Menjadi Perempuan yang Bermartabat:

Kisah Diri Suminah

 

Aku terperosok di lubang yang sama dua kali. Pernikahan membawaku ke penjara yang dibangun suami. Aku berhasil keluar dari kesulitan yang aku buat sendiri. Pekka berhasil memberiku rasa percaya diri yang tinggi.

 

Aku Suminah, anak bungsu dari 12 bersaudara yang lahir pada 1952 di Desa Larangan, Kecamatan Larangan, Kabupaten Brebes. Bapakku seorang kepala dusun di Desa Larangan. Ibuku seorang perajin batik dan penjahit baju. Selain itu, ibu juga dikenal pintar memasak, sehingga sering diminta untuk membantu memasak oleh tetangga yang menggelar hajatan.

Keluarga kami tergolong tidak mampu. Kakak-kakakku ada yang tidak menamatkan sekolah dasar, bahkan ada yang tidak bersekolah. Memang, di dusun tempat tinggalku pada saat itu tidak semua bisa bersekolah. Hanya mereka yang berasal dari keluarga dengan kondisi perekonomian baik yang bisa mengenyam pendidikan. 

Beruntung, karena anak terakhir, aku bisa menyelesaikan sekolah dasar pada tahun 1963. Pada Oktober 1962, di Desa Larangan dibangun sebuah SMP swasta yang bernaung di bawah Yayasan Muhammadiyah. SMP Susila namanya. Aku melanjutkan pendidikanku ke SMP itu setelah lulus SD, karena pada masa itu tidak dipungut biaya. 

Saat duduk di kelas 2 SMP, aku dilamar oleh seorang laki-laki. Aku masih ingin menyelesaikan sekolah, dan menolak untuk menikah. Tetapi Ibuku memaksa, bahkan sempat marah dan memukulku. Aku memberontak, bersikukuh menolak untuk dinikahkan. Meski demikian, yang bisa aku lakukan hanya mengurung diri dan menangis. 

 

Menikah dengan Pilihan Sendiri

Aku lega setelah orang tuaku berhenti memaksaku menikah dan mendukungku untuk melanjutkan sekolah. Sayang, kejadian yang sama terulang ketika aku duduk di kelas 3 SMP. Seorang laki-laki yang tidak aku kenal datang ke rumah untuk melamarku. Aku hanya tahu dia bernama Tuljoyo, dan sudah memiliki istri dan anak. Tuljoyo ini tinggal di desa yang sama denganku. Ternyata, dia sudah bercerai dari istrinya dan hidup sendiri. 

Hampir setiap hari Tuljoyo datang dan merayuku. Entah  mengapa, lama kelamaan dengan mudah aku menerima pinangannya. Sampai-sampai kakak dan orang tuaku berkata, “Laki-laki lajang ditolak, giliran sama duda malah mau.” Tetapi, karena aku sudah suka, maka aku mau diajak menikah dengan Tuljoyo.

Kami menikah pada tanggal 3 Agustus 1966. Sayang, pernikahan kami hanya bertahan 1 tahun. Pada saat itu aku sedang hamil anak pertama. Aku dicerai saat usia kandunganku baru dua bulan. Ternyata aku salah. Aku pikir, menikah dengan orang yang pernah menikah akan membimbingku, dan kehidupan kami akan lebih baik karena saling melengkapi. Ternyata, setelah menikah aku baru tahu kalau suamiku suka mabuk-mabukan dan pulang malam. Konflik pernikahan kami semakin tajam karena aku hamil, dan aku malah ditinggalkan dalam kondisi sedang hamil. Aku merasa sedih dan bingung, tidak tahu bagaimana kehidupanku setelah bercerai, bagaimana aku membesarkan anak sedangkan orang tuaku bukan orang mampu. Tidak mungkin aku menambahi beban mereka. Aku hanya bisa menangis meratapi nasibku. 

