Mototabian, Mototompiaan Bo Mototanoban

(Saling Mengasihi, Menghargai, dan Mengingatkan)

 

Kemandirian adalah hal yang tertanam dalam diriku sejak kecil. Di usia yang masih belia, aku sudah membantu Ibu menjajakan panada buatannya. Sejak kecil, aku dan adikku telah dididik untuk rajin bekerja, tidak malu dan menahan gengsi. Apapun pekerjaannya, asal halal, kami akan lakukan dengan sepenuh hati.

 

Orang tuaku menyambut kelahiranku pada Oktober 1983 sebagai anak pertama mereka. Aku lahir di sebuah desa di Kecamatan Passi Barat, Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Kebahagiaan pasangan yang sangat sederhana ini: seorang buruh bangunan dan penjual panada, lengkap sudah. Kebahagiaan mereka bertambah tujuh tahun kemudian, ketika adik lelakiku lahir.

Nurul Hatim Ginoga. Namaku ini adalah pemberian kakekku, yang berarti terang, bercahaya. Aku adalah cucu kesayangannya. Mungkin karena aku merupakan cucu pertama dari istri ketiganya. Aku masih ingat betul. Begitu aku mulai bersekolah di SDN 2 Otam, Kakek selalu menyisihkan makanan untuk aku santap sepulang sekolah. “Agar kamu tidak kelaparan,” kata beliau.

Sama seperti anak-anak lain, aku bermain dengan teman-temanku setelah selesai berjualan kue. Teman akrabku bernama Yayusri Mokodompit. Kami sering bermain masak-masakan. Beberapa kali, tanpa sepengetahuan ibuku, aku mengambil bedak dan lipstick miliknya, dan aku poleskan ke wajah temanku itu. Sejak kecil, aku bercita-cita menjadi penata rias yang handal dan terkenal.

Aku masuk SMP PGRI Otam pada tahun 1995. Jarak sekolah dengan rumah tidak jauh. Aku bisa berjalan kaki setiap hari. Di sekolah, aku sangat menyukai mata pelajaran Bahasa Indonesia. Nilaiku di sekolah sangat baik. Tapi sayang, aku terpaksa berhenti bersekolah saat kelas 2 SMP. Aku tidak bisa menyelesaikan sekolahku karena tidak ada biaya.

Di sekolah, jika ada siswa yang belum membayar uang bayaran sekolah (SPP), mereka akan disuruh berbaris oleh kepala sekolah, yang kala itu dijabat oleh Drs RS Hamim. Kemudian dia memukuli betis kami dengan sebilah bambu, dan menyuruh kami pulang untuk meminta SPP. Ayahku selalu marah bila aku memintanya. Keadaan ini membuat semangatku untuk bersekolah tidak ada lagi. Aku berhenti, karena tidak ada dorongan dari orangtuaku untuk melanjutkan pendidikan.

 

Merantau di Usia Muda

Untuk kali pertama, aku tinggal jauh dari orang tua. Saat itu, di tahun 1998, aku dan lima orang lain dari desaku diajak Pak Waldus Hangkemona, salah seorang pegawai Dinas Sosial untuk mengikuti pelatihan tata rias. Aku mengenal Pak Waldus karena istri beliau sekampung dengan kami. Pelatihan ini berlangsung selama satu tahun, dan kami berenam harus tinggal di asrama di Bitung. Aku bersedia ikut karena sejak kecil aku ingin sekali menjadi perias.

Aku pun tinggal di asrama yang ada di PSTK (Panti Sosial Tunas Harapan) Bitung. Sebetulnya, pelatihan ini diperuntukkan bagi para PSK (Pekerja Seks Komersial) yang pada saat itu banyak mendiami tempat hiburan di Kota Bitung. Namun, karena tidak ada seorang pun dari mereka yang bersedia mengikuti kegiatan tersebut, akhirnya Dinas Sosial yang ada di daerah Sulawesi Utara mengutus peserta dari wilayah masing-masing, antara lain  dari  Sangihe, Talaud, Tondano, Minahasa, Gorontalo dan Bolaang Mongondow. Jumlah peserta ada 30 orang. Aku adalah peserta termuda saat itu. Semua kebutuhan kami selama setahun difasilitasi oleh pihak panti.

Aku sering merasa kangen dengan orang tua. Lama kelamaan aku mulai betah. Instruktur dan kepala panti sangat baik dan menganggap kami seperti anak mereka sendiri. Kami tidak hanya mendapat pelatihan tata rias, melainkan juga gemblengan untuk hidup lebih disiplin dan mandiri.

