

Tak disangka, selama aku pulang ke rumah orang tuaku, dia berselingkuh. Hatiku sakit dan sedih, batin ini menangis. Biasanya, aku tinggal di rumah orang tuaku selama 2-3 hari dan kembali ke rumah mertua dengan membawa 2-3 kilogram beras dan dibekali uang lima sampai sepuluh ribu rupiah. Namun, beras yang aku bawa dijual oleh suamiku, dan uang yang aku bawa juga dia ambil. Begitu seterusnya, berulang-ulang. Aku merasa tertekan, begitu banyak beban yang aku pikul. Kehadiranku sangat tidak dihargai. Kerap kali aku disuruh pulang ke rumah orang tua. Aku hanya bersabar dan menasehati suami, memberikan pandangan dan pilihan hidup, berharap dia akan berubah. 

 

Hidupku Kembali Terang

Kesabaranku habis. Setelah 2 tahun menjalani kehidupan rumah tangga yang begitu penuh derita, aku memantapkan hati untuk berpisah. Bulan April tahun 2002 kami berpisah. Perasaanku saat itu sangat lega, duniaku terasa terang benderang. Aku merasa terlepas dari derita. Aku yakin saat itu kalau aku bisa hidup tanpa suami. Saat itu, anakku baru berusia 10 bulan, sedang menderita cacar air. Aku pulang diantar mantan ibu mertua dengan membawa pakaian seadanya, karena perabotan rumah sudah habis dijual oleh mantan suamiku. 

 

Aku menyandang status janda, single parent. Aku berpikir bagaimana caranya mencari nafkah, apa yang harus aku lakukan. Aku harus memikirkan kebahagiaanku dan anakku. Selang 2 bulan, aku kembali aktif di desa sebagai kader kesehatan. Setiap bulan aku datang ke Posyandu untuk menimbang berat badan, mengukur tinggi badan, membuat PMT atau penambahan makanan tambahan untuk bayi balita dan ibu hamil. Ada juga pemberian Vitamin A setiap bulan Februari dan Agustus. Selain itu, Puskesmas di lingkungan tempat tinggalku juga menyediakan makanan sehat seperti telur susu kacang hijau dan sebagainya untuk anak yang beratnya termasuk kategori BGM, atau di bawah garis merah, dan ibu hamil yang ukuran lingkar lengannya kurang dari 22cm. Kalau ada bayi dan balita tidak datang ke Posyandu, aku akan mendatangi rumahnya. Walaupun untuk itu aku harus menempuh perjalanan yang jauh dan menanjak ku lakukan dengan ikhlas tanpa pamrih.

Suatu hari, aku ikut pelatihan sebagai kader TB (Tuberkulosis) di Yayasan An Nisa bersama kader kesehatan lain di Kecamatan Lingsar. Dalam pelatihan selama 3 hari tersebut, aku mendapat materi tentang tanda-tanda orang terserang TB, dan cara penularannya, serta bagaimana mencegahnya. Materi yang sudah aku dapatkan tadi aku sosialisasikan di Posyandu. 

Saat melakukan sosialisasi itu, ada salah seorang warga yang mengatakan bahwa dia mengalami tanda-tanda penderita TB, seperti yang aku jelaskan. Ibu Sakdah namanya, usianya 50 tahun. Aku menganjurkan agar Ibu Sakda memeriksakan dahaknya, dan ternyata hasilnya positif TB. 

Aku mengajukan diri sebagai pengawas menelan obat (PMO) untuk Ibu Sakdah. Aku mengambilkan obatnya ke Puskesmas setiap minggu. Meskipun orang-orang menasihatiku agar tidak dekat-dekat dengan Ibu Sakdah agar tidak tertular, aku tidak takut. Aku selalu menjaga jarak setiap datang ke rumah Ibu Sakdah. Alhamdulillah, Ibu Sakdah kembali sehat setelah enam bulan berobat secara teratur. “Untung ada kamu. Kalau tidak, mungkin aku mati,” kata Ibu Sakdah. Aku menjawabnya dengan mengatakan bahwa aku hanyalah perantara, Allah yang menyembuhkan.

Selain menjadi kader kesehatan, aku melakukan apa saja agar bisa menghasilkan uang dan halal. Aku tidak merasa malu saat mencucikan pakaian orang, mencuci perabotan, membersihkan rumah dan mengasuh anak-anak. Dari situlah aku memenuhi kebutuhan sehari-hari. 

Satu tahun berikutnya, pada 2003, aku diajak seorang sepupu untuk ikut kursus menjahit. Ibuku membayari biayanya, sebesar dua ratus ribu rupiah. Ibu juga membelikanku mesin jahit bekas milik sepupuku, seharga seratus tujuh puluh lima ribu rupiah. Karena aku pernah kursus sebelumnya, kini aku bisa cepat memahami apa yang diajarkan. Sejak itu pekerjaanku bertambah, menjadi penjahit. Awalnya aku hanya memperbaiki pakaian yang sobek, karena belum percaya diri untuk menjahit pakaian baru. Lama-kelamaan, aku berhasil juga memberanikan diri untuk membuat pakaian. Meski telah bisa menjahit, aku tetap bekerja serabutan. Aku melakukannya dengan ikhlas dan hati yang bahagia. 

