Motivasi dan Berjuang, Senjataku untuk Menghadapi Sulitnya Kehidupan

Jiwa memberontak sudah tertanam dalam diriku sejak kecil. Aku berani melakukan perbuatan nekad bila dipaksa melakukan hal yang tidak aku suka. Mogok sekolah karena tidak suka dengan guru, minggat dari rumah karena dipaksa menikah, adalah contoh dari jiwa memberontak itu. Sikap ini semakin terpupuk setelah aku bergabung dengan Pekka, organisasi yang aku anggap sebagai rumah kedua, oase bagiku ketika menghadapi segala permasalahan hidup.

 

Aku, Khotiri, lahir pada 12 November 1972. Ketika itu di kampung halamanku masih belum terjamah listrik. Penduduk di Dusun Tegal Wangi RT 03/01, sebuah dusun di Desa Wlahar, Kecamatan Larangan, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, menggunakan pelita atau ceplik (kaleng atau botol berisi minyak tanah dan diberi sumbu) ketika gelap datang. Rumah kami dengan rumah tetangga berjauhan. Di sekitar rumah banyak pohon besar sehingga rumah kami terlihat angker. Suasana sangat sepi dan senyap. Hanya jangkrik dan binatang malam yang terdengar suaranya.

Aku adalah anak ketiga dari lima bersaudara. Bapakku bernama Cartam, dan ibuku bernama Tarinah. Aku dan keempat saudaraku tidur dalam satu kamar. Kalau aku susah tidur atau terbangun karena mendengar suara aneh, biasanya aku akan mencubit salah seorang adikku sampai dia menangis dan membuat orang tua kami datang untuk menemani kami. Aku paling takut kalau harus buang air di tengah malam. Di rumah kami tidak ada kamar mandi, sehingga untuk urusan MCK, kami harus ke sumur tetangga yang letaknya sekitar 200 meter dari rumah. 

Pernah suatu ketika, aku keluar rumah pukul 3 dini hari. Aku bertemu seorang anak kecil sedang berjalan. Aku bertanya kepadanya: “Masih gelap kok kelayapan, apa tidak takut?” Namun, anak kecil itu hanya menggeleng dan terus berjalan, untuk kemudian menghilang di pohon besar di belokan jalan. Aku bertanya dalam hati: apakah itu yang namanya tuyul? Aku kembali masuk rumah dan berusaha kembali tidur. Namun, mataku sulit terpejam karena masih teringat dengan anak kecil tadi.

Aku diajarkan ilmu agama sejak kecil oleh orang tuaku. Aku rajin mengaji. Pada masa itu, metode yang digunakan adalah hapalan. Aku dituntut untuk bisa menghapal satu surat sebelum pindah ke surat berikutnya. Aku rajin salat di masjid, termasuk salat subuh. Agar tidak kegelapan, aku membawa oncor bila hendak salat subuh di masjid. Jalanan menuju masjid sangat gelap, kecuali saat padang bulan (bulan bersinar penuh) yang mampu menerangi malam. Bila padang bulan datang, aku dan teman-teman akan bermain petak umpet, gobak sodor, einguring -uring, dan dadar kepinder

Setiap bangun tidur, aku membantu pekerjaan orang tua di rumah, termasuk mengasuh ketiga adikku. Aku ingat betul, bila hendak memandikan adik, kami harus mengantre di sumur tetangga. Aku harus berhati-hari menimba air dengan menggunakan bambu panjang, yang disebut sumur senggot. Air yang aku timba lalu dituang ke dalam tomplak (kayu besar yang tengahnya dilubangi) agar bisa digunakan untuk mandi. Tomplak harus aku isi penuh sebelum aku menggunakannya untuk memandikan adikku.

Tugas lain yang harus aku kerjakan adalah menyapu lantai, mencuci piring, juga menumbuk jagung. Jagung adalah salah satu bahan yang digunakan untuk membuat nasi jagung. Ini adalah menu harian kami. Nasi jagung berlauk garam sudah terasa nikmat sekali.