Tahun 1999 pelatihan selesai. Aku lulus dengan nilai yang sangat bagus. Kami, para peserta pelatihan, lalu pulang ke daerah masing-masing. Sepulang kursus, orang-orang di kampungku datang untuk sekadar mengeriting dan menggunting rambut. Untuk jasa itu, mereka membayar Rp 2.500,00 sampai Rp 5.000,00 per orang.

Di penghujung tahun 2000, aku bekerja di sebuah toko pakaian yang ada di Kotamobagu, yang berjarak sekitar 50 km dari tempat tinggalku. Aku bekerja dari pagi hingga sore, dengan biaya transportasi ditanggung pemilik toko. Gajiku pun terbilang lumayan besar, bisa untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sebagian dari uang itu aku berikan kepada ibuku. Namun, aku hanya bertahan tiga tahun. Aku memutuskan berhenti bekerja di toko itu karena bosan. Aku ingin bekerja di luar daerah untuk mencari suasana dan pengalaman baru.

Ira, seorang sepupu, mengajakku untuk bekerja di rumah makan miliknya yang berada di Pasar Ternate pada tahun 2005. Aku tergoda oleh iming-iming gaji besar yang dia janjikan. Namun kenyataan tak seindah janji yang dia ucapkan. Di Ternate, aku tinggal bersama mereka: sepupuku, suami dan anaknya yang berumur 2 tahun di sebuah kamar berukuran 3 x 5 meter. Aku harus mulai bekerja pada pukul 4 subuh, dan baru selesai tengah malam. Tidak hanya itu, aku juga harus mengurus anak Ira yang masih balita.

Sebulan lebih aku bekerja, rasanya sudah tak tahan dengan keadaan seperti itu. Aku pun lari dari rumah mereka dan ikut temanku, Yati. Kami bekerja di sebuah rumah makan padang dan menumpang tinggal di rumah saudara Yati di Kotabaru. Ira tahu keberadaanku. Kami sempat beberapa kali bertemu,  namun dia bersikap tak acuh.  Dia seakan tidak mengenaliku. Biarlah, mungkin dia marah denganku.

 

Mengakhiri Masa Lajang

Kira-kira setahun lebih bekerja di Ternate, aku bertemu Irwan Upara. Lelaki asal Kepulauan Sula, Maluku Utara. Sehari-hari ia berjualan ikan di Pasar Ternate. Dia sangat baik. Dan kami saling menyukai. Dengan segala pertimbangan, kami pun menikah di KUA Tanah Tinggi pada April 2006, disaksikan ibuku dan wali hakim. Ayahku tidak datang. Selain karena harga tiket yang mahal, juga karena saat itu ayahku sedang tidak sehat.

Aku dan suami tinggal di rumah kontrakan di Kampung Makasar. Baru enam bulan tinggal di situ, kami memutuskan pulang ke tempat kelahiranku di Desa Otam. Suamiku mulai bekerja sebagai petani dengan menggarap lahan orang tuaku. Dia menanam sayuran, cabe, ubi, pisang dan semua hasilnya  dijual di pasar.

Setahun kemudian, di pertengahan tahun 2007, suamiku diajak temannya untuk bekerja di koperasi simpan-pinjam dengan gaji yang cukup. Lalu, pada Maret 2008, putri pertama kami lahir. Rumah tangga kami berjalan dengan baik. Jika ada masalah bisa kami selesaikan dengan kepala dingin.

Saat anakku berumur tujuh bulan, suamiku memutuskan untuk kembali ke Ternate. Dia ingin mengubah nasib kami agar menjadi lebih baik. Dua bulan setelah dia pergi, aku pun menyusul suamiku dengan membawa serta anakku, yang saat itu berumur 9 bulan. Kembali kami mengontrak rumah di Kampung Makasar.

Di awal tahun 2010, atau dua bulan setelah aku datang di Ternate, Kelurahan Kampung Makasar mendapat musibah. Kebakaran melalap sejumlah rumah, termasuk kontrakan kami. Beruntung semua barang kami masih bisa diselamatkan. Kami kemudian mengungsi di tempat sepupuku yang bernama Muslih di Kelurahan Toloko selama dua bulan. Kemudian kami pindah mengontrak rumah di daerah Santiong.

 

Kekerasan demi Kekerasan Aku Alami

Mulai di titik ini, perangai buruk suamiku mulai terlihat. Dia sering mabuk, kasar dan secara terang-terangan berselingkuh. Dia selalu mencaci maki diriku. Kata-kata makian seperti anjing, bodoh, payah, sering dia tujukan kepadaku. Wajahku pun dibuat babak belur olehnya.

