Menjadi Perempuan Inspiratif

Masa kecilku tidak mengenal susah. Ayahku seorang pensiunan tentara yang mampu memberi semua yang aku inginkan. Dunia pun berputar. Aku harus merasakan hidup serba kekurangan setelah kedua orang tuaku meninggal dunia. Melalui suami, Pekka pun datang membukakan jalan. Semua kesusahan berganti menjadi tantangan yang bisa aku taklukkan.

 

Aku punya dua nama. Namaku yang pertama adalah Hernilawati, lahir di Kelurahan Sei Merbau, Kecamatan Teluk Nibung, Kota Tanjungbalai, tanggal 13 Februari 1966. Di surat kelahiran tertera namaku Adelina, lahir pada tahun 1968. Tidak hanya namaku yang berbeda, tetapi usiaku dua tahun lebih muda dari yang sebenarnya. Kejanggalan ini tidak bisa aku temukan jawabnya, karena surat lahir itu kudapatkan setelah ayahku meninggal dunia.

Aku lahir dari seorang ibu bernama Aisyah. Ayahku bernama Abdurahman Soman Panjaitan. Aku anak bungsu dari lima bersaudara, yang terdiri dari dua laki-laki dan tiga perempuan. Ayahku seorang tentara. Setelah pensiun, ayahku bekerja di perusahaan minyak “Pelita” yang saat itu merupakan sebuah perusahaan bonafit di Tanjungbalai. Beliau mempunyai posisi bagus di bagian manajemen keuangan. Saat ini, profesinya disebut akuntan. Posisi ayahku di kantornya mampu memberi kami kehidupan yang serba berkecukupan. Kehidupanku sangat bahagia tanpa ada beban.

Aku tamat dari salah satu sekolah dasar swasta di Kelurahan Sei Merbau pada tahun 1980, kemudian melanjutkan ke SMPN di Kota Tanjungbalai. Setelah tamat, aku melanjutkan ke SMA Sisingamagaraja, sekolah favorit di Kota Tanjungbalai. Temanku kebanyakan orang Cina. Saat itu aku telah memiliki kendaraan roda dua jenis Vespa sebagai alat transportasiku ke sekolah. 

 

Ditinggal Orangtua

Ibuku meninggal dunia saat aku duduk di kelas 2 SMA pada tahun 1985. Ibuku mengalami pendarahan karena sakit maag akut yang dideritanya. Aku sempat melihat darah keluar dari mulut ibuku sesaat sebelum dibawa ke RS Mansur Kota Tanjungbalai. Rencananya, ibuku akan dirujuk ke rumah sakit di Medan keesokan harinya. Namun, sesaat setelah azan subuh, ibuku menghembuskan napas terakhirnya. Dia meninggalkan kami selamanya. Suasana sangat pilu saat itu. Ayahku menangis saat dokter memberitahu kematian ibuku. Keluarga dan kerabat yang ada saat itu pun menangis. Aku pingsan dan saat sadar aku sudah berada di rumah yang telah ramai oleh orang-orang yang bertakziah. Hatiku benar-benar hancur saat itu, kehilangan sosok seorang ibu yang lembut dan juga wanita yang disenangi oleh para tetangga dan saudara. 

Ibu adalah seseorang yang sangat penyabar, dan tidak mau mendengar gunjingan orang atau hasutan orang lain. Waktu itu, banyak orang yang mengadu kepada Ibu bahwa ayahku nantinya akan diambil orang dan akan menikah dengan orang lain. Tapi Ibu selalu berhasil menghapus rasa curiga dan tidak terpengaruh dengan hasutan orang lain. Ibu yakin bahwa ayahku adalah lelaki yang sangat setia dan sayang kepada keluarga.

Enam bulan setelah kepergian ibuku, kakakku yang nomor tiga menikah. Dua  saudaraku yang lain juga telah berkeluarga, sementara abangku yang nomor empat sedang melanjutkan kuliah di Medan.  Aku tinggal sendiri menemani Ayah di rumah yang terasa sepi karena kakak-kakakku jarang datang ke rumah. 

Aku ingin melanjutkan kuliah di Medan, namun Ayah tidak ingin aku jauh darinya. Aku bersikeras dengan mendaftar di Akademi Kebidanan yang lokasinya berada di dekat Asrama Haji Kota Medan. Mentalku goyah saat abangku mulai menakuti-nakuti,  bahwa salah satu yang harus aku lakukan saat masa orientasi mahasiswa (OSPEK) nanti adalah tidur di ruang mayat. Aku tidak bisa membayangkan kengerian yang akan kulalui. Aku merasa tak mampu menghadapi itu.