Bapak bekerja sebagai petani, sedangkan Ibu adalah ibu rumah tangga. Kebutuhan kami sehari-hari amat bergantung kepada Bapak. Ketika aku berusia enam tahun, aku mendaftar sekolah sendiri tanpa didampingi orang tua. Aku diterima. Seragam yang aku kenakan untuk bersekolah adalah lungsuran dari kakakku, dan aku bersekolah tanpa alas kaki. Saat itu aku langsung masuk SD karena tidak ada TK atau sekolah setingkat PAUD di desaku saat itu. Murid di kelas kami berjumlah 30 orang. Bagiku, guru yang mengajar saat itu tegas dan disiplin, dan aku menyukainya. Tetapi aku menyayangkan hukuman yang beliau berikan terhadap murid yang melakukan kesalahan. Beliau akan meminta murid tersebut untuk meletakkan tangannya di meja lalu memukulnya dengan besi yang dilapisi kertas. 

Sampai aku duduk di kelas tiga, hanya ada empat guru dan seorang kepala sekolah di SD tempat aku belajar. Oleh karena itu, guru yang ada mengajar secara bergantian. Guru favoritku adalah Ibu Mardiyah, guru kelas 3 yang berasal dari Klaten. Cara beliau mengajar menarik dan seru. Bu Mardiyah sering sering memberi hadiah kepada murid yang mampu menghapal atau mengerjakan tugas dengan baik. Aku pernah mendapat hadiah karena mampu menghapal 27 dari batas 21 provinsi yang ada di Indonesia. Hadiahnya berupa buah apel. Apel itu lalu aku potong kecil-kecil dan aku bagikan ke semua teman. Itu adalah kali pertama memakan apel. Aku tidak akan pernah melupakan pengalaman itu.

Ketika aku duduk di kelas 5 SD, ada guru baru. Entah apa sebabnya, aku sangat tidak suka, bahkan membenci guru itu. Aku bahkan sempat tidak mau sekolah. Guru itu lalu datang ke rumah bersama beberapa orang temanku, untuk memastikan kondisiku. Aku bersembunyi di lemari penyimpanan barang, tidak mau menemui guru itu. Aku dimarahi orang tua karena sikapku. Akhirnya aku bersedia untuk kembali bersekolah, setelah mendengarkan nasihat mereka.

Semakin aku naik ke kelas yang lebih tinggi, temanku semakin sedikit. Di kelas 6, tinggal 10 orang murid yang masih belajar. Delapan laki-laki dan dua perempuan. Pada masa itu, anak perempuan tidak diharuskan bersekolah oleh para orang tua.

Aku lulus SD pada tahun 1984. Aku tidak bisa melanjutkan sekolah karena orang tuaku hanya mampu membiayai sekolahku sampai SD. Setelah itu aku hanya tinggal di rumah, membantu orang tua menyelesaikan pekerjaan rumah dan mengurus adik-adik.

Kabur dari Rumah

Pada tahun 1985, saat usiaku menginjak 14 tahun, aku dikejutkan oleh pinangan dari seorang laki-laki. Aku tidak pernah diajak bicara perihal pinangan ini. Aku menolak. Aku tidak mau dikawinkan. Aku merasa masih kecil, dan ingin menikmati masa kecilku. Aku menjelaskan alasanku menolaknya dengan baik-baik tapi orangtuaku tetap memaksaku menikah. Masalah jodoh, katanya, bisa dilalui dengan berproses, dan mereka bilang, jangan menjadi penghalang bagi adik-adiknya mendapatkan jodoh, tapi aku bersikeras tidak mau. Karena aku merasa tertekan, akhirnya aku memilih kabur dari rumah.

Aku jadi galau, dan bingung tidak tahu kemana harus mengadu. Sampai entah dari mana datangnya pikiran untuk kabur dari rumah. Tekadku sudah bulat. Aku menunggu sampai rumah sepi. Waktu itu, kira-kira jam 9.00 pagi, orang-orang sibuk bertani, dengan penuh keyakinan saya keluar dari rumah, berjalan sambil membawa kantong kresek berisi pakaian beberapa setel. Aku menemui seorang tetangga secara diam-diam. Dia bersedia membawaku ke Cirebon, dan mencari pekerjaan di sana. bekerja menjadi asisten rumah tangga, mencuci dan mengasuh anak dengan gaji Rp 15 ribu per bulan. Uang hasil jerih payahku bekerja ini aku berikan kepada orang tua untuk meringankan beban ekonomi mereka. Bukan bayaran saja yang aku berikan kepada orang tua, pemberian uang jajan dari majikan selalu aku tabung, aku kumpulkan, lalu aku serahkan pada orang tua karena keluargaku tergolong tidak mampu. Aku bekerja selama kurang lebih 2 tahun.

