Menghadapi Tantangan Menuju Keberdayaan

Berjalan kaki ke sekolah meski jaraknya jauh aku lakoni. Ditipu hingga terlilit hutang, serta prahara rumah tangga datang silih berganti. Beraktivitas di Pekka pun sempat terhalang larangan dari suami. Namun, satu per satu tantangan itu berhasil aku atasi.

 

Kesederhanaan melingkupi keluargaku. Aku lahir dari seorang petani perempuan bernama Lauyah yang menikah dengan seorang nelayan bernama Bujang Dare HN. Mereka memberiku nama Bastia. Aku merupakan anak terakhir dari tujuh bersaudara, yang lahir pada tanggal 15 Mei 1978 di Desa Sekuyang, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Lingkungan tempat tinggal kami berada di tempat yang bebas polusi karena jauh dari perkotaan. Pemandangannya indah. Para penduduknya ramah.

Aku masuk SD di Desa Segarau ketika memasuki usia enam tahun, yakni pada tahun 1984. Setiap hari, aku menempuh jarak tiga kilometer bolak-balik bersama kawan-kawan. Namun, aku tetap bersyukur. Aku bisa bersekolah seperti anak-anak lain. 

Setelah tamat Sekolah Dasar, aku melanjutkan pendidikan ke SMP di Desa Kartiasa, Kabupaten Sambas. Lokasi yang jauh membuat orangtuaku membelikan sepeda untuk aku gunakan ke sekolah. Aku tidak mungkin  berjalan kaki karena jarak antara sekolah dengan rumah sangat jauh. Namun, sepeda yang mereka belikan bukan sepeda biasa. Mereka membelikan sepeda balap, sepeda yang biasa digunakan oleh laki-laki. Setiap hari aku melewati jalan rusak, berlubang dan penuh batu. Pada saat melewati jembatan yang rusak, kadang aku harus turun untuk mendorong sepeda, meski sepeda itu lumayan berat.

Namun, mimpiku untuk menjadi seorang guru harus kandas. Pasalnya,  aku tidak dapat melanjutkan sekolah ke tingkat SMA karena lokasinya yang sangat jauh, di Kabupaten Sambas. Mengandalkan sepeda butut untuk bolak-balik antara rumah dengan sekolah pun sangat tidak mungkin. Sementara, tidak ada kendaraan umum yang sampai masuk ke desa. Selain itu, aku juga tidak bisa memaksakan kondisi ekonomi keluarga orang tua yang tidak mendukung.

Tidak ingin menganggur, aku menerima ajakan tetangga untuk bekerja di Jakarta pada tahun 1998. Aku bekerja sebagai pencuci sarang burung walet. Selama enam tahun aku tinggal dan bekerja di Jakarta. Setahun sekali aku pulang kampung. Ketika  pulang kampung yang pertama, aku  bertemu  dengan seorang laki-laki dan untuk pertama kali aku jatuh cinta. Setelah dua tahun berpacaran dengan laki-laki yang bernama Darwinsyah ini, aku disunting pada usia 22 tahun, di tahun 2000. 

Aku mengenalnya dari suami kakakku. Dia adalah keponakan dari kakak iparku itu. Suamiku, Darwinsyah, bekerja di Kantor PLN Sungai Pinyuh sebagai pekerja teknik lapangan. Setelah berumah tangga, aku memutuskan berhenti bekerja untuk ikut suami dan pindah ke gubuk kami yang sangat kecil di Desa Sungai Rasau, Kecamatan Sungai Pinyuh, Kabupaten Mempawah. Aku melahirkan seorang putri cantik di tahun yang sama, tepatnya di bulan September. 

Waktu demi waktu aku lalui sebagai ibu rumah tangga. Saat itu pengeluaran belum begitu besar, sehingga hanya suami yang bekerja. Gajinya sebesar Rp 80 ribu sebulan. Kami dikaruniai anak kedua pada tahun 2005. Setelah kelahiran anak kedua, aku meminta izin kepada suami untuk membantu mencari nafkah. Kebutuhan sehari-hari keluarga tidak akan tercukupi jika hanya mengandalkan gaji suami, sedangkan pengeluaran semakin besar.

Di tengah keinginan untuk bekerja, kakak perempuanku yang tinggal di Desa Sanabah memberi saran agar aku berjualan di daerah tempat tinggalnya. Wilayah itu merupakan area perkebunan sawit. Banyak anggota masyarakat bekerja di perusahaan tersebut. Dengan modal seadanya, aku merintis usaha kecil-kecilan sebagai penjual baju dan sembako. 