 Akhirnya aku memutuskan untuk pulang dan tidak jadi kuliah di Medan. Ayah lalu memintaku untuk mendaftar kuliah kembali dengan mengambil jurusan bahasa Indonesia di Universitas Amir Hamzah di Kota Tanjungbalai. Tak sampai dua tahun kuliah di sana, aku memutuskan berhenti karena merasa terintimidasi oleh salah seorang dosen yang menyukaiku. 

Aku merasa tak nyaman karena aku belum pernah dekat atau berpacaran dengan seorang lelaki.  Aku sering merasa jengah ketika di ruang kuliah pandangan dia selalu tertuju padaku. Ketika  pulang kuliah dan naik bentor, becak motor – salah satu moda transportasi umum di kampungku, aku selalu dicegat dan diajak keluar malam. Selama dua bulan aku selalu merasa was-was ketika ke kampus, sampai akhirnya dia mengirim surat dan dan mulai terang-terangan menunjukkan rasa sukanya padaku. Sejak menerima surat itu, aku jadi jarang ke kampus, dan sering tidak masuk kuliah. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke Medan.

Awal tahun 1988, aku ditawari Ayah untuk bekerja di kantor desa, di bagian administrasi kependudukan. Ayah mungkin melihat saat itu aku tidak punya kegiatan apa-apa. Tidak sempat satu tahun bekerja aku minta berhenti. Ayahku selalu memberi uang yang lebih dari cukup, jadi aku pikir, untuk apa aku bekerja? Aku pun  berfoya-foya dengan makan-makan di sana-sini, terus-terusan membeli baju yang belum tentu akan aku pakai. Aku juga sempat bekerja di kantor koperasi, dan seperti sebelumnya, tak sampai satu tahun aku memutuskan untuk berhenti.

Lima tahun setelah kepergian ibuku, ayahku menikah lagi. Istri ayahku masih muda, usianya sama dengan kakakku yang nomor dua. Karena Ayah sudah menikah dan sudah ada yang mengurusnya, aku berkeinginan untuk melanjutkan pendidikanku dengan kuliah di Jakarta. Aku berangkat ke Jakarta dengan ditemani seorang kakak sepupu. Di Jakarta, aku tinggal di rumah salah seorang abang sepupu, yang berlokasi di dekat SMA 15 Jakarta. Belum sempat mendaftar, aku merajuk minta pulang karena rindu kepada Ayah. 

Tidak ada kegiatan yang kukerjakan sepulangku dari Jakarta. Namun, kesenanganku terganggu begitu aku mulai sering berbeda pendapat dengan ibu sambungku. Kerjaanku hanyalah melalak (keluyuran). Aku jadi tidak betah di rumah dan sering menginap di rumah teman. Ada saja kesalahan yang coba aku lakukan untuk mendapatkan perhatian dari ayahku, seperti memotong rambutku hingga pendek sekali. Aku ingin Ayah marah. Tapi ayahku tak pernah memarahiku. Ayah adalah tipe orang tidak pernah memarahi dan selalu memanjakan anak-anaknya. Bahkan bila aku bertengkar dengan ibu tiriku, dialah yang dipulangkan oleh Ayah ke rumahnya. Namun hal itu tak pernah berlangsung lama.  Ibu tiriku  kembali  dijemput  untuk mengurus ayahku. 

Akhirnya, pada tahun 1992 aku kuliah di ATKI (Akademi Kerumah-Tanggaan Imanuel) Medan, Jurusan Busana. Jurusan ini sesuai dengan minatku. Sebelumnya, ketika masih duduk di kelas 3 SMP, aku pernah ikut les menjahit. Aku tinggal di rumah sepupu yang saat itu menjabat sebagai camat di Medan Deli. Tak berapa lama  aku mendapat kabar ayahku sakit dan dilarikan ke Rumah Sakit Adam Malik, Medan, karena infeksi saluran kencing. Aku bersama ibu tiri dan abangku merawat Ayah di rumah sakit. Hingga akhirnya ajal menjemput Ayah setelah hampir satu bulan dirawat di rumah sakit.

Aku bingung, tak mampu membayangkan bagaimana hidupku tanpa Ayah, orang yang selalu ada di saat aku membutuhkannya. Aku bersyukur karena sepeninggal ayah, ibu tiriku selalu ada untukku. Dia selalu mengatakan bahwa dia tidak akan pernah meninggalkanku. Ibu tiriku menepati janjinya, mengawaniku selama dua tahun semenjak Ayah meninggal. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk menikah lagi dengan seorang laki-laki yang berasal dari Sungai Sembilang, Kabupaten Asahan. Dia pun pergi meninggalkanku dan hidup bersama suaminya.  

