Pekka: Jodohku Yang Sebenarnya
Kisah Diri Mirawati

 

Nasib membuatku menjadi janda dua kali. Namun, aku harus kuat. Aku harus bisa membesarkan anakku seorang diri. Nasibku berubah jadi baik setelah aku bertemu dengan Pekka, jodohku yang sebenarnya.


Aku bernama Mirawati. Aku lahir di Desa Karanganyar, Kecamatan Pule, Kabupaten Trenggalek, Provinsi Jawa Timur pada tahun 1982, dari keluarga petani. Kami hidup di tengah kesederhanaan, di desa yang masih asri. Tanahnya subur, dengan mata air jernih yang melimpah ruah. Meskipun tergolong tidak mampu, namun aku merasa bahagia karena kerukunan dan keharmonisan di antara kami berlima.

Waktu kecil, aku bercita-cita menjadi pejabat, dan membanggakan orang tua. Aku mulai bersekolah tahun 1988, di sekolah dasar yang ada di desaku. Meskipun tidak mampu, orang tua memutuskan agar aku juga bersekolah agar mengenal kawan sebaya. Sepulang dari sekolah, aku selalu membantu orang tua di kebun: menanam jagung, singkong, juga mengumpulkan daun cengkeh kering untuk dijual.

Alhamdulillah, aku lulus SD dengan hasil memuaskan. Aku pun bisa melanjutkan ke SMPN 1 Pule berkat nilai tersebut. Orang tuaku tentu saja bangga, karena aku bisa masuk ke SMP itu.

Jarak antara rumah dengan SMP ini terbilang jauh, sekitar 10 km. Sementara tidak ada angkutan umum yang melayani jalur antara rumahku dengan sekolah. Kondisi ini memaksaku untuk berjalan kaki, dan harus berangkat dari rumah pukul 04.30 WIB agar tidak terlambat. Pulang sekolah, baru sekitar pukul 14.40 WIB aku tiba di rumah. Aku sering kelelahan karena terlalu lama berjalan kaki, sehingga kurang bisa berkonsentrasi selama belajar di sekolah. 

Melihat kondisiku, akhirnya diputuskan agar aku menumpang di rumah seorang tante yang berjarak sekitar 3 km dari sekolah. Aku tinggal di sana hingga kelas 2 SMP.

Hidup menumpang berarti aku harus membantu semua pekerjaan rumah, mulai dari memasak, menyapu, mencuci, dan mencari makanan kambing. Lama-lama aku tidak betah dan merasa capek dengan pekerjaan yang harus aku lakukan selama tinggal di rumah tanteku.

Satu tahun kemudian aku pindah ke rumah kawan orang tua, Bapak Suparlin dan Ibu Sutini. Rumah mereka hanya berjarak satu kilometer dari sekolah. Bapak Suparlin dan Ibu Sutini sangat menyayangiku, dan menganggapku seperti anak mereka sendiri. Di rumah ini aku bisa berkonsentrasi belajar, dan berhasil lulus dengan nilai baik pada tahun 1997. Berbekal nilai tersebut, aku sangat ingin melanjutkan sekolah ke SMA.

 

Merantau

Sayangnya, kondisi keuangan orang tuaku tidak memungkinkan untuk aku melanjutkan sekolah. Dengan sedih dan kecewa, aku mengubur cita-citaku untuk jadi pejabat. Setelah itu, aku memutuskan untuk ikut tanteku merantau ke Jakarta.

Berat rasanya saat berpamitan dengan orang tuaku. Aku tak kuasa menahan air mata saat mencium tangan Bapak dan Ibu. Mereka berdua pun melepasku dengan linangan air mata.