Anakku lahir di bulan April 1968, tanpa disaksikan oleh ayahnya. Proses kelahirannya dibantu oleh Bidan Sutrimo. Aku harus mengesampingkan cita-citaku untuk menjadi guru dengan lahirnya anakku. Aku harus bekerja menafkahi anakku, karena suamiku sudah benar-benar tidak diketahui keberadaannya.

Menjadi Guru

Cita-citaku untuk menjadi guru tercapai setelah aku diminta untuk mengajar di sebuah taman kanak-kanak. TK Pertiwi namanya. Dengan senang hati, aku menerima tawaran itu. Sekolah tersebut menerima 100 anak, dengan dua guru: aku dan Ibu Tin, yang merangkap sebagai kepala sekolah.

Aku benar-benar bersyukur, karena aku bisa menafkahi anakku. Mantan suamiku hanya datang satu kali, membawa baju untuk anakku. Setelah itu, dia tidak pernah datang lagi. Apalagi memberi uang untuk menafkahi anakku. Aku tidak ambil pusing. Aku sudah punya pekerjaan yang baik, yang memberi jalan bagiku untuk bisa menafkahi dan mengasihi anakku.

Aku mendapat kesempatan untuk ikut ujian persamaan Sekolah Guru Bantu (pendidikan untuk calon guru pada masa itu) pada Oktober 1969. Alhamdulillah, aku lulus. Bahagia sekali rasanya, aku bisa mencapai cita-cita yang sudah aku tanam sejak kecil. Ijazahku keluar satu tahun kemudian.

Di tahun yang sama, yakni 1970, sekolah kami kedatangan tamu. Pak Darno namanya. Dia bekerja di Dinas Pendidikan Masyarakat Kecamatan Larangan. Saat itu, aku mengajukan pinjaman mesin tik untuk sekolah, karena sekolah kami memang belum memiliki mesin tik.

Selain membawakan mesin tik pinjaman, Pak Darno juga memberiku sepucuk surat. Sampai di rumah, surat itu aku baca. Ternyata Pak Darno menaruh hati padaku dan meminta kesediaanku untuk menikah dengannya. Aku merasa bahagia membaca surat itu, sekaligus malu dan takut karena aku sudah menjadi janda dan punya anak. Sementara, dia masih berstatus lajang. Aku lalu memutuskan untuk tidak membalas suratnya, dan mulai menjaga jarak. Aku menunjukkan sikap bahwa aku tidak mau menerima pinangannya. Aku berpikir, aku baru akan menikah lagi kalau sudah menjadi PNS. Status janda membuatku sering dicemooh dan diremehkan orang, sekaligus ada yang iri karena banyak laki-laki yang menyukaiku.

Menikah Lagi dengan Mantan Suami 

Tiba-tiba mantan suamiku datang ke rumah dan marah-marah. Dia tidak terima karena ada orang lain yang suka padaku. “Kenapa? Apa hak kamu? Aku kan sudah bukan istrimu lagi?” tukasku. Dia berkata bahwa dia menyesali perbuatannya dan memintaku untuk kembali kepadanya.

    Aku bingung waktu itu, takut dia akan mengulangi perbuatannya yang sering mabuk dan pulang malam. Namun, aku memikirkan anakku yang butuh bapak. Dia pun berjanji akan bersikap lebih baik. Akhirnya pada Februari 1971, kami bersama lagi dan memulai kehidupan baru kami. Kami memang tidak bercerai secara resmi, sehingga memungkinkan untuk bersatu kembali.

Anak kedua kami lahir di bulan Juni 1972. Beberapa bulan setelah aku melahirkan, suamiku pulang larut malam dalam keadaan mabuk. Aku nasihati dia, tapi dia malah marah dan memukuliku hingga aku sakit selama 20 hari. Aku tidak bisa kemana-mana karena aku dikunci oleh suami. Bidan yang menolongku melahirkan datang dan memberiku obat-obatan supaya kondisiku segera membaik.