Sekitar 6 bulan bekerja, bapakku pergi ke Cirebon hendak membujukku untuk menikah. “Saya nggak mau pulang, tunggu 3 tahun kalau mau menikah dengan saya,” begitu pintaku. Lima bulan kemudian, aku mendapat kabar bahwa laki-laki yang akan dijodohkan denganku telah menikah dengan perempuan lain. Hatiku lega setelah mendengar kabar itu dari teman yang juga bekerja di Cirebon. Kami bertemu setelah dia pulang kampung.

Tahun 1987, saya pulang dari Cirebon. Tiga tahun kemudian, orang tua kembali menjodohkanku dengan laki-laki yang tidak aku kenal. Mungkin mereka mengganggap karena aku satu-satunya anak perempuan, takut aku menjadi perawan tua, padahal waktu itu aku baru berusia 16 tahun. Dengan berat aku menerima perjodohan itu, karena aku merasa sudah mulai dewasa dan sudah bekerja, serta tidak mau dianggap sebagai anak durhaka. Padahal, sebenarnya aku sudah memiliki pilihan sendiri. Aku menikah dengan laki-laki yang tidak aku cintai. Karena terpaksa, aku tidak mau melayaninya sebagai istri, meski kami tetap tidur satu ranjang. Aku dorong dia setiap kali dia mendekat. 

Usia pernikahan baru satu bulan, aku tidak tahan menghadapi suami yang tidak aku cintai. Sampai akhirnya aku kembali memutuskan untuk kabur. Kali ini ke Jakarta, menumpang di rumah saudara. Aku kemudian bekerja mengurus tempat indekos anak-anak mahasiswa dan karyawan sambil ikut kursus menjahit di Yuliana Jaya, Grogol, Jakarta Barat. Setahun kemudian aku bekerja di PT Dayup Indo, sebuah pabrik sepatu di Jakarta Utara, selama 7 bulan. Suami tidak pernah mencari kabarku selama di Jakarta. Aku sudah berusaha menerima laki-laki itu, selayaknya seorang istri yang menerima suaminya. Orang tua bahkan saudara sering memintaku untuk berkumpul bersama suami, tapi tetap aku menolaknya. Setahun lebih di Jakarta, aku memutuskan pulang kampung, sedangkan suami sudah pergi dan tinggal di rumah orang tuanya. Hatiku tetap menolak kehadirannya. Hanya benci yang aku rasakan. Pernikahanku memang sulit untuk dipertahankan. Kami akhirnya memutuskan untuk berpisah tiga tahun kemudian, di tahun 1991.

 

Bahagia dengan Suami Pilihan Sendiri

Satu tahun setelah bercerai, aku menikah dengan laki-laki yang dulu aku cintai. Hidupku kini amat bahagia. Banyak hal yang kami lewati bersama, suka dan duka maupun pahit dan manis rumah tangga. Kami masih tinggal bersama dengan orang tuaku setelah menikah. Suamiku bekerja di Koperasi Veteran Indonesia.  Alhamdulillah, gaji suami cukup untuk kehidupan kami sehari-hari. Kami bahkan bisa membantu membiayai sekolah adik-adikku. Bahkan, kami masih bisa menyisihkan pendapatan suami untuk menabung. Kami berniat membangun rumah kami sendiri dengan uang tabungan itu. Tahun 1995, kami mendapat anugerah bayi laki-laki. Lengkap rasanya hidupku.

Kami pindah ke rumah sendiri ketika anak kami berusia empat tahun. Aku dan suami merasa puas sekali. Akhirnya kami bisa memiliki rumah sendiri, dan bisa memulai hidup mandiri. Aku memutuskan untuk berdagang kecil-kecilan dengan menjual perhiasan milikku sebagai modal. Dari penjualan perhiasan itu, aku mendapat Rp 175 ribu. Dari jumlah tersebut, Rp 28 ribu aku gunakan untuk menjual es dan jajanan anak sebagai modal awal berjualan di rumah.

