Meraih Impian Melalui Sekolah Kehidupan

Sejak kecil aku bercita-cita untuk menjadi sarjana. Tak peduli apapun perjuangannya. Bahkan ketika mengalami perundungan hanya karena ibuku berasal dari suku yang berbeda. Semua kesulitan yang aku hadapi tidak pernah membuatku menyerah untuk mencapai cita-cita. Keadaan ekonomi keluargaku yang terbilang sangat sederhana pun aku jadikan tantangan. Namun, pada akhirnya, sekolah dalam bentuk lain yang membuatku merasa berhasil meraih impian.

 

Blang Poroh adalah sebuah desa terpencil yang terletak di Kecamatan Jeunieb, Kabupaten Bireuen, Aceh. Di sanalah aku dilahirkan pada tanggal 17 Januari 1972, sebagai putri pasangan Muhammad Hasan dan Wardiah. Ibuku berasal dari Aceh Tengah, sedangkan Ayah dari Samalanga, Bireuen. Mereka memberiku nama: Haswadana. Aku adalah anak pertama dari delapan saudara, yang terdiri dari tiga laki-laki dan lima perempuan. Keluarga kami sangat sederhana, bahkan bisa dibilang tidak mampu. Ayahku bekerja sebagai petani, dan terkadang juga menjadi buruh tani di lahan orang. Sementara Ibu tidak bekerja, hanya terkadang ikut membantu pekerjaan Ayah di kebun kami.

Aku mulai masuk SD pada tahun 1980, di SDN 14 Jeunieb di Desa Meunasah Lueng yang jaraknya cukup jauh dari rumah. Setiap hari aku harus berjalan kaki, menempuh jarak 4 km untuk sampai di sekolah. Kondisi jalan yang masih tanah dan berbatu sangat sulit dilalui. Ketika turun hujan, jalanan menjadi becek dan banyak genangan air yang dalamnya seperti kolam di tengah jalan. Supaya sepatu tidak kotor, terkadang aku bertelanjang kaki ketika berangkat. Sepatu baru aku kenakan begitu sampai di sekolah. Saat datang musim kemarau, jalanan penuh debu. Angin yang menerbangkannya membuat mataku perih, dan bajuku jadi cepat kotor. 

Di sekolah, aku sering menerima perlakuan tidak adil dari teman-teman. Sering sekali aku mengalami perundungan karena perbedaan suku. Ibuku berasal dari Gayo, yang menurut mereka berbeda dengan suku Aceh. Perlakuan semacam ini aku terima selama empat tahun, yakni sampai aku kelas 4 SD. Tapi semua itu tidak menyurutkan semangatku. Bahkan ketika aku naik ke kelas empat, aku mendapat ranking pertama. Prestasi ini berhasil aku pertahankan sampai kelas 6. Akhirnya teman-teman berhenti merundungku. Tahun 1986, aku berhasil menamatkan sekolah di SD tersebut. 

Setelah menamatkan SD, aku melanjutkan sekolah di SMPN Jeunieb yang jaraknya lebih jauh dari sekolah SD, yakni sekitar 12 km. Aku harus menggunakan sepeda butut milik Ayah untuk berangkat ke sekolah. Jalan yang rusak membuatku kesulitan mengayuh sepeda. Terkadang, jika ada lubang aku harus turun dari sepeda, kemudian mendorong sepedaku sampai menemukan jalan bagus untuk bisa mengayuh lagi. Tiga tahun aku bersepeda untuk menimba ilmu di SMP. Suka duka aku lalui agar bisa menamatkan sekolah. Dan akhirnya, aku berhasil lulus di tahun 1989. 

Meski ayahku seorang petani, aku tetap bisa melanjutkan sekolah ke SMA. Namun, karena jarak ke sekolah semakin jauh. Saat itu hanya ada satu SMA di Kecamatan Jeunieb. Sementara, orang tuaku tidak sanggup memberiku uang untuk membayar biaya transportasi yang mahal. Membeli kendaraan baru lebih mustahil lagi. Sepeda butut yang dulu aku pakai sekarang digunakan oleh seorang adikku. Orang tuaku harus berhemat, karena adikku banyak dan mereka juga harus bersekolah. Akhirnya, aku memutuskan untuk tinggal bersama Nenek di Kabupaten Aceh Tengah dan melanjutkan SMA di Takengon, tepatnya di Desa Blang Kolak I, Kecamatan Bebesen, Aceh Tengah.

Awal aku bersekolah di SMAN 1 Takengon, hal yang paling berat untuk aku hadapi adalah beradaptasi dengan lingkungan baru. Aku tinggal di tengah suku dengan bahasa yang berbeda. Ditambah lagi aku harus membiasakan diri dengan cuaca di Aceh Tengah yang sangat dingin. Takengon berada di dataran tinggi Gayo yang terkenal dengan sebutan ‘Negeri di Atas Awan’. Hal lain yang paling membuatku sedih adalah aku harus tinggal berjauhan dengan orang tua dan adik-adik. Namun, demi memenuhi keinginan untuk bersekolah, aku harus melalui itu semua dengan ikhlas. Di SMAN 1 Takengon aku bersekolah sejak pukul 07.30 sampai dengan 17.00 WIB, karena pada saat itu SMAN 1 Takengon sedang dalam tahap peningkatan kualitas pendidikan. Sekolah hanya dilakukan dari Senin sampai Jumat, sementara Sabtu dan Minggu libur. 

Aku gunakan hari liburku untuk mengerjakan pekerjaan rumah dan sesekali membantu saudara memanen biji kopi di kebun miliknya. Dengan membantu pekerjaan ini, aku bisa mendapatkan uang jajan. Setamat SMA, aku tidak melanjutkan kuliah. Aku pulang ke rumah orang tua di Jeunib. Berbekal ijazah SMA, aku ikut membantu orang tua dalam membiayai sekolah mereka. Aku selalu berdoa agar Tuhan mengijinkanku bisa melanjutkan ke perguruan tinggi. Itulah harapanku saat itu.

 

Krisis Moneter dan Referendum Aceh

Indonesia dilanda krisis moneter pada tahun 1997. Krisis ini menyebabkan harga semua  barang, termasuk kebutuhan pokok, naik sedangkan harga hasil panen petani turun. Itulah awal kesusahan yang datang menimpa masyarakat pada umumnya – dan keluargaku khususnya. Keluarga kami yang terdiri dari suami istri dengan delapan orang anak membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, juga untuk sekolah. 

Krisis diperparah dengan konflik yang terjadi di Aceh. Ini merupakan konflik antara kelompok separatis GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dengan TNI. Saat itu banyak anggota TNI dan Brimob yang ditugaskan di Aceh. Sering sekali terjadi kontak tembak dan penculikan. Kami, rakyat sipil, sering menjadi sasaran dan korban. Konflik itu sangat berpengaruh pada ekonomi masyarakat. Pendapatan berkurang karena kami takut untuk pergi ke ladang sehingga tanaman tidak terawat dan sering dimakan babi. Akhirnya petani mengalami kerugian akibat gagal panen. 

Satu tahun kemudian, diadakan Referendum Aceh. Referendum – sebuah proses pemungutan suara untuk mengambil sebuah keputusan, terutama keputusan politik yang mempengaruhi sebuah wilayah secara keseluruhan – membuat keadaan menjadi tidak menentu. Akibatnya, penderitaan masyarakat di Tanah Rencong semakin bertambah. Situasi ini berjalan hingga akhir tahun 2001. Tahun 2002, Presiden Megawati Soekarnoputri menetapkan Daerah Istimewa Aceh sebagai Daerah Operasi Militer atau dikenal dengan istilah DOM. 

Penetapan ini menyebabkan pemberlakuan jam malam yang membatasi ruang gerak masyarakat. Sejak DOM diberlakukan, banyak pelanggaran HAM yang terjadi. Beragam kisah pilu masyarakat hanya bisa kami lihat dan dengar tanpa bisa melakukan apa-apa. Terkadang terdengar suara tembakan yang menambah rasa takut dan resah. Keesokan harinya, kami mengetahui ada masyarakat yang diculik. Tidak lama dari penculikan, terdengar lagi ada mayat yang ditemukan, dan ini terus terjadi sampai tahun 2004.