Sepeninggal ibu tiriku, aku pun kembali ke Medan. Aku tinggal di rumah sepupuku,  dan mulai mencari peruntungan dengan mencoba melamar pekerjaan di perusahaan konveksi, bahkan mencoba menjadi TKI ke Brunei Darussalam. Tetapi rezeki belum berpihak kepadaku. Aku merasa malu untuk kembali ke Tanjungbalai karena umurku sudah dewasa yang seharusnya sudah menikah. Tetapi apa daya,  peruntunganku mengadu nasib di Medan tidak mulus. Oleh karena itu, aku terpaksa kembali ke Tanjungbalai.

 

Pernikahan dan Kemelaratan

Selama di Tanjungbalai, aku mulai mengisi waktu dengan belajar menyulam (menokat) dengan benang mas berbahan dasar kain beludu yang diajarkan oleh Kak Bubah, anak dari uwaku yang tinggal tidak jauh dari rumahku. Aku bisa mencapai rumahnya dengan berjalan kaki. Selama dua bulan aku belajar  di rumah Kak Bubah. Seringkali aku menginap jika sudah terlalu malam untuk pulang. 

Suatu hari, Kak Bubah  memperkenalkanku pada seorang lelaki bernama Rohadi yang saat itu baru pulang dari Malaysia. Saat itu aku sangat senang. Aku merasa sudah waktunya aku mulai mencari pendamping hidup. Perkenalan lebih mendalam mulai kami lakukan. Lama-lama aku mulai merasa nyaman dengan kehadiran dia dalam hidupku. Pada tahun 1998, kami memutuskan untuk menikah.

Setelah menikah, aku merasakan kebahagiaan hidup dengan suamiku. Beliau sangat pengertian dan bijaksana. Kami tinggal di rumah orangtuaku di Kelurahan Sei Merbau. Setahun menikah, aku pun  hamil anak pertama pada tahun 1999. Tahun 2000 anak pertama kami lahir. Dia kami beri nama Nurul Chaliza. Nama ini dipilih suamiku karena mirip dengan nama penyanyi asal Malaysia Siti Nurhaliza, artis favoritnya. Kebahagiaanku saat itu  tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata. 

Untuk menghidupi kami, suamiku bekerja sebagai pengemudi ojek – atau yang dikampungku disebut RBT. Sebelumnya suamiku bekerja di Malaysia, ikut kapal kayu. Dia pulang setiap dua minggu. Karena sudah memiliki anak, suamiku berhenti bekerja. Awalnya dia mencoba berdagang emping ke Malaysia, tapi gagal karena selalu mengalami kerugian. Lalu suamiku beralih dengan mencoba berdagang pinang tapi sama saja, tetap merugi. Pendapatan dari mengojek itu cukup untuk memenuhi kebutuhan kami, terlebih kami masih tinggal di rumah orangtua.

Dua tahun kemudian, tepatnya tahun 2002, anak kedua kami lahir. Kami beri nama Aplita Husna, disusul anak ketiga yang lahir tahun 2004 dengan nama Ameylia Azura. Ketika anak ketigaku berusia dua tahun, kami terpaksa pindah karena rumah orang tuaku hendak dijual. Kami pindah dengan menumpang sementara di rumah adik iparku di Kelurahan Kapias Pulau Buaya. Kebetulan dia pindah ke Binjai untuk ikut suaminya berjualan. 

Rumah yang kami tempati bersebelahan dengan rumah mertuaku. Luasnya  5×6 meter dengan satu kamar tidur.  Aku tetap bersyukur, karena kalau tidak tinggal di rumah itu, kami tidak tahu harus ke mana lagi. Keuangan kami sudah tidak mencukupi untuk memenuhi keperluan sehari-hari karena anak-anak sudah bersekolah. Suamiku pun kemudian mengubah motornya menjadi bentor (becak motor) supaya bisa mengangkut penumpang lebih banyak. Namun hasilnya tetap tidak bisa mencukupi kebutuhan kami. Terpaksa aku harus berhutang ke warung tempat aku biasa berbelanja. 

Untuk menambah penghasilan suami, aku pun bekerja sebagai  buruh harian lepas untuk mengupas kulit ari buah kelapa yang disebut dengan “mengoncek”. Kami harus bekerja sampai jam 12 malam. Awalnya suamiku marah karena aku mengajak anakku untuk ikut mengoncek. Tetapi aku terus bekerja hingga anak keempatku lahir.

Tahun 2011, kami harus pindah rumah lagi, karena adik ipar kembali pindah ke Tanjung Balai. Kali ini kami menumpang di rumah abangku yang nomor empat. Keluargaku dan keluarga abangku tinggal bersama dalam rumah yang dihuni 12 orang. Sekarang, aku sulit membayangkan. Bagaimana kami bisa tinggal di rumah yang begitu banyak penghuninya. Alhamdulillah, tidak berapa lama aku dapat warisan tanah dari ibuku, lalu kami  meminjam uang kepada mertuaku untuk membangun rumah. Tetapi mertuaku tidak mau meminjamkan uang. Mereka malah memberi kami uang sebesar Rp 2 juta untuk membangun rumah. 

