Pekka, Jodohku yang Sebenarnya

Kisah Diri Ida Hindayati

Menjadi TKI adalah pilihanku untuk membantu perekonomian orang tua. Pun setelah menikah, aku kembali bekerja di Arab sana. Dua kali menjadi janda, aku menemukan jodoh yang sebenarnya: Pekka

 

Ida Hindayati namaku. Tinggal di Desa Pasirkamuning, Kecamatan Tetalagasari, Kabupaten Karawang. Aku anak keempat dari delapan bersaudara. 49 tahun sudah usiaku di tahun 2021 ini. Bapakku seorang guru, dan ibuku seorang ibu rumah tangga. Besarnya beban yang harus ditanggung oleh orang tuaku membuat kami hidup dalam keadaan serba pas-pasan. Mereka harus menghidupi delapan anak, .

Aku masuk Sekolah Dasar tahun 1977 dan lulus tahun 1984. Aku perlu mengambil jeda satu tahun untuk melanjutkan sekolah ke SMP, karena orang tuaku harus membiayai kedua kakakku yang pada saat itu berbarengan lulus. Kakak nomor 3 lulus SMP dan hendak melanjutkan ke jenjang SMA. Kakak nomor 2 hendak melanjutkan ke perguruan tinggi. Aku tidak punya pilihan selain  mengalah, meski sedih rasanya. Aku tidak bisa meneruskan sekolah berbarengan dengan teman-temanku, bahkan aku harus menjaga adik di rumah atau sesekali ikut membantu ibu berjualan makanan ringan di SD dekat rumah. Hal ini aku lakukan untuk membantu meringankan beban ekonomi Keluarga. 

Satu tahun kemudian aku berkesempatan melanjutkan pendidikanku ke tsanawiyah (setingkat SMP). Di sekolah, aku ikut kegiatan Pramuka sebagai kegiatan ekstrakurikulerku. Bila ikut latihan, aku baru bisa sampai rumah menjelang magrib. Terkadang, aku menginap di rumah seorang bibi yang tinggal tidak terlalu jauh dari sekolah. Suatu hari, setelah latihan Pramuka, aku bersama tiga orang teman menunggu kendaraan umum agar bisa tiba di rumah menjelang magrib. Aku tidak membawa sepeda waktu itu. Setelah lama menunggu, angkutan umum tidak ada yang lewat. Akhirnya kami memutuskan pulang dengan berjalan kaki. Tiba-tiba hujan turun sangat deras, dengan diselingi petir. Aku takut mendengar petir, ditambah lagi hari mulai gelap. Rasa takutku agak berkurang karena ada teman-teman yang berjalan bersamaku. Setelah berjalan sejauh 2 km, ada sebuah truk lewat. Truk itu berhenti, dan supinya mengajak kami untuk ikut. Kami langsung mengiyakan, tanpa berpikir panjang. Kami duduk di belakang, di atas pasir. Meski kehujanan, kami bisa cepat tiba di rumah dengan selamat.

Ketika aku duduk di kelas dua tsanawiyah, Ibu memutuskan pergi ke Arab Saudi untuk bekerja karena penghasilan Bapak tidak lagi mencukupi untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Pada waktu Ibu pergi, tahun 1986, adikku yang paling kecil baru berusia dua tahun. Agak merepotkan karena adik bungsuku adalah kembar. Bila Bapak mengajar, adik kembar kami ini diasuh oleh kakak laki-laki yang tertua karena dia berhenti sekolah ketika masih kelas dua SMA. Sepulang sekolah, aku baru sampai di rumah pukul 2 siang. Tak ada waktu untuk beristirahat lama-lama karena harus segera menyapu, mencuci, memasak, dan mengurus adik-adikku bersama Bapak. Itu yang aku lakukan setiap hari selama Ibu bekerja di Arab Saudi.

Alhamdulillah, aku berhasil lulus tsanawiyah di tahun 1988. Aku lalu melanjutkan ke SMEA (Sekolah Menengah Ekonomi Atas). Saat ini, sekolah semacam itu sudah tidak ada, digantikan oleh SMK bidang Ekonomi. Jarak antara sekolah dengan rumah yang jauh membuatku tinggal bersama seorang bibi yang tinggal di Karawang. Itu pun masih harus berjalan kaki sejauh satu kilometer. Sebelum berangkat dan sesudah pulang sekolah, aku membantu Bibi menyelesaikan pekerjaan rumah seperti menyapu dan mencuci.