Aku berangkat naik angkot sampai ke Kota Trenggalek, lalu melanjutkan perjalanan dengan bus menuju Tulungagung. Dari kota itu, aku naik kereta api ke Jakarta. Aku tercengang saat sampai di Ibukota. Gedung-gedung yang menjulang tinggi, kendaraan yang melimpah ruah di jalan, membuatku merasa terasing. Dalam hati saya berkata: “Wah, ternyata begini ini, ya, Jakarta?“ 

Sampai di rumah yang dituju, aku pun kembali tercengang melihat rumah mewah berlantai dua. Dengan penuh perasaan ragu dan takut, aku diajak tante masuk ke rumah mewah itu. Pemilik rumah menyambut kami dengan baik dan memintaku untuk memperkenalkan diri. Mereka adalah warga India yang tinggal di Indonesia, dan memiliki tiga anak yang masih kecil. 

Keduanya lalu menjelaskan tugasku di rumah mereka, dengan bahasa Indonesia berlogat India yang sulit aku pahami. Namun, aku iyakan saja kata-kata mereka. Sejak hari itu, aku mulai melaksanakan tugasku yakni membersihkan rumah, mencuci, mengepel, menemani anak majikan bermain, memandikan, menyuapi dan lain-lain. Aku sering mendapatkan omelan dari majikan karena kesalahan saat melakukan pekerjaan. Nelangsa rasanya ketika diomeli. 

Setelah 3 bulan merantau di Jakarta, aku pulang menjenguk orang tua di kampung. Mereka tidak mengizinkanku kembali ke Jakarta, karena tidak sanggup bila harus kembali melepasku pergi.

Aku kembali merantau dan bekerja sebagai asisten rumah tangga. Kali ini aku mengikuti ajakan seorang tetangga untuk berangkat ke Surabaya pada tahun 1999. Pekerjaan kali ini tidak seberat saat bekerja di Jakarta. Aku pun merasa betah, dan sanggup menjalani pekerjaanku selama setahun. Setelah itu aku berhenti, karena ingin mencoba pekerjaan lain.

Petualangan baru aku alami di tahun 2000. Seorang teman mengajakku untuk bekerja di Makassar, Sulawesi Selatan. Aku mengiyakan ajakan itu, tanpa berpikir panjang. Rasa penasaran dan keinginan untuk menimba banyak pengalaman dan juga penghasilan yang lebih baik agar bisa membantu orang tua mendorongku untuk berbuat nekad. Khawatir tidak diberi ijin, aku pergi tanpa berpamitan kepada orang tua.

 

Menikah Tanpa Restu

Kami naik kapal laut Bukit Siguntung menuju Makassar. Di kota itu, aku bekerja di sebuah warung makan khas Jawa. Setelah bekerja, aku mengontak orang tuaku. Awalnya mereka kaget, tetapi pada akhirnya mendukung keputusanku. 

Setelah bekerja selama satu tahun, pemilik warung tempatku bekerja memperkenalkanku kepada seorang laki-laki baik dan penuh perhatian. Dia berasal dari Palembang, Sumatera Selatan dan bekerja di kapal pembawa container. Aku sangat terkesan dengan pembawaannya yang bersahaja. Kami pun saling jatuh cinta. Satu tahun kami pacaran membuatku dimabuk cinta. Dia begitu sempurna di mataku.

Tahun 2003, kami memutuskan untuk menikah di Trenggalek tanpa meminta restu kepada orang tuanya. Pernikahan kami berjalan lancar. Pernikahan kami cukup harmonis meski terkadang jarak memisahkan akibat tuntutan pekerjaannya. Aku di Trenggalek, sementara suamiku berlayar menempuh perjalanan antara antara Jakarta – Surabaya – Medan. Aku pernah satu kali ikut berlayar.

Pada saat suamiku sedang cuti, aku diajak ke Palembang untuk menemui orang tuanya. Saat itu aku merasa sangat bahagia karena selama menjadi istrinya, baru kali itu aku  akan bertemu dengan keluarga suami.

Aku mendapat sambutan yang kurang baik dari mertua. Sikap ibu mertuaku jelas-jelas menunjukkan bahwa dia tidak menyukaiku. Namun, suami terus berusaha menguatkan hatiku. Hingga suatu hari, ibu mertua saya bertanya kepada saya, mengapa saya belum juga kunjung hamil? Saya hanya menjawab sambil menunduk, “ Belum Bu, belum dikasih.”