Keesokan harinya, suamiku membeli bahan material untuk membangun rumah secukupnya karena di tanah tersebut sudah dibangun pondasi. Meskipun proses pembangunan baru berjalan 30 persen, aku mengajak suamiku untuk  pindah. “Belum siap, lampu belum ada, air dan WC juga belum ada,” kata suamiku. Tetapi aku tetap ingin segera pindah. Suamiku pun menuruti, dan esoknya kami mulai menempati rumah yang masih berlantaikan tanah, dengan dinding seng bekas dan jendela serta pintu yang masih menggunakan triplek bekas. Beruntung ada tetangga yang mau menyalurkan listrik, tapi cuma untuk satu lampu. Betapa gelapnya keadaan rumahku di malam hari. Kami harus berjalan lekas-lekas ke rumah abangku yang jaraknya tidak jauh, bila kami perlu ke WC. Kami terpaksa membeli air untuk minum, karena air tanahnya bau sehingga tidak layak dikonsumsi. Lama-lama, kami terbiasa juga dengan keadaan seperti itu. 

 

Suami Mendorongku untuk Bergabung dengan Pekka

 

Awal tahun 2013, aku berkenalan dengan Pekka. Sebenarnya, Pekka sudah lama ada di Kota Tanjungbalai dari tahun 2011. Yang menarik adalah, aku mengenal Pekka justru dari suamiku sendiri. Saat itu  suamiku sudah bekerja sebagai sopir bentor. Sebelumnya, Ibu Mascinto dan Ibu Repah sering sekali menumpang bentor suamiku. Sepanjang perjalanan, mereka berdiskusi tentang Pekka. Suamiku menguping pembicaraan mereka, dan setelah turun dari bentor suamiku bertanya di mana mereka bekerja. Mereka pun menyebutkan Pekka. Kemudian suami meminta nomor telepon mereka. 

Malam harinya, suami bercerita tentang ibu-ibu penumpang bentornya itu dan memberikan nomor kontak Ibu Repah kepadaku. Saat itu juga aku mencoba menghubungi Ibu Repah dan langsung bertanya tentang Pekka. Ibu Repah lalu menjelaskan Pekka dengan menggunakan  filosofi sapu lidi, di mana tidak bisa sendiri tapi harus bersama untuk mencapai tujuan. Dan ikatan sapu lidi itu adalah Pekka. 

Aku tidak paham dengan filosofi tersebut. Kemudian Ibu Repah menawarkan diri  untuk datang ke rumah, dan meminta aku mengumpulkan perempuan sebanyak lima belas orang. Aku pun mengumpulkan ibu–ibu di dekat rumah. Kemudian aku mengabarkan Ibu Repah, bahwa aku berhasil mengumpulkan lima belas orang. 

Tidak berselang lama, Ibu Repah pun datang ke rumahku bersama Ibu Mascito, yang belakangan aku ketahui merupakan Ketua Serikat Pekka Kabupaten Asahan. Mereka mulai memperkenalkan Pekka kepada kami, menjelaskan kegiatan-kegiatan Pekka seperti pelatihan usaha dan bagi yang memiliki usaha membuat kue dapat menitipkan di warung ibu-ibu Pekka. Kami kemudian bersepakat untuk membentuk kelompok yang kami beri nama Arwana, yang diambil dari nama jalan rumahku. Kelompok kami  beranggotakan  13 orang. Aku terpilih menjadi ketua kelompok meskipun aku  masih belum memahami seperti apa sebenarnya Pekka. 

Setelah bergabung dengan Pekka, tidak ada yang berubah dalam keseharianku.  Tiga minggu kemudian Mascinto datang lagi ke rumahku dan menanyakan perkembangan Pekka. Aku pun menjawab belum ada perkembangan apa-apa karena kami belum tahu harus melakukan apa. 

Kepada Mascinto  aku  bertanya mengenai siapa yang mendanai Pekka dan kantor pusatnya ada di mana. Mascinto menjelaskan bahwa kantor pusat Pekka ada di Jakarta. Aku merasa yakin organisasi Pekka ini kuat. Aku pikir yang mendanainya pasti orang kuat, karena sebelumnya aku pernah bergabung dengan organisasi Pemuda Panca Marga yang kemudian bubar karena lengsernya Bapak Presiden Soeharto. Mascinto pun menceritakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan Pekka, di mana kita bisa melakukan sendiri tanpa mengeluarkan biaya. Aku pun  sering mengikuti kegiatan Pekka  di rumah Mascinto dengan kelompok lain yang ada di Kabupaten Asahan.  