Suatu hari, terjadi peristiwa yang masih terlukis jelas dalam ingatan saya. Tepat pada tanggal 30 Juli 2002, terjadi Operasi Seribu Jam di daerah kami. Banyak tentara bersenjata lengkap memasuki area pemukiman kami. Malam harinya tentara melepaskan tembakan meriam ke hutan yang letaknya di pinggiran desa dan kebun petani. Seluruh masyarakat ketakutan, suasana mencekam, lahan kebun hancur karena injakan dan tembakan tentara. 

Tentara mendapat informasi bahwa ada pihak GAM yang bersembunyi di hutan yang terletak di tepi desa kami, sehingga aparat melakukan penyisiran ke hutan tersebut. Kemudian terjadi lagi. Tepatnya tanggal 3 Agustus 2002 sekitar pukul 3 sore, TNI melakukan serangan, termasuk serangan udara, terhadap kelompok GAM. Aku dan warga sekitar menyaksikan secara langsung dari jarak yang sangat dekat. Ada 3 pesawat tempur dan 3 helikopter menyerang pinggiran desa kami dan hutan yang letaknya dekat dengan desa. Aku melihat peluru yang ‘disiram’ oleh pesawat kala itu, seperti air hujan yang turun dari langit mengguyuri bumi saking banyaknya.

Malangnya, akibat serangan itu, banyak masyarakat menjadi korban. Mereka yang sedang bekerja di kebun terperangkap, tidak bisa kemana-mana karena terkepung oleh sejumlah tentara yang melakukan penyerangan. Padahal tidak ada serangan balik dari pihak GAM, tapi tentara seperti menumpahkan amarah mereka. Tembakan dan serangan tanpa henti mereka arahkan ke hutan dan kebun. Mereka tidak peduli jika di sana ada masyarakat sipil yang menjaga kebun mereka dari gangguan babi hutan. Akibatnya, sebagian masyarakat harus menginap di kebun.

 Adik ipar dan ayahku menjadi korban dari serangan itu. Saat itu Ayah dan adik ipar sedang berada di kebun. Aku dan Ibu sudah merasa khawatir.Tetapi kami tidak bisa berbuat apa-apa. Hari sudah sore, hampir menjelang magrib, kami menunggu ayah dan adik ipar yang tidak kunjung pulang. Kami berdua merasa cemas dan khawatir luar biasa. Benar saja, keesokan harinya, kami mendapat kabar dari tetangga yang selamat, Pak Yusuf, begitu kami memanggilnya. Dia mengatakan bahwa Dahlan, adik iparku terkena tembakan, sementara ayahku selamat. 

Aku seperti disambar petir di siang bolong ketika mendengar kabar tersebut. Sementara, kami belum bisa melakukan apa-apa karena jalan menuju ke lokasi kejadian ditutup. Tidak ada yang boleh keluar masuk desa. Suasana semakin mencekam dan menakutkan. Adik iparku bertahan selama dua hari sambil menahan sakit di gubuk yang terdapat di kebun kami. Hanya ada Ayah yang merawat seadanya. Ayah tidak bisa membawanya pulang karena penutupan jalan. 

Adik iparku akhirnya meninggal dunia pada tanggal 5 Agustus 2002. Dia dikebumikan di area kebun tersebut. Setelah adik iparku dikebumikan, Ayah memutuskan untuk pulang. Namun di perjalanan pulang beliau juga menghembuskan napas terakhir karena kelelahan dan serangan jantung. Akhirnya keluarga dan masyarakat menjemput jenazah Ayah untuk dibawa pulang. 

Satu bulan kemudian, kami masih dalam kondisi masih berduka ketika terjadi serangan lagi. Seluruh anggota masyarakat di desa kami disuruh berkumpul di Meunasah, bangunan umum di desa-desa sebagai tempat melaksanakan upacara agama, pendidikan agama, bermusyawarah, dan sebagainya. Semua masyarakat mengosongkan rumahnya karena ada isu kontak tembak antara GAM dan TNI. Kami pun ikut dengan masyarakat lain tanpa membawa apa-apa. Kami dikumpulkan di meunasah (balai desa) dari pagi sampai sore. Ketika sore datang, kami bergegas pulang. Namun, betapa terkejutnya kami. Rumah kami sudah hancur menjadi debu karena dibakar oleh aparat. 

Selain rumah kami, ada lima rumah lain yang juga dibakar. Kami tidak tahu salah kami apa, sehingga rumah kami harus dibumihanguskan. Kami baru saja kehilangan dua anggota keluarga, sekarang kami juga harus kehilangan tempat tinggal. Susah, sedih, bingung, semua berkecamuk jadi satu. Namun, aku sadar bahwa hidup harus terus berjalan. Meratap dan larut dalam duka tak akan merubah keadaan. Aku bertekad mengambil alih semua tanggung jawab Ayah untuk melanjutkan hidup dan membesarkan adik-adik saya.  

Tsunami

Walau tertatih-tatih dan harus melalui kerikil-kerikil tajam, kami bertekad untuk bangkit dan memulai kehidupan baru. Meskipun pada saat itu, rumah kami sudah terbakar, kami tidak punya tempat tinggal. Apalagi di desa ini kami hanya pendatang, sehingga kami tidak memiliki saudara. 

Di tengah kebingungan menghadapi kesulitan itu, ada tetangga yang berbaik hati memberikan serambi rumahnya untuk kami tinggali. Walaupun tempatnya sempit dan sangat jauh dari kata layak, kami mencoba memulai kehidupan di sana. 

Waktu terus berlalu, suasana konflik masih meliputi kehidupan kami. Ketakutan, kesulitan mencari nafkah, dan selalu waswas dengan keadaan sudah biasa kami hadapi. Kami tinggal di serambi rumah tetangga itu selama dua tahun sambil terus bertani di kebun dan menanam padi di sawah. Dari hasil panen ini, kami memenuhi kebutuhan hidup dan sebagian kami tabung. Setelah dua tahun, kami rasa tabungan sudah cukup. Kami mencoba membeli sebidang tanah dan membangun rumah sederhana untuk tempat tinggal kami sekeluarga.  

Baru saja kami menikmati rumah sederhana yang berhasil kami miliki, tsunami menerjang Aceh pada tahun 2004. Bencana ini meluluhlantakkan hampir separuh dataran Aceh, dari Meulaboh di Aceh Barat yang menjadi pusat gempa hingga ke seluruh Aceh.  Sebagian wilayah Aceh yang berada di pesisir terkena dampak air pasang, dan wilayah yang jauh dari pantai terkena dampak gempanya. Namun, aku yakin tidak ada yang sia-sia di setiap kejadian. Ada hikmah di balik keputusan Allah ketika menimpakan bencana tsunami pada Aceh. Meskipun musibah ini harus menelan korban ratusan ribu nyawa manusia, harta benda hancur dan porak poranda.

 Desa tempat tinggalku jauh dari pantai. Kami tidak merasakan dampak langsung dari gelombang tsunami, namun kami ikut merasakan getaran dahsyat ketika gempa terjadi 30 menit sebelum tsunami. Beberapa rumah yang ada di desaku ikut retak. Rumahku yang hanya bangunan kecil dan terbuat dari papan tidak mengalami kerusakan. 

Pasca tsunami kehidupan masyarakat semakin sulit, harga bahan pokok melonjak naik, bahkan beberapa bahan makanan menjadi langka, kami sekeluarga bertahan hidup dengan hasil panen padi dari sawah, dan kebun sayur yang kami tanam sendiri. Sementara, untuk lauk pauk kami memanfaatkan apa yang ada. Kebetulan ibuku beternak ayam dan bebek, sehingga untuk makan sehari-hari kami sering memasak telur, kadang juga memotong ayam atau bebek peliharaan ibuku. 

Tsunami juga menjadi sebuah titik balik dalam sejarah Aceh. Tepat pada tanggal 1 Januari 2005 terjadi gencatan senjata antara GAM dan TNI, lalu tanggal 15 Januari 2005 dicetuskan perjanjian perdamaian antara GAM dan pemerintah. Aku lega mendengarnya. Setelah 16 tahun wilayah Aceh berada dalam masa konflik yang membuat masyarakat sipil sengsara, akhirnya kami bisa menikmati kebebasan. Masyarakat bisa pergi ke mana pun untuk mencari nafkah tanpa rasa takut dan was-was. Perjanjian damai ini disambut suka cita oleh semua masyarakat Aceh.

