Memilih Untuk Tegar dan Bangkit, Cakrawala Baru Pun Aku Raih

Membesarkan empat anak tanpa suami bukanlah hal yang mudah. Aku harus melaluinya dengan cucuran keringat dan air mata. Aku berhasil membuka cakrawala baru melalui Pekka. Berbagai pengetahuan dan kesempatan aku raih dalam wadah yang memberdayakan para perempuan kepala keluarga.

 

Aku tinggal di desa yang terletak di dalam hutan. Desa Sungai Itik namanya. Desa ini merupakan bagian dari Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat. Kedua orang tuaku memutuskan untuk pindah ke desa ini ketika aku berusia satu tahun delapan bulan.

Sebelum pindah ke desa ini, kami tinggal di sebuah desa di Kabupaten Sambas, kabupaten paling utara di Kalimantan Barat. Jaraknya sekitar 280 km dari Kubu Raya. Di desa inilah aku, Asmawati, lahir pada tanggal 23 April 1977. Bapakku seorang nelayan. Aku jarang bertemu Bapak. Beliau pulang hanya dua kali dalam satu bulan. Sudah lama beliau meninggal dunia karena sakit. Ibuku masih hidup. Saat ini, beliau tinggal bersamaku.

Aliran listrik baru masuk ke Desa Sungai Itik pada tahun 1995. Terbilang terlambat, karena Program Listrik Masuk Desa dari pemerintah sudah berjalan sejak 1980an. Sebelum ada listrik, kami menggunakan lampu berbahan bakar minyak tanah sebagai penerangan, juga alat yang disebut aki sebagai sumber listrik untuk menyalakan televisi. Bila hendak menyetrika baju, kami menggunakan alat setrika yang terbuat dari baja, dan memasukkan arang yang sudah membara ke dalamnya.

Masa Bersekolah

Aku tetap bersekolah meskipun aku tinggal di hutan. Sekolah Dasar Sungai Itik, nama sekolahku, berjarak satu kilometer dari rumah. Setiap hari, aku berjalan kaki bersama teman-teman untuk bersekolah.

Setamat SD, aku melanjutkan sekolah ke SMP Negeri I Sungai Kakap. Untuk bisa mencapai sekolah, aku harus berjalan kaki sejauh empat kilometer. Pada masa itu, orang yang memiliki kendaraan bermotor masih jarang. Ada yang ke sekolah menggunakan sepeda engkol, tapi itu bisa dihitung dengan jari. Hanya orang-orang tertentu, yang berasal dari keluarga mampu, yang punya sepeda.

Aku berhenti bersekolah setelah lulus SMP di tahun 1993. Di kecamatanku tidak ada SMA. Bila ingin melanjutkan sekolah, aku harus ke Pontianak. Tetapi ibuku tidak sanggup menanggung biayanya. Akhirnya, aku memutuskan untuk bekerja di pabrik triplek. Dua tahun aku bekerja di pabrik itu. Uang yang aku dapat cukup untuk membantu memenuhi biaya hidup kami berdelapan.

Pasang Surut Pernikahanku

Satu tahun setelah berhenti bekerja, aku menikah. Dari tujuh bersaudara, aku adalah anak pertama yang menikah. Aku menikah dengan laki-laki yang berasal dari suku yang berbeda, dengan budaya dan bahasa yang berbeda. Suamiku perlu waktu untuk bisa menyesuaikan diri dengan tradisi keluargaku. Anak pertama kami lahir satu tahun kemudian, yakni pada bulan April 1997.

Suamiku berusaha menghidupiku dan anak kami dengan memulai usaha ayam potong. Namun, dia merasa usaha ini kurang memberikan hasil yang bagus. Setelah tiga kali panen, dia berhenti dari usaha ini. Suamiku kemudian memutuskan untuk merantau. Di tahun 1998, dia pergi ke Nanga Pinoh, ibukota Kabupaten Malawi, karena diterima bekerja di sebuah perusahaan di sana. Kabupaten ini adalah perluasan dari Kabupaten Sintang, dan berdiri pada 2004.

Pada masa itu, kami belum memiliki telepon genggam. Komunikasi dengan suami hanya bisa aku lakukan melalui surat. yang dikirim lewat PT Pos Indonesia. Cara ini juga dilakukan suami apabila dia hendak mengirimkan uang. Meski demikian, aku tidak tahu alamat tempat suamiku tinggal selama merantau.