Prinsip hidup prihatin, mengelola sesuatu dengan baik, tidak boros, bisa memanfaatkan waktu sebaik mungkin, yang diajarkan oleh orang tuaku masih aku terapkan. Untuk membeli barang dagangan misalnya, aku memilih berjalan kaki sejauh 2 km untuk sampai ke jalan raya, untuk kemudian naik angkot ke Pasar Margasari. Aku lebih memilih cara yang melelahkan ini ketimbang naik ojek, karena biayanya mahal sekali. Perjalanan akan terasa lebih berat ketika pulang berbelanja, karena setelah turun dari angkot aku harus membawa barang belanjaan yang berat. Aku harus berhenti beberapa kali untuk sekadar istirahat.

Usahaku untuk berjualan di rumah berjalan dengan baik, dan alhamdulillah, aku bisa menabung dari usaha ini. Setelah berapa lama, aku memutuskan untuk membeli sepeda. Dengan begitu, aku tidak perlu lagi berjalan kaki dan naik angkot. Naik sepeda cukup memadai untuk mencapai Pasar Margasari yang jaraknya kurang lebih 5 km dari rumahku.

Kami mendapat momongan kedua pada tahun 2005. Seiring berjalannya waktu, warung di rumahku semakin ramai pembeli. Aku semakin kerepotan karena harus membagi waktu dan tenaga untuk mengurus warung dan keluarga. Dengan berbagai pertimbangan, terutama adalah karena kondisi Kesehatan suamiku mengharuskannya keluar dari pekerjaan, dan ini membuat kami bisa mengurus warung bersama. Kami berbagi tugas dan peran antara warung dengan keluarga. Kami benar-benar melakoninya dengan penuh rasa syukur. Kami bisa menyekolahkan anak pertama kami hingga lulus SMA di tahun 2014, dan anak kedua kami yang duduk di kelas 3 SD di tahun yang sama.

Di tahun 2014, suamiku mengalami penurunan penglihatan. Perannya untuk mengantarku ke pasar digantikan oleh anak laki-laki. Aku dan suami sebenarnya ingin mengirimnya kuliah di Tegal, karena tidak terlalu jauh dari desa tempat kami tinggal. Tetapi dia menolak. Dia tidak mau membebani kami dengan biaya kuliahnya. Dia bertekad untuk kuliah dengan uang sendiri. Anakku kemudian memutuskan untuk bekerja di Jakarta dengan tujuan kuliah sambil bekerja.

Mendapat Kekuatan dari Pekka

Tahun 2014 adalah tahun yang banyak memberiku pembelajaran dan pengalaman. Di tahun ini, suamiku mengalami penurunan kondisi kesehatan. Lalu anak pertamaku merantau ke Jakarta. Aku kembali berbelanja ke pasar sendiri seperti awal memulai usahaku membuka warung dulu. 

Aku seperti menemukan oase bagi tantangan hidup ini ketika berkenalan dengan Pekka. Aku seperti menemukan rumah kedua, sekadar untuk berbagi dan melihat bahwa banyak perempuan yang mengalami permasalahan yang lebih berat dariku.

Awalnya, di tahun 2013, aku mendapat undangan sosialisasi Pekka dari Bu Rotiah, pemilik rumah yang akan digunakan sebagai tempat pertemuan. Aku menghadiri pertemuan itu, tetapi aku tidak tertarik. Jadi, aku tidak hadir lagi di pertemuan selanjutnya. 

Beberapa bulan kemudian, aku kembali mendapat informasi mengenai pelatihan yang diadakan Pekka. Informasi itu juga menyebutkan, bahwa akan ada banyak pelatihan seperti pelatihan hukum, kesehatan, pendidikan, dan masih banyak lagi. Penasaran, aku mendatangi salah seorang anggota Pekka untuk memastikan kebenaran informasi tersebut. Ternyata memang benar. Dia juga menjelaskan, dengan bergabung bersama Pekka, aku bisa mendapat banyak pengetahuan melalui pertemuan kelompok dan bisa belajar dari para kader. 