Suami mengajakku pindah ke rumah orang tuanya di Karangbale. Orang tuaku tidak setuju karena aku akan semakin jauh dari mereka. “Dekat orang tua saja dipukuli, apalagi kalau jauh,” begitu kata mereka. Namun, aku tidak mau ribut dengan suami. Sehingga kami pun pindah.

Aku tinggal bersama mertuaku sejak saat itu. Mertuaku memang kaya raya, tetapi suamiku tidak bertanggung jawab kepada anak dan istrinya. Dia tidak mau bekerja. Yang dia pikirkan hanyalah bersenang-senang.

Aku kembali mengajar di sebuah TK di Karangbale. Namun, baru beberapa bulan mengajar, suamiku menyuruh keluar karena dia cemburu. Sama seperti dulu ketika aku mengajar di TK Pertiwi. Dia menyuruhku berhenti mengajar karena cemburu. Akhirnya, aku tidak mengajar lagi.

Sebuah tawaran untuk mengikuti pembekalan guru SD datang di tahun 1973. Aku bahkan ditawari mengajar tanpa tes. Namun, suami mengancam akan aku akan dia “serampang bendo” (dilempar pakai pisau besar) bila aku berani menerima tawaran mengajar di SD. Aku benar-benar marah dalam hati. “Maunya apa sih? Suami pengangguran, tidak bekerja, hanya mengandalkan sawah dan uang dari orang tua.” Aku berkata dalam hati. Namun, aku kembali menuruti maunya, meski aku tahu dia salah.

Suamiku mencalonkan diri menjadi kepala desa pada tahun 1975, namun tidak lulus proses seleksi. Untuk hidup, mertua memberikan sawah untuk kami garap. Kami pun bertani dan menanam padi di sawah itu. Suami masih melarangku untuk mengikuti kegiatan berkumpul dengan warga, apalagi mengajar di sekolah. Entah mengapa, aku dengan mudah menuruti perintahnya. Aku hanya tidak mau lagi dipukuli dan anak-anakku melihat hal itu.

Tanpa disangka-sangka, kepala desa yang baru terpilih datang ke rumah dan memintaku menjadi kader Posyandu desa. Suamiku kembali melarang, tetap karena alasan cemburu. Aku bosan dilarang melakukan kegiatan ini-itu. Aku merasa ilmu yang aku miliki sia-sia. 

Akhirnya, suami mengizinkan aku untuk aktif dalam kegiatan desa, dan aku menjadi pengurus PKK. Lama kelamaan, sifat cemburuan suamiku kambuh bila aku pergi menghadiri rapat desa. Akhirnya aku memutuskan untuk aktif di acara-acara lomba saja, karena aku malas menghadapi keributan dengan suami, apalagi kalau sampai dipukuli. Hidupku benar-benar tertekan saat itu. Aku tidak memiliki tempat untuk bercerita, atau setidaknya untuk bertukar pendapat. Benar-benar menyedihkan.

Suami kembali meninggalkanku dan anak-anak di tahun 1998. Dia menikah lagi dengan perempuan lain. Perempuan yang dia nikahi mengincar harta mertuaku. Sakit sekali rasanya. Aku dan anak-anak hanya bisa menangis. Aku menuntut cerai, tetapi dia tidak mau. Aku benar-benar sedih dan merasa tidak berdaya.

Benar dugaanku. Pernikahan mereka hanya berlangsung dua tahun, dan suamiku kembali. Aku pulang ke rumah orang tua karena sawah dan semua harta yang kami miliki habis dia jual. Dari pernikahan itu, suamiku memiliki satu orang anak.

Datangnya Harapan Baru

Tahun 2003, aku kedatangan tamu dari Solo, bernama Nunik. Mbak Nunik datang bersama Pak Dartam, staf desa di Karangbale, Kecamatan Larangan. 

“Bu Sum, perkenalkan. Ini Mbak Nunik,” kata Pak Dartam.

“Ada apa ya, Mbak?” tanyaku. Mbak Nunik menjelaskan ada kegiatan pengorganisasian Pekka.

Apa itu Pekka, Mbak” tanyaku lagi.