 

Mendapat Titik Terang

Tiga perempuan mendatangi desaku pada bulan Mei tahun 2005. Mereka adalah Suryani, Nurlaili, dan Khatijah yang merupakan kader Pekka Kabupaten Bireun. Mereka datang untuk melakukan sosialisasi organisasi Pekka. Suryani dan Nurlaili berasal dari Desa Teupin Kupula, sementara Khatijah dari Desa Meunasah Keupula, Kecamatan Jeunieb, kabupaten Bireuen. Mereka datang menemui Kepala Desa, Bapak M. Yusuf AB, dan meminta izin untuk mengajak perempuan-perempuan di Desa Blang Poroh bergabung dengan Kelompok Pekka. Mereka menjelaskan bahwa kelompok Pekka akan dibentuk di tiap desa dan mengorganisir perempuan untuk bergabung, berkegiatan dan belajar.

Wilayah Aceh baru saja bebas dari konflik berkepanjangan, dan dampaknya nyata bagi perempuan. Melihat rendahnya tingkat pendidikan perempuan di desa kami, Kepala Desa merasa khawatir kondisi ini akan dimanfaatkan pihak tertentu yang akan memicu konflik. Oleh sebab itu, Kepala Desa belum memberi izin untuk pembentukan kelompok Pekka di desa kami.  

Ketiga kader Pekka tadi memutuskan untuk tidak melanjutkan sosialisasi Pekka di Desa Blang Poroh. Lalu mereka pindah ke Desa Meunasah Lueng, dan berhasil membentuk kelompok di Meunasah Lueng. Salah seorang pengurusnya adalah Siti Hajar, yang biasa aku panggil Kak Budi, teman sekolahku waktu SD. Kak Budi memperkenalkanku kepada Suryani dan Khatijah, setelah mereka berdua bertanya apakah Kak Budi memiliki kenalan yang tinggal di Desa Blang Poroh. Kak Budi lalu bercerita tentang aku, temannya sewaktu masih duduk di sekolah dasar. 

Aku bertemu dengan kedua kader Pekka itu pada Maret 2006. Saat itu mereka menjelaskan organisasi Pekka dan tujuan berkelompok. Menurut mereka, dengan berkelompok, perempuan akan lebih mandiri, bisa belajar bersama, menyuarakan ketidakadilan yang dialami, melakukan kegiatan usaha bersama, dan lebih mudah dalam menjalin kerjasama dengan pemerintah. Saat itu, aku sudah paham dengan maksud mereka dan mulai tertarik untuk bergabung. Kak Suryani lalu memintaku untuk berbicara dengan Kepala Desa, agar mengizinkan pembentukan kelompok Pekka di desaku, Desa Blang Poroh. Dia bercerita tentang penolakan dari Kepala Desa ketika didatangi untuk meminta izin sebelumnya. 

Kepala Desa bersedia menerimaku. Secara santai dan terbuka, aku menjelaskan bahwa tujuan Pekka itu baik. Kelompok Pekka ingin aku dan teman-teman bisa memberi wadah bagi perempuan di desa untuk berkegiatan positif dan belajar bersama. Setelah mendengar ceritaku, Pak Yusuf, Kepala Desa kami, meminta untuk bertemu lagi dengan kader Pekka

Aku ajak Kak Suryani untuk kembali datang dan menemui Kepala Desa pada 2 Mei 2006. Ketika itu sedang diadakan pengajian di desa. Kak Suryani menjelaskan tujuan Pekka, seperti yang dijelaskan kepadaku sebelumnya. Kepala Desa akhirnya memberi izin, namun dengan syarat: pertemuannya harus dilakukan di tanggal 19 Mei 2006. Beliau juga meminta agar pertemuan ini menghasilkan terbentuknya kelompok Pekka. Kepala Desa kemudian memberi tanggung jawab kepadaku, juga beberapa orang di Desa Blang Poroh, untuk menyiapkan acara pertemuan. 

Sebelum pertemuan diadakan, para kader Pekka tidak bosan mendatangi warga untuk mengajak perempuan berkelompok. Kegigihan mereka ini membuat kami, perempuan di Desa Blang Poroh, akhirnya bisa membentuk kelompok Pekka pada tanggal yang telah ditetapkan oleh Kepala Desa. Kelompok ini kami beri nama Rahmat Sejahtera, dengan jumlah anggota 15 orang. Dalam pertemuan itu juga dilakukan pemilihan pengurus kelompok, dengan Suryani sebagai ketua, Nurhayati Agani sebagai sekretaris, dan Zainabun Cut sebagai bendahara.

Kelompok Pekka yang baru kami bentuk ini tidak serta merta berhasil dan berkembang seperti yang diharapkan. Banyak anggota yang keluar masuk dengan berbagai alasan. Setiap kami mengadakan pertemuan, yang rutin dilakukan setiap bulan, anggota yang datang hanya 10 orang. Malah pernah ada pertemuan yang hanya dihadiri oleh lima orang anggota. Namun semangat kelima anggota ini tidak menyurutkan keinginanku untuk membesarkan kelompok Pekka di desa kami. 

 

Simpan Pinjam dan Keaksaraan Fungsional

Kelompok ini berjalan tertatih-tatih sampai akhir tahun 2008. Aku bersusah payah menjelaskan kepada para anggota Pekka tentang manfaat kegiatan simpan pinjam. Aku senang ketika akhirnya berhasil meyakinkan mereka, sehingga kegiatan ini bisa dimulai dengan jumlah simpanan pokok sebesar Rp 500,00 dan simpanan wajib sebesar Rp 1.000,00. 

Awalnya kegiatan simpan pinjam ini hanya diikuti delapan orang anggota. Anggota lain tidak bersedia ikut dengan alasan takut tidak ada uang untuk menyimpan. Akhirnya kami mengembangkan kegiatan ini dengan cara sedikit memaksa, yakni mewajibkan ibu-ibu yang ingin bergabung dengan Pekka untuk ikut kegiatan simpan pinjam

Cara ini kami mulai di awal 2009, ketika anggota bertambah menjadi 20 orang. Tahun 2010 jumlah anggota bertambah lagi 5 orang, hingga anggota kelompok saat itu berjumlah 25 orang. Dalam pertemuan yang diadakan pada bulan Februari 2010, kami menyepakati perubahan simpanan pokok menjadi Rp 5 ribu dan simpanan wajib menjadi Rp 2 ribu. 

Pada saat itu kami juga berencana untuk mengadakan kegiatan Keaksaraan Fungsional (KF). Namun, ibu-ibu berkeberatan karena takut, malu, dan merasa sudah tua. Mereka bilang untuk apa lagi belajar membaca. Mereka menganggap belajar pada usia tua akan sangat sulit dan mungkin tidak akan bisa menguasai apa yang mereka pelajarii. 

Namun, kader Pekka selalu bisa memberi penjelasan dan motivasi untuk menyemangati kami semua, hingga akhirnya kami setuju. Tepat di bulan Maret 2010 kegiatan KF pun mulai dilakukan. Pembukaan kelas dilakukan oleh kader Pekka Kak Suryani, kemudian kader lain ikut memperkenalkan diri. Saat Kak Suryani meminta agar peserta juga memperkenalkan diri, tidak ada satu orang pun, dari 17 anggota yang hadir saat itu, yang berani maju untuk memperkenalkan diri. 

Kader yang memfasilitasi bingung harus melakukan apa agar bisa membuat peserta mau aktif di kelas. Ketika ditanya, ternyata ibu-ibu itu ketakutan dan malu karena mereka tidak pernah merasakan bagaimana rasanya sekolah, apalagi harus berbicara di depan orang banyak. Kemudian para kader memberikan arahan kepada ibu-ibu agar bisa memulai memperkenalkan diri seperti menyebutkan nama, tempat lahir, usianya berapa, berapa orang anak dan apa pekerjaannya. Ibu-ibu juga diminta untuk memperkenalkan diri dengan menggunakan bahasa Aceh, bahasa yang kami gunakan setiap hari. 

Suasana baru mencair setelah kader mengarahkan seperti itu. Saat itu, anggota kelompok Rahmat Sejahtera rata-rata berusia di atas 50 tahun, dan hampir semua anggota buta huruf. Hanya lima orang yang bisa baca tulis, itu pun tidak terlalu lancar. Dulu, perempuan di desaku rata-rata tidak bersekolah. Banyak cerita lucu yang terjadi saat mengikuti kegiatan KF di kelompok. Misalnya, ada peserta yang masih merasa takut, malu-malu, bahkan ada juga yang sudah diajarkan berkali-kali namun tidak bisa-bisa. Ada juga peserta yang penglihatannya sudah kurang jelas, sehingga dia sulit mengikuti proses belajar. Ada lagi yang tidak bisa duduk lama karena sakit pinggang dan kaki yang sudah sakit-sakitan. Namun semua itu tidak menyurutkan semangat mereka untuk terus belajar. 