Penjelasan dari anggota Pekka ini membuatku tertarik dengan berbagai kegiatan Pekka. Didorong keinginan kuat untuk menjadi lebih pintar dan rasa akan kurangnya pengetahuan serta kemampuan yang aku miliki, aku meminta izin dari suamiku untuk menjadi anggota Pekka.

Kemudian aku menghubungi Herlina, pengurus kelompok yang ada di desaku. Beberapa hari kemudian, Herlina dan seorang temannya datang ke rumah dan membawa 25 undangan sosialisasi Pekka. Mereka meminta saya untuk membagikannya kepada perempuan di sekitar rumah yang masuk kriteria Pekka.

Bertempat di rumah Dariah, 41 orang hadir dalam pertemuan yang diadakan pada 16 Juni 2014, pukul 13 WIB. Agenda utama dari pertemuan ini adalah sosialisasi tentang program dan tujuan kegiatan Pekka yang disampaikan oleh Fasilitator Lapang, Mbak Anti dan Mbak Dian. Dari pemaparan yang disampaikan dalam pertemuan itu, wawasan dan pemahamanku mengenai program dan tujuan Pekka semakin terbuka. Dalam pertemuan itu juga disepakati pembentukan dua kelompok. Satu kelompok khusus anggota yang sesuai dengan kriteria Pekka, bernama kelompok Mutiara Berkah dengan anggota 13 orang. Satu kelompok lagi bernama Candi Siliwangi yang beranggotakan 28 perempuan yang tidak termasuk kategori Pekka. Kemudian kepengurusan dan jadwal pertemuan ditetapkan, dan disepakati setiap pertemuan akan diadakan di rumah anggota dan pengurus secara bergilir.

Atas motivasi dan arahan kader, kami mulai berswadaya dengan menabung. Ada juga simpanan pokok yang disepakati, yakni sebesar Rp 5.000 rupiah per anggota yang dibayarkan satu kali selama menjadi anggota, serta simpanan wajib yang dibayar setiap pertemuan sebesar Rp 2.500 untuk setiap anggota. Selain itu, ada simpanan sukarela yang besarnya tidak ditentukan dan bisa diambil kapan pun. 

Kelompok kami semakin kuat setelah beberapa bulan berjalan. Maka diadakanlah Pelatihan Visi Misi dan Motivasi Berkelompok dengan tujuan penguatan dan pengarahan kelompok Pekka, agar jelas terlihat seperti apa kelompok Pekka kami di masa depan dan bagaimana keterlibatan kelompok dalam Serikat Pekka.

Pelatihan ini dilaksanakan selama dua hari. Dari sini, aku mulai merasa benar-benar tertarik dengan kegiatan Pekka. Aku jadi benar-benar memahami peran dan kondisi perempuan kepala keluarga, khususnya para janda. Posisi mereka di masyarakat kurang dianggap dan terpinggirkan. Apalagi bila kita bicara tentang janda miskin. Aku sama sekali tidak menyangka, bahwa Pekka ada di berbagai provinsi di Indonesia, sehingga sangat membantu para perempuan yang berpikiran maju. Aku pun tambah bersemangat dalam menyuarakan Pekka kepada siapapu, terutama pada aparat pemerintah yang sering kali meremehkan. 

 

Pekka Membuatku Semakin Berdaya

Pertemuan dan pelatihan pertama yang aku ikuti membuatku semakin aktif dan terlibat mewakili kelompok di rapat serikat tingkat Kabupaten Brebes. Rapat serikat ini membuatku semakin memahami perkembangan serikat di tingkat kabupaten. Selain itu, aku semakin punya banyak teman, terutama mereka yang berasal dari luar desa yang sebelumnya tidak pernah aku kenal. 

Ketertarikanku pada Pekka menguat setelah mengetahui keberadaan koperasi Pekka yang ada di Kabupaten Brebes. Kelompok kami pun memutuskan untuk bergabung dengan koperasi. Aku kemudian diangkat menjadi kader setelah mengikuti Pelatihan Hukum dan Manajemen Pembukuan di akhir 2014, dan mulai dilibatkan di kegiatan tingkat kabupaten atau serikat, seperti pendampingan kelompok. Aku juga mulai diajak fasilitator lapang untuk melakukan pengembangan wilayah di Kabupaten Tegal.