Kira-kira setelah satu tahun, aku memutuskan untuk menyusul suami dengan membawa anakku. Aku kebingungan ketika sampai di kota itu. Aku tidak tahu di mana bisa menemui dia. Di tengah kebingungan itu, aku memutuskan untuk mengadu ke kantor polisi. Aku diterima oleh seorang anggota polisi yang baik hati. Dia berasal dari suku yang sama dengan suamiku, juga memiliki marga yang sama: Ginting.

Polisi itu mengajakku ke rumahnya, dan dipersilakan makan dan mandi. Suamiku baru datang menjemput ketika hari sudah sore. Dia datang dengan mengendarai mobil perusahaan. Ternyata, selama ini suamiku tinggal di mes perusahaan. Kami tinggal di sana selama beberapa bulan, sampai Idulfitri tiba. Kami pun pulang ke Kubu Raya untuk berlebaran.

Sejak saat itu, aku pulang-pergi dari Pontianak ke Sintang untuk ikut suamiku bekerja. Dalam rentang waktu tersebut, anak kedua kami lahir di tahun 1999, dan anak ketiga lahir pada bulan November 2002.

Aku terus pulang-pergi meskipun harus memboyong ketiga anak kami. Hingga akhirnya suamiku berhenti bekerja dengan alasan tidak ada penghasilan di tahun 2003. Memang, gajinya hanya Rp 600 ribu sebulan. Uang sejumlah itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup kami. Apalagi setelah aku melahirkan anak keempat di bulan Juli 2004.

Melihat kenyataan bahwa kebutuhan hidup kami semakin meninggi, suamiku memutuskan untuk bekerja di Malaysia. Paspor sudah diurus, tinggal menunggu visa. Sambil menunggu, suamiku pulang ke Medan karena Mamak, ibu mertuaku, ingin bertemu dengannya. Ibu dan anak ini memang sudah sepuluh tahun tidak bertemu. Jadilah, suamiku berangkat ke Medan di akhir 2004. Sepulang dari Medan, dia membatalkan niatnya untuk bekerja di Malaysia, dan memutuskan membuka usaha dengan berjualan jeruk di kampung halamannya.

Suamiku datang menjenguk aku dan anak-anak setelah satu tahun dia tinggal di Medan. Aku tentu saja merasa senang. Sayang, kedatangannya hanya sebentar. Pikirannya terus melekat pada usahanya di Medan.

Di tahun 2007, suamiku kembali datang menengokku dan anak-anak. Kali ini dia tinggal selama satu bulan, dan setelah itu kembali lagi ke Medan. Kepergiannya kali ini menyisakan tanda tanya besar bagiku, karena setelah itu, dia mulai jarang mengontak dan mengirimiku uang.

Bercerai

Tahun 2010 Gunung Sinabung meletus di Karo, Sumatera Utara. Di tengah kekhawatiranku akibat bencana itu, suamiku mengontak dan mengabarkan kalau usahanya tidak berjalan lancar. Ternyata, itu adalah kali terakhir suamiku memberi kabar.

Akhirnya aku memutuskan untuk menyusul suami pada Januari 2011. Aku dijemputnya di bandara, dan diantar ke rumah orangtuanya. Namun, dia lalu pergi dan tidak kunjung datang lagi. Aku menunggu hingga satu minggu, tetapi suamiku tidak kunjung datang ke rumah orang tuanya. Sampai suatu hari, aku bertemu dengannya di jalan, tapi dia tidak mengatakan apa-apa.

Dua bulan berlalu. Suamiku tetap tidak datang untuk menengokku dan anak-anak. Mertua dan para tetangga pun jatuh iba. Apalagi setelah aku mendengar kabar bahwa suami sudah menikah lagi. Aku mendatangi alamat yang diberikan tetangga dan mertuaku. Ternyata, lokasinya tidak terlalu jauh dari rumah tempat yang aku tinggali selama ini. Hanya perlu waktu 15-20 menit bila naik angkutan umum. Sayangnya, ketika aku datang, di rumah itu tidak ada orang.

Aku kemudian mendatangi Pasar Kaban Jahe. Kabarnya, suamiku berjualan di sana. Seseorang menghampiriku dan bertanya: “Nunggu siapa, Bu?” Sambil menangis aku ceritakan tentang suamiku. Sorenya, sekitar pukul lima, aku datang lagi ke rumah tadi. Dari jauh aku lihat suamiku sedang berada di depan warung. Dia pun melihatku. Tanpa berkata, apa-apa, dia mengantarku pulang ke rumah orang tuanya.