Pemilik kontrakan merasa kasihan melihat penderitaanku, lalu menyarankan untuk bekerja. “Bekerjalah, agar tidak diinjak-injak suami,” kata beliau. Pemilik rumah kontrakanku ini bekerja sebagai pengelola Ternate Mall. Dia lalu memperkenalkanku kepada manajer sebuah restoran yang berada di dalam Ternate Mall. Aku diterima bekerja tanpa syarat, karena dia juga orang Manado.

Seminggu bekerja, ibuku datang. Tidak sekalipun aku menceritakan masalah rumah tanggaku kepada Ibu selama beliau berada Ternate. Aku tidak ingin membuatnya khawatir, terlebih ayahku sudah sering jatuh sakit. Tiga hari kemudian ibuku pulang dengan membawa putriku. Aku yang meminta ibuku untuk membawanya agar aku bisa fokus bekerja. Aku belikan mereka tiket untuk pulang ke kampung orang tuaku.

Dua bulan setelah aku bekerja, suamiku mengajakku pindah ke sebuah rumah kontrakan di Kampung Makasar. Wilayah itu sudah selesai dibangun kembali pasca kebakaran. Suamiku beralasan agar lebih dekat dengan pasar. Namun, kelakuan buruk suamiku semakin menjadi. Dia benar-benar tidak menganggapku. Dia habiskan semua uang simpanan kami untuk membiayai sekolah adiknya dan kebutuhan orang tuanya. Tangannya akan melayang ke wajahku bila aku memprotesnya.

Setelah delapan bulan bekerja di restoran, aku pulang ke rumah orang tuaku. Aku pulang dengan alasan kangen dengan anakku. Aku tetap bungkam, tidak menceritakan masalahku. Saat itu ayahku sedang sakit parah. Aku tetap tinggal di rumah orang tua, hingga pada tanggal 25 Mei 2011, ayahku meninggal dunia karena penyakit paru-paru yang dideritanya selama hampir lima tahun. Aku sedih sekali. Terlebih melihat ibuku yang kehilangan tempat bersandar dan tulang punggungnya. Beruntung, saat itu adikku telah bekerja di sebuah toko di Kotamobagu.

Aku kembali ke Ternate dengan membawa serta anakku di akhir tahun itu. Aku berharap suamiku akan berubah. Tapi ternyata tidak. Suamiku semakin menjadi-jadi. Dia secara terang-terangan berselingkuh, bahkan membiayai kebutuhan wanita itu.  Jika aku tegur, dia akan berkata bahwa aku bisanya cuma makan dan tidur, jadi tidak usah protes.

Pernah aku mencoba untuk menelepon wanita selingkuhannya dan meminta agar dia berhenti mendekati dan meminta uang pada suamiku. Tapi wanita itu malah mengadu kepada suamiku saat dia masih bekerja di pasar. Mendengar pengaduan itu, suamiku pulang dan tanpa basa-basi langsung memukul dan mengancamku akan melaporkan ke polisi, karena selingkuhannya adalah wanita berpendidikan dan memiliki saudara yang bekerja sebagai polisi. Ia terus-menerus memojokkan aku.

Anakku selalu menangis tiap kali menyaksikan perbuatan ayahnya sambil berusaha menutupi bagian wajah dan kepalaku yang selalu menjadi sasaran tangannya. Suamiku tidak ambil peduli. Tiap melihat kejadian itu anakku selalu berkata, “Marijo mo pulang pa nenek” (Ayo kita pulang ke rumah Nenek). Pastilah hatinya terluka melihat perlakuan ayahnya.

Setiap suami memukuliku, tetangga sekitar kontrakan mendengar keributan kami. Mereka menyarankan agar aku berpisah saja dengan suamiku karena berulang kali mereka menyaksikan langsung pertengkaran kami dan segala sikap kasarnya padaku. Begitu pun dengan tabiatnya yang suka gonta-ganti pasangan, terlebih jika aku pulang ke kampung. Bila ada yang menegur perbuatannya, dengan santai ia menjawab, “salah salah haus disini kong mo pi minum di Mongondow” (haus di Ternate tidak mungkin harus minum di Mongondow).

Meski sakit hati, aku memilih bertahan. Aku merasa nanti tidak akan sanggup menghidupi anakku seorang diri dan aku tidak mau anakku tumbuh tanpa kasih sayang seorang ayah. Saat kalut, seringkali terlintas di pikiranku untuk meracuni suamiku. Aku ingin membunuhnya. Untung semua itu tidak aku lakukan. Perlakuan suamiku terhadap anakku sama kasarnya. Dia tidak pernah menanggung hidup kami berdua.