Tahun 2014, aku mengikuti Pelatihan Community Organizer (CO, atau Kepemimpinan Masyarakat) di Kabupaten Tegal selama tiga hari. Pelatihan ini memberiku banyak ilmu, terutama mengenai cara-cara berorganisasi yang baik dan sehat, dengan difasilitasi oleh Mbak Anti dan Mbak Dian. Materi yang paling bermanfaat bagiku adalah cara melakukan sosialisasi dengan baik dan benar, seperti bagaimana ketika kita masuk ke sebuah wilayah baru dan menyampaikan maksud dan tujuan dari kedatangan kita sebagai kader Pekka kepada perangkat desa atau orang yang berpengaruh di wilayah tersebut. Hal ini harus kita terapkan sebelum kita menyampaikan program Pekka secara langsung di dalam sebuah forum di mana ibu-ibu sudah diundang untuk berkumpul. Materi ini mudah untuk dipelajari, namun sulit untuk diterapkan ketika kita sudah turun ke lapangan. Maka dari itu, aku merasa materi ini adalah yang paling penting untuk dipelajari oleh kader Pekka. Kami akan kebingungan di lapangan nanti tanpa mempelajari materi ini. Dalam pelatihan ini, kami juga melakukan praktik sebagai simulasi. 

Aku diikutsertakan dalam Pelatihan Pembukuan Koperasi pada tahun 2015. Pelatihan ini memberiku banyak ilmu tentang tata kelola koperasi dan administrasi pembukuan, juga cara-cara administrasi pembukuan, mengisi buku kas, rekap simpanan, rekap pinjaman, neraca aktiva dan pasiva, dan lain-lain. Aku kurang cepat bisa memahami materi pelatihan kali ini, mungkin karena kemampuanku untuk menyerap pengetahuan baru rendah, juga faktor usia. Setelah mengikuti pelatihan ini, aku terlibat dalam pembenahan koperasi Serikat Pekka Brebes untuk persiapan Rapat Anggota Tahunan 2015. Aku benar-benar kewalahan melakukan hal ini. Aku bersyukur faslap bersedia membantu sehingga Rapat Anggota Tahunan 2014 bisa dilakukan. Aku ikut bergembira melihat kebahagian para anggota koperasi, terutama ketika mendapat Sisa Hasil Usaha (SHU). Segala penat dan kebingungan sewaktu membenahi keuangan koperasi hilang seketika.

Perubahan demi perubahan terjadi dalam diriku, seiring keaktifanku di kegiatan-kegiatan Pekka. Aku menjadi percaya diri ketika berbicara di hadapan orang banyak, baik itu dalam sosialisasi Pekka maupun pendampingan, serta ketika berbicara untuk menyampaikan tujuan dari kunjungan Pekka ketika datang ke kanator dinas pemerintahan dari tingkat desa hingga kabupaten. Semua itu aku dapatkan melalui proses panjang, mulai dari keterlibatanku dalam pelatihan dari faslap hingga peningkatan kapasitas baik di tingkat kelompok hingga nasional. Aku juga semakin mampu membagi waktu antara kegiatan Pekka dengan keluarga. Aku sanggup melakukannya berkat dukungan penuh dari suami, sehingga aku semakin termotivasi dalam membantu dan memperjuangkan hak perempuan, khususnya perempuan kepala keluarga di Kabupaten Brebes.

 

Motivasi dan Ikhtiar

Di tengah aktivitas-aktivitasku bersama Pekka yang semakin banyak, kondisi kesehatan suamiku menurun. Penglihatannya semakin lama semakin mengabur. Aku panik melihat keadaan suamiku, dan berpikir untuk lebih banyak perhatian kepada keluarga.

Suamiku berobat ke klinik khusus mata, dan mulai menjalani terapi dua kali dalam satu minggu selama tiga bulan. Namun, hasil yang kami inginkan tidak tercapai, meski seluruh proses terapi sudah kami jalankan. Seorang teman memberi saran agar suamiku menjalani terapi pijat refleksi di Slawi, Kabupaten Tegal. Aku pikir saran itu masuk akal, dan sebagai bentuk ikhtiar kami menjalani pijat refleksi itu rutin selama dua bulan.