Mbak Nunik lalu menjelaskan tentang Pekka, dan meminta aku membagikan undangan untuk pertemuan yang diadakan mereka. Aku pun membagikan undangan itu ke janda-janda yang ada di desaku. Ada sekitar 70 orang yang diundang.

Pertemuan itu diadakan di balai desa. Semua orang yang aku undang hadir dalam pertemuan ini. Setelah semua undangan hadir, Mbak Nunik memberi penjelasan mengenai Pekka, termasuk tujuan dari organisasi ini. Di akhir pertemuan, kami bersepakat untuk membagi orang-orang yang hadir ke dalam dua kelompok, karena berjumlah 70 orang. Satu kelompok bernama Mawar, dan kelompok lainnya kami beri nama Bawang Merah. 

Usai pembentukan kelompok, masih banyak anggota masyarakat di desa kami yang mencemooh dan menakut-nakuti. “Apa sih kumpulan janda-janda?” Bagaimana kalau kalian nanti dibawa keluar negeri dan dijual?”

Cemoohan itu terbukti memberi pengaruh kuat. Ketika diadakan Pelatihan Visi, Misi, dan Motivasi Berkelompok, jumlah ibu-ibu yang hadir berkurang dari jumlah yang hadir saat pertemuan di balai desa. Semua itu karena omongan negatif dari masyarakat. Namun, aku percaya dan yakin bahwa kegiatan ini positif dan berdampak baik bagi perempuan.

Aku menyadari dampak positif untuk pemberdayaan perempuan setelah aku banyak terlibat dalam kegiatan Pekka. Meskipun pada saat itu, kepala desa dan perangkat desa masih tidak mengacuhkan dan bersikap masa bodoh pada kehadiran kelompok kami. Padahal, kami sudah berusaha mendekati dan menjalin kerjasama dengan pemerintahan desa. Sikap mereka ini berbeda sekali dengan respon yang mereka berikan terhadap Mbak Nunik.

Dan waktu itu, aku ditawari untuk menjadi kader Pekka. Aku pun diikutsertakan dalam pelatihan di Yogyakarta, yang diadakan selama satu minggu. Dalam pelatihan tersebut, aku mendapat penjelasan mengenai apa itu kader, dan apa saja tugas serta peran kader Pekka. Aku senang sekali, karena bertemu dengan teman-teman dari berbagai daerah di Indonesia, seperti NTB dan NTT. 

Ternyata, bukan aku saja yang baru pertama menginap di hotel. Banyak peserta lain yang juga baru dalam pelatihan ini mengalaminya untuk pertama kali. Kami kebingungan menghadapi fasilitas hotel yang canggih dan keren. Bahkan untuk mandi pun aku bingung, airnya harus ditaruh di mana dan mandinya pakai apa. Aku tidak melihat ada gayung di kamar mandi.

Pelatihan kader di Yogyakarta ini bertema “Saatnya Menggugat Hak, Keadilan, dan Martabat”. Perempuan kepala keluarga bisa menggugat haknya sebagai perempuan agar tidak dilecehkan dan memiliki hak yang setara dengan laki-laki dalam masyarakat.

Tugas pertamaku setelah pulang pelatihan adalah membentuk kelompok Pekka bersama kader lain. Kami pun datang ke rumah ketua RT untuk meminta izin. Alhamdulillah, setelah dua kali pertemuan terbentuklah dua kelompok, Matahari dan Rukun Sejahtera.

Aku pun terus aktif mendampingi kelompok yang sudah aku bentuk. Tentunya, dibantu oleh Mbak Nunik sebagai PL (pendamping lapang) di Brebes. Seiring berjalannya waktu, kelompok dan kader bertambah di wilayahku. Pengakuan-pengakuan kecil dari masyarakat sekitar tentang Pekka pun mulai bermunculan.