Aku kaget dengan reaksi mertuaku. Beliau berkata, “Kamu itu apa yang bisa diharap? Tidak berpendidikan, tidak bisa punya anak!”

Aku sungguh tidak menyangka mendengar kata-kata itu. Aku merasa sakit hati, tetapi hanya bisa menangis. Aku merasa tidak berdaya, karena hanya bisa diam sambil menangis. Ibu mertuaku bahkan dengan serius meminta suami untuk menceraikanku. Suamiku menolak, dia tetap ingin mempertahankan rumah tangga kami. Sikap suamiku membuat aku merasa kuat dan tersanjung.

 

Dua Kali Menjanda

Aku dan suami kembali ke Trenggalek di tahun 2005, setelah masa cuti suamiku habis. Sejak saat itu, suamiku mulai sering bertanya tentang kehamilan. Dia gelisah karena sampai saat itu aku belum juga menunjukkan tanda-tanda hamil.

Rumah tangga kami mulai goyah. Suami jarang menghubungiku ketika kapal bersandar di Pelabuhan. Sampai suatu hari, dia menghubungiku dan mengatakan hendak pulang untuk menceraikanku. 

Aku merasa dunia berhenti berputar. Semua mendadak terasa gelap. Tanpa sadar, aku menjatuhkan telepon genggam yang tadinya aku pegang. Badanku gemetar, aku terduduk lemas dan menangis. Hatiku terasa remuk redam, hancur berkeping-keping. 

Suami benar-benar menceraikanku di akhir tahun 2005, dengan alasan aku tidak bisa punya anak. Aku harus menghadapi kenyataan yang sangat pahit: menyandang status janda di usia muda. Setelah putusan pengadilan keluar, aku memutuskan untuk kembali bekerja. Aku berharap, dengan bekerja aku bisa sedikit melupakan rasa sakit hatiku.

Akhirnya, aku kembali ke Makassar. Selama menikah, aku sering mengontak pemilik warung makan tempatku bekerja dulu, juga teman-teman kerja. Aku bahkan sempat mampir ketika ikut suamiku berlayar.

Dua tahun setelah aku kembali bekerja, aku berkenalan dengan laki-laki asal Lamongan yang membuka warung lalapan di dekat tempatku bekerja. Aku merasa nyaman bersamanya, dan bisa menceritakan apapun kepadanya – termasuk statusku sebagai janda yang diceraikan karena tidak bisa punya anak. Namun, dia tidak peduli dengan statusku dan mau menerimaku apa adanya.

Singkat cerita, kami memutuskan untuk pulang ke Trenggalek dan menikah. Setelah menikah aku dan suami baruku kembali  ke Makassar. Aku membantu suami berjualan lalapan di warungnya. Pada saat pernikahan kami baru menginjak usia tiga bulan, aku dinyatakan positif hamil oleh dokter. Aku merasa tidak percaya, tetapi juga bahagia, mendengar kabar dari dokter, yang menyatakan bahwa aku hamil. 

Meski sedang hamil, aku masih terus membantu suami berjualan. Baru setelah usia kehamilanku menginjak bulan ke-8, aku pulang ke Trenggalek untuk menyiapkan persalinan. Aku merasa lebih nyaman didampingi Ibu dalam menyiapkan kelahiran anakku. Aku pulang sendiri tanpa suami, karena dia harus tetap bekerja dan mengurus warungnya di Makassar. 

Bangga, bahagia, haru, dan penuh syukur meliputi hatiku, ketika anakku lahir pada tanggal 28 Agustus 2008. Bayi perempuan yang cantik dan sehat. Aku memberinya nama: Zara Aulia Falisha Cantika Dewi. Saat itu, aku merasa menjadi perempuan yang sempurna. ”Alhamdulilah ya Allah!” seruku dalam hati. 

Aku meraih anakku dan memeluknya dengan linangan air mata kebahagiaan. Namun, di sisi lain, aku merasa sedih karena pada saat melahirkan suamiku tidak bisa mendampingi. Dia masih bekerja di Makasar, dan rencananya dua pekan kemudian baru akan pulang.