Aku berhasil lulus dari SMEA tanpa rintangan yang berarti. Ijazah SMEA aku gunakan untuk mendaftar seleksi bekerja ke Arab Saudi melalui sponsor, PT. Avida Avia Duta, yang berlokasi di daerah Condet, Jakarta. Selama tiga bulan aku tinggal di asrama untuk mengikuti rangkaian pelatihan sebagai persyaratan  kerja sambil menunggu jadwal keberangkatan ke Arab Saudi. Selama pelatihan, aku diminta untuk memilih salah satu pekerjaan, dan aku memilih mengurus anak balita atau sebagai baby sitter. Pekerjaan ini aku pilih karena aku merasa sudah berpengalaman ketika mengurus adikku sewaktu kecil. Aku mengikuti pelatihan ini di daerah Sukabumi selama dua minggu dan dinyatakan berhasil, lalu aku kembali ke asrama untuk melanjutkan rangkaian pelatihan lain dan pengecekan kesehatan. 

 Sesuai dengan impianku, aku diberangkatkan menuju Arab  Saudi, ke kota Al-Khobar. Rumah majikanku sangat besar dan mewah. Selain aku, ada dua orang asisten rumah tangga yang bertugas mengurus pekerjaan rumah. Aku bekerja sebagai pengasuh bayi di sana. Awalnya, ada rasa cemas dan takut juga karena ini adalah tempat yang sama sekali asing bagiku. Aku  juga masih agak takut melaksanakan pekerjaanku dalam mengurus bayi, walalupun sebelumnya aku sudah mendapat pelatihan di asrama. Selain itu, bahasa juga menjadi salah satu kendalaku dalam berkomunikasi sehingga setiap hari aku lebih banyak menggunakan bahasa tubuh sebagai bahasa isyarat.   

Alhamdulillah, aku mendapat majikan yang sangat baik. Aku diperlakukan dengan hangat dan sopan. Semua kebutuhan sehari-hariku juga sangat terjamin. Bahkan, jika kami bepergian keluar, mereka tidak pernah lupa membelikanku makanan atau pun jajanan. Jadwal gajianku selalu tepat waktu, tidak pernah lewat dari tanggal 5 setiap bulannya. Saat itu, gajiku sebesar 600 real, jika dikonversi  ke rupiah nilainya kurang lebih Rp 2 juta.  Tak jarang juga, majikanku mengajariku dengan sabar, bagaimana caranya mengasuh bayinya dengan baik saat aku melakukan tugasku. 

Setiap harinya, aku mulai bekerja pukul 08.00 hingga pukul 21.00. Setelahnya, aku bebas tugas dan harus beristirahat. Aku diberi kamar tidur terpisah yang cukup nyaman di lantai atas. Di waktu senggangku, aku sempatkan juga membantu teman, asisten rumah tangga lain, untuk merapikan rumah. Begitulah kegiatanku setiap hari. 

Awalnya, kontrak kerjaku hanya dua tahun. Lalu majikanku memintaku untuk bekerja lagi selama 1 tahun. Jadi aku bekerja di sana selama tiga tahun. Sempat mereka memintaku untuk tetap bekerja untuk mereka, namun aku menolaknya karena sudah sangat rindu dengan kedua orangtua dan saudara-saudaraku. Aku memutuskan untuk kembali ke Indonesia pada tahun 1994.

Baru dua bulan berada di rumah, seorang teman mengajakku pergi ke Bekasi untuk mencari pekerjaan. Kami langsung mencari rumah kontrakan, yang berhasil kami dapat di hari itu juga. Keesokan harinya, temanku itu mengajakku untuk memasukkan lamaran pekerjaan ke sebuah perusahaan yang memproduksi sepatu di daerah Bantar Gebang, Bekasi. Satu hari setelah memasukkan lamaran, aku dipanggil untuk tes, dan aku dinyatakan lulus. Aku ditempatkan di bagian peninjau kualitas (quality control). Satu tahun lamanya aku bekerja di pabrik sepatu itu.

Masih hangat dalam ingatanku, saat pertama bertemu dengan calon suamiku. Kebetulan kami tinggal di satu area kontrakan yang sama. Kami sering bertemu. Saat libur pabrik, kami sering kumpul dan main bersama dengan teman-teman yang lain, hingga akhirnya hubungan kami semakin dekat. Tak perlu waktu lama. Enam bulan kami berkenalan membuatku mantap untuk menerima pinangannya. 