 

Pulang dan Kembali Bangkit

Kesabaran yang dimiliki manusia ada batasnya. Tahun 2013, aku pulang ke rumah ibuku dan menceritakan semua masalah yang aku alami. Ibuku menangis, kaget dan tidak pernah menyangka jika selama ini aku mengalami semua itu. Beliau mengira selama ini rumah tanggaku baik -baik saja.

Aku kemudian bekerja di perusahaan roti yang ada di Molibagu, Kabupaten Bolaang Mongondow  Selatan. Dua tahun aku bekerja, dan selama itu pula suami tidak pernah datang untuk menengokku, juga anaknya. Apalagi uang, tidak pernah ada yang dia kirimkan untuk menafkahi kami.

Tahun  2015, aku memantapkan hati untuk mengajukan gugatan cerai di Pengadilan Agama  Kotamobagu. Aku tidak perlu lama menunggu keputusan dari Pengadilan Agama Kotamobagu. Aku resmi berstatus janda dengan satu anak.

Tak lama setelah putusan pengadilan keluar, aku bertemu dengan laki-laki yang berasal dari desa tetangga. Usianya  40 tahun saat itu. Dia sayang dengan anakku dan sangat baik pada keluargaku. Kami pun memutuskan menikah pada September 2015.

Upacara pernikahan dilangsungkan di rumah ibuku. Seluruh keluargaku datang untuk menyaksikan pernikahan kami. Pestanya sederhana, namun kehadiran seluruh keluargaku membuat lengkap kebahagiaanku. Pada Juli 2016, kami dikaruniai seorang putri. Alaya, begitu kami memanggilnya. Saat Alaya berumur 6 bulan, suamiku  merantau ke Jakarta. Dia bekerja sebagai supir pribadi pada salah seorang kerabatnya. Suamiku yang kedua ini tidak penah melupakan tanggung jawabnya, meskipun dia hanya bisa pulang setahun satu kali.

Selain mengurus anak, di rumah aku juga menjual kue dan aneka masakan. Sesekali aku menerima pesanan. Aku juga bekerja merias langganan jika ada hajatan, atau hanya sekadar memotong rambut. Aku mulai bekerja ketika anaku yang kedua berumur dua tahun.

 

Melangkah bersama Pekka

Pada Januari 2019, ibuku menemani Ibu Nurmiati Salam, salah seorang pegawai dari Dinas Sosial Bolaang Mongondow, berkunjung ke rumahku. Beliau mendata warga Otam yang belum pernah mendapat Bantuan Sosial (Bansos), berupa Pelatihan Usaha Kecil Mikro untuk kelompok perempuan dari Dinas Sosial. Beliau menyarankan agar ibuku membentuk kelompok dengan jumlah 10 orang. Syarat untuk mendapatkan pelatihan harus ada kelompok, demikian kata dia. Di sini beliau juga menjelaskan tentang Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka) dan memberikan nomor telepon genggam Ibu Nursia Untung Daleng, Ketua Serikat  Pekka Bolaang Mongondow kepada ibuku.

Pada 10 Maret 2019, Firta Nurcita Awali, seorang fasilitator lapang Yayasan PEKKA, dan Ibu Nursia datang ke rumahku untuk mensosialisasikan Pekka. Saat itu terbentuklah Kelompok Pekka Farigata yang beranggotakan 10 orang. Talaha Mokodompit terpilih sebagai ketua, Sarmadia Mokodompit sebagai  sekretaris dan Srimulianti Adampe sebagai bendahara.

Aku tidak serius dan sekadar coba-coba saat awal bergabung dengan Pekka. Hingga saat diadakan KLIK (Klinik Layanan Informasi dan Konsultasi) pada tanggal 13 Maret 2019, aku mulai sedikit tahu apa yang menjadi tujuan Pekka. Melalui KLIK, banyak warga Desa Otam terbantu kepengurusan dokumen kependudukannya, seperti Kartu Keluarga, KTP, Akta Kelahiran. Mulai dari sinilah timbul rasa ingin tahu lebih dalam tentang Pekka.

Kelompok Farigata mengadakan kegiatan pengajian, arisan dan simpan pinjam. Pertemuan kelompok kami ini diadakan dua kali dalam sebulan. Sebelum menjadi anggota Pekka, aku tidak pernah mengikuti pertemuan atau kegiatan apapun. Mengaji pun tidak. Aku hanya diam di rumah.