Di hadapan orang tuanya aku berkata: “Ternyata sudah menikah lagi kau, ya?” Mertuaku lalu memarahinya. Suamiku diam saja. “Bagaimana anak-anakmu?” tanyaku lagi. Suamiku menjawab bahwa dia pasti pulang. Aku beri dia waktu satu tahun. Apabila tidak pulang, aku izinkan dia untuk menengok anak-anak kami, tapi tidak berhak lagi atas diriku.

“Kau jangan menikah lagi,” begitu dia menanggapi ancamanku.

“Kau bisa menikah lagi. Masak aku tidak boleh?” balasku.

Bangkit dan Menebar Manfaat

Aku kembali ke Kubu Raya pada bulan Maret 2011. Satu tahun berselang, suamiku tak kunjung memenuhi janjinya untuk pulang. Maka, pada Januari 2012, aku putuskan untuk menggugat cerai melalui proses pro deo. Pengadilan Agama mengabulkan tuntutanku. Aku resmi bercerai.

Aku tidak bisa tenggelam dalam kesedihan dan penyesalan. Aku adalah satu-satunya tempat bersandar bagi keempat anakku. Aku harus mencari nafkah untuk mereka. Kesadaran ini membuatku mau melakukan apa saja agar kami berlima bisa hidup. Aku bekerja sebagai petani kebun keluarga milik orang tua, tukang ojek, dan pembuat kue. Selain itu, aku juga mencari upah dengan membersihkan kebun kelapa yang ada di sekitar tempat tinggalku, serta membantu proses pembuatan kopra/kelapa kering.

Seorang temanku memiliki kebun kelapa. Dia menawariku pekerjaan untukku. Tugasku adalah menyemprot dan membersihkan kebunnya. Aku menerima tawarannya karena upah yang diberikan dihitung per jam. Dan lagi, dia betul-betul percaya kepadaku. Aku tidak pernah diawasi selama bekerja. Istrinya pun sangat baik. Aku dianggap saudaranya sendiri. Aku sering mengantarnya ke salon atau berbelanja. Atas jasaku ini, dia membayarku Rp 100 ribu. Bukan itu saja. Bila dia membeli baju untuk anaknya, anak-anakku juga dibelikan. Kami sering pula dibelikan makanan. Pasangan suami istri ini banyak membantuku.

Selain bekerja sebagai pembersih kebun kelapa milik temanku, aku juga berjualan arang yang terbuat dari tempurung kelapa. Aku mencari tambahan lain, apa pun pekerjaan yang datang, akan aku sanggupi: mulai dari suruhan untuk menjual pisang, atau menerima pesanan camilan, seperti bakwan dan kroket, untuk dijual di sekolah. Masa-masa ini adalah yang terberat dalam hidupku.

Aku meyakini kalimat bahwa rezeki akan selalu datang selama kita berusaha. Keyakinan ini yang membuatku bertahan. Aku selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan anak-anakku, layaknya mereka yang memiliki orang tua lengkap. Aku sering menangisi keadaan itu. Terlebih ketika mengetahui bahwa suami sudah menikah dan tidak akan kembali lagi. Aku tidak boleh tenggelam dalam kesedihan. Aku harus bangkit.

Bergabung dengan Pekka

Suatu hari, aku menerima kunjungan Ibu Komariah dan Kak Agus. Mereka mengaku sebagai kader kelompok Pekka (perempuan kepala keluarga). Mereka berdua bercerita tentang kelompok Pekka. Beberapa waktu setelah kunjungan itu, mereka mengajakku untuk membentuk kelompok Pekka di Desa Sungai Itik. Pada waktu itu, aku belum resmi bercerai.

13 Januari 2011, aku memutuskan untuk bergabung dengan Pekka. Aku merasa perlu membuka diri. Selama ini aku hanyalah seorang ibu rumah tangga tidak tahu organisasi, apalagi mengelolanya. Apalagi setelah menyandang status ‘janda’, aku kehilangan rasa percaya diri. Setelah bergabung, aku mendengar banyak cerita. Aku jadi punya banyak teman untuk berbagi tentang pahitnya hidup. Ternyata, banyak orang yang lebih menderita dibandingkan dengan diriku. Semangatku untuk terus berjuang hidup bertambah. Aku bisa tersenyum kembali.

Di akhir 2011, aku mengikuti Pelatihan Paralegal yang diselenggarakan Pekka. Pelatihan ini membuatku mampu melakukan pendampingan masyarakat atas nama Pekka. Dalam mendampingi masyarakat, aku melakukan sosialisasi lalu menjelaskan tentang pentingnya dokumen identitas diri, hingga kemudian membantu mengurus pembuatan dokumen tersebut. Di tahun ini, aku juga terlibat dalam mengorganisir masyarakat yang membutuhkan isbat nikah, dan pembuatan dokumen identitas diri bersama Serikat Pekka Kubu Raya. Selain itu, aku melakukan pendampingan bagi mereka yang akan menggugat cerai atau mendaftar pernikahan di KUA.