Peserta dibimbing bagaimana cara memegang pensil, mengenal huruf, menulis, dan melafalkan aksara satu per satu. Setelah beberapa bulan, para kader yang mengajar meminta ibu-ibu untuk menulis nama mereka sendiri dan belajar membubuhkan tanda tangan. Di saat semua perserta berhasil menulis nama masing-masing, tersirat rasa bahagia dan senyum di wajah semua mereka. Salah seorang peserta ada yang berucap: “Orang sekolah saat masih kecil, kita sekolah di saat sudah tua begini.” Sontak ucapan itu disambut gelak tawa dari semua peserta dan kader yang hadir.

Berawal dari Visi, Misi, dan Motivasi

Pelan tapi pasti, kegiatan simpan pinjam dan KF terus berjalan di kelompok. Pada Oktober 2010 diadakan Pelatihan Visi, Misi, dan Motivasi Berkelompok selama dua hari. Tiga kader Pekka, yaitu Suryani, Nurlaili, Khatijah, dan satu orang pendamping lapang (PL) PEKKA, Ibu Ratna menjadi fasilitator saat itu. Dengan tekun, kami mempelajari visi dan misi Pekka, tujuan berkelompok dan bagaimana kelompok agar terus maju dan berkembang. 

Kegiatan ini diikuti oleh 25 anggota. Awalnya dimulai dengan perkenalan dari fasilitator dan kader yang mendampingi, kemudian perkenalan diri peserta. Fasilitator kemudian meminta para peserta untuk menulis, lalu menceritakan perjalanan hidup yang sudah dijalani. Saat bercerita, banyak kejadian yang membuat peserta harus mengingat kembali apa yang sudah dilewatinya, bahkan ada cerita peserta yang sangat menyedihkan sehingga membuat dia dan peserta lain ikut menangis. Kemudian fasilitator meminta kami mengambil hikmah dan pelajaran dari cerita hidup yang sudah kami tulis dan ceritakan itu. 

Kami lalu diminta untuk membuat impian tentang Pekka untuk lima tahun ke depan sesuai harapan atau pengalaman kami, juga membuat impian bersama yang bisa diraih melalui kelompok Pekka. Selanjutnya, kami mempelajari tentang bagaimana caranya membangun kerjasama dan memperkuat relasi, juga belajar tentang filosofi jembatan bambu, melihat faktor pendukung dan faktor penghambat yang ada di sekeliling Pekka. 

Kami juga belajar berbicara dan menyuarakan aspirasi. Satu hal yang menarik bagiku adalah ketika peserta diajak belajar berbahasa Indonesia, sebab banyak dari ibu-ibu peserta saat itu tidak bisa berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia. Kader Pekka dan PL selaku fasilitator harus menggunakan dua bahasa yaitu bahasa Indonesia dan bahasa daerah (Aceh) selama pelatihan. 

 

Terbang Ke Jakarta

Pertengahan Oktober 2011, Kak Suryani, seorang kader Pekka, memberi kabar bahwa aku ditunjuk sebagai perwakilan kader Pekka wilayah Bireuen yang akan mengikuti pelatihan ke Jakarta. Aku terkejut mendengarnya, karena aku merasa tidak pantas untuk ikut pelatihan tersebut. Selain itu, aku juga takut karena tidak ada orang yang aku kenal di Jakarta. Aku tidak pernah bepergian sejauh itu sebelumnya. Aku merasa panik dan takut. Namun, Kak Suryani terus meyakinkan aku dan meminta ibuku agar mengizinkanku untuk ikut pelatihan di Jakarta. 

Setelah mendapat persetujuan Ibu, aku akhirnya berangkat ke Jakarta pada 23 Oktober 2011. Aku masih diliputi perasaan takut dan was-was. Aku pergi bersama Evariana, anggota Pekka yang berasal dari Aceh Besar. Dia menungguku di Banda Aceh. Kami berdua berangkat sebagai perwakilan dari Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Baru setelah aku bertemu dengannya, aku tahu bahwa acara pelatihannya tidak diadakan di Jakarta, melainkan di Solo. 

Kami berangkat dari Bandara Sultan Iskandar Muda Banda Aceh menuju Bandara Soekarno Hatta di Tangerang untuk transit. Setelah transit kami kembali naik pesawat menuju Kota Solo. Kami baru sampai di tempat tujuan pada malam hari. Setibanya di Hotel Santika Solo, kami disambut oleh panitia pelatihan. Mereka memberi bahan yang akan kami pelajari selama pelatihan. Di tengah kebingunganku menghadapi lingkungan dan suasana baru, tiba-tiba panitia meminta kami beristirahat.  Aku sekamar dengan kader Pekka dari wilayah lain. Sayang, aku lupa nama dan dari daerah mana dia berasal.

Keesokan harinya, tepat tanggal 24 Oktober, semua peserta berkumpul di sebuah ruangan, dan pelatihan segera dimulai. Aku bertambah bingung dan takut karena baru dua orang yang aku kenal, yaitu kawan dari Aceh Besar dan kawan yang sekamar denganku. Itu pun aku belum banyak mengobrol dengan mereka. Kami hanya sempat memperkenalkan diri dan wilayah asal kami.

Pelatihan Paralegal ini berlangsung selama tiga hari. Dalam proses pelatihan, aku mengumpulkan semangat dan keberanian agar aku bisa mengikuti pelatihan dengan baik. Sejak awal hingga akhir pelatihan, aku mendapat banyak pembelajaran yang amat berharga. Aku mendapat banyak teman dari daerah lain yang berbeda suku, bahasa, dan budaya tentunya. Namun kami semua yang hadir dalam pelatihan itu merasa tergabung dalam satu keluarga besar, yaitu Keluarga Pekka. 

Dalam pelatihan ini, kami belajar tentang hukum, tentang kekerasan terhadap perempuan, tentang hak dan kewajiban, juga tentang pentingnya identitas diri. Hal terpenting yang aku dapatkan dalam pelatihan ini adalah kami diajarkan untuk berani dan merasa percaya diri dalam menyampaikan aspirasi dan dukungan kepada korban kekerasan dan ketidakadilan. Karena ini pengalaman pertama mengikuti pelatihan tingkat nasional, aku sampai berkeringat dingin saat mempresentasikan hasil diskusi kelompok, padahal kami berada dalam ruangan berpendingin udara. 

Inilah pengalaman pertamaku yang paling berharga dan berkesan selama bergabung dengan PEKKA. Pengalaman demi pengalaman membentuk perubahan diri dalam diriku ke arah yang lebih baik. Aku menjadi lebih berani menghadapi tantangan dan hambatan. Dalam pelatihan pertama ini, aku belajar untuk menumbuhkan rasa percaya diri dan menguatkan keyakinan agar bisa memperjuangkan hak-hak perempuan, terutama di lingkungan keluarga. Aku terus berusaha agar anggota Pekka dan perempuan di desaku menjadi lebih baik, tidak terintimidasi dan bermartabat.

 

Berbagai “Bekal”

 

Pada akhir November 2012, Seknas PEKKA menyelenggarakan Pelatihan CO (Community Organizer) atau biasa disebut pengorganisasian komunitas tingkat nasional yang diselenggarakan di Banda Aceh. Semua perwakilan Pekka dari provinsi di wilayah Sumatera dan Kalimantan mengirim perwakilannya untuk hadir dalam acara ini. Kabupaten Bireuen mengirim empat orang kader termasuk aku. Dalam acara ini, aku merasa lebih santai, lebih nyaman dan lebih baik dari pelatihan sebelumnya, karena sudah lebih banyak teman yang bisa diajak diskusi dan berbagi. Terlebih lagi, acara ini diselenggarakan di wilayahku sendiri. 

Dalam pelatihan ini, kami belajar bagaimana menjadi pemimpin perempuan yang baik, bijaksana, jujur, percaya diri dan amanah. Aku juga mempelajari cara-cara melakukan advokasi ke pemerintah dan pihak lainnya, dan juga belajar bagaimana menghadapi dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang mungkin akan dihadapi, misalnya konflik antar kader dan anggota atau penolakan dari masyarakat dan pemerintah desa ketika mensosialisasi dan membentuk kelompok Pekka.