Kurang lebih tiga bulan setelah menikah, aku hamil anak pertama. Suami memintaku untuk berhenti bekerja karena beban kerja di pabrik tidak baik untuk kesehatanku yang sedang mengandung. Aku sepakat dengannya dan memutuskan untuk tinggal bersama orang tuaku. Sementara, suamiku tetap bekerja di sebuah perusahaan di Tangerang. Tahun 1997, aku melahirkan putra tercintaku. Lengkap rasanya kebahagiaan kami. 

 

Ditinggal Suami untuk Selamanya

Namun, takdir menulis sejarah yang baru untukku. Tahun 1997, suamiku tersengat aliran listrik dan meninggalkan kami semua untuk selama-lamanya. Padahal usia putraku saat itu belum genap satu tahun. Pilu rasanya, tapi aku tahu bahwa aku harus terus berjuang untuk putraku.  

Untuk memenuhi kebutuhan hidup kami. aku memutuskan untuk mendaftar bekerja di Arab Saudi lagi karena sulit mendapat pekerjaan di sini. Setelah melewati proses pendaftaran, aku berhasil mendapat sponsor penyalur TKW untuk ke Arab Saudi. Aku diberangkatkan ke Jeddah. Kali ini aku tidak terlalu cemas ketika melakukan pekerjaanku sebagai pengurus bayi karena aku sudah berpengalaman ketika bekerja dulu, juga ketika mengurus bayiku sendiri.

Di Jeddah, aku kembali mendapat majikan yang baik, sama baiknya dengan majikanku yang pertama dulu. Dan di sini gajiku pun masih sama. Aku diupah 600 real setiap bulan. Jika dikonversi ke rupiah, saat itu aku menerima Rp 3 juta.  Kontrak kerjaku di Jeddah berakhir dua tahun kemudian dan aku memutuskan untuk kembali ke Indonesia. 

Anakku sudah berusia tiga tahun ketika aku pulang ke rumah. Dia sempat tidak mengenaliku, bahkan tidak mau aku dekati ketika aku baru sampai di rumah. Alhamdulillah, pelan-pelan hubungan kami bisa dekat lagi. Setelah satu bulan aku dirumah, aku mulai mencoba berjualan makanan yang aku buat sendiri seperti donat dan roti isi. Makanan itu aku jual di sekolah dasar yang jaraknya sekitar 200 meter dari rumahku. 

 

Perceraian dan Pertemuan dengan ‘Jodoh’ yang Sebenarnya

Hingga suatu hari, aku melihat sebuah sepeda motor berikut pengendaranya jatuh ke kali yang berada di dekat rumahku. Aku mendekatinya karena ingin tahu, apakah aku mengenal orang yang jatuh itu. Ketika mendekati kerumunan itu, tiba-tiba ada seseorang menyapaku. Ternyata Ade, teman sekolahku dulu. Sejak pertemuan itu dia sering datang bertandang ke rumahku. Lama kelamaan kami menjadi dekat, dan kami pun memutuskan untuk menikah di tahun 2001. Saat itu usiaku udah genap 30 tahun. Setahun kemudian, aku dikaruniai anak perempuan. Tapi sayang, pernikahanku yang kedua ini tak semanis yang aku impikan. Suamiku sering marah-marah, bahkan tak jarang membentakku jika kami berselisih paham. Aku sering menahan sakit hati karena ucapannya yang kasar. Enam tahun lamanya aku mencoba bersabar dan mempertahankan keutuhan rumah tanggaku. Namun ternyata kesabaranku ada batasnya juga.  Aku menyampaikan keinginanku untuk bercerai darinya. Dia pun sepakat. 

Suatu hari, aku mendapat undangan dari desa untuk hadir dalam acara sosialisasi PEKKA (Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga). Penasaran, aku bertanya tentang kegiatan PEKKA. Katanya ini adalah program untuk janda-janda. Pada waktu itu yang memberi materi adalah Ibu Nunung, seorang Pendamping Lapang dari PEKKA dan Teh Aisah salah seorang kadernya. Awalnya aku tertarik karena ada banyak kegiatannya jadi aku bisa punyak banyak teman dan banyak kegiatan.  tetapi belum masuk jadi anggota karena statusku yang masih menggantung. Aku belum mengajukan gugatan cerai pada saat itu, karena tidak tahu bagaimana caranya dan harus berkonsultasi dengan siapa.

