Menempa Jalan dari Kerasnya Kehidupan

Usiaku sudah kepala tujuh. Berbagai suka dan derita hadir dalam hidupku sepanjang hidupku. Aku mengalami hidup di hutan karena pemberontakan, sesuatu yang hanya dipahami sebagai bagian dari sejarah oleh generasi sekarang.  Bercerai dari suami, membesarkan anak-anak seorang diri, mempertemukanku dengan Pekka. Perjalananku dengan organisasi ini membuatku menjadi lebih berarti. Berbagai amanat datang dari masyarakat sebagai bentuk kepercayaan mereka terhadap semua yang sudah aku jalani.

 

Aku mendadak harus berhenti bersekolah saat kelas 4 SD. Pada tanggal 14 Agustus 1958, kami, enam rumpun keluarga, diperintahkan tentara harus mengungsi ke hutan Lolak. Aku bingung. Mengapa aku dan keluarga harus mengungsi. Orang tuaku menjelaskan bahwa ada pemberontakan Permesta

Permesta atau Perjuangan Rakyat Semesta, adalah “pemberontakan” atau “aksi protes” atau “kritik keras” orang-orang Minahasa (Sulawesi Utara) kepada pemerintahan pusat di Jakarta. Saat Pemberontakan Permesta terjadi, rumah-rumah dibakar, sekolah juga dibakar. Hanya masjid dan gereja yang selamat dari aksi pembakaran ini.

Cristina Pontolondo namaku. Lahir di Desa Lalow, Kecamatan Lolak, Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara pada tanggal 1 Maret 1949. Aku lahir sebagai anak keempat dari lima bersaudara, dari keluarga Pontolondo Tahulending. Peristiwa Pemberontakan Permesta terjadi saat aku berusia 10 tahun, saat aku duduk di kelas 4 SD. 

Situasi itu membuat kami harus pindah ke Desa Buntalo, masih di kecamatan yang sama dengan desa kelahiranku. Aku melanjutkan sekolah di SD Negeri Buntalo. Aku dianggap sebagai murid paling pintar dan berprestasi. Aku rajin bersekolah, karena aku ingin sekali menjadi seorang guru.

Mengungsi Ke Hutan

Saat itu kami mengungsi ke Hutan Lolak dipimpin oleh Bapak Petrus Makahinda, pimpinan jemaat gereja. Kami mempersiapkan diri dengan membawa bekal padi yang nanti akan ditumbuk untuk dimasak. Kami mengungsi selama dua tahun di Hutan Lolak, untuk kemudian berpindah ke hutan yang lain. Selama mengungsi, yang kami lakukan adalah mencari buah-buahan, ubi kayu, atau pun pisang untuk kebutuhan makan kami sehari-hari. Selain itu, kami juga membawa padi. Sehingga, Pak Petrus menyarankan agar padi tersebut kami tanam. Sungguh mengherankan. Padi itu tumbuh subur. 

Dua bulan setelah tinggal di Hutan Lolak, kami pindah ke hutan lain, Hutan Wenang, dengan dikawal tentara. Setelah dua minggu tinggal di Hutan Wenang, Pak Petrus teringat pada padi yang kami tanam di Hutan Lolak. Dia yakin padi tersebut sudah siap untuk dipanen. Kami meminta izin kepada tentara di pos jaga untuk pergi ke Hutan Lolak untuk memotong padi. Padi tersebut disimpan di rumahku, lengkap dengan tangkainya. 

Beberapa saat kemudian, ada tentara yang datang ke rumah kami. Mereka membawa Bapak untuk dijadikan korut atau perintis jalan bagi BNW Kompi 2 Batalion 2. Bapak menitipkan kami berempat kepada teman-temannya. Sebelum pergi, Bapak berpesan kepada Pak Petrus Makahida: “Kalau kamu mau pindah tempat, jangan tinggalkan istri dan anak-anak saya.”

Setelah ditinggal Bapak, kakakku, Theopilus Pontolondo, mengambil alih peran Bapak. Padahal ketika itu usianya baru 13 tahun dan duduk di kelas 6. Kami, enam rumpun keluarga, tidak terpisahkan. Dari Hutan Wenang, kami diminta untuk berpindah lagi. Kali ini ke Hutan Kinoili. 