Di kelompokku ada beberapa orang yang belum bisa mengaji sama sekali. Kami yang sudah bisa mengaji, mengajari yang belum bisa. Begitu pun dengan simpan pinjam di kelompok. Selain menyimpan, kami juga bisa meminjam uang dengan biaya jasa pinjaman yang sangat terjangkau.

Setelah mulai aktif berkegiatan, kami mengikuti Pelatihan Visi, Misi, dan Motivasi Berkelompok yang difasilitasi oleh Firta selaku fasilitator lapang dari Yayasan PEKKA. Pelatihan ini bertujuan untuk memberikan motivasi kepada anggota, serta meningkatkan kapasitas anggota dan pengurus kelompok. Kegiatan pelatihan ini diadakan di rumah ketua Kelompok Farigata dan diikuti semua anggota yang berjumlah sepuluh orang. Kami semua semakin paham apa itu Pekka, dan apa tujuannya. Pemahaman ini menguatkan kami untuk berkomitmen dalam menguatkan kelompok dan aktif dalam berkegiatan.

 

Ke Ibukota Negara

Pada awal Juli 2019, Ketua Serikat Pekka menghubungiku dan memintaku untuk menuliskan kisah tentang warga yang belum pernah tersentuh bantuan  pemerintah. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengikuti seleksi peserta Lokakarya JWP (Jurnalisme Warga Pekka) yang diadakan di Bogor pada 23-27 Juli 2019. Untuk seleksi ini, aku menulis tentang Nenek Najri, seorang perempuan berusia 80 tahun yang tinggal di rumah tua dengan seorang cucu dan harus bekerja keras demi memenuhi kebutuhan hidup. Meskipun miskin dan sakit-sakitan, Nenek Najri tidak pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah. Alhamdulillah, aku lulus seleksi. Berkat kisah Nenek Najri yang aku tulis, aku mendapat kesempatan untuk berangkat ke Jakarta. Hal yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Seperti mimpi rasanya.

Peserta dari Sulawesi Utara ada dua orang. Aku mewakili Serikat Pekka Bolaang Mongondoow dan Ibu Sitty Bangki mewakili Serikat Kotamobagu. Berkali-kali aku bertanya dalam hati, bagaimana mungkin seorang Nurul Hatim Ginoga bisa menginjakkan kaki di ibukota negara bernama Jakarta.

Aku menangis haru. Apalagi saat itu, suami menemui aku di Pusdiklat Altakarya, Bogor, setelah acara selesai. Dia membawaku menginap di tempat tinggalnya di Kota Tangerang, Banten. Meski hanya sehari di tempat suami, aku tak meninggalkan momen kebersamaan kami. Kami pun sempat jalan-jalan ke Monumen Nasional yang merupakan simbol Ibukota Jakarta.

Saat berada di Bogor, aku bertemu dengan teman-teman dari berbagai daerah. Aku mendapatkan banyak ilmu dan  pengalaman hidup dari mereka. Aku termotivasi untuk banyak belajar, dan mendengar kisah teman-temanku yang sebagian besar punya kisah yang serupa denganku. Aku bahagia dan sangat bangga bisa bertemu dengan keluarga besar Pekka, termasuk Direktur Yayasan PEKKA, Bunda  Nani Zulminarni. Di mataku, beliau adalah sosok perempuan yang kuat dan pintar.

Selama mengikuti pelatihan, kami merasa sudah seperti keluarga sendiri. Sehingga tiba di akhir pelatihan, berat rasanya bagiku untuk berpisah. Namun kami tetap harus pulang ke daerah masing-masing. Satu hari setelah pulang dari Jakarta, aku pergi ke Center Pekka Lolak untuk mengadakan rapat dan membagi pengalaman yang aku dapat selama di Bogor.

Dua pekan berselang, aku kembali mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) yang diadakan di Lolak. Pelatihan yang diadakan pada pertengahan Agustus 2019 ini diadakan karena maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Untuk itu, Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow bekerja sama dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) dan PPPA Provinsi merasa perlu untuk menyelenggarakan sosialisasi pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Narasumber untuk pelatihan ini adalah Kepala Dinas PPPA Provinsi Sulawesi Utara Ir. Meyke Pangkong M.Si, Kepala Dinas PPPA Bolaang Mongondow Hj. Farida Mooduto, Ipda Taufik Anis dari Reskrim Bolaang Mongondow, dan Asisten 2 Bupati Bolaang Mongondow Yuda Rantung. Sosialisasi ini dihadiri oleh 80 orang dari tiga organisasi yaitu Muslimat, Forum Anak Daerah (FAD), dan Serikat Pekka Bolaang Mongondow.