Kasus identitas diri adalah yang paling banyak masuk ke Serikat Pekka Kubu Raya. Saking banyaknya, Pemerintah Kabupaten Kubu Raya memohon kepada Pengadilan Tinggi untuk mempunyai Pengadilan Agama sendiri. Sebelumnya, warga Kubu Raya harus pergi ke Pengadilan Agama Mempawah bila harus berurusan dengan Pengadilan Agama. Hingga akhirnya, Pengadilan Agama membuka kantornya di Kabupaten Kubu Raya pada 2012. Namun, kerjasama Serikat Pekka Kubu Raya dengan Pengadilan Agama Mempawah tetap berjalan baik hingga akhir 2018, khususnya untuk Sidang Pelayanan Terpadu, atau yang biasa kami sebut dengan Yandu.

Mengemban Amanat yang Lebih Berat

Aku diangkat sebagai Ketua Serikat Pekka Kabupaten Kubu Raya pada 2016 hingga sekarang. Jabatan ini memberiku banyak kesempatan untuk melakukan pendampingan kasus identitas diri bersama pengurus serikat serta kader Pekka Kubu Raya. Tentunya dengan didampingi fasilitator lapang PEKKA, Diana Lestari dan Kholilah.

Pengalaman sebagai ketua serikat memungkinkanku untuk memahami bahwa banyak anggota masyarakat yang tidak memiliki Surat Nikah. Berangkat dari keluhan-keluhan yang datang kepada Pekka, Serikat Pekka Kabupaten Kubu Raya melakukan pendataan. Data yang terkumpul kemudian dibawa ke Pengadilan Agama. Sayangnya, Pengadilan Agama Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya tidak memiliki anggaran untuk mendukung kegiatan Yandu.

Fakta bahwa Pengadilan Agama di tempat kami tidak memiliki anggaran untuk melaksanakan Yandu, dan keinginan untuk membantu masyarakat, mendorong kami untuk menemui Bupati Kubu Raya, Ir. Rusman Ali. Beliau menyempatkan diri untuk melihat data yang kami sodorkan. Dengan cermat, Bapak Bupati membaca rekapitulasi yang sudah kami buat, lalu meminta kami untuk membuat proposal. Ini adalah pengalaman pertamaku bertemu dengan Bupati, juga membuat proposal. Bangga juga rasanya hati ini.

Proposal kami siapkan, kemudian diajukan melalui Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kabupaten Kubu Raya karena Serikat Pekka terdaftar di sana. Pemda Kabupaten Kubu Raya menyetujui proposal yang kami ajukan, dan mengucurkan dana sebesar Rp 175 juta pada tahun 2016 untuk pelaksanaan Yandu. Kemudian sebesar Rp 150 juta di tahun 2018, dan dengan jumlah yang sama di tahun 2020.

Dana yang diterima oleh Serikat Pekka Kubu Raya ini adalah dana hibah, sehingga tidak bisa dikucurkan setiap tahun. Dana ini kemudian dicatat dalam pembukuan Serikat Pekka Kabupaten Kubu Raya untuk dilaporkan kepada Bupati.

Rekapitulasi dari data yang sudah kami kumpulkan juga membawa kami melakukan kunjungan ke Pengadilan Agama Sungai Raya. Lagi-lagi kami tersandung masalah anggaran. Pengadilan Agama Sungai Raya tidak memiliki alokasi dana untuk merespon kebutuhan masyarakat akan identitas diri, juga untuk mengadakan Yandu.

Serikat Pekka kemudian melakukan koordinasi dengan Pengadilan Agama, Kementerian Agama, dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukpil) untuk menyamakan persepsi mengenai jumlah peserta untuk sekali sidang di Pengadilan Agama, pembiayaan sidang, dan lain sebagainya. Sebelum hari pelaksanaan, data yang terkumpul diverifikasi dan divalidasi lebih dulu oleh Serikat Pekka.

Aku menganggap proses melengkapi berkas sebagai proses yang paling sulit. Banyak data yang tertera di KK dan di KTP tidak sama. Ini membuat pemohon harus dibantu untuk memperbaiki data-data yang tidak sama sebelum mendaftar permohonan sidang isbat. Baru setelah semua berkas lengkap, permohonan bisa didaftarkan ke Pengadilan Agama.