Aku hanya hanya didampingi Ibu, kakak perempuan  dan seorang sepupu ketika melahirkan. Pada saat itu, bapakku juga dalam keadaan sakit. Sehari semalam aku berada di Puskesmas. Keesokan harinya, aku beserta Ibu, kakak, dan anak tercinta pulang ke rumah. Semua anggota keluarga menyambut kami dengan suka cita. 

Pada saat usia anakku baru menginjak 11 hari, aku mendapat kabar bahwa suamiku mengalami kecelakaan. Aku kalut mendengarnya, dan tidak percaya mendengar kabar itu. Aku menelepon suami, tetapi temannya yang mengangkat dan mengatakan bahwa suami saya masih dalam penanganan dokter.

Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Di tengah kesibukanku merawat buah hati, aku terus-terusan merasa sedih, khawatir, cemas, dan berharap. Rasanya ingin segera berlari ke Makassar. Namun, apa daya. Kondisiku tidak memungkinkan untuk pergi. Aku tidak mungkin membawa anakku, atau meninggalkannya sendirian selama aku pergi menengok suami. 

Aku hanya bisa pasrah kepada Allah dan terus berdoa untuk suamiku. Baru setelah tiga hari aku bisa berkomunikasi dengannya melalui telepon. Sambil menangis, aku bertanya: “Mas, bagaimana keadaanmu di sana? Baik-baik saja kan, Mas? Tidak kenapa-kenapa kan, Mas?” Tanyaku bertubi-tubi di antara isak tangis.

Dengan suara lirih dan parau suamiku menjawab : “Aku baik-baik saja, Dek. Jangan khawatir. Jaga anak kita, jangan sampai dia ikut bersedih. Jaga anak kita dan diri kamu baik-baik. Aku minta doanya supaya cepat bisa bertemu kalian.”

Aku tidak bisa berkata-kata lagi, dan hanya bisa menangis sampai telepon ditutup. Satu minggu kemudian, suamiku dirawat di RS Makassar. Mertuaku kemudian datang ke Makassar untuk menjemputnya, dan melanjutkan pengobatan di Lamongan.

Bukannya merasa tenang, aku malah bertambah gelisah mendengar suamiku sudah dibawa ke Lamongan. Satu-satunya hiburanku adalah melihat bayiku yang semakin tumbuh dan berkembang. Aku bahagia sekali melihatnya. Namun, aku tetap merasa sedih, gelisah dan khawatir akan keadaan suamiku di Lamongan. Sekali waktu, aku pernah mencoba nekad untuk pergi membawa anakku menemui bapaknya. Entah kenapa, keluargaku selalu melarang. Mereka beralasan lebih baik aku menunggu anakku bertambah besar sebelum diajak pergi. 

Tanggal 9 April 2009, aku menerima telepon dari kerabat suami, yang mengabarkan bahwa suamiku telah meninggal dunia. Aku merasa seperti tersambar petir mendengarnya. Aku langsung menangis sambil memeluk erat anakku. Rasanya begitu menyesakkan dada. Aku belum mempertemukan anakku dengan bapaknya. Rasa bersalah ini terus menghantuiku hingga saat ini. 

Sejak saat itu, aku kembali menyandang status menjadi janda. Aku harus menjadi ibu sekaligus ayah bagi anakku. Saat itu aku kebingungan, tidak tahu bagaimana harus mencukupi kebutuhan anakku. Tidak mungkin aku terus bergantung pada orang tua. 

 

Aku Harus Kuat!

Aku mulai berpikir untuk mencari kerja. Dengan memberi penjelasan dan pengertian pada keluarga, aku meminta izin untuk bekerja dan menitipkan anakku kepada mereka. Aku cari informasi mengenai lowongan pekerjaan ke sana-sini, sampai akhirnya ada yang menawariku untuk bekerja di Bali. Berat rasanya meninggalkan anakku. Terlebih ketika memikirkan harus berhenti memberi ASI pada anakku, dan menggantinya dengan susu formula. 