Selesai pelatihan CO, kami kembali ke daerah masing-masing untuk mengembangkan wilayah baru, yaitu membuka kelompok baru di kecamatan lain yang belum ada kelompok Pekka. Setelah mengikuti pelatihan CO ini, aku mulai diakui sebagai kader dan bergabung dengan anggota lain yang sudah lebih dulu menjadi kader. Karena, seorang anggota kelompok Pekka belum diakui sebagai kader apabila belum mengikuti pelatihan CO. Kalau sebelumnya aku hanya berperan di kelompok sebagai bendahara menggantikan Ibu Nurhayati Agani yang sudah tidak aktif, setelah pelatihan CO aku mulai terlibat di kegiatan tingkat kecamatan dan kabupaten.

Awal tahun 2013, kami membuka kelompok Pekka di lima desa yang ada di tiga kecamatan. Ada lima kelompok Pekka yang berhasil kami bentuk, yaitu Kelompok Pekka Mudah Rezeki di Desa Meunasah Tunong Lueng, Kecamatan Jeunieb; kelompok Pekka Anggrek Putih di Desa Garot, Kecamatan Pandrah; Kelompok Pekka Bunga Melati di Desa Gampong Blang, Kecamatan Pandrah; kelompok Pekka Kasih Ibu di Desa Pandrah Janeng, Kecamatan Pandrah; dan kelompok Pekka Bunga Meulu di Desa Sawang, Kecamatan Peudada.

Di awal tahun ini pula aku mulai bergabung di Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Pekka. Saat itu pengurusnya adalah Suryani sebagai ketua, Fitria sebagai sekretaris dan Ismiati sebagai bendahara. Sebagai kader baru aku bertugas membantu mereka mengelola LKM. Tahun 2013 kami berhasil melakukan Rapat Anggota Tahunan (RAT) untuk pertama kalinya.

Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) mengadakan Pelatihan Manajemen Koperasi Sistem Syariah pada 10 Oktober 2013, dengan mengundang seluruh koperasi yang sudah berbadan hukum se-Kabupaten Bireuen. LKM Pekka Bireuen termasuk salah satunya. Setiap koperasi diminta mengutus satu orang perwakilan pengurus, dan teman-teman di LKM memutuskan aku yang berangkat untuk mengikuti pelatihan tersebut. 

Masih di tahun yang sama, tepatnya pada November 2013, aku bersama tujuh orang kader Pekka Kabupaten Bireuen dan puluhan kader Pekka dari seluruh kabupaten di Provinsi Daerah Istimewa Aceh berangkat ke Jakarta untuk mengikuti acara Forum Nasional (Fornas) Pekka ke-3 yang diselenggarakan di Hotel Grand Cempaka, Jakarta. Kegiatan ini juga diikuti oleh ratusan kader perwakilan kabupaten dan provinsi seluruh wilayah Pekka se-Indonesia. Salah satu agenda dari Fornas ini adalah pembentukan Federasi Serikat Pekka dan dilanjutkan dengan pemilihan kepengurusannya. Suatu kebanggaan bagi kami saat itu, karena yang terpilih menjadi ketua Federasi adalah perwakilan kader Pekka Aceh, yaitu Aminah dari Kabupaten Pidie.

 

Ikut Pemilihan Legislatif

Semakin banyak kegiatan yang aku ikuti melalui Pekka. Aku semakin dikenal oleh banyak orang dan terlibat dalam berbagai kegiatan tingkat desa maupun kabupaten. Sekembalinya dari Jakarta, tiba-tiba pengurus partai dari beberapa partai politik datang kepadaku. Mereka berbicara panjang lebar menjelaskan tentang pemilu, dan mengajakku untuk bergabung dengan mereka sebagai bakal calon legislatif peserta pemilu guna memenuhi keterwakilan perempuan di partai mereka. Aku menolak karena aku merasa tidak mampu dan tidak berani ambil resiko. Di samping itu, aku juga tidak punya dana untuk berkompetisi dalam pemilu. 

Namun, mereka tidak menyerah. Mereka datang lagi, sampai empat kali, untuk membahas hal yang sama. Aku tetap memberikan jawaban yang sama, menolak ajakan mereka. Setelah gagal meyakinkan aku, mereka menemui anggota Pekka dan keluarga, adik dan kerabatku. Akhirnya aku harus mengikuti keputusan keluarga dan beberapa anggota Pekka, dan bersedia untuk menjadi calon anggota legislatif Kabupaten Bireuen yang diusung oleh partai lokal. 

Proses pun berjalan dengan lancar, semua pihak saling membantu. Setelah selesai pendaftaran di Kantor KIP, aku mengikuti semua proses dan arahan partai. Keterlibatanku dalam pencalonan anggota legislatif tidak hanya mendapat dukungan keluarga dan tetangga, tapi juga mendapat dukungan dari sesama kader Pekka, bahkan dari Seknas PEKKA. 

Di sela-sela proses pencalonan diri ini, pada Februari 2014, aku dan beberapa perwakilan kader dari berbagai wilayah diundang Seknas PEKKA ke Jakarta untuk mengikuti Pelatihan Peningkatan Kapasitas Politik Perempuan yang bertujuan mempermudah keterwakilan perempuan di ranah politik. Pelatihan ini sangat membantuku yang masih sangat awam dengan dunia politik. Setidaknya, aku mendapatkan bekal ilmu baru yang sangat bermanfaat dalam situasi yang aku hadapi saat itu. Setelah pulang dari pelatihan, aku kembali mengikuti kegiatan dan arahan tim partai. Kampanye sudah mulai dilakukan, dengan modal seadanya, juga berbekal kemampuan yang aku dapat dari pelatihan. 

Alhamdulillah, kampanye demi kampanye sudah dilewati dengan melakukan pertemuan dengan masyarakat. Hingga tibalah saatnya masa tenang. Saat itu, bulan April sudah selesai masa kampanye. Dalam suasana masa tenang tidak boleh ada kegiatan partai politik atau kampanye secara terbuka. Semua atribut partai dibersihkan dari jalanan, spanduk dan baliho semua diturunkan. 

Suatu hari Mulyadi, salah seorang anggota tim suksesku, meminta izin untuk meminjam mobil Kijang yang sering digunakan untuk operasional dan kebutuhanku dan partai. Mobil ini milik Nizam yang merupakan tim suksesku juga. Mulyadi meminjam mobil tersebut untuk membawa ibunya yang sedang sakit untuk berobat ke tempat pengobatan alternatif, karena selama ini ibunya rutin berobat ke dokter di rumah sakit namun tidak kunjung sembuh. 

Di hari yang sama, aku sedang berada di sawah. Walaupun aku disibukkan dengan urusan partai dan pencalonan diri sebagai bakal calon anggota legislatif, kegiatan bertani tidak bisa aku tinggalkan. Kebetulan saat itu padi di sawah sudah menguning dan sudah waktunya dipanen. 

Panen membuat kami sibuk di sawah dari pagi sampai malam. Setelah selesai memanen dan memasukkan padi ke dalam karung, malam hari aku pulang dan membawa semua hasil panen ke rumah. Sesampai di rumah kami bersih-bersih, kemudian makan malam bersama keluarga. Namun, di hari itu, karena merasa terlalu capek, aku memutuskan untuk istirahat dan tidur lebih awal. Tengah malam, pukul 00.30 WIB, telepon genggamku berdering. Aku lihat siapa yang menelepon malam-malam begitu. Ternyata Ibu Suryani, seorang kader Pekka yang menelpon. “Kak Dana, Kak Dana pat jinoe?” (Kak Dana, Kak Dana di mana sekarang)?” tanya dia dengan suara panik.

Dengan malas aku menjawab: “Na di rumoh (ada di rumah).” 

“Alhamdulillah,” dengan spontan Bu Suryani berkata begitu.

“Kenapa Kak Sur tiba-tiba telpon tengah malam gini?” tanyaku kebingungan, dengan suara parau karena masih mengantuk.

Bu Suryani terdiam sejenak. “Kak Dana, apa Kakak tidak mendengar berita apa-apa hari ini?” tanya beliau.

“Tidak. Memang ada berita apa, Kak?”