 

Terlibat Hutang

Pada suatu hari, aku didatangi salah seorang warga. Sambil menangis tersedu dia menceritakan masalahnya. Menurut cerita dia, orang tuanya sakit dan harus menjalani operasi jantung, namun uangnya tidak cukup. Saat itu aku sangat terharu mendengar ceritanya, dan ingin membantu. Akhirnya aku meminjamkan uang untuknya, dengan cara mengajukan pinjaman  PNPM di Sanabah atas namaku sebesar Rp 20 juta, yang harus dicicil 12 kali. Bulan pertama, kedua dan ketiga dia menepati janji dan mengangsur pinjamannya. Namun, lama-kelamaan dia tidak lagi membayar. Dia bahkan hilang entah kemana, dan tidak diketahui keberadaannya. Usut punya usut, ternyata hutangnya ada di mana-mana sehingga dia pun lari dari desa. 

Beban hutang pada akhirnya harus aku tanggung. Aku mencicil hutangnya selama dua tahun lebih dari hasil berjualan, karena ada keringanan dari PNPM. Setiap bulan aku kehabisan modal untuk berjualan. Masalah ini mempengaruhi kehidupan rumah tangga kami. Suamiku marah-marah dan melarangku untuk berjualan lagi. “Pantaslah berdagang tidak ada hasilnya, semua untuk mengangsur utang orang,” kata suamiku saat itu. Ketenangan dan kehidupanku mulai kacau. Waktu itu aku merasa tidak sanggup lagi untuk hidup. Setelah kejadian itu aku tidak berjualan lagi dan kembali menjalani kehidupan sebagai ibu rumah tangga. Aku menyisihkan uang yang diberikan suami untuk membayar hutang. Namun, karena beratnya beban ekonomi keluarga, akhirnya saya memutuskan untuk bekerja lagi dengan membuka lahan sawah di Kecamatan Anjungan. Aku juga membuka usaha dengan menjual barang-barang sesuai pesanan orang. Bersyukur semua berjalan dengan lancar sehingga sedikit demi sedikit aku bisa membayar ‘hutang’ku dan bisa menambah pendapatan keluarga.  

 

Bertemu Pekka

Tahun 2014, aku menerima undangan dari Ibu Suryani, seorang kader Pekka, untuk  menghadiri acara sosialisasi PEKKA di kantor desa. Ibu Suryani memperkenalkan organisasi PEKKA secara lengkap dan jelas. Aku terkesan pada kegiatan Pekka. Sepulang dari pertemuan itu, aku mencoba mengingat kembali materi yang disampaikan dan terus memikirkannya, meski belum paham benar tentang program Pekka. Aku mencoba mendiskusikan materi tersebut dengan beberapa teman dan mengajak mereka untuk membentuk kelompok Pekka di Desa Sungai Rasau. Ada empat orang yang menyetujui, sehingga terbentuklah kelompok Pekka yang bernama kelompok Sejahtera. Waktu itu terpilih Marlie sebagai ketua, Marwati sebagai bendahara, dan aku sendiri sebagai sekretaris. 

Sebelumnya, aku tidak pernah terlibat dalam kegiatan di desa. Sehingga, saat itu aku masih awam sekali tentang organisasi, dan tidak tahu cara mengelola kelompok. Aku bahkan merasa kesulitan untuk menjelaskan kepada anggota kelompok tentang apa saja yang akan dikerjakan dalam kelompok. Tetapi aku tidak kehabisan akal. Aku bertanya kepada teman-teman bagaimana caranya beroganisasi, dan aku terus belajar.

 Selain itu, untuk lebih memahami cara mengorganisir kelompok, aku menghubungi Ibu Mahdalena, seorang kader Pekka di Kubu Raya untuk membantu mendampingi kelompok. Aku mengenal dia saat acara sosialisasi Pekka di Mempawah. Dia juga ikut memfasilitasi acara tersebut. 

Saat kelompok berumur satu tahun, aku mulai diajak mengikuti pelatihan di Kota Pontianak sebagai peserta mewakili kelompok dari Kabupaten Mempawah. Keinginan mengikuti kegiatan itu sangat kuat, karena aku ingin menambah pengalaman lebih luas dan mendalami ilmu dari Pekka. Namun, suami tidak mengizinkan. Suami berpikir tidak ada yang mengurus rumah, seperti memasak, bila aku pergi untuk ikut pelatihan nanti. Aku sangat kecewa karena suami melarang. Keinginanku untuk menjadi perempuan yang maju menjadi terhambat. Akhirnya, aku mengirimkan anggota kelompok sebagai perwakilan  kelompok kami ke Kota Pontianak. Aku selalu menanyakan kepada mereka apa yang dilakukan selama pelatihan, dan apa saja yang mereka bahas.