Kami bersyukur karena kami tidak pernah kekurangan makanan. Kami makan apa saja. Salah satunya adalah pohon silar yang diambil batangnya, kemudian dibelah dan ditumbuk, lalu direndam, setelah itu diambil sagunya. Ketika kami butuh sabun untuk mencuci baju, para bapak mencoba mencari kulit kayu – sayang aku tidak ingat dari pohon apa – yang bisa digunakan sebagai bahan pengganti sabun. Tetapi karena enam keluarga ini jumlahnya banyak, kami sering kehabisan. 

Kami beralih untuk mencoba akar kayu Tabuhu. Akar ini baunya harum. Tabuhu adalah tumbuhan yang menjalar dan menumpang di pohon lain, akarnya diambil kemudian dibuat sabun. Tapi lagi-lagi kami selalu kehabisan. Lalu, Theopilus mendapat ide baru. Kebetulan di lembah Kinoili banyak masyarakat berkumpul dari berbagai wilayah. Dia mengusulkan agar kami, keenam rumpun keluarga, membuat sabun dari abu. Mereka lalu mencari abu di buah kelapa yang sudah dibakar. 

Untuk mengambil abu, mereka mencari kapur dan garam untuk membuat sabun. Lalu bapak-bapak  mencari 2 drum kosong. Satu dipakai untuk memasak sabun, yang satu lagi dipakai untuk merendam abu. Setelah direndam, abu disaring lalu direbus bersamaan dengan minyak kelapa, setelah itu dicampur garam supaya jernih airnya. Cairan itu terus direbus hingga mengental, lalu dimasukkan ke cetakan kue. Setelah dingin dan membeku, dipotong-potong dan siap dipakai untuk mencuci. 

Aku membawa potongan sabun itu ketika mencuci baju di sungai. Di sana ada banyak ibu pengungsi yang sedang mencuci baju. Mereka mengelilingiku dan bertanya, “Dari mana kamu dapat sabun?” Saya menjelaskan bahwa sabun itu dibuat oleh kakakku, yang membuat sabun dari abu. Ibu-ibu itu lalu meminta sabunku. Aku memotong sabun itu kecil-kecil agar para ibu yang meminta bisa kebagian. Semua harus dapat, begitu pikirku. 

Karena tidak cukup, aku pulang untuk mengambil sabun lagi. Ibuku marah mengetahui aku membagikan sabun kepada ibu-ibu itu. “Kenapa kau kasih kepada mereka? Kakakmu setengah mati pergi cari abu, lantas kau hanya bagi kepada mereka,” Aku sedih sekali dimarahi begitu. Namun, kakakku berkata, “biar saja. Nanti bikin lagi.” 

Keesokan harinya ibu-ibu yang aku temui di sungai kemarin datang ke tempat kami. Ada yang membawa beras, ada yang membawa ikan, ada yang membawa garam, gula, atau minyak, untuk ditukar dengan sabun. Akhirnya kami menemukan cara untuk tidak hidup kekurangan, walaupun tinggal di dalam hutan. Kakakku tidak pernah menolak. Dia bilang dengan cara ini kita bisa hidup rukun dengan orang dari berbagai macam suku dan agama. Kami tidak perlu takut walaupun saat itu sering terdengar bunyi senjata. 

Pada 14 Agustus 1959, kami dikejutkan dengan ledakan bom di Inobonto. Rupanya tentara pusat menembaki benteng Permesta. Benteng ini menjadi markas sementara kelompok itu. Bukan hanya menembaki, tetapi juga menghujaninya dengan bom motor yang ditumpahkan dari pesawat. Malam itu tentara pusat sudah memasuki hutan tempat persembunyian kami. Tentara Permesta lari kocar-kacir. Kami semuanya, enam keluarga juga warga sekitar, dibawa tentara keluar dari Hutan Wenang. Kami dikumpulkan di satu lokasi, dan tinggal di atas reruntuhan rumah kami di Lolak.