 

Awal Mempelajari Kepemimpinan

 

Pada tanggal  8 Maret  2014, aku berangkat  ke Jakarta untuk mengikuti Pelatihan Kepemimpinan selama sembilan  hari di Hotel Grand Cempaka. Menurut Mascinto, aku terpilih karena aku sering kali menemani dia mendampingi kelompok, sehingga aku harus meningkatkan  kapasitas untuk bisa mendampingi kelompok-kelompok itu sendirian tanpa didampingi Mascinto. Pada  saat itu, aku  belum pernah bertemu langsung dengan fasilitator lapang PEKKA Tanjungbalai, meskipun namanya sudah sering kali kudengar dari Mascinto dan Repah. Akhirnya aku berhasil bertemu dengan Nunik, fasilitator lapang tadi, saat tiba di Jakarta karena aku harus menyerahkan titipan dari Repah. 

Aku berangkat dengan Nuraini dari Tanjungbalai. Setelah beberapa hari mengikuti pelatihan di hotel, kami  melakukan kunjungan ke Kabupaten Karawang. Kami berkenalan dengan kelompok-kelompok Pekka di sana. Aku  begitu bahagia dan senang karena pertama kali ke Jakarta naik pesawat dan tidur di hotel mewah. Kami juga berkesempatan mengunjungi Taman Mini Indonesia Indah (TMII). 

Berkat dukungan dan izin suami, aku bisa mengikuti kegiatan ini dengan baik. Suamiku tidak peduli akan kesan negatif yang datang dari orang-orang di kampungku terhadap perempuan yang tidur di hotel. Dia selalu memandang kegiatanku bersama Pekka secara positif. Satu-satunya hal yang memberatkanku adalah aku harus meninggalkan anakku yang masih berusia lima tahun. 

Di akhir pelatihan, kami harus membuat Rencana Tindak Lanjut (RTL), dan karena semangatku sedang menggebu-gebu saat itu, aku pun menulis akan membentuk 10 kelompok di wilayahku dalam waktu enam bulan. Alhamdulillah, setelah aku kembali kami bisa membentuk 13 kelompok dalam waktu lima  bulan.  

 

Kesempatan Mengembangkan Diri Terus Berdatangan

 

Sehari-hari aku masih mengoncek untuk menambah penghasilan suami. Akan tetapi suamiku melarang aku untuk terus bekerja. “Kalau kamu terus bekerja begini, kapan akan mengembangkan kelompok, masak hanya membentuk,” begitu kata suamiku. Aku pun langsung menghubungi Mascinto dan bertanya bagaimana cara mengembangkan kelompok yang sudah terbentuk. Kemudian Mascinto mengajakku berkunjung ke Dinas Pemberdayaan Perempuan. 

Tidak berapa lama, Nunik, fasilitator lapang untuk wilayah Sumatera Utara datang ke Tanjungbalai dan mengadakan Musyawarah Besar untuk membentuk Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang diberi nama Perkomi. LKM ini beranggotakan lima kelompok dan aku terpilih  menjadi ketuanya. Sekretaris dijabat oleh Fauziah dan Maspah terpilih sebagai bendahara.  Satu bulan kemudian kami memulai kegiatan simpan pinjam di LKM.

Pada 12 September 2015, aku  kembali dikirim ke Jakarta untuk mengikuti Pelatihan ToT  (Training of Trainer)  Visi dan Misi Berkelompok di Hotel Santika, Bekasi. Senang sekali rasanya karena kembali dipercaya untuk menjadi perwakilan dari Kota Tanjungbalai. Nantinya aku akan melatih kader Pekka Kota Tanjungbalai. 

Sepulang dari pelatihan, aku masih menjadi co-facilitator karena fasilitator masih dijabat Mascinto dan Mahyar. Tetapi, pada tahun  2016 aku sudah bisa menjadi fasilitator dan melatih kader Pekka untuk menjadi co-facilitator. Pada tahun yang sama, aku mengikuti pelatihan pembukuan LKM yang difasilitasi oleh Mbak Rika, yaitu fasilitator lapang yang menggantikan Mbak Nunik. Kemudian aku ditugaskan untuk mendampingi pembukuan LKM Kota Tanjungbalai  dan Asahan.

Masih pada tahun 2015, kami mengadakan Forum Pemangku Kepentingan (FPK). Salah satu persiapan untuk acara ini adalah dengan melakukan kunjungan ke kantor beberapa dinas yang terkait dengan kepentingan acara ini. Kunjungan yang paling membekas dalam ingatanku adalah ketika kami melakukan kunjungan ke kantor BPJS. 