Pada bulan Juli 2006, Pekka memberi dana pendidikan kepada masyarakat, khususnya anggota Pekka. Bantuan yang diberikan adalah berupa seragam sekolah, sepatu, juga tas sekolah, untuk anak-anak anggota Pekka yang duduk di SD dan SMP. Uang bantuan yang diberikan berjumlah Rp 100 ribu untuk tingkat SD dan Rp 150 ribu untuk tingkat SMP. Namun, uang itu kami belanjakan barang agar lebih bermanfaat dan bisa mendukung semangat anak-anak bersekolah. Dari dana yang kami belanjakan, ternyata masih tersisa Rp 30 ribu dan uang itu kami sumbangkan ke sekolah untuk menambah dana operasional sekolah. Pada 19 Oktober 2006, kami ditawari pinjaman Usaha Ekonomi Produktif (UEP), berupa dana pinjaman untuk pembelian kambing.

Dana pendidikan yang disalurkan oleh Pekka membawa dampak besar bagi desa dan masyarakat. Banyak anggota masyarakat yang mengucapkan terima kasih kepada Pekka, terutama kepala sekolah yang menerima sumbangan sisa dana pendidikan. Pihak pemerintah desa juga mulai melirik kehadiran Pekka. 

Aku merasakan perubahan sikap mereka ketika aku bersama teman-teman anggota Pekka datang ke sekolah untuk menyampaikan dana tersebut. Kami sekaligus melakukan sosialisari Pekka karena mereka belum tahu apa itu Pekka dan bagaimana bisa memberi bantuan berupa dana pendidikan. Kepala Sekolah sangat mendukung dan mengapresiasi kegiatan-kegiatan Pekka setelah mendengar penjelasan kami.

Tahun 2006, Pekka melakukan kegiatan lain, yakni Pelatihan Hukum yang melibatkan jajaran pemerintah Kabupaten Brebes seperti Pengadilan Agama, Polres, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, serta BKBPP Kabupaten Brebes, serta kepala desa yang di desanya sudah terbentuk kelompok Pekka.

Aku bersama Mbak Nunik, serta perwakilan dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Brebes, Bapak Daryono, hadir dalam pelatihan mengenai akad nikah dan perceraian di Bogor. Materi dalam pelatihan ini diberikan oleh narasumber dari Mahkamah Agung. Beliau mengatakan, untuk bercerai tidak harus melalui bapak lebe (istilah untuk petugas desa). 

Proses perceraian bisa dibantu oleh siapa saja, termasuk oleh kader Pekka. Yang terpenting adalah, orang yang mendampingi proses perceraian mengetahui prosedur dan bisa berkoordinasi dengan Pengadilan Agama agar bisa memperoleh blanko-blanko yang dibutuhkan. Dalam pelatihan ini aku pun mendapatkan blanko untuk isbat nikah dan gugat cerai secara resmi dari Mahkamah Agung.

    Selain pelatihan tadi, aku juga mengikuti Pelatihan Kepemimpinan Perempuan yang Berwawasan Keadilan Gender. Dalam pelatihan ini, wawasanku mengenai perempuan sebagai pemimpin jadi terbuka. Perempuan di zaman sekarang sudah banyak yang pintar, sehingga layak untuk menjadi pemimpin. 

Kelompok Mawar, tempat aku aktif berkegiatan sejak bergabung dengan Pekka, rutin mengadakan pertemuan. Kami juga rutin mengadakan kegiatan simpan pinjam. Sayang, aktivitas kelompok ini mulai menurun sejak tahun 2015. Perlahan, jumlah anggotanya berkurang. Padahal, anggota yang keluar masih memiliki pinjaman. Menurut informasi yang aku dengar, ada anggota yang malas untuk rutin berkegiatan karena RAT koperasi tidak lancar digelar oleh pengurus koperasi selama beberapa tahun terakhir. Hal ini membuat semangat para anggota menurun, bahkan hilang sama sekali. Pembagian sisa hasil usaha (SHU) memegang peranan penting dalam memberi semangat kepada para anggota, meski jumlahnya tidak besar.