Bersama kami ada dua orang caper atau kuli angkut yang ditinggalkan oleh tuannya karena sakit. Barang yang mereka bawa bisa berupa makanan, atau bahkan sepatu tentara Permesta. Mereka ternyata berasal dari Buntalo, desa yang sama dengan tempat kami berasal. Tiga hari tinggal di Lolak dengan beratapkan langit, Kakak dan dua caper tadi mencari tempat untuk membangun rumah. 

Kami lalu meminjam tanah di Lorong Mapalus dari Keluarga Karame. Mereka bertiga – Kakak dan kedua caper yang ikut kami – membuat rumah yang mirip dengan kandang kambing: atap dan dinding terbuat dari daun kelapa. Tetapi kami merasa aman karena sudah tidak ada Permesta lagi. Bapak pun pulang diantar tentara pada Juni 1960, karena keadaan sudah aman. Kami merayakan Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1960 di Desa Lolak. Aku pun bisa melanjutkan sekolah lagi. Aku duduk di kelas 5, dan Kakak bisa ikut ujian kelulusan S

Kembali Ke Kehidupan yang Tenang

Setelah keadaan benar-benar aman, kami pindah ke desa kami, Desa Buntalo. Aku kembali melanjutkan sekolah, duduk di kelas 6 dan bisa ikut ujian. Aku lulus dengan menempati peringkat satu. Berkat prestasi itu, aku mendapat perhatian dari pemerintah desa. Mereka lalu menyekolahkanku di SMP Kelurahan Inobonto. Di sana, aku tinggal di rumah seorang bibi di Inobonto 2 selama tiga tahun. 

Aku terkenang sekali pada masa sekolah di sana. Aku bersekolah dengan hanya mengenakan sandal jepit, karena aku anak orang miskin. Sementara, teman-temanku memakai sepatu. Mereka juga mengendarai sepeda, tinggal di rumah yang bagus, dan rata-rata orang tua mereka punya toko. Aku bertekad kuat untuk menjadi guru, sehingga aku rajin belajar. Karena itulah guru dan teman-teman menyayangiku.

Aku tamat SMP pada tahun 1964, dan lagi-lagi aku meraih predikat terbaik dengan meraih juara 1. Waliku sangat bangga melihat prestasi yang aku raih. Sayang, aku tidak bisa melanjutkan ke SMA karena orang tuaku tidak mampu membiayai. Aku harus pulang ke Desa Buntalo dan kembali ke orang tua. Aku harus membantu orang tua untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Aku bekerja sebagai asisten rumah tangga di Manado. Bila sudah pulang dari rumah majikan, aku kursus menjahit. Setelah lulus dari kursus aku pulang ke Desa Buntalo dan membuka usaha jahit.

Berawal Bahagia, Berakhir Derita

Aku  menikah dengan suami pilihan sendiri pada 30 September 1975. Saat itu usiaku sudah 26 tahun.  Aku bertemu dengan dia ketika bekerja di perusahaan Ganifo, sebuah pabrik sabun cuci. Aku bekerja kurang lebih 10 tahun di bagian produksi. Aku merasa senang karena menikah dapat menunjang kehidupanku. Kami dikaruniai empat orang anak, satu perempuan dan tiga laki-laki. Anak pertamaku cacat. Ketika dia berusia satu bulan, anakku ini mengalami demam tinggi dan kejang-kejang, sehingga dia cacat sampai sekarang. 

Awalnya pernikahan kami bahagia. Tetapi sayang, itu hanya berlangsung sebentar. Kami diguncang masalah setelah pasar masuk ke desa kami. Pelanggan yang biasa menjahit di tempatku kemudian memilih membeli pakaian di pasar. Pendapatanku jadi berkurang drastis. Sejak saat itu suamiku mulai sering marah-marah, bahkan mabuk-mabukan, dan tidak mau lagi beribadah ke gereja. 

Puncak kekesalan suamiku terjadi ketika aku diundang pihak gereja untuk mengikuti kegiatan KPI (Kumpulan Penginjilan Iman) tahun 1995. Kegiatan ini dimulai pukul 5 sore. Sayangnya, pendeta yang memimpin acara terlambat datang sehingga acaranya baru dimulai pukul 6 sore, dan aku baru bisa sampai rumah pukul 7 malam. Suamiku marah besar. Menurut dia, untuk apa berlama-lama di gereja. Dia tidak membukakan pintu buatku, dan mematikan semua lampu. Dia bilang aku tidak usah lagi pulang ke rumah. “Sudah susah tapi sombong,” begitu dia mengata-ngataiku. 