Aku masih ingat sekali, masih bagaimana petugas bagian depan kantor memperhatikan penampilan  kami  dari atas sampai ke bawah. Dia  menyangka kami adalah mamak-mamak yang meminta sumbangan. Kemudian kami menjelaskan bahwa maksud kedatangan kami adalah untuk mengantar undangan, dia bersikeras ingin menyampaikan surat undangan itu kepada Kepala BPJS Kabupaten Tanjungbalai. Tetapi kami bersikukuh dan berkata bahwa harus kami yang harus memberikan undangan itu. Kami bersyukur karena akhirnya bisa bertemu dan memberikan langsung undangan kepada Kepala BPJS. Beliau bahkan berjanji akan membantu untuk urusan konsumsi kegiatan FPK. FPK ini membahas data  masyarakat untuk perlindungan sosial yang didapat dari kegiatan Klinik Layanan informasi dan Konsultasi (KLIK) Pekka yang telah dilakukan sebelumnya.

Tanggal 23-29 Maret 2015 aku kembali berangkat ke Jakarta untuk mengikuti Pelatihan Paralegal. Aku adalah satu-satunya utusan dari Kota Tanjungbalai. Materi yang aku dapatkan saat itu sangat berkesan, yaitu tentang patriarki. Istilah ini masih sangat baru bagiku. Padahal, konsep pemikiran ini nyata dan ada di lingkungan sekitarku, bahkan dalam keluargaku sendiri. Kader Pekka juga banyak yang mempraktekkan nilai patriarki saat itu. 

Aku merasa harus mengubah konsep pemikiran ini. Aku memulainya dari keluarga dulu, ketika ada pertemuan keluarga, aku memulai diskusi-diskusi tentang patriarki, kemudian dilanjutkan dengan diskusi di kelompok-kelompok dengan materi kesetaraan gender dan persamaan hak laki-laki dan perempuan.

Alhamdulillah keluargaku bisa menerima dengan baik, begitu juga perilaku masyarakat, terutama perempuan, mulai lebih memahami kesetaraan gender. Kemudian aku mulai memfasilitasi Pelatihan Paralegal tingkat provinsi yang dilaksanakan di Gedung Organisasi Wanita (GOW) dengan didampingi Faslap Afrida Purnama. Peserta pelatihan ini berjumlah 30 orang, yang berasal dari Kota Tanjungbalai dan Asahan. Materi yang aku berikan saat itu adalah tentang Kekerasan dalam Rumah tangga ( KDRT). 

Pada 19 April 2015, aku dan dua orang temanku dari Kota Tanjungbalai mengikuti kegiatan pembentukan Forum Komunitas Perempuan Akar Rumput  (FKAPAR) Sumatera Utara. Aku sangat antusias karena  baru kali ini aku mengikuti kegiatan yang melibatkan organisasi lain. Ini artinya akan semakin memperluas jaringan dan pertemananku. Aku masih ingat para pesertanya: Ibu Dina Lumbantobing dari Pesada (Persatuan Sada Ahmo) yang berfokus pada kesehatan perempuan, SPR (Serikat Pekerja Rumahan) yang merupakan dampingan Bitra (Bina Keterampilan Pedesaan), dan organisasi-organisasi lainnya. Meskipun pada saat pemilihan pengurus kami tidak terpilih, tetapi kami merasa senang bisa dilibatkan di kegiatan ini. 

Kemudian tanggal 7 Juni 2015, kami peserta FKPAR mengunjungi kantor DPRD untuk memperkenalkan FKPAR dan membahas permasalahan yang terjadi pada perempuan seperti KDRT, pekerja rumahan yang tidak layak upah karena produk dari pabrik dibawa dan dikerjakan di rumah sehingga mereka tidak mendapatkan hak sebagaimana karyawan, seperti asuransi dan perlindungan kerja. 

Kami melakukan Mubes Serikat Pekka tingkat provinsi di Gedung Sejarah Kota Tanjungbalai pada Oktober 2015, dengan difasilitasi oleh Mas Adi Nugroho dari Seknas Jakarta, dan Mardhiah, juga Faslap Rika. Pengalaman yang berharga pada saat itu adalah karena pertama kalinya aku  menjadi penanggung jawab kegiatan, di mana aku bertanggung jawab agar Mubes bisa berjalan lancar. 

Mubes ini mengundang Wakil Walikota Tanjung Balai, Kepala BPJS, perwakilan dari Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, Dinas Pemberdayaan Perempuan, camat dan lurah dari beberapa wilayah Pekka serta  instansi-instansi yang ada di Kabupaten Asahan, dan tentu saja seluruh anggota Pekka dari Asahan dan Kota Tanjungbalai.