Aku terpilih sebagai Ketua Serikat Pekka Kabupaten Brebes pada tahun 2006. Salah satu tanggung jawabku sebagai ketua serikat adalah membuat laporan tahunan untuk semua kegiatan di serikat, juga koperasi LKM. Namun, aku sering lupa membuat laporan itu, dan baru ingat setelah diingatkan oleh PL.

Pada tahun 2006, aku kedatangan dua orang tamu di rumah. Mereka, Sari dan Witri, adalah TKI yang bekerja di Malaysia dan Arab Saudi yang sudah pulang. Namun, upah mereka belum dibayar penuh. Mereka mendapat informasi dari masyarakat, bahwa kader Pekka bisa membantu mengatasi masalah-masalah hukum berkat pelatihan yang diberikan Pekka. Itulah yang mendorong mereka untuk menemuiku.

Masalah ini aku laporkan ke dan oleh pemerintah desa, aku disarankan untuk membuat surat pengaduan yang diketahui oleh kepala desa. Surat itu aku buat keesokan harinya. Selain surat pengaduan, aku juga mengisi formulir berita acara, yang berisi data termasuk nama majikan. Aku juga menyertakan salinan identitas dan paspor Sari dan Witri.

 Alhamdulillah, mereka mendapat upah tambahan setelah aku damping yang jumlahnya lumayan banyak: Rp 10 juta. Meski demikian, mereka tidak memberi imbalan kepadaku. Namun, aku ikhlas. Aku senang karena pada saat mengantar mereka ke Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Brebes, petugas di dinas tersebut menanyakan pihak yang membuatkan surat pengaduan dan mendampingi kedua TKI itu. Aku menjawab bahwa aku yang melakukannya, sembari menjelaskan bahwa aku adalah kader Pekka yang sudah mendapat pelatihan hukum. Mereka sangat senang dan memuji kinerja Pekka.

Sejak 2006, aku sudah mendampingi kurang lebih 60 orang yang melakukan gugat cerai. Namun di tahun 2020, aku hanya mendampingi tiga orang karena lebih banyak yang memilih menggunakan jasa pengacara. Cara ini banyak dipilih karena hanya perlu satu kali sidang untuk mendapat keputusan pengadilan, meski bayarannya mahal sekali. Bisa mencapai Rp 5 juta. Sementara, ada sekitar 800 Akta Kelahiran yang aku bantu prosesnya sejak 2006 hingga 2020.

Ada sekitar lima orang yang aku damping untuk kasus KDRT di tahun 2007. Alhamdulillah, semua keputusan sesuai dengan harapan mereka. Ada yang memutuskan untuk berpisah, ada pula yang memutuskan untuk menyelesaikannya melalui mediasi dan perjanjian-perjanjian agar kasus tersebut tidak terulang lagi.

Selama aku menjabat sebagai ketua serikat, ada pula kasus-kasus ibu Pekka yang melanggar kode etik serikat, seperti merusak rumah tangga orang lain. Sesuai dengan AD/ART Serikat, sebagian dari mereka ada yang terpaksa dinonaktifkan.

Menuai Hasil Perjuangan

Bila aku pergi untuk mengikuti pelatihan Pekka, aku selalu menyiapkan keperluan anak-anakku. Aku sudah memperkirakan, apa yang harus aku siapkan untuk satu minggu. Sehingga, selama aku mengikuti pelatihan Pekka, aku tetap bisa fokus belajar untuk memahami materi. Dari berbagai pelatihan dan kegiatan Pekka yang aku ikuti, banyak manfaat yang aku dapatkan. Benefit yang paling utama yang aku dapatkan adalah bertambahnya wawasanku sehingga aku lebih percaya diri dan memahami hak-hak perempuan. 

Berbekal pengetahuan itu, aku jadi tahu, bagaimana caranya agar aku bisa membantu orang lain, khususnya perempuan, yang mengalami masalah – terutama masalah hukum. Selain itu, aku jadi lebih mengenal orang-orang yang duduk di pemerintahan. Sehingga, aku lebih mudah meminta bantuan bila aku sedang mendampingi masyarakat.