Usai pelatihan, aku bersama seorang teman yang bernama Ento mengunjungi rumah Mbak Nunung Nurnaningrum di Pasirtalaga untuk bersilaturahmi. Aku merasa nyaman berbicara dengannya, sehingga aku bercerita tentang status rumah tanggaku dan bertanya tentang bagaimana mengajukan gugatan cerai. Darinya, aku mendapat banyak informasi dan rekomendasi untuk mengurus gugatan cerai di Pengadilan Agama.

Sambil menunggu proses perceraianku selesai, aku membentuk kelompok yang diberi nama Sekar Wangi pada 2007. Jumlah anggotanya  17 orang. Ketua kelompoknya Maimunah, Sekretaris Hj. Lasminah, Bendahara Ida Hindahayati, aku sendiri. Sebelum Sekar Wangi terbentuk, aku ikut kelompok Sekar Arum yang ada di dusun yang berbeda dengan dusun tempat tinggalku. 

Aku juga mulai ikut kegiatan PKK tingkat desa mewakili Desa Pasirkamuning untuk mengikuti pelatihan UMKM, dengan materi pembuatan pakan ikan. Kepala desa tempat tinggalku berencana membentuk kelompok PEKKA di desa kami, dan dia ingin mengetahui program-program yang ditawarkan PEKKA. Pelatihan ini diikuti oleh perwakilan dari delapan desa di dua kecamatan (Kecamatan Telagasari dan Kecamatan Tempuran). Ada 11 kelompok yang ikut, yakni: Sejati, Lemah Karya, Lemah Subur, Ridho Ikhlas, Talaga Jaya, Talaga Maju, Melati, Rahmat Ilahi, Kembang Jaya, Gadel Sari, dan Indah. Dari 11 kelompok, ada 22 orang yang mengikuti pelatihan yang didanai oleh APBD Kabupaten Karawang sebesar Rp 5 juta ini.

Pada tahun yang sama aku diundang untuk mengikuti Forum Nasional (FORNAS). Di dalam forum ini, aku mendapat kelompok yang bertugas untuk berkunjung ke Mahkamah Agung (Badan Peradilan Agama-Badilag) untuk berdialog tentang biaya perceraian dan isbat nikah. Selama dialog aku mendapatkan informasi terkait biaya perceraian. Berbekal pengetahuan itu, aku memberanikan diri untuk mendaftarkan perceraianku ke Pengadilan Agama.

Saat mendaftarkan gugatan ceraiku ke Pengadilan Agama, aku diminta menyerahkan uang ke kasir saat sebesar Rp 450 ribu sebagai uang jaminan, sesuai dengan ketentuan. Setelah itu aku mengisi formular yang menyatakan kasus dan tujuan gugatan. Pihak pengadilan memintaku untuk menunggu, kira-kira selama dua minggu, sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun, baru satu minggu berselang, seseorang yang mengaku utusan dari Pengadilan Agama datang ke rumah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. 

Di persidangan pertama yang dihadiri oleh aku dan mantan suami, kami langsung melakukan mediasi. Kami sama-sama ditanya kenapa bercerai, dan orang pengadilan menasihati supaya tidak berpisah/bercerai. Tapi, kami bersikeras untuk tetap bercerai. Sidang mediasi selesai dan ditutup. 

Pada sidang kedua, kami kembali ditanyakan kenapa bercerai, apa permasalahannya dan diberikan nasihat supaya tidak bercerai. Namun kami tetap ingin bercerai dan langsung ke perkara dan hakim menutup sidang dengan menjadwalkan sidang ke-3 pada 2 minggu berikutnya. Kami diminta untuk langsung datang tanpa menunggu surat undangan dari pihak pengadilan dengan membawa dua orang saksi (1 dari pihak laki- dan 1 dari pihakku) .

Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan untuk bercerai. Pada saat itu aku menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari Desa Kemuning ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar satu jam. Belum lagi harus menunggu giliran sidang. 

Sidang ketiga dilanjutkan setelah menunggu dua minggu, yaitu sekitar tanggal 26 September 2007. Sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang keenam pada bulan November 2007. Dua kali sidang aku tidak bisa menghadiri karena kesibukanku di Pekka. Pada saat itu aku mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara. Pada akhirnya, kami pun bercerai dan sidang ditutup.

Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajak kami ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya kami harus menambah biaya sebesar Rp 1 juta lagi. Aku sangat kaget karena sudah menyerahkan dana sekitar Rp 700 ribu kepada Pengadilan Agama. Aku menyatakan kepada pihak aparat pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian hanya Rp 300 ribu. Mendengar penjelasanku tentang biaya perkara, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana aku mengetahui informasi tersebut. Rupanya tidak sia-sia aku memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai Hukum Peradilan Perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak pengadilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadaku. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus kami penuhi. Justru mereka katakan bahwa dana yang kami setorkan masih terdapat kelebihan sebesar Rp 350 ribu. Jadi bukan menambah, malah aku memperoleh uang kembali dari uang jaminan yang aku setorkan. Dua minggu kemudian Akta Cerai sudah aku terima melalui tetangga yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama. 

Pengadilan memutuskan dua anak dari hasil pernikahan keduaku berada di bawah pengasuhanku. Mantan suamiku berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp 600 ribu setiap bulan. Kesepakatan dicapai, mantan suamiku pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan tersebut tak diindahkannya. Kewajiban suami untuk memberikan biaya  padaku dan anak-anak tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali mengirimkan uang sebesar Rp 600 ribu. Selanjutnya tidak serupiah pun nafkah diberikan oleh mantan  suamiku, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraian.

Perjalananku dalam mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan secara  lahir batin. Kurang lebih selama enam bulan aku menjalani proses ini dengan biaya yang tidak sedikit karena biaya transportasi bolak-balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke ibukota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. Satu kali perjalananan mengahabiskan Rp 30 ribu ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp 50 ribu.

Semakin lama bergabung dengan Pekka, pengetahuanku semakin bertambah. Baik pengetahuan yang aku dapat dari pendamping lapang ataupun dari pelatihan-pelatihan yang aku ikuti. Aku merasa bersyukur karena bisa bergabung dengan Pekka. Aku jadi lebih percaya diri. Selain ikut Fornas, aku ditunjuk sebagai peserta Pelatihan Video Komunitas pada tahun 2007. Pelatihan ini diadakan di kantor Seknas Pekka selama 10 hari, bersama tiga wilayah yakni Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Jawa Barat yang mengirim tiga perwakilan yakni aku, Aisah dan Farida. Di dalam pelatihan ini, ada tugas Praktik Pembuatan Video Komunitas. Pembuatan ini dilakukan di Karawang, dan peserta dari Jawa Barat mendapat bagian untuk membuat video mengenai identitas hukum. Untuk perwakilan dari NTB mengangkat isu kesehatan atau sampah, dan NTT mengenai pendidikan. Wawasan mengenai pentingnya identitas diri bagi perempuan dan anak pun terangkum dalam film dokumenter berjudul “Harga Sebuah Surat”. Aku bahagia karena wawasan dan pengetahuanku tentang pentingnya identitas diri terbuka melalui pembuatan film dokumenter ini.

 

Desa tempatku tinggal, Desa Pasirkamining, mendapat kunjungan dari Lembaga Semeru pada tahun 2007-2008. Mereka sedang melakukan pendataan dan penelitian mengenai identitas hukum. Hasil survei Semeru yang dilakukan di Desa PasirKamining menunjukkan, banyak warga yang tidak mempunyai surat nikah. Salah satu tugasku sebagai kader Pekka yang menjalankan kegiatan di Divisi Hukum, adalah melakukan fasilitasi pembuatan akte kelahiran, isbat nikah, dan gugat cerai. Serikat Pekka juga memberikan sosialisasi pada anggota dan masyarakat mengenai masalah identitas hukum ini. Hasilnya, banyak masyarakat yang datang ke Serikat Pekka untuk konsultasi tentang masalah identitas hukum, dan akhirnya Pekka dikenal tidak hanya oleh pejabat pemerintahan tapi juga di masyarakat luas.

 

Bagikan Cerita Ini

Cerita Terkait

Menjadi Perempuan yang Bermartabat: Kisah Dir

Menjadi Perempuan yang Bermartabat: Kisah Diri Suminah...

Tantangan itu Ada di Kampungku: Kisah Diri Am

Tantangan itu Ada di Kampungku Kisah Diri Amlia Aku...

Leave a Comment