Kecil Merana Akibat Utang, Dewasa Berani Memp
[responsivevoice_button voice="Indonesian Female" butto...
Maryam
Maryam, nama terindah ini diberikan kepadaku. Namun, sehari-hari aku dipanggil Nu ar. Aku adalah anak pertama dari empat bersaudara, dan adikku laki-laki semua. Orang tuaku, Daud T. dan Tasik Omba, memiliki warisan sawah dari orang tua mereka. Namun, panen padi yang hanya bisa didapat satu kali dalam satu tahun tidak mencukupi kebutuhan kami berenam. Terkadang, Ayah dan Ibu bekerja ke sana kemari untuk mendapatkan upah harian demi tercukupinya kebutuhan hidup kami.
[Di mana Ibu tinggal, di desa apa, kecamatan apa, kabupaten apa?]
Aku masuk SD pada tahun 1989. Selama bersekolah di SD, terkadang aku tinggal bersama Nenek yang rumahnya tidak jauh dari sekolah. Sekolahku, SD Balla Peu, berjarak 3 km dari rumah orang tuaku. Bila aku berangkat dari rumah orang tuaku, aku berangkat dan pulang dengan berjalan kaki bersama teman-teman. Belum ada kendaraan umum roda empat ataupun roda dua yang masuk ke kampungku. Mungkin karena jalannya yang masih sempit.
Masa-masaku di SD berakhir pada tahun 1995. Setelah itu, aku melanjutkan pendidikan ke sebuah SMP di Kota Mamasa. Pada masa itu, SMP dan SMA hanya ada di kota. Selama bersekolah, aku tinggal di rumah kontrakan, dan baru pulang ke rumah orang tua untuk melepas rindu setiap Sabtu. Dengan membawa bekal dari orang tua, setiap hari Minggu aku kembali ke rumah kontrakan di kota dengan diantar Ayah yang memikul kayu yang sudah dibela-bela dan diikat rapi. Sementara, aku menjunjung beras. Kami berjalan sejauh 5 km sebelum naik mobil angkutan umum menuju kota. Lama kelamaan, aku memutuskan untuk tidak pulang setiap pekan, demi mengirit biaya transportasi. Kadang aku pulang dua minggu sekali, atau satu bulan sekali dengan membawa bekal yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan pulang setiap minggu. Aku tidak mengindahkan berat dan sedihnya tinggal jauh dari orang tua selama bersekolah, demi cita-citaku untuk menjadi bidan. Aku ingin bisa membantu perempuan yang menjalani proses persalinan.
Aku berniat melanjutkan sekolah ke SMA setelah lulus di tahun 1998. Namun, ketika aku pulang kampung, aku baru mengetahui bahwa sawah warisan milik ayahku telah dijual untuk membiayai sekolahku selama SMP. Akhirnya aku memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah dan membantu orang tuaku beternak babi dan menjaga adik-adikku. “Apa boleh buat, sudah nasibku,” begitu kataku dalam hati.
Sejak kembali ke kampung, aku ikut Organisasi Pemuda Gereja dan aktif mengikuti kegiatan di organisasi itu. Satu tahun kemudian, aku bertemu dengan seorang laki-laki yang jauh lebih dewasa. Kami saling jatuh hati dan berpacaran. Ketika orang tuaku mengetahui bahwa aku berpacaran, aku malah dijodohkan dengan laki-laki yang tidak aku cintai.
Aku tidak bisa menolak dan terpaksa menuruti kemauan orang tuaku. Aku kubur rasa cintaku kepada pacarku. Kami dinikahkan pada September 1999. Setelah menikah, kami merantau ke Polewali. Laki-laki itu bekerja di kabupaten ini. Meski sudah menikah dan melakukan hubungan suami-istri, rasa cintaku terhadapnya tidak pernah tumbuh. Akhirnya, pada bulan Desember di tahun yang sama, aku minta pulang kampung untuk merayakan Natal bersama orang tuaku. Setibanya di kampung, aku meminta kepada orang tuaku agar kami diceraikan. Orang tuaku tidak setuju, tetapi tekadku untuk bercerai tetap kuat. Dan karena kami tidak menikah di Catatan Sipil, maka kami bercerai secara adat yang hanya diketahui oleh keluarga dari kedua belah pihak.
Di awal tahun 2000, aku diajak salah seorang teman untuk merantau ke Pare-pare, Sulawesi Selatan. Pagi-pagi ketika matahari sedang terbit, kami berangkat. Di kota itu, aku bekerja sebagai tenaga pencuci piring di salah satu Rumah Makan Padang. Aku senang, gaji yang aku dapat bisa aku kirim untuk membantu orang tuaku membiayai sekolah adik-adikku.