Dengan langkah lunglai aku berangkat ke Bali di akhir tahun 2009. Berat sekali meninggalkan anakku untuk bekerja. Sepanjang perjalanan, aku menangis karena teringat anakku. Namun, aku harus tetap melangkah. Dalam hati aku berkata:

“Aku harus kuat demi anakku,  demi masa depannya, karena saya merasa bertanggung jawab penuh untuk kehidupan anak dan keluargaku. Semua itu bukan beban tapi kewajibanku. Dalam kondisi seperti saat itu aku harus mampu dan tidak boleh merasa terpuruk.” 

Di Bali, aku bekerja di warung makan di sebuah pasar. Tiap bulan, gaji yang aku dapat aku kirim ke rumah untuk anak dan orang tua. Aku hanya mengambil sedikit dari uang itu untuk membeli sabun dan pulsa. Empat bulan kemudian aku pulang karena sangat kangen dengan anakku. Rasa kangen yang begitu mendalam aku tumpahkan selama satu minggu,  kemudian aku kembali berangkat ke Bali untuk bekerja lagi. 

Bapakku jatuh sakit sejak tahun 2014. Beliau mengidap penyakit paru-paru. Aku memutuskan untuk tidak kembali bekerja di Bali karena harus mengurus dan merawat Bapak, juga karena pada saat itu anakku mulai masuk PAUD. Sambil merawat Bapak, aku bekerja di Pasar Pule. 

Tiap hari pasaran Wage dan Pahing, aku ke pasar naik ojek karena tidak bisa naik motor. Statusku sebagai janda mengundang pikiran negatif dari orang lain setiap kali aku naik ojek. Namun, cemoohan itu tidak pernah aku hiraukan, demi biaya berobat Bapak. Penghasilan kerja di pasar yang tidak seberapa membuatku harus berutang ke sana kemari untuk biaya pengobatan Bapak. Banyak orang menolak meminjami aku uang, karena aku tidak punya  jaminan. Sampai akhirnya aku sakit dan harus dirawat di rumah sakit. 

Aku terkena disentri. Sementara, pada saat yang sama keadaan Bapak juga sangat mengkhawatirkan. Aku pulang dari rumah sakit pada tanggal 7 Januari, dan empat hari kemudian, Bapak meninggal dunia. Aku merasa sedih sekali, karena menjelang Bapak meninggal aku tidak bisa merawat Bapak untuk yang terakhir kali. Bahkan, aku belum mampu untuk memandikan Bapak. Rasa bersalah, sedih dan kehilangan saat itu membuatku benar-benar merasa terpuruk. Aku sangat merasa bersalah kepada Bapak.

Baru pada pertengahan tahun 2016, aku bisa sedikit bangkit dari keterpurukan karena melihat anakku yang sudah masuk SD. Masih banyak utang yang harus aku bayar. Aku ingin bekerja lagi, tetapi Ibu dan anakku melarangku untuk pergi. 

Akhirnya aku memulai usaha membuka warung kecil yang menjual sembako. Aku juga membuat tempe, kue-kue basah, rempeyek kedelai,  rempeyek bayam, keripik singkong, es lilin, juga berjualan es campur. Perlahan-lahan aku mulai bangkit dengan dukungan dan semangat anakku yang sudah tumbuh semakin besar dan pintar. Aku terus berusaha. Sekecil apa pun peluang yang ada aku manfaatkan tanpa menghiraukan kata orang tentang status jandaku yang selalu dijadikan bahan gosip orang. Apa pun yang aku lakukan selalu dinilai negatif oleh mereka. 

 

Mulai Kenal Pekka

Pada 19 Mei 2020, aku mendapat undangan acara sosialisasi PEKKA di Balai Desa Karanganyar. Aku tidak mau datang, karena orang-orang bilang itu undangan khusus untuk janda. Perkataan itu membuatku malu untuk datang di acara yang diselenggarakan pada tanggal 20 Mei. Pagi harinya, aku ditelepon Bapak Kepala Desa untuk bersedia hadir. Beliau mengatakan bahwa aku harus hadir karena sosialisasi bisa jadi memberi manfaat. Aku hanya perlu duduk mendengarkan apa yang disampaikan. 