Ibu Suryani lalu menceritakan bahwa mobil yang dipakai oleh Pak Mulyadi ditembak orang tak dikenal. Aku kaget mendengar berita itu. Kak Sur, begitu aku biasa memanggil Ibu Suryani, meminta agar aku tidak keluar rumah dulu. Aku mencoba membangunkan adikku, dan menceritakan kabar yang aku dengar dari Kak Sur. Ternyata dia sudah mendengar berita tersebut namun tidak memberitahukan kepada saya dan juga pada ibu dan anggota keluarga lainnya. Alasannya adalah supaya kami semua tidak panik karena belum jelas kejadiannya. 

Keesokan harinya, Kak Sur kembali menelepon untuk menanyakan kabar. Aku menjawab bahwa aku dalam keadaan sehat dan baik-baik saja. Kak Sur berkata, “Saya pikir Kakak yang ada di mobil itu. Saya merasa lega sekarang karena Kakak selamat dan tidak kenapa-kenapa.” 

Kak Sur berpesan agar aku lebih berhati-hati dan jangan keluar rumah dulu jika tidak ada urusan penting. Dia khawatir dengan keselamatanku setelah kejadian penembakan itu. Kasus ini menyebabkan tiga orang tewas, satu orang terluka parah. Tiga penumpang lainnya selamat. Aku beberapa kali dipanggil ke Polres Bireuen untuk memberi kesaksian. Namun sampai saat ini pelaku penembakan belum tertangkap, dan belum terungkap motif dan dalang di balik penembakan yang menelan korban itu. 

Desas-desus terdengar kabar bahwa aku adalah target penembakan sebenarnya. Beberapa orang yang berjumpa denganku menyatakan bahwa mereka lega, setiap bertemu dengan teman dan kerabat atau siapapun yang mengenal saya mereka mengucapkan “Alhamdulillah kamu selamat, jaga diri baik-baik”. Namun begitu, aku tetap merasa sedih karena keluarga Pak Mulyadi menjadi korban dalam kasus ini, dan belum mendapat titik terang terkait pelaku penembakan.

Waktu terus berlalu, hari Pemungutan Suara pun tiba. Semua orang yang sudah berhak memilih berbondong-bondong menuju Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk memberikan suaranya. Masyarakat antusias merayakan pesta agar wakil mereka bisa memperoleh kursi di DPRD hingga DPR RI. Satu persatu nama mereka dipanggil menuju bilik suara. Acara berjalan dengan lancar. Dan aku tidak terlalu berharap banyak dengan kemenangan. Bisa ikut dalam pencalonan saja sudah merupakan hal yang membahagiakanku. 

Sore harinya, penghitungan suara dilakukan di Kantor Camat Jeunieb. Semua tim sukses dari seluruh partai politik dan panitia ikut menyaksikan penghitungan suara. Tanpa diduga, setelah dua hari ternyata hitungan sementara di beberapa desa hasilnya sangat memuaskan tim suksesku. Jumlah perolehan suara yang aku raih mendekati – malah sudah cukup – memenuhi syarat untuk duduk di kursi legislatif. Semua pihak yang mendukung seperti anggota Pekka, teman, timses, keluarga, dan pihak lain yang mendukung merasa senang dan gembira. Tak sedikit yang memberi selamat kepadaku. Selama ini, belum pernah ada perempuan yang bisa mencapai hasil yang demikian dalam sejarah Pemilu di Bireuen, khususnya Kecamatan Jeunieb. 

Kak Suryani adalah orang pertama yang mengucapkan selamat. “Kak, selamat ya. Kita menang,” begitu kata dia. Penghitungan suara terus berlangsung. Sampai pada hari terakhir pengisian form C1, tiba-tiba hasil perhitungan suara yang sudah ditetapkan satu hari sebelumnya hilang setengahnya. Malam harinya, timses dan adikku didatangi beberapa orang. Kemudian mereka menodongkan pistol ke arah adikku dan mengancam akan menembaknya jika kami tidak menuruti permintaannya. Mereka berpesan: “Jika ingin selamat, jangan melakukan perlawanan apapun dengan kebijakan partai.” 

Benar saja. Ketika hasil penghitungan surat suara dikeluarkan, ternyata yang naik menjadi anggota legislatif adalah orang yang kalah dan tidak mendapat cukup suara saat pemilihan. Dia adalah kandidat dari partai politik yang mengusungku. Ternyata, suara yang aku peroleh dibagi untuk dua orang kandidat. Aku seolah ditusuk dari belakang oleh orang-orang di partai. Aku merasa begitu kejam dan kotornya cara mereka berpolitik. Namun, demi menjaga keselamatan keluarga dan orang-orang terdekat, aku tidak mengusut kasus itu. Cukuplah menjadi pelajaran berharga bagiku.

Mengadakan Yandu

Pada tahun 2015, aku bersama kader Pekka lainnya, juga Fasilitator Lapang PEKKA, Mardiah dan Fazriah mengadakan kegiatan Yandu (Pelayanan Terpadu). Dalam kegiatan ini, beberapa instansi terkait memberikan layanan dalam satu kegiatan. Sebelum acara ini digelar, aku dan beberapa kader Pekka berkunjung ke dinas-dinas untuk melakukan sosialisasi dan meminta agar dinas terkait bersedia hadir di kegiatan Yandu untuk memberi layanan kepada masyarakat. Saat itu, untuk berdiskusi dengan dinas sungguh alot. 

Beberapa oknum dinas yang kami datangi meminta uang. Jika ada uang, mereka baru mau menyetujui kegiatan itu. Kami menjelaskan, “bagaimana kami bisa membayar Bapak? Sementara kami, kader Pekka, bekerja secara sukarela tanpa dibayar. Kegiatan ini kami lakukan semata-mata untuk membantu masyarakat. Meskipun kami tidak dibayar, tapi tidak menyurutkan semangat dan langkah kami untuk melanjutkan kegiatan ini.” 

Meskipun menghadapi banyak rintangan, kami terus berusaha melakukan pendekatan. Mentok di satu orang, kami akan mendekati yang lain agar kami diterima dan kerjasama antara Pekka dengan Dinas bisa terjalin. Setelah melakukan lobi panjang, akhirnya dinas-dinas menyetujui dan mau ikut serta dalam penyelenggaraan Yandu ini. 

Setelah persiapan beberapa hari, akhirnya hari yang ditunggu-tunggu tiba. Pagi-pagi sekali kami, kader Pekka sudah hadir di tempat untuk menyiapkan segala keperluan dan mengatur semua kursi dan meja. Pukul 08.00 WIB satu per satu masyarakat mulai datang, pihak dinas pun banyak yang hadir. Di antara yang hadir adalah Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Diskdukcapil), Kemenag, Mahkamah Syariah, dua orang Camat yaitu Camat Pandrah dan Camat Jeunieb. Selain itu, beberapa pihak turut hadir dalam acara Yandu, yaitu Kapolsek, Danramil, dan beberapa kepala desa, dan tentunya ada 73 pasang suami istri yang ikut isbat nikah. 

Kegiatan Yandu berjalan lancar. Dari kegiatan ini ada 146 duplikat buku nikah selesai dan diserahkan kepada 73 pasangan, 113 Akta Kelahiran, 33 KK, dan 42 KTP yang berhasil diterbitkan. Semua yang ikut kegiatan Yandu merasa senang dan puas dengan hasil yang mereka dapatkan.  Kami akhirnya bisa membuktikan bahwa kecurigaan dan tuduhan kepada Pekka dari beberapa masyarakat dan oknum Pemdes yang mengatakan Pekka menyebarkan ajaran sesat dan mencari keuntungan adalah salah. Beberapa orang yang tidak mau ketika diajak untuk ikut dalam kegiatan Yandu merasa menyesal melihat temannya berhasil membawa buku nikah dan dokumen lainnya. Setelah itu, Pekka semakin dikenal. Beberapa dinas mulai menjalin hubungan baik dengan Pekka.