Malam itu dia pergi meninggalkan aku dan keempat anak kami. Dia ingin merantau dan mencari kehidupan yang lebih baik, begitu dia bilang. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku hanya bisa menangis meski di dalam hati berkecamuk rasa benci dan marah.

Banting Tulang Agar Kebutuhan Terpenuhi

Aku tidak bisa mengadu kepada siapapun tentang perilaku suamiku. Orang tuaku sudah meninggal dunia. Aku harus kuat demi anak-anak. Aku terpaksa banting setir dari berkebun menjadi petani penanam padi. Tiga bulan sebelum panen, aku berdagang kecil-kecilan di pasar. Modalnya aku pinjam dari koperasi dengan bunga sebesar 20 persen. Aku harus membayarnya selama 30 hari. Setiap hari aku ditagih untuk membayar uang angsuran, padahal uang pinjaman itu belum aku pakai. Pinjaman itu belum lunas tapi modalku sudah habis, bahkan sisa hutang masih ada. 

Aku berganti pekerjaan dengan menjadi buruh tani. Aku harus bekerja dari pukul 7 pagi sampai pukul 5 sore. Mulai dari urusan makan hingga sekolah anak-anakku jadi telantar. Aku baru bisa membayar hutang di koperasi setelah panen. Dan aku berpindah mengajukan pinjaman ke koperasi mingguan, sehingga aku bisa bekerja lagi sebagai tukang sayur, cabai, dan bawang di pasar.

Pada 1985, aku didatangi aparat pemerintah kecamatan. Aku diminta untuk menjadi tenaga Sub PPKBD (Pembantu Pembina Keluarga Berencana Desa)  yang salah satu tugasnya mendata penduduk Desa Buntalo. Setelah melihat kinerjaku, mereka mengutusku menjadi ketua PPKBD dengan tugas utama mendampingi bidan kampung untuk menolong orang melahirkan, juga membawa perempuan yang harus melahirkan dengan operasi Caesar ke rumah sakit. Lama-kelamaan, aku dikenal oleh pemerintah desa.

Ketika ada program pengembangan kecamatan di tahun 2005, aku terpilih menjadi transek desa, yaitu sebuah metode lapang dengan melibatkan masyarakat untuk saling berbagi, dan menganalisis pengetahuan mereka tentang kondisi dan kehidupan desa, serta membuat rencana dan program. Tugas utamaku adalah melihat permasalahan yang ada di desa, lalu memimpin rapat untuk mencari gagasan dan alternatif untuk permasalahan tersebut. 

Dua tahun kemudian, aku masuk program PNPM (Program Nasional Penanggulangan Kemiskinan) untuk pemberdayaan masyarakat. Aku terpilih menjadi KPMD (Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa) ketika PNPM membentuk program daerah. Masyarakat membuat usulan dari bawah yang diberi nama sistem partisipatif, seperti pembangunan gedung, pembuatan jalan desa, selokan atau drainase. PNPM lebih mengutamakan kesetaraan gender dengan mengedepankan suara dari perempuan. 

Di saat PNPM mengadakan kegiatan simpan pinjam untuk kelompok perempuan dengan bunga dua persen dan cicilan 12 bulan, aku membentuk kelompok PNPM dengan nama Kelompok Melati. Kami mengajukan pinjaman awal sebesar satu juta rupiah per orang. Kelompok yang aku dampingi berhasil melunasi pinjaman, dan hal itu dihitung sebagai prestasi. Setelah itu, aku membentuk empat kelompok baru.

Mulai Mengenal Pekka

Pada tahun 2013, aku didatangi Ayung dan Sarifa. Belakangan aku ketahui bahwa Ayung adalah seorang faslap dan Sarifa adalah kader untuk organisasi bernama Pekka. Mereka berdua mensosialisasikan Pekka kepadaku dan pemerintah desa. Aku tertarik dengan Pekka karena organisasi ini berbeda dari kelompok yang lain, karena anggotanya adalah janda meninggal, atau janda yang ditinggal suami sepertiku. Pekka memulai program dengan pemberdayaan melalui menabung, memberi pelajaran untuk memulai usaha bersama secara gotong royong, dan mengelola keuangan yang ada. 