Kondisi kesehatan suamiku membuatku harus menjalani peran ganda. Aku harus mengurusi suami yang sakit, mengurus anak, sekaligus juga mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, usaha saya pada saat pandemi sedikit berkurang, dan sekarang makin banyak pesaingnya. Aku juga masih menjalani komitmenku pada Pekka, meski tidak bisa aktif seperti sebelumnya. Namun, aku tetap aktif di kelompok karena para anggota masih mengandalkanku. Pekka memberiku kekuatan dan motivasi untuk selalu sabar dan tetap bangkit dalam kondisi berat. Meski terkadang aku menangis dalam hati dan bertanya, “Mengapa hidupku seperti ini, ya Allah?” Tetapi wawasan dan pengetahuan yang aku dapatkan dari Pekka membuatku percaya diri dan berkata: “aku pasti bisa!”

Bendahara Serikat Pekka Brebes sudah lama tidak aktif. Kabarnya, dia ada di Jakarta. Keadaan ini mendorong diadakannya musyawarah luar biasa di tahun 2016, dan memutuskan penonaktifan bendahara yang lama. Tiba-tiba faslap Mbak Dian dan Mbak Yanti datang menemuiku dan memintaku untuk menggantikan posisi bendahara serikat. Menurut mereka, keputusan ini diambil berdasarkan usulan pengurus serikat dan kader lain. Mereka menganggapku bisa mengemban amanah tersebut. 

Aku mempertimbangkan betul-betul permintaan dari Mbak Dian dan Mbak Yanti. Aku juga bertanya pada teman-temanku tentang penunjukan ini, dan semuanya mendorongku untuk menerimanya. Akhirnya aku menerima tawaran tersebut. Bekal dari pelatihan pembukuan yang diberikan Mbak Yanti, yang pada saat itu menjadi PJ Keuangan Serikat Pekka Jawa Tengah, juga membantu bendahara sebelumnya membuatku percaya diri untuk memegang amanah ini.

Aku diikutsertakan dalam Pelatihan Mentor tingkat nasional di Hotel Santika pada tahun 2016. Pelatihan ini berlangsung selama satu pekan. Ini adalah pengalaman pertamaku menginap di hotel. Aku sering merasa kebingungan dan tidak mampu menyerap materi yang terasa sangat berat. Banyaknya teman, yang datang dari 18 provinsi di Indonesia membuatku berhasil mengatasi keraguanku dan menikmati proses pelatihan. Aku berusaha semaksimal mungkin untuk menyerap seluruh materi yang diberikan dalam pelatihan.

Setelah pulang dari pelatihan di Jakarta tahun 2016, diadakan rapat koordinasi para kader untuk membahas sosialisasi mengenai Akademi Paradigta di Center Pekka Brebes, yang diikuti 15 kader Pekka. Materi diskusi dalam rakor ini adalah perekrutan akademia, pertemuan, dan surat undangan. Kami datangi satu per satu calon akademia meski mereka tinggal di pedukuhan yang jauh dari tempat tinggal kami.

Hambatan demi hambatan kami temui ketika mendatangi calon akademia. Ada yang tidak mau susah-susah berpikir, bahkan,  di antara mereka ada yang bilang, “Nggak mau bikin pusing-pusing, enakan jadi kuli.” Ada juga yang mengatakan bahwa mereka lebih baik bekerja ketimbang sekolah. Ada yang sudah hampir berangkat, namun dilarang pergi oleh suami. Sebagian masyarakat bahkan ada yang mengatakan: “Kalau ikut Pekka sering pergi pelatihan, sehingga dianggap negatif.” Hal ini terjadi karena masyarakat yang menjadi target Pekka adalah mereka yang jarang sekali keluar dari dusun tempat tinggal mereka, sehingga tidak memahami perkembangan di luar lingkungan tempat tinggalnya. Dari 30 calon akademia, hanya 24 peserta yang berhasil kami rekrut sebagai akademia, dan mereka berhasil ikut sampai wisuda. 