Para narasumber membahas tentang kesetaraan gender. Gender bukan sekadar perbedaan jenis kelamin. Gender adalah pemahaman dan nilai-nilai sosial yang diberikan kepada  laki-laki atau perempuan dalam sebuah sistem sosial. Selain itu, materi yang dibahas adalah tentang KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), perdagangan anak, dan pekerja anak. Meyke Pangkong, Kadis PPPA Provinsi meminta peserta pelatihan untuk mengunduh aplikasi Laker (Lapor Kekerasan) saat terjadi kekerasan. Aplikasi ini mempermudah kita untuk mengadukan kekerasan yang terjadi tanpa perlu menghubungi kepolisian setempat.

Para narasumber mengharapkan semua peserta untuk benar-benar memahami penjelasan mereka, dan mampu menjadi wanita yang mandiri, wanita yang tidak bergantung kepada siapa pun, termasuk kepada suami yang menjadi pencari nafkah utama, agar wanita tidak mudah disepelekan.

Pada tanggal 25-27 November 2019, aku mengikuti acara  Monitoring dan Evaluasi  yang diadakan  di  Center  Pekka  Motabang, Lolak, yang difasilitasi Retno Indah Tri Kusumawati  dan  Novita Indra  dari  Yayasan  PEKKA. Jarak antara tempat tingggalku dengan Center cukup jauh. Jika menggunakan angkutan umum aku harus mengeluarkan biaya pulang-pergi sebesar Rp 70 ribu. Aku memilih menginap di Center selama pelaksanaan. Tapi ternyata aku tidak sendirian. Beberapa teman sesama anggota dan pengurus Pekka lainya juga memilih menginap.

 

Merasakan Wisuda

Keinginanku untuk belajar semakin tinggi setelah pulang dari Bogor. Pada bulan September, aku langsung mengiyakan ajakan temanku, Sarmadia Mokodompit, yang juga anggota kelompok Pekka Farigata, untuk mengikuti pendidikan bagi kader Pekka bernama Akademi Paradigta.

Jarak dari rumah ke tempat belajar cukup jauh, yakni sekitar 30 km, sama sekali tidak mengurungkan niatku untuk mengikuti pendidikan tersebut. Kami diajari oleh mentor yang baik. Selain Mbak Firta, ada Ibu Cristin Pontolondo dan Nini Baso. Kebanyakan cara pemberian materi adalah dengan berdiskusi dan praktik, agar ibu-ibu Pekka lebih cepat paham dengan materi yang disampaikan.

Selama mengikuti proses pembelajaran, materi yang paling sulit dan juga berkesan adalah advokasi. Untuk memahami materi ini, kami harus mendatangi pemerintah desa, dalam hal ini Sangadi (Kepala Desa) untuk mengadvokasi masalah warga masyarakat miskin yang belum mendapatkan bantuan BPJS Kesehatan (PBI).

Selama mengikuti sekolah kader, para akademia sangat kompak. Bahkan kami menganggap  akademia lain sebagai bagian dari keluarga sendiri. Suami dan keluargaku sangat mendukung kegiatanku di Pekka. Sebelum mengikuti pendidikan Akademi Paradigta, aku tidak pernah berani mengungkapkan pendapat, hanya diam dan setuju saja dengan pendapat orang lain. Setelah belajar di  Akademi Paradigta, aku menjadi lebih kritis. Rasa percaya diriku pun mulai tumbuh.

Tibalah waktunya bagi kami, para Akademia untuk diwisuda. Hari itu, Senin, 11 Februari 2020, kami berkumpul untuk mengikuti upacara wisuda yang diselenggarakan di Kantor Walikota Kotamobagu. Pada kegiatan ini juga diselenggarakan dialog FPK (Forum Pemangku  Kepentingan) dengan mengundang beberapa narasumber, yaitu Rafika Bora dari Dinas Sosial,  Meyki Londok sebagai perwakilan dari BPJS Kesehatan, Ervina H dari Bappelitbangda, dan Sekretaris Daerah Kotamobagu Gunawan Damopolii yang mewakili Walikota Kotamobagu sekaligus membuka dialog perlindungan sosial tersebut.