Total peserta yang hadir dalam acara ini lebih dari 100 orang. Aku  juga harus memastikan setiap anggota panitia bisa bekerja secara maksimal, termasuk menjelaskan cara mengundang dan melobi dinas-dinas  agar mereka bisa datang. Awalnya Wakil Walikota tidak  bisa hadir dengan berbagai alasan, kemudian dari teman SMA aku mendapat informasi bahwa Wakil Walikota adalah temanku di SMA dulu. Begitu mendapat informasi tersebut, aku langsung mendatangi kantor Wakil Walikota dan mengatakan pada ajudannya bahwa aku adalah teman SMA Wakil Walikota. Aku pun  berhasil menemuinya dan dia bersedia untuk datang. Mubes tersebut menghasilkan antara lain kepengurusan serikat tingkat provinsi yaitu Ibu May sebagai Ketua, Mahyar sebagai Sekretaris dan Wati sebagai Bendahara. 

 

Menjadi “Perempuan Inspiratif”

Kami mulai merencanakan untuk memiliki sebuah center sebagai pusat untuk berkegiatan setelah Mubes.  Setelah melalui berbagai diskusi akhirnya diputuskan lokasi center adalah di Kota Tanjungbalai karena lokasinya yang strategis, meski di tempat yang agak sepi. Aku bukan penanggung jawab utama pembangunan center. Tetapi aku  menyadari bahwa dalam mengelola sesuatu harus ada kerja sama, karena jika pembangunan center tidak dilakukan dengan kerja sama maka center yang kami inginkan tidak mungkin akan bisa terwujud seperti yang telah berdiri sekarang ini.

Aku mengikuti Pelatihan Penulisan di center yang difasilitasi oleh Mas Adi Nugroho dan Mardhiah yang pada saat itu menjadi Faslap PEKKA Wilayah Sumatra Utara, pada tanggal 16 April 2016. Kami  belajar tentang cara penulisan yang baik, tentang 5W 1H, dan dilanjutkan dengan praktik menulis. Aku  sangat senang karena selama ini tidak pernah membayangkan akan menulis, dan ternyata di Pekka bisa mempelajari hal yang selama ini tidak pernah dibayangkan. Semenjak itu aku jadi suka menulis, dan topik yang sering aku tulis adalah profil diri.

Pada tanggal 10 – 11 Mei 2016, aku  kembali berangkat ke Jakarta, tepatnya ke hotel JW Luwansa untuk mengikuti kegiatan Seminar Nasional Forum Komunitas Mampu, dengan judul “Memperkuat Agenda Gerakan Perempuan untuk Penanggulangan Kemiskinan”. 

Aku merasa sangat bangga karena aku adalah satu-satunya peserta yang diundang dari Provinsi Sumatra Utara, sekaligus deg-degan karena baru kali ini aku berangkat ke Jakarta seorang diri. Aku khawatir akan tersesat. Tetapi ketika sudah menghubungi faslap aku merasa sedikit lebih tenang, terlebih saat di pesawat aku bertemu dengan peserta dari Bitra dan Ibu Dina Lumbantobing. Itulah kali pertama aku merasakan naik pesawat Garuda. Setelah mengikuti seminar, jadwal kepulanganku tertunda satu hari dan aku menginap di kantor PEKKA. Selama menginap di sana aku berdiskusi dengan Nunik. 

Pada tanggal 27 Oktober-3 November  2016, aku mengikuti Pelatihan Mentor Tingkat Nasional di Hotel Santika, Bekasi, bersama Hasmurina dan Nuraini dari Kota Tanjungbalai. Di sini kami mendapatkan modul untuk Pendidikan Kepemimpinan Kader dan langsung praktik memfasilitasi. 

Awalnya aku merasa kurang percaya diri untuk menjadi mentor, karena melihat modul yang begitu banyak, seperti akan menjadi seorang guru yang punya kurikulum untuk mengajar. Belum lagi di akhir tahun akan ada wisuda, sementara aku sendiri bukanlah seorang sarjana. Tetapi karena aku sudah dipercaya oleh serikat untuk menjadi mentor, itu artinya aku dianggap punya kelebihan. Saat itulah rasa percaya diriku timbul dan bersemangat untuk mengajar di kelas Pendidikan kader Perlindungan Sosial di wilayah Kota Tanjungbalai. 

Sepulang dari Jakarta, kami membuat kelas Pendidikan Kader, dan wisuda pertama dilakukan dan dihadiri oleh Ibu Nani Zulminarni karena acara wisuda ini sekaligus diisi dengan peresmian center. Angkatan kedua pun sudah diwisuda, dua angkatan setelahnya belum diwisuda karena pandemi Covid 19.

Tanggal 14 November 2016, aku mengikuti Pelatihan Nasional Promotor Pekka Perintis di Bogor. Aku mewakili Kota Tanjungbalai. Pesertanya berasal dari 34 provinsi. Ini merupakan hal yang luar biasa bagiku karena artinya aku akan mendapat lebih banyak teman dari seluruh Indonesia. Terlebih saat kegiatan ini kami mendapat ponsel berbasis android, dan sekaligus belajar bagaimana cara menggunakannya. Itu adalah kali pertama saya menggunakan ponsel berbasis android. Kemudian kami juga berlatih menulis dengan menggunakan ponsel tersebut, yang nantinya akan kami gunakan untuk menulis cerita dari 15 perempuan perintis di wilayah Kota Tanjungbalai yang telah berperan dan berbuat banyak untuk masyarakat di lingkungannya tetapi belum dikenal oleh pemerintah setempat. 