Dua tahun aku bergabung di organisasi Pekka, belum ada banyak perkembangan  karena ibu-ibu anggota kelompok belum terlalu antusias untuk berkembang. Namun, mereka sudah dapat membuat kerajinan tangan seperti gantungan kunci, anyaman dari bambu seperti tas, bakul, dan lain-lain.

 

Bangkit dari Prahara

Awal tahun 2017, prahara besar mengguncang keluarga. Suamiku berselingkuh dengan seorang janda beranak satu. Rumah tanggaku nyaris tidak bisa dipertahankan. Meski gamang, aku dengan tegas mengatakan untuk berpisah dengan suami, karena aku tidak mau dikhianati. Namun suami ingin mempertahankan rumah tangga kami. Dalam kebimbangan, aku hanya bisa pasrah dan berdoa kepada-Nya. Meski masih seatap dengan suami, kenangan buruk itu masih tidak bisa dihilangkan. Aku bertahan memegang biduk rumah tangga tanpa keyakinan dan kepercayaan terhadap suami lagi. 

Aku tidak ingin terlarut dalam kesedihan. Aku mencari kesibukan untuk memperbaiki hati dan pikiran dari kenangan buruk yang menyakitkan itu. Aku bertekad untuk bangkit dari keterpurukan. Karena aku tidak mau direndahkan, maka pengalaman lama itu aku jadikan pembelajaran dan motivasi  bagi hidupku untuk terus melangkah ke depan.

Salah satu langkah yang aku ambil adalah mengikuti Akademi Paradigta. Saat itu Mahdalena menjadi mentornya. Aku berusaha memahami setiap materi yang diberikan dengan sungguh-sungguh. Dari sini aku belajar bahwa perempuan harus kuat, perempuan punya hak yang setara, dan bisa menjadi pemimpin seperti halnya laki-laki. 

Di tahun yang sama, aku terlibat dalam kegiatan Pelayanan Terpadu (Yandu) di Kabupaten Mempawah. Aku bersama pengurus Serikat Kabupaten Mempawah, bekerja sama dengan Pengadilan Agama (PA), Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil), Kantor Kementerian Agama (Kemenag), dan Kantor Urusan Agama (KUA) Kabupaten Mempawah. Aku dan teman-teman Serikat Mempawah mengajukan proposal untuk mendapatkan dana Yandu ke Wakil Bupati, Bapak Muhammad Faqi. Kunjungan kami diterima dengan baik dan beliau menyarankan agar Pekka yang menindaklanjuti Yandu. Pemda Mempawah memberikan dana dari tahap pertama sampai tahap ketujuh untuk biaya satu perkara sebesar Rp 400 ribu dengan dipotong pajak, sehingga biaya satu perkara yang didanai adalah Rp 376 ribu. Dengan dana ini, sejak tahun 2017 sampai dengan tahun 2020, Serikat Pekka Kabupaten Mempawah sudah melaksanakan Yandu dan menyelesaikan 143 kasus. Buku Nikah yang diterbitkan sebanyak 376 buku, perubahan identitas di Capil 188 kepala keluarga, Akta Kelahiran untuk anak sejumlah 400 akta, perubahan KTP untuk 21 orang, dan  menerbitkan 21 Akta Kelahiran untuk orang dewasa. Selama pelaksanaan Yandu, banyak kendala di lapangan. Ternyata, tidak semudah yang kita bayangkan untuk memperbaiki perbedaan huruf pada nama, atau tanggal lahir. Kami harus bolak-balik ke Kantor Capil karena perbedaan itu harus diurus dan diperbaiki.

Di tengah aktivitasku sebagai akademia, pada tahun 2017 aku mengikuti pelatihan advokasi berbasis data di Bogor. Dalam pelatihan itu, aku mendapat materi tentang UU Desa, cara bernegosiasi dan berkomunikasi dengan orang dinas, dan bagaimana caranya melakukan perubahan-perubahan di desa seperti keterlibatan perempuan sebagai pemimpin. Pada saat pelatihan aku juga bertemu banyak teman dari berbagai provinsi, dan banyak mendapatkan ilmu yang sebelumnya tidak pernah aku ketahui. Sepulang pelatihan aku bertekad untuk menunjukkan pada suami, anak-anak, keluarga dan masyarakat bahwa aku juga mampu melakukan perubahan yang bermanfaat  untuk masyarakat.