Meski demikian, pemerintah desa sangat mendukung Pekka, karena tujuannya amat positif. Para suami yang istrinya bersekolah juga mendukung istrinya dalam mencari ilmu. Setelah diadakan Akademi Paradigta, Pekka menjadi semakin maju dan memberi pengetahuan baru kepada ibu-ibu yang mengikutinya. Mereka sudah berani mencalonkan diri menjadi anggota DPRD tingkat  kabupaten. Ada perubahan dan semangat untuk lebih aktif dan berorientasi ke depan bagi perempuan dalam membangun desanya. Bahkan, sebagian dari mereka terpilih menjadi ketua RT di desanya. Akademi Paradigta juga semakin dikenal, dan kesan negatif yang sebelumnya dilekatkan oleh masyarakat perlahan memudar seperti sering bepergian mengikuti kegiatan Pekka berhari-hari dan harus menginap, atau keluar rumah menghadiri rapat mulai pagi sampai malam. Namun, manfaat dari pendidikan Akademi Paradigta betul-betul dirasakan, seperti mengetahui potensi desa dan terlibat dalam rapat desa. Beberapa akademia banyak terlibat di Musrenbang desa, musyawarah desa, bahkan ada alumni Paradigta menjadi kader Posyandu. Tahun 2017, Desa mengalokasikan Anggaran Desa untuk Akademi Paradigta dan kegiatan pembuatan minyak kelapa bagi ibu-ibu Pekka. Ini memberi dampak yang baik bagi kegiatan Pekka. Tahun 2021 Pekka mendapatkan lagi anggaran Desa sebesar Rp 10 juta untuk mendukung kegiatan Pekka yang akan dipakai untuk pembelian alat prasmanan dan disewakan kepada masyarakat yang membutuhkan. Hasil sewa tersebut dapat digunakan untuk membiayai kegiatan Pekka.  

Aku berharap, Pekka semakin bertambah baik dan maju. Pada saat pandemi, hanya kegiatan koperasi Pekka yang berjalan. Sedangkan pertemuan kelompok banyak yang tidak aktif. Kendalanya, di samping tidak ada pendamping, juga kadernya sangat terbatas. Harapannya ada kader-kader yang lebih muda untuk ikut di Pekka, tapi mereka kurang merespon, karena mereka sudah sibuk dengan aktifitas lain. Dalam pertemuan kelompok, diusahakan untuk memerkuat organisasi, salah satunya melalui arisan, namun, upaya ini tidak berjalan mulus, sepertinya metode ini kurang cocok bagi anggota, mungkin karena belum ada aturan yang lebih mengikat para anggota. 

Aku ingin bisa terus beraktivitas di Pekka, mengembangkan Pekka dan masyarakat di sekitar lokasi Pekka. Sulitnya mencari ibu-ibu yang mau bergabung menjadi tantangan yang harus aku taklukan. Salah satu cara untuk mengatasinya adalah dengan memberi kesempatan bagi generasi yang lebih muda agar Pekka semakin berkembang di desa dan kabupaten tempat aku tinggal.

Sebagai pencari nafkah keluarga, aku berusaha sekuat mungkin peran ini sambil melayani suami sebab kondisi mata suami masih belum membaik, sudah berobat ke mana-mana. Anak pertama sudah menyelesaikan studi di STIMIK GLOBAL, Tangerang, Banten. Saat ini ia sudah bekerja di perusahaan plastik di Tangerang. Sebulan lalu, dia menikah dan tinggal di kediaman sang istri di Serang, Banten. Sedangkan, anakku yang kedua, perempuan, masih duduk di kelas XI SMAN Margasari, Tegal. 

Aku terus berusaha agar kelompok Pekka di desa semakin kuat, dapat menambah pengetahuan, meningkatkan wawasan para anggota. Jangan sampai kelompok Pekka di desa ini bubar. Saat ini di desaku terdapat 15 kelompok. Dari sejumlah ini, hanya 5 kelompok yang tidak aktif. Ke depan, kader Pekka akan mengaktifkan lagi kelompok yang sebelumnya sudah tidak aktif dan berusaha supaya ada pemimpin-pemimpin baru yang akan menjalankan roda organisasi. 

 

Bagikan Cerita Ini

Cerita Terkait

Leave a Comment