Akhirnya Aku ‘Kuliah’

Tahun 2016, aku mengikuti Pelatihan Paralegal dan Perlindungan Sosial sebagai tindak lanjut dari kegiatan Yandu yang sudah dilakukan pada tahun 2015. Masih banyak masyarakat yang belum memiliki kartu identitas dan kartu jaminan kesehatan. Kegiatan pelatihan ini diselenggarakan di Center Pekka Bireuen yang diikuti oleh tiga kabupaten, yaitu Aceh Timur, Bireuen dan Pidie. Selain pelatihan Paralegal, aku juga mengikuti Pelatihan Pembukuan Serikat dan Koperasi yang diadakan di Center Pekka Bireuen. Pelatihan ini sekaligus untuk melakukan pembenahan LKM. Saat itu, pembukuan LKM/koperasi tidak lengkap akibat ada beberapa kelompok lama yang tidak aktif, dan akan ada pemisahan pembukuan antara Koperasi dan Serikat. 

Pada Oktober 2016, aku juga mengikuti Pelatihan Pembukuan Koperasi di Banda Aceh yang diselenggarakan oleh Dinas Disperindagkop selama lima hari. Pesertanya adalah perwakilan dari koperasi-koperasi yang sudah berbadan hukum yang ada di Provinsi Aceh. Koperasi Wanita (kopwan) Tuah Pekka menjadi salah satu peserta yang diundang untuk ikut. Saat itu, aku diminta pengurus LKM untuk hadir mewakili Kopwan Tuah Pekka ke Banda Aceh. 

Sesampai di Banda Aceh ternyata peserta yang ikut adalah orang-orang yang punya titel sarjana, koperasinya sudah maju dan besar, bahkan di antaranya ada pegawai negeri yang memiliki keahlian di bidang komputer. Sementara, aku belum punya pengalaman apa-apa tentang pengelolaan keuangan dan koperasi. Namun, aku tidak mau kalah, walaupun aku tidak punya pengalaman dan keahlian komputer. Yang penting bagiku adalah, aku punya semangat dan dapat kesempatan untuk belajar. 

Hal yang sangat membahagiakan saat mengikuti kegiatan seperti ini adalah selain aku mendapatkan teman baru, mereka juga tidak pelit ilmu. Mereka selalu membantuku dan tanpa sungkan bersedia membagi pengalaman mereka, sehingga aku banyak belajar dan mendapat ilmu baru.

Aku kembali mengikuti pelatihan di awal tahun 2017. Kali ini pelatihan yang aku ikuti adalah Pelatihan Mentor yang diadakan di Aceh Besar. Menurut informasi yang aku dapatkan dari Keumalawati, seorang fasilitator lapang, kegiatan ini bertujuan untuk mempersiapkan sekolah kader desa khusus untuk perempuan. 

Sekolah ini diberi nama Akademi Paradigta, yang diselenggarakan di wilayah dampingan Kompak. Salah satunya adalah Kabupaten Bireuen. Aku dan tiga orang kader lain, yaitu Ismiati, Mulyani dan Marlina adalah peserta dari Bireuen. Seperti biasa, selalu ada hal menarik dan pengalaman baru yang aku dapatkan di setiap pelatihan. Begitu pula dengan Pelatihan Mentor ini. 

Dalam pelatihan ini, aku dan peserta lainnya dilatih untuk menjadi mentor yang akan memfasilitasi kelas yang akan dibentuk di wilayah masing-masing. Padahal aku bukan guru, dan tidak penah punya pengalaman menjadi guru. Jangankan mengajarkan modul seperti yang dilakukan seorang guru terhadap muridnya, berbicara di depan orang banyak saja aku masih agak gemetaran.

Dalam proses belajar, lagi-lagi aku harus berperang dengan rasa takut dan tidak percaya diri. Inilah yang aku perjuangkan ketika mempresentasikan tugas di depan kelas. Rasa grogiku semakin menjadi-jadi karena yang menjadi peserta – atau disebut akademia dalam pelatihan saat itu – adalah kader Pekka dari berbagai wilayah di Aceh, sementara mentornya adalah fasilitator lapang (faslap). Saat itu hadir pula perwakilan dari Seknas PEKKA Ibu Fitria Villa Sahara. Beberapa hari mengikuti pelatihan ini, akhirnya aku dan ketiga kader serta seluruh teman yang ikut pelatihan dinyatakan lulus menjadi mentor. Di hari terakhir kami diberi sertifikat dan malam harinya kami pulang ke wilayah masing-masing. 

Tepat pada Juli 2017 diadakan Musyawarah Besar (Mubes) Serikat Pekka di Center Pekka Bireuen. Dalam acara Mubes ini, pengurus lama menyampaikan pertanggungjawaban kegiatan dan laporan keuangan, kemudian pembacaan AD/ART Serikat, dan dilanjutkan dengan pemilihan pengurus. Saat itu yang terpilih menjadi pengurus adalah Cut Ratna Dewi sebagai ketua serikat, Mulyani sebagai sekretaris, dan aku, Haswadana, sebagai bendahara. 

Kepengurusan ini masih berlanjut sampai sekarang. Setelah selesai Mubes dan penetapan pengurus baru, kader serikat, faslap dan  mentor berkunjung ke dinas-dinas dan camat serta kepala desa untuk mensosialisasikan, sekaligus meminta izin agar Pekka bisa melakukan kegiatan pendidikan untuk perempuan kader desa, yaitu Akademi Paradigta, sebagai bentuk tindak lanjut dari pelatihan mentor yang kami ikuti di Aceh Besar beberapa bulan sebelumnya. 

Selesai sosialisasi dengan dinas dan camat, kami berempat sebagai mentor mulai mendatangi desa untuk mensosialisasikan Akademi Paradigta. Berbagai rintangan kami hadapi saat pertama melakukan sosialisasi sosialisasi ini ke pemerintah desa dan masyarakat. 

Hambatan terbesar adalah ketika menghadapi mereka yang pesimistis terhadap misi kami. Mereka menyebut angan-angan kami terlalu tinggi. Ada pula yang bilang sekolah apa lagi, sementara sebagian orang lain merasa sudah terlalu tua untuk bersekolah. Bahkan, ada perangkat desa yang menganggap Pekka ingin mendapat perhatian dan merasa Pekka ingin bersaing dengan pemerintah desa. Namun, menghadapi semua hambatan itu tak menyurutkan semangat kami. Hal-hal seperti itu sudah sering kami hadapi. Kami terus berusaha merekrut Akademia dengan mendatangi kelompok perempuan dan mensosialisasikannya. 

Usaha kami merekrut akademia berhasil. 65 perempuan dari tiga kecamatan yaitu Kecamatan Jeunib, Kecamatan Pandrah, dan Kecamatan Pelimbang besedia mendaftar untuk menjadi akademia. Jumlah ini tentu saja melebihi kuota kelas. Oleh karena itu, kami memutuskan untuk membentuk dua kelas, masing-masing kelas berjumlah 33 dan 32 orang. Proses pembelajaran Akademi Paradigta diselenggarakan di Center Pekka Bireuen. 

Pada tanggal 9 Agustus 2017, kami meluncurkan kelas pertama, atau yang kami sebut orientasi kelas Akademi Paradigta. Saat orientasi, kami menggabungkan dua kelas pada hari yang sama. Dalam orientasi ini, para mentor dan akademia bersepakat untuk mengadakan pembelajaran tiga kali dalam seminggu. Tim mentor juga dibagi menjadi dua, satu tim terdiri dari dua orang dan masing-masing tim mengajar satu kelas. Di antara 65 akademia, ada istri sekretaris desa, ketua PKK dan banyak kader posyandu yang aktif di desa. 

Namun setelah proses pembelajaran dilangsungkan, beberapa peserta mengundurkan diri. Awalnya dua orang, selang beberapa minggu tiga orang ikut keluar. Alasan utama mereka adalah tidak mampu membagi waktu antara akademi dengan kegiatan yang lain. Namun, akademi terus berjalan dengan peserta yang tetap terjaga semangatnya. Modul demi modul kami sampaikan. Setiap ada penugasan, para akademia mampu mengerjakan dengan baik. Jika ada yang tidak memahami isi modul, maka mentor dan akademia lain siap sedia mendampingi. 

Akademi Paradigta ini berjalan selama enam bulan. Tanpa terasa semua rangkaian modul sudah diselesaikan. Tibalah saat yang ditunggu-tunggu, yaitu wisuda. 60 Akademia menghadiri acara wisuda yang diadakan di Gedung Serbaguna Kecamatan Jeunieb pada bulan Maret 2018. Turut hadir dalam acara ini tiga kepala kecamatan asal para akademia yaitu Camat Jeunib, Camat Pandrah dan Camat Pelimbang. Hadir juga Kapolsek dan Danramil. Mereka didampingi oleh Faslap Pekka yaitu Kak Afrida Purnama dan Kak Fazriah. Raut bahagia tersirat di wajah para akademia saat satu per satu nama mereka dipanggil untuk dikalungkan selempang dan diserahkan sertifikat oleh Asisten Daerah 1 Kabupaten Bireun yang juga ikut hadir hadir memenuhi undangan Pekka pada acara wisuda tersebut. 