Dengan terpaksa, aku datang menghadiri undangan itu. Pada saat itu semua janda di desa  hadir. Aku mengambil kursi paling belakang. Acara dimulai dengan sambutan dari Kepala Desa, Bapak Kuslan, dan dilanjutkan oleh Mbak Eli dari Yayasan PEKA yang memaparkan tentang Pekka. Saat itu, Mbak Eli hadir bersama Bu Komariyah kader Serikat Pekka Subang.

Saat mendengarkan penjelasan Mbak Eli mengenai PEKKA, termasuk sejarahnya,  dalam hati aku berkata: “Kok program ini kayaknya bagus juga, karena sasarannya pemberdayaan perempuan kepala keluarga?”

Aku menjadi penasaran dan mencoba ikut bergabung di kelompok PEKKA. Saat itu, Mbak Eli mengatakan akan ada acara Pelatihan Visi, Misi, dan Motivasi Berkelompok.

Dua hari kemudian, aku kembali mendapat undangan ke Balai Desa Karanganyar. Menurut informasi  akan ada Pelatihan Visi, Misi dan Motivasi Berkelompok. Karena penasaran, aku kembali datang. Saat itu yang datang bukan lagi Mbak Eli, tetapi Mbak Dhesi, Teh Evi. dan Bu Komariyah. 

Satu per satu peserta yang hadir diminta untuk memperkenalkan diri oleh Mbak Dhesi. Aku gemetaran saat memegang mikrofon. Maklum, sebelumnya aku tidak pernah memegang benda ini. Setelah itu, Mbak Dhesi dan Teh Evi mengajak kami bernyanyi. Senang juga rasanya. Suasana menjadi  penuh canda dan tawa. Kami juga mendapat gambaran mengenai pentingnya persatuan dari permainan sapu lidi, juga komunikasi dengan bermain bisik berantai. Suasana menjadi semakin seru. Rupanya hari itu merupakan acara Pelatihan Motivasi Berkelompok dan keesokan harinya dilanjutkan dengan Pelatihan Visi dan Misi.

Sejak saat itu, aku kepincut dengan kegiatan PEKKA. Pelatihan itu juga diisi dengan pembagian kelompok, dan aku termasuk dalam Kelompok Ponggok 2 Karanganyar. Nama itu sekarang diubah menjadi Kelompok Pekka Fatimah. Aku ditunjuk menjadi bendahara kelompok.

Rasa senang yang timbul sejak aktif di kegiatan Pekka membuatku tidak menghiraukan kasak-kusuk omongan orang terhadapku. Apalagi setelah aku mulai mencoba menulis di Cermin Pekka, yang dipandu Mbak Dhesi dan Teh Evi. 

Pada tanggal 20 Agustus, aku mendapat telepon dari Mbak Dhesi dan pesan melalui WhatsApp dari Teh Evi. Keduanyanya memintaku untuk ikut pelatihan Jurnalisme Warga Pekka di Bogor. Aku melonjak kegirangan. Aku senang sekali mendapat kesempatan untuk mendapat ilmu dan pengalaman. Aku berencana berangkat bersama kader dari Dongko, Mbak Susan. Aku sudah berkoordinasi dengan Mbak Endah untuk mengurus transportasi keberangkatanku. Sayangnya, pada tanggal 25 Agustus, aku mendadak sesak nafas dan harus opname. Kandas sudah harapanku untuk ke Bogor. Sedih dan putus asa rasanya saat itu. 

 

Mengikuti Pelatihan Tingkat Nasional PEKKA

Alhamdulillah, masih ada kesempatan kedua bagiku. Pada tanggal 1 September 2019, Teh Evi memintaku untuk menyiapkan diri, bahwa pada tanggal 7 September aku akan berangkat ke Bogor mengikuti Pelatihan Community Organizer. Aku merasa sangat senang dan berterima kasih kepada Mbak Dhesi dan Teh Evi yang telah memberikan kesempatan kedua kepadaku. 