Rasa tertarik mendorongku untuk membentuk satu kelompok yang diberi nama kelompok Teratai dengan jumlah anggota 15 orang. Aku terpilih sebagai ketua kelompok. Kami lalu diundang oleh faslap untuk hadir dalam pertemuan pengurus kelompok di rumah Ibu Sarifa. Dalam pertemuan tersebut faslap menjelaskan program keuangan yang disebut LKM, di mana bila ingin mendapatkan modal usaha, kelompok kami harus bergabung dengan LKM. Sebelum itu, kami masih harus mengelola keuangan di kelompok kami terlebih dulu.

Faslap kemudian mengutusku untuk mengikuti Pelatihan Community Organizer bersama dua teman dari Desa Bangomolunow. Pelatihan tersebut diadakan di Jakarta, pada November 2013. Di dalam pelatihan itu, aku kembali dijelaskan mengenai siklus organisasi Pekka. Berbekal ilmu dari Jakarta, aku membentuk kelompok yang didampingi Kepala Desa, dengan nama Kelompok Cempaka. Aku lalu melaporkan perkembangan ini kepada faslap, bahwa di desa kami telah ada satu lagi kelompok baru. Oleh karena itu, kami bisa mengadakan Pelatihan Visi, Misi, dan Motivasi Berkelompok gabungan antara Kelompok Teratai dan Cempaka.

Setelah Kelompok Cempaka terbentuk, aku mencoba mendatangi lagi Desa Buntalo Timur untuk membentuk kelompok. Namun, Sangadi (kepala desa) menolak dengan alasan kelompok di desa itu sudah banyak meninggalkan masalah karena pembayaran untuk pinjaman PNPM yang macet. Kenyataan itu tidak membuatku patah semangat. Aku mencoba lagi mendatangi calon anggota Pekka dan akhirnya bisa membentuk satu kelompok bernama Kelompok Mekar. 

Ayung mengundurkan diri sebagai faslap pada tahun 2014, dan diganti oleh faslap baru yang sudah aku kenal, Mbak Firta. Kami lalu mengadakan rapat dengan mengundang semua pengurus kelompok yang ada di Kabupaten Bolaang Mongondow untuk membahas rencana kerja Serikat Pekka. Dalam rapat itu aku mulai mengetahui bahwa kami sudah bisa membentuk organisasi, yakni Serikat Pekka. Rencana program yang segera harus dilakukan adalah mengaktifkan kembali pertemuan di kelompok setiap bulan. 

Kami juga berencana untuk membangun center. Para pengurus kemudian diberi tanggung jawab untuk berswadaya membeli batu bata. Satu kelompok mendapat jatah menyediakan 40 batu bata, sehingga bisa terkumpul 500 batu bata. Faslap juga membuat tugas bagi pengurus untuk mengelola center. 

Aku kembali mengikuti pelatihan. Kali ini adalah Pelatihan Paralegal yang difasilitasi oleh Mbak Wilu dari Seknas Pekka, dan dilaksanakan di Kecamatan Lolak pada tahun 2015. Ilmu yang aku dapat dari pelatihan ini membuatku tergerak untuk mendata masyarakat yang belum memiliki identitas seperti akte kelahiran, KK, KTP, dan Surat Nikah. Data tersebut lalu aku diskusikan bersama kader lain untuk dibawa ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil). 

Pada masa itu, banyak warga Desa Buntalo yang belum mencatatkan pernikahan mereka secara hukum. Pernikahan mereka hanya dicatat oleh gereja. Keadaan ini membuat kami sepakat untuk mengadakan pelayanan pembuatan Surat Nikah. Ketika kami mensosialisasikannya kepada Disdukcapil, dinas ini meminta biaya Rp 250 ribu per pasang. Masyarakat setuju, karena mereka membutuhkannya. 41 pasangan mendaftarkan pernikahan mereka untuk memperoleh Surat Nikah.