Dalam proses belajar mengajar di Akademi Paradigta, aku banyak mendapat pelajaran baru. Baik dari pengalaman akademia yang dituturkan saat proses belajar berlangsung, maupun yang aku pahami melalui karakter serta kebiasaan mereka yang berbeda-beda. Aku harus belajar memahami mereka dan berusaha menyesuaikan sikap untuk tidak egois dan melihat dari sisi pandangan orang lain, agar tercipta suasana belajar yang nyaman dan menyenangkan. 

Ternyata, usaha keras kami berhasil. Setelah selesai sekolah, hampir semua akademia mempunyai peran di desa mereka. Ada yang menjadi kader desa, ada juga yang menjadi pengurus PKK. Semua aktif dalam perannya membangun desa, meskipun hanya sekedar ikut terlibat dalam rapat-rapat di desanya.

 

Kader Lintas Kabupaten

Atas upaya dan pengalaman di Pekka, aku dipercaya Seknas PEKKA menjadi kader lintas kabupaten. Pengangkatanku ini dilakukan dengan tujuan memperluas wilayah PEKKA. Akhir November 2018, aku bersama Fazriah Faslap PEKKA, Ibu Kodariah dari Seknas PEKKA Jakarta, juga didampingi oleh Pak Very dari Kompak, berangkat ke Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah, untuk melakukan survei sekaligus sosialisasi Pekka ke pemerintah Kabupaten Bener Meriah. 

Kegiatan ini berjalan lancar tanpa ada hambatan yang berarti. Sosialisasi ini berlangsung selama tiga hari. Pada tanggal 29 April 2019, aku dan seorang Faslap, Ibu Afrida Purnama kembali ke Bener Meriah. Kami berkunjung ke Camat Bandar dan tiga kepala desa yaitu Kepala Desa Sinar Jaya Paya Ringkel, Kepala Desa Mutiara, dan Kepala Desa Pondok Gajah. Di sini proses diskusi dan sosialisasi agak sulit karena Camat dan ketiga kepala desa tersebut meminta waktu untuk diskusi terlebih dahulu dengan aparat desa yang lain. Proses sosialisasi ini memakan waktu dua hari. Tanggal 30 April 2019 kami kembali pulang dengan hasil yang masih menggantung. 

Tiga bulan kemudian, aku kembali berangkat ke Kabupaten Bener Meriah. Aku mendatangi Kecamatan Bandar yang sudah pernah aku datangi. Kali ini aku berangkat dengan seorang kader, Marlina, dan ditemani Faslap PEKKA Afrida Purnama. Namun mereka berdua hanya sebentar menemaniku di Bener Meriah. Setelah sekitar dua bulan, Marlina dan Ibu Afrida kembali pulang. Sementara aku tetap tinggal di sana sampai Oktober 2019. 

Proses pembentukan kelompok Pekka di Kabupaten Bener Meriah banyak mengalami hambatan. Mulai dari kondisi cuaca yang sangat dingin, jarak antara satu desa dengan desa lain berjauhan – meski masih di dalam satu kecamatan. Jalan-jalan di kabupaten ini juga sangat sulit untuk dilalui, berliku dan menanjak. Sore datang sangat cepat. Kabut sudah turun meski waktu masih menunjukkan pukul 15.00 WIB, sehingga jalanan semakin sulit dilalui. Wilayah di Aceh Tengah ini memang terletak di dataran tinggi. 

Hambatan lain yang aku rasakan pada masa awal pembentukan kelompok Pekka di Bener Meriah adalah masyarakatnya, yang merasa kehidupan mereka sudah cukup baik. Pada umumnya, mereka sudah mencapai tingkat pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan anggota Pekka di daerah lain. Mereka juga punya penghasilan yang lumayan bagus. Rata-rata bekerja sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), atau memiliki kebun kopi. Banyak juga yang mempunyai keluarga dan sanak saudara di luar daerah mereka. 

Kehidupan yang sudah baik ini membuat mereka sulit menerima kehadiran kami, terutama ketika sosialisasi Pekka kami lakukan. Alasan yang paling sering mereka kemukakan adalah tidak ada waktu untuk melakukan pertemuan. Mereka juga berpikir untuk apa mengadakan simpan pinjam, mereka dengan mudah bisa mengajukan pinjaman di bank atau koperasi. Tapi, kami tidak putus harapan, kami terus berusaha mencari celah di mana kami bisa masuk. 

Akhirnya kami berhasil setelah aku menetap beberapa lama di Bener Meriah dan mengikuti kebiasaan hidup mereka sehari-hari. Aku berbaur dengan banyak orang di sekitar tempat aku menginap sambil terus menceritakan bagaimana perkembangan Pekka di wilayah lain, dan apa saja yang sudah dilakukan Pekka untuk anggotanya dan masyarakat.

Aku bercerita bahwa banyak anggota Pekka dan masyarakat terbantu dengan kehadiran Pekka. Mereka bisa mengakses program pemerintah tentang perlindungan sosial, ada juga yang mendapatkan buku nikah lewat kegiatan isbat nikah yang diadvokasikan oleh Pekka. Bahkan banyak masyarakat yang terbantu dalam mengurus KK, KTP dan Akta Kelahiran melalui kegiatan Pekka. Mendengar ceritaku, beberapa masyarakat mulai ada tertarik, terutama yang memiliki masalah dengan dengan akses identitas diri. 

Akhirnya pada bulan Agustus, aku dan teman-teman berhasil membentuk satu kelompok. Setelah kelompok terbentuk, aku melakukan penguatan dan pendampingan. Ada tiga kelompok lagi yang berhasil terbentuk di bulan September. Dua kelompok di Kecamatan Bandar yaitu di Desa Sinar Jaya Paya Ringkel dengan nama Kelompok Paya Ringkel, di Desa Mutiara dengan nama Kelompok Mutiara. Satu kelompok terbentuk di Kecamatan Timang Gajah yaitu tepatnya di Desa Sumber Jaya dengan nama kelompok Sumber Jaya. 

Setelah terbentuk tiga kelompok di Kabupaten Bener Meriah, kami mengadakan kegiatan KLIK Pekka di Desa Sumber Jaya. Alhamdulillah acara KLIK ini berjalan lancar. Kemudian, kami kembali membentuk kelompok di tiga desa lagi yaitu Desa Pondok Gajah di Kecamatan Bandar, Desa Bumi Ayu dan Desa Bukit Mulie di Kecamatan Timang Gajah. Kegiatan terus berjalan meski hambatan dan rintangan tetap ada. Namun, semua itu berhasil aku lalui bersama ibu-ibu Pekka Bener Meriah dengan didampingi oleh Faslap. Akhir 2019, kami berhasil mengadakan KLIK Pekka di desa lagi.

 Ketika kami sudah mempersiapkan kegiatan KLIK yang ke-5 di Desa Pondok Gajah pada awal 2020, pandemi Covid-19 melanda sehingga kami harus menghentikan seluruh kegiatan dan rencana yang sudah disiapkan. Sampai saat ini tidak banyak kegiatan yang bisa dilakukan ibu-ibu Pekka di Bener Meriah. Bahkan kegiatan di wilayah Pekka yang lama seperti Kabupaten Bireun juga terhenti. Semoga saja pandemi Covid-19 segera berakhir sehingga kegiatan masyarakat kembali normal dan perekonomian bangsa kita kembali pulih. 

Itulah sepenggal kisah perjalanan hidup yang sudah saya lalui. Di Pekka, aku banyak belajar, dan mengerti akan hak-hak perempuan. Bersama Pekka, aku jadi memahami arti persaudaraan, dan mengerti arti perbedaan. Perbedaan tak harus membuat kita saling bermusuhan, apalagi menghujat dan merasa diri lebih baik. Aku menganggap Pekka sebagai wadah bagiku untuk menuntut ilmu. Bagiku, belajar tak hanya di bangku sekolahan, dan Serikat Pekka merupakan Sekolah Kehidupan.

 

Bagikan Cerita Ini

Cerita Terkait

Leave a Comment