Selain aktif berkegiatan di Pekka, aku juga menjadi kader Posyandu dan petugas pendataan PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat), juga KB (Keluarga Berencana) Desa. Dalam satu bulan, bisa ada dua atau tiga orang datang meminta tolong untuk mendapatkan program KB.

Kegiatan Pekka yang lain di Kabupaten Brebes adalah mendirikan tiga PAUD, yakni Kelompok Bermain Pelita Hati Kubangsari, Kelompok Bermain Kusuma Bangsa Kalenpandan, dan Kelompok Bermain Mutiara di Larangan. Ketiga PAUD ini masih aktif hingga sekarang. 

Kelompok Bermain Pelita Hati didirikan pada 27 Juli 2008. Guru pertama di PAUD ini adalah tiga kader Pekka, yakni Kasih, Roisah, dan aku sendiri. Awalnya PAUD ini berlokasi di rumahku. Pada waktu itu baru ada 12 murid yang kami ajar. Sekolah ini akhirnya pindah ke Sedengan, dan pada 2009 sudah memiliki 20 murid. Jumlah murid kami terus bertambah, di tahun 2010 sudah ada 25 murid, 2011 ada 28 murid. Pada tahun 2012 kami pindah lagi ke gedung madrasah. Ibu Sumarti bergabung di tahun ini, sehingga PAUD kami memiliki 4 guru yang mengajar 35 anak. Pada tahun 2018, kami mendapat dana APBD. Murid kami sudah berjumlah 47 anak. selain itu, kami mendapat BOP (Bantuan Operasional Pendidikan) sebesar Rp 25 juta, juga bantuan dari APBN sebesar Rp 2.256.000. Di tahun 2019-2020 jumlah murid kami berkurang, menjadi 35 anak.

Wakil Bupati Brebes secara resmi membuka KLIK Hukum yang pertama kali diadakan di Kabupaten Brebes. Acara ini dihadiri oleh perwakilan dari Sekretariat Nasional Pekka, juga tamu undangan yang meliputi perwakilan dari pemerintah kabupaten hingga desa. KLIK Hukum Pekka adalah Klinik Layanan Informasi dan Konsultasi terkait perkara hukum pidana dan perdata serta yang terkait dengan identitas dan administrasi kependudukan.

Persoalan terbanyak di setiap desa yang mencuat dalam KLIK Hukum Pekka adalah mengenai identitas. Masyarakat memandang KLIK adalah acara untuk pembuatan Akta Kelahiran yang bisa langsung jadi saat itu juga. Hanya sedikit anggota masyarakat yang berkonsultasi mengenai kasus pertanahan. 

Aku selalu berusaha memberikan saran mediasi dan penyelesaian secara baik-baik kepada pasangan yang aku damping kasus dan perkaranya. Meski demikian, tidak sedikit yang akhirnya memang harus bercerai karena permasalahan yang mereka hadapi sulit untuk diatasi. Puluhan kasus perceraian sudah aku damping sampai selesai dan keluar putusan. Semua itu bisa aku lakukan setelah menjadi kader Pekka. Aku banyak dilatih untuk melakukannya sehingga masyarakat lebih memandang keberadaanku. Memang, aku sendiri gagal dalam berumah tangga. Tetapi, aku berusaha untuk membantu agar pasangan lain bisa memiliki kehidupan berumah tangga yang baik. Juga agar hak-hak perempuan ditegakkan dan dihargai.

Bagikan Cerita Ini

Cerita Terkait

Pekka: Perempuan Yang Mandiri dan Penuh Perca

Pekka: Perempuan Yang Mandiri dan Penuh Percaya Diri  ...

Tantangan itu Ada di Kampungku: Kisah Diri Am

Tantangan itu Ada di Kampungku Kisah Diri Amlia Aku...

Perjuangan dari Masa Kecil yang Membuahkan Ha

Perjuangan dari Masa Kecil yang Membuahkan Hasil Kisah...

Leave a Comment