Berangkat Ke Jakarta

Di akhir tahun, aku kembali mengikuti Pelatihan Paralegal. Namun, kali ini di tingkat nasional. Aku menggantikan Mbak Firta yang tidak bisa hadir. Aku bangga sekali, karena meskipun bukan kader hukum, aku dipercaya untuk menggantikan faslap agar bisa melaporkan kegiatan hukum yang dilakukan.

Kisah lucu terjadi pada saat aku berangkat ke Yogyakarta. Aku menggunakan tiket pesawat atas nama Mbak Firta. Aku berhasil lolos berangkat dari Manado sampai Jakarta. Namun, saat berangkat dari Jakarta menuju Yogya, aku tertahan di bandara karena foto di KTP berbeda. Tentu saja, aku menggunakan KTP milik Mbak Firta. Petugas di bandara mengetahui hal ini dan aku tidak diizinkan berangkat. Aku merasa sangat ketakutan. Teman seperjalananku, Puspawati, ikut panik. Dia memilih tidak berangkat karena kasihan melihatku sendirian. 

Akhirnya pihak panitia meneleponku dan meminta Puspawati untuk tetap berangkat agar tiketnya tidak hangus. Panitia lalu mengirimkan tiket pesawat yang baru untukku. Namun tiket ini mengharuskanku untuk pindah ke terminal lain. Di tengah kebingunganku, ada seorang bapak yang menawarkan diri untuk mengantarku ke terminal yang harus aku tuju: terminal 2B. Aku percaya dia benar-benar punya niat baik untuk membantuku, dan berkat bantuannya aku berhasil berangkat dengan pesawat Sriwijaya Air menuju Yogyakarta. Pelatihan ini menghasilkan undangan bagi dinas capil, kemenag, Ketua Pengadilan Agama, dan Bupati untuk mengikuti workshop tentang hukum di Jakarta.

Sepulang workshop hukum di Jakarta, masih di tahun yang sama, kami mengadakan Yandu yang bekerja sama dengan Disdukcapil, Kemenag, dan Pengadilan Agama. Dalam kegiatan ini, aku membantu kader hukum mendata masyarakat yang belum mempunyai surat nikah. Hasil pendataan ini berhasil mengumpulkan 17 pasangan di Desa Buntalo, 33 pasangan di Desa Lolak, dan 3 pasangan di Desa Inobonto. Pelayanan ini dilakukan secara gratis. Pelaksanaan pencatatan perkawinan atau isbat nikah diikuti sebanyak 55 pasang.

Kami mendapatkan dana bantuan sosial Usaha Ekonomi Produktif (UEP) – dana ini tidak harus kami kembalikan – pada tahun 2016. Syaratnya adalah kami harus mengembangkan usaha kelompok. Kelompok tempatku bergabung, Kelompok Teratai, mengembangkan usaha minyak VCO (virgin coconut oil). Usaha ini mendapat dukungan dari pemerintah desa berupa pelatihan pembuatan VCO. Setelah pelatihan, kami para anggota mengumpulkan kelapa dengan rincian 10 buah kelapa per orang, hingga terkumpul 100 buah untuk kami jadikan VCO. Minyak tersebut kami jual tidak hanya di kampung sendiri, tetapi juga mengisi pameran yang diselenggarakan Dinas Sosial dan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, yang sering meminta produk dari kelompok kami.

Semua kegiatan yang dilakukan bersama Pekka membawa perubahan bagiku, juga bagi anggota. Kami jadi dikenal, mulai dari pemerintah desa hingga kabupaten. Usaha kelompok dan usaha pribadiku sendiri membuatku terlepas dari rentenir berkedok koperasi mingguan.

Pada tahun 2017, kami berkumpul untuk melaksanakan Musyawarah Besar Luar Biasa yang dihadiri oleh Mbak Romlawati dari Yayasan PEKKA. Mubes ini dilakukan pada masa transisi kepengurusan, dengan agenda pemilihan kepengurusan Serikat Pekka Kabupaten Bolaang Mongondow. Aku terpilih sebagai sekretaris serikat dengan masa jabatan satu tahun. Kami diberangkatkan ke Halmahera Utara untuk mengikuti musyawarah besar tingkat provinsi yang dilaksanakan di Galela. Ada tiga orang yang diutus, yakni ketua, sekretaris, dan wali amanah.