Kami menyerahkan berkas yang dibutuhkan untuk penerbitan Surat Nikah kepada KUA. Juga berkas untuk pembuatan Akta Kelahiran bagi mereka yang sudah dewasa, serta permohonan untuk mengubah Akta Kelahiran anak, kepada kantor Catatan Sipil. Setelah semua itu dilakukan, kami harus menunggu jadwal sidang dari Pengadilan Agama.

Serikat Pekka membuat surat undangan pelaksanaan sidang untuk Pengadilan Agama, KUA, dan Catatan Sipil setelah jadwal kami dapatkan. Namun, kami masih harus bolak-balik memperbaiki data ke Pengadilan Agama, KUA, atau Catatan Sipil, karena tetap ada saja data yang terlewat.

Menjelang pelaksanaan isbat nikah, pasangan suami istri dengan disaksikan dua orang saksi disidang oleh Pengadilan Agama. Surat Nikah akan segera bisa didapat apabila sinyal telekomunikasi bagus dan tidak ada gangguan sistem. Surat Nikah ini difotokopi, dan salinannya dibawa ke Catatan Sipil untuk perubahan atau pembuatan Akta Kelahiran anak-anak mereka.

Aku berharap, semua anggota masyarakat bisa memiliki semua dokumen identitas yang dibutuhkan. Tidak ada lagi pernikahan dan perceraian yang tidak tercatat, terutama yang disebabkan oleh pernikahan dini.

Menjadi paralegal di Pekka sering menimbulkan rasa bangga di dalam diriku. Aku jadi dikenal banyak orang. Namun, aku akan lebih merasa bangga dan senang jika kasus yang kami dampingi berhasil terselesaikan.

Aku mendapat banyak tanggapan positif dari orang-orang di sekitarku, meskipun ada juga omongan miring terhadap apa yang aku kerjakan. Bahkan ada suami yang melarang istrinya untuk bergaul dekat denganku. “Nanti kita dia ceraikan,” katanya. Namun, omongan semacam itu tidak mematahkan semangatku. Anggota masyarakat yang merasa terbantu oleh apa yang aku dan teman-temanku di Serikat Pekka lakukan jauh lebih banyak.

Bergabung dengan Pekka membawa banyak perubahan baik dalam diriku. Aku sudah berani melakukan pendampingan sendiri. Banyak anggota masyarakat yang datang padaku untuk meminta pendampingan kasus hukum. Mereka tidak hanya berasal dari Kubu Raya, tapi juga dari luar daerah tempat tinggalku seperti Kota Pontianak dan Kabupaten Mempawah. Kepala Desa dan pegawai KUA juga terkadang memintaku untuk melakukan pendampingan sidang cerai.

Buah Kegigihan

Buah dari pandangan positif ini adalah: aku terpilih menjadi Ketua RT. Saat ini, sudah dua periode aku memegang jabatan itu. Aku juga sering diminta untuk menjadi petugas pemilu, dan dilibatkan dalam kegiatan desa.

Sejak ada aturan mengenai batasan pendidikan untuk aparat desa, aku harus mengikuti program Paket C. Bagi orang yang usianya sudah kepala empat seperti diriku, syarat itu cukup berat. Tapi aku anggap ini sebagai tantangan. Alhamdulillah, aku sudah menyelesaikannya, dan tinggal menunggu ijazah.

Sampai titik ini, aku bersyukur atas segala pencapaian diri yang telah aku raih. Anak-anakku sudah dewasa, dan berhasil memenuhi harapanku. Anak pertamaku sudah lulus kuliah dan sekarang sudah bekerja. Anak keduaku sudah selesai kuliah, sementara anak ketiga dan keempat masih duduk di bangku SMA.  Aku merasa perjalanan kami berlima masih panjang, dan aku harus terus melanjutkan perjuangan.

Pekka berhasil membuka cakrawala hidupku. Sebelum bergabung dengan Pekka, aku hanya tahu mengurus pekerjaan rumah, tidak pernah kemana-mana karena Mamak melarang. Sejak menjadi paralegal, banyak orang datang ke rumah untuk meminta bantuan pendampingan, dan itu membuat Mamak terbuka hatinya. Beliau tidak lagi marah bila aku pergi ke luar rumah. Beliau hanya mengingatkanku untuk selalu menjaga diri, terutama mengingat statusku sebagai perempuan kepala rumah tangga.

Aku sering menghela napas lega. Aku berhasil melewati badai rumah tangga yang pernah menerjangku. Perjuanganku masih panjang. Aku akan terus memelihara semangatku ini untuk melanjutkan perjalananku bersama anak-anak.

Bagikan Cerita Ini

Cerita Terkait

Leave a Comment