Sejujurnya, sangat besar keinginan para peserta wisuda dan anggota kelompok agar Walikota Kotamobagu dan Wakil Walikota bisa menyempatkan hadir pada acara ini. Akan tetapi, karena ada kegiatan lain yang tidak bisa ditunda, beliau berdua tidak dapat hadir untuk membuka acara secara langsung. Namun kekecewaan kami cukup tergantikan dengan kehadiran Nunik Sri Harini, perwakilan dari Yayasan PEKKA. Acara wisuda akademia ini dimulai pukul 11.00 WITA yang diawali dengan pembacaan doa, lagu Indonesia Raya dan Hymne Guru yang dinyanyikan peserta wisuda, dan dilanjutkan laporan ketua panitia yaitu Ketua Serikat terpilih,  Sitti Bangky. Acara ini dimeriahkan juga dengan pameran produk anggota Pekka. Dalam pameran tersebut dijual aneka produk kerajinan dan makanan khas Bolaang Mongondow seperti ayam sinorang, inolut, dodol, kopi, tempat tisu, aksesoris, tas dan masih banyak lagi.

Setelah laporan dilanjutkan dengan pengalungan mafela Paradigta dan penyerahan sertifikat Akademi Paradigta, disusul dengan Deklarasi Serikat Pekka Kotamobagu. Enam orang pengurus berjalan beriringan membawa bendera serikat, diawali oleh ketua dengan pembacaan Naskah Deklarasi dan penyerahan Naskah Deklarasi.

Acara berikutnya adalah dialog FPK. Tidak begitu banyak  materi yang diberikan para narasumber karena sudah masuk waktu makan siang, sehingga materi hanya dipusatkan pada seputar rencana kegiatan Serikat Pekka Kotamobagu untuk satu tahun ke depan, masalah Kartu Perlindungan Sosial (KPS) dan kriteria apa saja yang berhak mendapat KPS tersebut, juga  tentang kenaikan iuran BPJS Kesehatan per-tahun 2020.

Peserta dalam kegiatan tersebut terdiri dari 50 orang anggota Pekka, 30 undangan dari Kepala Desa, Camat, Organisasi Pemerintah Daerah (OPD) dan jurnalis. Sayangnya, ada beberapa orang yang tidak sempat hadir karena acara tersebut bersamaan dengan kunjungan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) Pusat.

Aku sangat bahagia menjadi akademia Paradigta dan diwisuda. Aku unggah foto-foto wisuda kami di media sosial. Dan aku semakin bangga, saat mantan suamiku melihat unggahan-unggahanku tentang semua kegiatan yang aku lakukan saat ini. Dia mengatakan ikut bangga dengan perubahanku dan meyakini jika aku dapat mendidik anak-anakku dengan baik.

Untuk memberikan semangat pada anakku, pada bulan April 2020, aku mengikuti  ujian setara Paket B secara daring. Alhamdulillah, aku lulus. Kini aku tengah melanjutkan ke  Paket  C. Aku tidak malu, bukankah pendidikan itu tidak pandang usia? Aku ingin membuktikan bahwa aku bukanlah perempuan bodoh. Aku adalah perempuan cerdas yang juga mampu untuk mandiri.

 

Nyaliku Diuji

Pada bulan Mei 2020, aku pernah mendapat ancaman serius dari Sangadi (kepala desa yang bertugas mengatur pembagian aliran air sungai) karena aku mengkritisi bantuan sosial yang tidak tepat sasaran. Semua bermula ketika aku membuat komentar terhadap status Pak Harianto Simbala, yang diunggah di media sosial, mengenai bantuan sosial. Beliau adalah orang dekat Bupati Bolaang Mongondow. Di situ aku menulis: katanya bantuan berupa beras premium, minyak, gula dan telur akan tetapi yang ada hanya beras berkutu. Tanpa aku ketahui, ada wartawan dari salah satu media di Kotamobagu yang sempat membaca pernyataanku tersebut dan langsung mendatangi Sangadi untuk bertanya mengenai bansos tersebut.

Tiba-tiba selepas magrib, Sangadi datang ke rumahku. Saat itu aku sedang sibuk membuat kue pesanan. Aku kaget, tiba tiba beliau berteriak di depan pintu dengan bahasa Mongondow: “Onda ki Mama Afia?” (Mana Mama Afia). Ibuku menjawab, “(Mama Afia) ada di dapur.” Aku pun segera keluar menemuinya.

Tanpa basa-basi beliau mengancam akan membawaku ke Polres Kotamobagu karena telah melakukan pencemaran nama baik. Lalu beliau pun menjelaskan bahwa semalam ada wartawan yang ke rumahnya menanyakan masalah bantuan yang menurut kabar tidak tepat sasaran. Ia juga mengatakan bahwa salah satu stasiun radio memberitakan tentang pembagian bansos di Desa Otam Induk salah sasaran. Mendengar penjelasan Sangadi, aku langsung menjawab: “Iya, saya bersedia ke Polres.” Walau sebenarnya aku bingung, kenapa ke Polres Kotamobagu bukan ke Polsek Passi Barat?