Dengan bergabung di Pekka, banyak manfaat yang aku rasakan. Aku lebih mudah untuk menyelesaikan masalah dan mengambil keputusan. Aku tidak malu untuk bertanya dan menyampaikan pendapat. Dengan berkelompok di Pekka, kami juga bisa saling membantu dalam menyelesaikan masalah keuangan. Kegiatan simpan pinjam di kelompok sangat membantu anggota. Saat ada kebutuhan, anggota dapat meminjam di kelompok tanpa malu diomongkan oleh tetangga. 

Pada akhir tahun 2017 Musyawarah Besar (Mubes) diadakan sebagai wadah kaderisasi kepemimpinan Pekka di Center Pekka Desa Sungai Ambagah, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya. Tujuan dari Mubes tersebut adalah untuk memilih pengurus Serikat dan LKM (Lembaga Keuangan Mikro). Saat pemilihan pengurus LKM Hidayah Kabupaten Mempawah, aku terpilih sebagai pengurus bersama Nina dan Wulan Zelan. Aku terpilih sebagai ketua LKM karena mereka percaya, bahwa aku bisa memimpin. Aku sempat menolak, berkeberatan atas keputusan itu karena merasa tidak enak dengan pengurus yang lama. Lagi pula, saat itu aku belum paham betul bagaimana caranya mengelola LKM. Akan tetapi, karena dorongan dari teman-teman, akhirnya aku menerima amanah itu. Sejak saat itu, sedikit demi sedikit aku mulai mempelajari teknik pembukuan dan mengelola LKM, seperti pembukuan kas, pembukuan kas bank, dan RAT (Rapat Anggota Tahunan). Awalnya, kepalaku sampai pening ketika harus menyelesaikan administrasi pembukuan yang menjadi salah satu tugas pengurus. Terkadang aku masih melakukan kesalahan dalam mencatat seperti kelebihan angka atau kekurangan angka yang berakibat cukup fatal dalam penghitungan. 

Namun belum lama kepengurusan LKM berjalan, tiba-tiba bendahara dan sekretaris LKM mengundurkan diri dan berhenti dari kelompok Pekka. Mereka mengundurkan diri karena suaminya tidak mengizinkan lagi untuk bergabung di Pekka. Belum ada pengganti untuk dua posisi itu, sehingga aku sendirian mengurus LKM sampai sekarang. Beruntung masih ada Ibu Diana, pendamping lapang PEKKA saat itu, yang bersedia membantu melakukan pencatatan pembukuan. Ia mendampingi dan mengajariku pembukuan. Aku jadi tetap bersemangat untuk mengurus LKM. Lembaga ini harus ada yang mengurus karena keberadaaanya sangatlah dibutuhkan anggota, dan banyak manfaatnya. Seperti jika ada anggota yang anaknya sakit, atau yang akan melanjutkan sekolah, atau yang membutuhkan modal usaha, bisa pinjam dari LKM. Aku banyak mendapatkan ilmu dengan menjadi pengurus LKM. Aku yang awalnya tidak tahu sama sekali tentang pembukuan kas dan bank, sekarang jadi mengerti.

 

Membentuk Kelompok Tani

Laju perekonomian di desaku masih sangat kurang, sehingga aku berinisiatif untuk membuka lahan pertanian. Di desaku ini masih banyak lahan yang kosong atau tidak digarap. 70 persen dari anggota Pekka di desa ini adalah petani. Mereka bertani seadanya, tanpa bantuan dari pemerintah. Jadi, aku berinisiatif untuk membentuk kelompok tani agar mereka bisa mendapatkan bantuan dari pemerintah dalam bentuk apapun, begitu pikirku. Walaupun aku tidak memiliki pengetahuan yang mumpuni dalam bidang pertanian, tetapi aku tetap ingin membantu mereka. Lalu aku mendatangi dan mengajak mereka untuk membentuk  Kelompok Wanita Tani (KWT). Ajakan itu mereka sambut dengan baik.

Pembentukan Kelompok Wanita Tani (KWT) pada tahun 2018 diawali dengan tiga kali gagal panen karena banjir dan hama tanaman padi. Aku pernah mengusulkan bantuan pendanaan untuk mengganti kerugian dari gagal panen ke Dinas Pertanian. Aku merasa tersentuh dengan keadaan mereka. 

Pembentukan kelompok tani ini aku ketahui melalui seorang teman bernama M. Taufik yang bekerja di Dinas Pertanian. Beliau bertugas sebagai Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) Sungai Pinyuh. Aku berharap dengan dibentuknya kelompok tani ini, pendapatan para petani meningkat melalui dukungan dan bantuan dari pemerintah seperti bibit padi, racun hama, dan pupuk. Kelompok kami diberi nama KWT Subur Jaya. Alhamdullilah, kelompok kami masih bertahan sampai saat ini.