Pekka dan Mekar Sari

 

Pada bulan Desember 2003, seorang perempuan bernama Reni datang ke rumah untuk menemui bapakku selaku kepala dusun. Ia membawa surat tugas dan mengaku sebagai pendamping lapangan (PL) dari Yayasan PEKKA. Saat Mbak Reni datang, dia duduk di berugak (semacam pendopo di depan rumah). Bapak lalu memanggilku untuk menemaninya menemui Mbak Reni. 

Selama duduk menemani Bapak, benakku dipenuhi pertanyaan, apa itu Pekka. Setelah Reni menjelaskan, aku bisa memahaminya sedikit, tetapi belum benar-benar paham. Satu bulan berikutnya, pada Januari 2004, aku mengundang ibu-ibu untuk berkumpul di rumah orang tuaku, yang juga dihadiri Mbak Reni. Dia memperkenalkan diri, menjelaskan maksud dan tujuan, serta menjelaskan apa itu PEKKA. Selanjutnya, kami menyepakati pembentukan kelompok perempuan kepala keluarga dengan nama Kelompok Mekar Sari, termasuk membentuk kepengurusan kelompok. Ibu Pauziah sebagai ketua, Ibu Rapidah sebagai bendahara, dan aku dipilih menjadi sekretaris. Kami menyepakati menyetor simpanan wajib  seribu rupiah dan simpanan pokok lima ribu rupiah, serta melakukan pertemuan setiap tanggal 22. Dari seribu rupiah, anggota bisa meminjam mulai dari Rp 15.000,00 sampai Rp 25.000,00. Simpanan ini membantu anggota kelompok mengatasi masalah ekonomi.

Aku diminta menghadiri Forum Nasional Pekka pada Agustus 2004. Acara ini diselenggarakan di Hotel Milenium, Jakarta, dengan tema “Saatnya Menggugat”. Aku senang sekali, karena ini pertama kali aku menginjakkan kaki di Jakarta. Aku tidak pernah membayangkan sebelumnya.

Tahun 2005, kami mendapatkan dana hibah dari Bank Dunia sebesar Rp 50 juta. Dana hibah ini kami gunakan untuk dana pendidikan sebesar lima juta rupiah, berupa beasiswa untuk 100 anak yang berasal dari keluarga yang kurang mampu. Penerima beasiswa ini adalah anak-anak yang telah kami seleksi bersama warga. Kami juga bermusyawarah untuk menentukan barang-barang yang mereka butuhkan untuk bersekolah. Hasilnya adalah buku, tas, sepatu, dan seragam yang langsung kami beli untuk kami berikan kepada anak-anak penerima beasiswa.

Kami juga menggunakan Rp 5 juta dari dana hibah itu untuk dana sosial, yang kami belikan sembako untuk diberikan kepada 25 anggota kelompok kami. Sisa dari dana hibah itu kami gunakan untuk membangun balai pertemuan, sebesar Rp 10 juta. Balai pertemuan ini kami gunakan untuk berdiskusi, bertransaksi simpan pinjam swadaya kelompok, dan tempat menerima informasi tentang hukum, kesehatan dan lainnya.

Jumlah terakhir dari dana hibah, sebesar Rp 30 juta, kami gunakan untuk modal usaha berupa usaha kelompok gadai sawah. Mbak Reni, selaku pendamping lapang, selalu mendampingi kami di setiap kegiatan. Aku mengetahui cara menghitung untung-rugi dalam usaha seperti gadai sawah ini berkat ilmu yang diajarkan oleh Mbak Reni. Gadai sawah adalah sistem kepemilikan sawah sementara, dengan cara membayar tanah seseorang yang digunakan untuk bercocok tanam dalam kurun waktu tertentu, sesuai kesepakatan. Usaha gadai sawah ini membuat para anggota kelompok yang ikut bekerja di sawah bisa mendapatkan upah. 

Di tahun berikutnya (2006), kami  membentuk LKM (lembaga keuangan mikro). Dengan adanya LKM ini, modal usaha sebesar Rp 30 juta per kelompok dari delapan kelompok yang ada ditarik ke LKM untuk dijadikan modal usaha. Simpanan swadaya yang ada di kelompok juga ditarik ke LKM, agar jumlah uang yang dipinjam anggota kelompok bisa lebih besar, yakni lima ratus ribu rupiah sampai satu juta rupiah. 

Di tahun yang sama, aku mengikuti pelatihan yang berisi materi membuat laporan dan mengirimkannya melalui telepon genggam. Dari pelatihan ini aku mendapat satu unit handphone merek Samsung. 

Satu tahun kemudian, aku bersama teman-teman pengurus kelompok mengikuti pelatihan keuangan mikro di Hotel Orindo Mataram selama satu pekan. Kami belajar bagaimana cara membuat buku kas sampai menyusun neraca yang benar. Ilmu yang kami dapat ini selanjutnya kami terapkan di kelompok.