Aku menghubungi saudara sepupuku yang kebetulan menjadi anggota DPRD Bolaang Mongondow Timur. Aku meminta pendapat dari sepupuku, dan dia berkata bahwa aku tidak perlu takut karena komentarku di media sosial, karena aku tidak menyebutkan nama siapa pun. Tetapi aku juga perlu menyiapkan bukti-bukti berupa beras yang berkutu dan rekaman pengakuan penerima bansos. Atas sarannya, aku langsung bergerak menuju rumah-rumah warga penerima bansos sambil membawa HP dan menanyakan bantuan apa saja yang diterima. Tanpa sepengetahuan mereka, aku merekam pengakuan yang mereka berikan dan meminta semangkuk beras untuk dibawa pulang.

Bukti sudah aku kumpulkan, tetapi panggilan dari Polres tak kunjung datang. Berarti Sangadi hanya sekadar mengancam. Satu minggu kemudian aku mendapat SMS dari istri beliau yang isinya memintaku untuk datang ke rumahnya. Aku datang bersama tetanggaku yang kebetulan saat itu tidak pernah mendapat bansos atau BLT.

Di rumah Sangadi kami membicarakan masalah tersebut. Sangadi menanyakan apa sebenarnya tujuanku menanyakan bansos di medsos. Aku menjawab bukan untuk menyudutkan Sangadi. Tapi memang kenyataannya seperti itu. Beras berkutu, tanpa minyak, gula dan telur.  Bukti yang aku bawa belum sempat dilihat oleh Sangadi. Rencananya nanti akan dibawa ke Polres jika sudah ada panggilan.

Kami juga membicarakan kedatangan Sangadi ke rumahku waktu itu. Sang istri bilang, waktu itu Sangadi dilanda emosi. Sangadi akhirnya meminta maaf dan berkata bahwa beliau tidak jadi melapor kepada polisi. Sangadi pun berjanji akan lebih teliti lagi dalam menyalurkan bantuan dan akan memberikan secara langsung tanpa perantara.

Dari pengalaman tersebut hatiku semakin tergerak oleh rasa belas kasih. Aku pun merasa lebih percaya diri untuk membantu warga dalam mengakses program perlindungan sosial. Serikat Pekka sering bekerja sama dengan Dinas Sosial, sehingga ketika ada informasi mengenai kuota KIS PBI, aku langsung mendata warga, mengumpulkan berkas, kemudian mengantarkannya ke Dinas Sosial untuk ditindaklanjuti. Hingga saat ini sudah ada 20 KK yang telah mendapatkan KIS PBI dan sebagian lagi masih menunggu informasi dari Dinas Sosial Bolaang Mongondow.

Begitu banyak ilmu yang kami dapatkan dari Pekka. Kami mendapat pelajaran tentang kepemimpinan, organisasi, advokasi, menulis, membantu masyarakat lainnya, dan banyak ilmu lainnya yang aku dapat.

Selama beraktivitas di Pekka, anak-anak benar-benar mendukungku. Kadang, ketika ada pertemuan di Center Pekka, aku sering menginap selama 2-3 hari karena jaraknya cukup jauh dari lokasi tempat tinggalku. Anak-anak sudah terbiasa ditinggal bekerja, pergi pagi, pulang sore. Anak yang sulung jadi terbiasa, mandiri dan mau membantu mengurusi adiknya. Ketika anak-anak melihat, ada pertemuan pengurus Pekka di rumah, atau mengikuti acara melalui aplikasi Zoom dengan beberapa teman kader Pekka, mereka senang. “Supaya Ibu tambah banyak ilmu dan pengalaman,” kata mereka.

Aku sangat beruntung bisa mengenal Pekka. Sampai saat ini, aku tidak pernah melupakan Ibu Nurmiati Salam yang memperkenalkan aku dengan Pekka. Aku sangat termotivasi oleh keluarga besar Pekka yang dengan tulus mau membantu tanpa imbalan. Kami sudah seperti keluarga sendiri, bahkan lebih dari itu. Harapanku, Pekka semakin  maju, khususnya Pekka  Nyiur  Melambai  Bolaang  Mongondow. Pekka Hebat, Desa Berdaulat.

Bagikan Cerita Ini

Cerita Terkait

Leave a Comment