Sepulang dari Maluku Utara, kami mengadakan KLIK (Klinik Layanan Identitas Hukum dan Konsultasi) yang dimulai dari Desa Buntalo. Desa ini dipilih karena banyak warganya yang tidak mempunyai identitas hokum seperti KTP, KK, akte kelahiran. Kegiatan ini berhasil dengan baik, dan sejak saat itu aku semakin dipercaya untuk membantu kepengurusan identitas. Seusai KLIK-Pekka, aku kembali berangkat ke Jakarta untuk mengikuti pelatihan advokasi bersama ketua serikat dengan membawa salinan peraturan desa (Perdes) sebagai contoh dari hasil advokasi Serikat Pekka.

Akademi Paradigta dan Berbagai Bantuan

Pada pertengahan 2017, PEKKA menyelenggarakan Akademi Paradigta, sebuah pendidikan kepemimpinan perempuan dan pembangunan desa yang menekankan lebih banyak pada praktik lapang ketimpang penyampaian teori di dalam kelas. Aku dipercaya untuk menjadi mentor dalam sekolah kader Pekka tersebut. Angkatan pertama yang lulus pada akhir tahun ini sebanyak 27 kader. Acara wisuda untuk angkatan pertama ini berbarengan dengan Mubes Serikat Pekka dengan agenda membahas AD/ART dan pemilihan pengurus. 

Mubes ini dihadiri oleh Mbak Villa dan Mas Erfan dari Seknas Pekka. Aku kembali terpilih, kali ini menjadi bendahara serikat dengan masa jabatan lima tahun. Belum usai masa jabatan kami, ketua serikat mengundurkan diri pada tahun 2018, sehingga kami kembali mengadakan pemilihan pengurus. Aku kembali dipercaya menjadi bendahara serikat. Aku juga terpilih sebagai mentor untuk Akademi Paradigta angkatan kedua yang diikuti oleh 20 akademia. Rata-rata, lulusan Akademi Paradigta mengalami kemajuan dalam hidup mereka. Ada yang terpilih menjadi kepala desa, anggota BPD, kepala dusun, atau ketua RT.

Tanpa disangka-sangka, aku mendapat bantuan dari Dinas Sosial berupa ayam untuk diternakkan. Jumlahnya cukup banyak, yakni 25 ekor. Padahal, aku sama sekali tidak membuat proposal, hanya berbekal data yang disodorkan oleh kader Pekka kepada Dinsos. Rupanya, bantuan tersebut ditujukan bagi penyandang cacat. Anakku yang pertama memang penyandang cacat, dan alasan ini yang membuat pemerintah memberikan bantuan tersebut. Aku bangun kandang ayam sendiri. Saat ini jumlah ayam yang aku ternakkan sudah banyak sekali, yakni 300 ekor. Hasil penjualan ayam aku gunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Di tengah kesibukanku menjadi pengurus serikat dan menangani usaha kelompok serta usaha pribadi, aku terpilih menjadi kader pembangunan manusia tingkat desa, dan diberi kepercayaan untuk mengelola penanggulangan stunting.

Semua kegiatan yang sudah direncanakan sayangnya tidak bisa dilakukan, dan harus terhenti di tahun 2020. Pandemi Covid-19 menghalangi kami untuk melakukan semuanya. Walau demikian, aku masih tetap menjalankan usaha kelompok VCO dengan cara menawarkannya dari rumah ke rumah. Tetapi tetap saja, pendapatan dari penjualan minyak ini sudah berkurang. 

Di masa pandemi aku mendapat banyak bantuan dari berbagai pihak, baik melalui Pekka dan perusahaan Hope Theory. Aku mendapatkan bantuan sebesar Rp 1 juta untuk pengembangan usaha. Bantuan lain datang dari pemerintah desa, melalui Program BST tahap 1-3 sebesar Rp 600 ribu dan tahap 4-6 Rp 300 ribu. Adalagi bantuan UMKM sebesar Rp 2,4 juta. Aku bersyukur, di usiaku yang sudah mencapai kepala tujuh, aku masih bisa beraktivitas dan sehat sehingga tetap bisa menjalankan rutinitas setiap hari.

 

Bagikan Cerita Ini

Cerita Terkait

Leave a Comment