Setelah KWT terbentuk, aku terpilih menjadi ketua kelompok. Sekitar Agustus tahun 2018, aku mendapat undangan dari desa untuk mengikuti pelatihan pertanian, yang didampingi oleh PPL Desa, yaitu Pak Darno. Aku banyak bertanya kepada beliau tentang cara mengolah lahan sawah yang baik dan benar. Pak Darno menyarankan agar aku mengajukan proposal ke Dinas Pertanian untuk kelompok tani. 

Meski aku belum tahu apa itu proposal dan bagaimana cara membuatnya, aku mendatangi kantor desa untuk minta diajarkan bagaimana cara membuat proposal. Namun sayangnya, di kantor desa tidak ada seorang pun yang mau membantu. Mereka curiga jika proposal tersebut akan aku gunakan untuk kepentingan pribadi. Akhirnya aku, pergi ke kantor Dinas Pertanian untuk menemui temanku tadi. Aku banyak berkonsultasi dengannya tentang cara menyusun proposal dan pengajuan proposal. Bapak M. Taufik kemudian membantu kami membuatkan proposal dan membantu kelompok KWT Subur Jaya.

Aku mengajukan proposal bantuan berupa barang dan bahan pertanian. Ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Kita harus memenuhi syarat agar mendapatkan bantuan. Syarat-syarat itu antara lain adalah kelompok memiliki lahan minimal 10 hektar, kepengurusan kelompok harus lengkap dan aktif, dan mengumpulkan KK dan KTP anggota. Untuk menunggu pengajuan proposal disetujui perlu dua atau tiga bulan. Alhamdulillah, semua itu berhasil kami urus. Kami mendapatkan bantuan berupa mesin traktor, mesin air, perontok, racun hama, pupuk dan benih secara bertahap. Jika kami gagal panen karena banjir, kami bisa mengajukan asuransi pergantian dana/modal. Aku benar-benar bersyukur, usaha yang kami lakukan berjalan dengan lancar. Senang rasanya melihat teman-teman anggota KWT bisa tertawa lepas melihat keberhasilan mereka. Atas bantuan dan dorongan dari Pekka, aku bisa berpikir seluas ini dan bermanfaat bagi orang banyak.

 

Menjadi Pemimpin

Aku terpilih menjadi ketua RT pada tahun 2020, dan masih menjabat sampai saat ini. Awalnya aku bertanya kepada masyarakat, kenapa harus aku yang menjadi ketua RT, bukan yang lain? Menurut mereka, aku banyak membantu keperluan masyarakat seperti membuat identitas hukum. Selain itu, setelah bergabung di Pekka, aku menjadi kader posyandu, bendahara PKK, dan aktif di majelis taklim. Akhirnya aku menerima amanat itu. Suami dan anak-anak juga mendukungku. Hanya masyarakat di RT lain mengeluhkan, kenapa harus perempuan yang menjadi ketua RT. Baru kali ini ada RT di Kecamatan Sungai Pinyuh yang dipimpin oleh seorang perempuan. Perempuan dianggap tidak pantas menjadi pemimpin publik. Namun, aku didukung Kepala Desa untuk memimpin RT. Dukungan ini membuatku merasa lebih percaya diri, bahwa seorang perempuan bisa menjadi pemimpin.

Perubahan yang aku rasakan setelah bergabung di Pekka sangatlah luar biasa. Aku mendapat banyak teman baru, jadi lebih percaya diri, bertambah ilmu dan wawasan, pintar berkomunikasi dan bernegosiasi, dan bisa membuat pembukuan keuangan. Aku yang dulunya tidak tahu apa-apa, sekarang sudah bisa membantu masyarakat banyak.  Aku merasa senang dan bangga sekaligus bersyukur dengan pencapaian ini. Walaupun di tengah perjalanan ada kerikil yang sempat mampir dalam kehidupanku, tapi pada akhirnya aku bisa melaluinya. Semoga semua ini bisa menjadi ladang amal buatku dan bisa bermanfaat untuk masyarakat. Aku juga berterima kasih kepada suami, yang berbalik mendukungku karena melihat aku berhasil membawa perubahan bagi keluarga dan masyarakat. Juga kepada anak-anak dan keluarga karena selama ini sudah mendukungku. 

 

Bagikan Cerita Ini

Cerita Terkait

Leave a Comment