Di tahun 2007 ini pula aku berhasil menggugat cerai suamiku dengan cara pro deo, berkat saran dan bantuan dari Mbak Reni dan teman-temanku sesama anggota Pekka. Aku berhasil melengkapi berkas yang diperlukan, dan karena mantan suamiku tidak pernah hadir di pengadilan, gugatan ceraiku dikabulkan.

Keberhasilanku menggugat cerai suami mendorongku untuk membantu warga mengurus dokumen identitas diri. Aku mendata warga yang tidak mampu untuk mengurus kepemilikan Kartu Keluarga, KTP, Akta Kelahiran, juga Surat Nikah. 

Kegiatan-kegiatan selanjutnya bersama  Pekka, membuat aku merasa ilmu, teman, dan pengalamanku bertambah. Aku semakin disibukan dengan berbagai kegiatan, dan ini mengalihkanku dari ingatan tentang pengalaman di masa lalu. Aku merasa tidak sedih lagi. Aku bersyukur ibuku sangat mendukungku. Saat aku berkegiatan, beliaulah yang menjaga anakku.

 

Hari-hari selanjutnya aku menyibukkan diri dengan kegiatan di desa sebagai kader kesehatan, kegiatan bersama Pekka dan menjahit di rumah. Karena aku janda, ada saja laki-laki yang merayu dan menggodaku. Tapi aku tidak menghiraukannya. Aku tidak mau terburu-buru menikah lagi. Aku takut gagal lagi dan berpikir lebih baik sendiri daripada sakit hati.

Aku kembali membantu warga untuk pembuatan dokumen identitas hukum-kali ini Akta Kelahiran-pada 2010. Aku berkeliling ke rumah-rumah warga untuk mengambil berkas yang diperlukan dalam pencatatan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Dua minggu kemudian, setelah Akta Kelahiran jadi, aku mengambilnya ke kantor Disdukcapil dan memberikannya kepada warga yang telah mendaftar. 

Membantu warga untuk mendapatkan haknya kembali aku lakukan pada 2013. Bersama Serikat Pekka Lombok Barat, aku mengadakan isbat nikah untuk 60 pasangan. Sidang ini dihadiri oleh perwakilan dari Kementerian Agama, Bapak Scott Guggenheim dari Bank Dunia, PNPM, tim Sekretariat Nasional Pekka, dan masih banyak lagi. Isbat nikah kembali dilakukan pada 2014, kali ini diikuti oleh 50 pasangan.

Senantiasa Menjadi Manusia Berguna

Pada tanggal 19 April 2014, ibuku meninggal dunia karena kanker hati. Aku  sangat terpukul atas kehilangan ibuku, tapi aku ikhlas. Sebelum genap 40 hari meninggalnya ibuku, aku mendapatkan jodoh kembali. Aku mengenal seorang jejaka yang seumuran denganku melalui media sosial. Perkenalan hanya 2 minggu, tapi cukup buat kami untuk melangkah ke jenjang pernikahan. Laki-laki itu bernama Nurzan, usia 44 tahun, berasal dari Kecamatan Gunung Sari. Kami melangsungkan akad nikah di masjid tempat tinggal suami pada bulan Mei 2014. Saat itu anakku sudah kelas 2 SMP.

 

Kami tinggal di rumah suami, bersama ibu mertua. Bapak mertua sudah almarhum. Sedang anakku tinggal bersama bapakku, karena bapakku tidak mengizinkan anakku tinggal bersamaku. Setelah menikah, aku membuka usaha jahit di rumah suami. Walaupun aku hamil, aku tetap menjahit. Setahun kemudian, pada bulan Mei 2015, aku melahirkan anak kedua.

Sejak melahirkan, aku tidak bisa berkegiatan dulu di Pekka sampai anakku sudah agak besar. Meski demikian, aku masih aktif sebagai kader Posyandu di kampungku. Aku baru berhenti setelah Bapak mengundurkan diri sebagai kepala dusun di tahun 2016, dan aku pindah domisili. 

 

Suamiku sangat mendukungku. Dia selalu temani aku di saat ada kegiatan di Pekka apabila dia tidak bekerja. Suamiku juga sangat perhatian terhadap anak dan istri. Dia tidak merokok, ngopi, tidak suka mabuk dan judi. Untuk urusan ekonomi, kami berdua sama-sama bekerja.

Setahun yang lalu, pada Agustus 2021, bapakku meninggal dunia faktor usia. Aku ikhlas walau terkadang aku menangis di kala rindu dan teringat mereka yang sudah pergi. Sekarang rumah tangga kami sudah lebih dari 8 tahun, sedikit demi sedikit kehidupan kami lebih baik. Walaupun kami hidup sederhana yang penting kami bahagia.

Aku merasa selama bergabung dengan Pekka rezekiku terus mengalir. Bantuan yang kita berikan, sekecil apapun, akan berguna bagi orang lain. Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi banyak orang. Kalimat ini aku pegang terus, dan membuat usahaku dalam membantu orang lain senantiasa terasa ringan.

Bagikan Cerita Ini

Cerita Terkait

Leave a Comment