Pada 17 – 21 Desember 2016, aku  kembali ke Jakarta mengikuti kegiatan Pekka Perintis di mana aku membawa lima perempuan perintis.  Kegiatan ini dilakukan di Hotel Sahid dengan judul kegiatan “Temu Nasional Pekka Perintis”. Hal yang selalu aku ingat adalah pada saat itu  bertemu dengan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise yang saat itu ikut menarikan tarian dari Papua. Kami memperkenalkan tarian dari Sumatera Utara pada saat perkenalan. 

Acara ini membuatku jadi tahu tentang pakaian adat dari setiap provinsi. Selain itu, kami juga berjalan-jalan  ke Taman Mini, dan menarikan tarian Pekka Perintis bersama. Banyak hal baru yang aku temui lagi di sini, termasuk bisa berfoto berdua dengan Ibu Menteri. Hal ini tidak akan pernah terjadi dalam hidupku, kalau aku tidak bergabung dengan Pekka. 

Tanggal 5 Februari 2017, aku kembali ke Jakarta untuk mengikuti pelatihan keuangan serikat tingkat nasional sekaligus menghadiri peluncuran film “Ola Sita Inawae”. Aku senang sekali karena bisa mengunjungi Teater Usmar Ismail. Kami memakai pakaian adat dari wilayah masing-masing. Dalam acara ini, aku diminta untuk menjadi penerima tamu. Film yang luar biasa karena menceritakan bagaimana perjuangan seorang perempuan di NTT, yang mendapat kekerasan dari masyarakat setempat dengan menggunakaan parang pada saat melakukan pertemuan Pekka.

Pada 19 – 24 Mei 2017, aku mengikuti kegiatan Lokakarya Nasional Serikat Pekka di Hotel @Home Bekasi. Di sana kami diajak merenungi 10 tahun terakhir Pekka, apakah ada perubahan yang kita rasakan baik dalam diri kita sendiri maupun buat masyarakat. Aku mengingat pemahamanku tentang patriarki, tentang perlindungan sosial seperti banyak anak yang sudah bisa sekolah. Aku merasakan sudah banyak yang aku dan teman-teman di Pekka lakukan untuk masyarakat, seperti layanan Akta Kelahiran dan BPJS. Aku termasuk yang merasakan langsung manfaatnya, karena anak-anakku bisa memperoleh Akta Kelahiran. Kami juga sudah mengistbatkan beberapa pernikahan yang karena tidak punya biaya, mereka tidak memperoleh buku nikah. Aku, sudah bisa membuka sekolah tingkat PAUD,  sudah bisa berbicara di depan banyak orang, termasuk orang penting, di forum-forum besar. Dan yang paling penting: bisa berarti bagi orang lain dan secara pribadi lebih peduli kepada perempuan. 

Kemudian pada tanggal 27 September 2018, aku mengikuti kegiatan Pelatihan Advokasi Berbasis Data di Pusdiklat Altakarya Gadog di Bogor. Salah satu manfaat yang aku rasakan tentang pentingnya data adalah, tanpa data kita hanya bicara tanpa arti. Kami pun mulai menelusuri data, termasuk mendata kembali kelompok yang sudah tidak aktif dan akan menguatkan kembali kelompoknya.

Awal tahun 2020, Pandemi COVID-19 terjadi dan secara tidak langsung membuat kegiatanku di Pekka berubah. Aku tidak lagi bisa ke luar kota, ke Jakarta untuk pelatihan. Meskipun, kegiatan tetap berjalan tetapi itu selalu dengan cara virtual. Aku merasa rindu dengan teman-teman Pekka dari wilayah lain, yang dulu selalu bisa kutemui ketika ada kegiatan nasional Pekka. Tapi itulah hidup, semua harus kita jalani dengan penuh semangat.

Pada 23 Desember 2020, aku diundang untuk menghadiri peringatan Hari Ibu yang ke-92 di Kantor Walikota, dan aku mendapatkan penghargaan sebagai “Perempuan Inspiratif”. Aku benar-benar terharu, bangga, dan bahagia. Penghargaan ini adalah bentuk “pengakuan”  pemerintah terhadap kami, Pekka Kota Tanjungbalai. Perjalananku di Pekka benar-benar telah mengubah diriku hingga aku bisa berada di forum ini dan mendapat penghargaan. Terima kasih tak terhinggaku buat Pekka.

 

Bagikan Cerita Ini

Cerita Terkait

Leave a Comment