Seperti yang sudah dijadwalkan, aku berangkat bersama 4 kader Pekka dari Dongko: Bu Titin, Bu Nanik, Bu Parti Pringapus dan Bu Partiwi. Kami tiba di Gadog satu hari kemudian, yakni pada tanggal 8 September. Pelatihan ini diadakan di Pusdiklat Alta Karya, Desa Sukamanah, Gadog, Bogor, Jawa Barat. Kami bisa berkenalan dengan banyak kader Pekka dari seluruh Indonesia di pelatihan ini.

Acara yang berlangsung sejak tanggal 9 hingga 15 September ini membuatku sangat bersemangat dan senang. Banyak ilmu dan pengalaman yang aku dapatkan. Pada hari pertama, kami diminta berkenalan dengan teman dari daerah lain, dan saat itu Mbak Nunung yang memandu kami memintaku untuk memilih teman. Aku pun berteman dekat dengan Nilawati dari Aceh. Dia orang yang sangat baik. 

Tiap hari selama pelatihan, bergantian orang  yang mengajari kami. Kebetulan ketika kami di sana, Bunda Nani (Direktur Yayasan PEKKA) sedang berulang tahun. Ketika Bunda Nani yang saat itu di tengah memberikan materi, putra dan putri Bunda Nani datang memberi kejutan sambil membawa kue ulang tahun. Kami ikut merayakan, merasakan kebahagiaan dan memberi selamat kepada beliau.

Pada tanggal 13 September 2019, kami diajak berkunjung ke kelompok Pekka di Cianjur.  Kami dibagi menjadi beberapa kelompok serta didampingi para mentor. Aku mendapat kelompok yang dimentori oleh Teh Mibna. 

Di Cianjur, kami mendapat pelajaran dari kelompok Pekka yang sudah terbentuk hampir dua puluh tahun. Kami juga diajari cara membuat kerajinan dari bungkus kopi bekas, sambil disuguhi aneka camilan. Setelah itu, kami melanjutkan  perjalanan ke Center Pekka Cianjur, tempat kami beristirahat dan makan siang. Bu Imas yang merupakan mantan ketua Federasi sebelumnya membagi pengalamannya dengan kami tentang bagaimana awal Bu Imas masuk Pekka sampai sekarang. Cerita dari Bu Imas sangat menginspirasiku untuk terus maju, terus berjuang demi masa depan, serta memperjuangkan hak-hak perempuan. 

Dari Cianjur, kami melanjutkan perjalanan ke Kebun Raya yang berlokasi di Bogor. Kami berfoto-foto di sana. Senang rasanya bisa ke Kebun Raya. Tanpa terasa waktu sudah sore. Kami kembali ke Pusdiklat Alta Karya. Pada malam hari setelah makan malam, kami beristirahat. Keesokan paginya setiap kelompok mempresentasikan hasil perjalanan kami kemarin, dan kemudian bersiap-siap untuk pulang. 

Sungguh mengesankan. Kami mengadakan perpisahan dengan isak tangis. Telah satu minggu kami bersama, dan besok pagi kami harus berpisah. Mbak Endah menanyakan kepada kami rombongan Pacitan dan Trenggalek mau naik apa? Bis atau pesawat?  Tentu kami mau naik pesawat supaya perjalanan lebih cepat  sampai ke rumah. 

 

Bergerak Bersama Pekka di Kampung Halaman

Tanggal  16 September 2019, dengan semangat baru  dan dengan banyak pengalaman serta pengetahuan baru kami pulang kembali ke Jawa Timur naik pesawat. Aku dijemput oleh anak dan keluarga di Terminal Trenggalek dengan suka cita. 

Aku pulang membawa ilmu dan pengalaman. Selanjutnya, setelah saat itu aku aktif menghadiri pertemuan kelompok untuk berbagi ilmu yang aku dapat dari pelatihan di Bogor dengan anggota kelompok Pekka yang lain. 

Aku agak kaget ketika dipanggil untuk datang ke Balai Desa oleh Bapak Kades,  Bapak Kuslan dan Ibu Kades, Ibu Supiani. Rupanya mereka diminta untuk mempertemukanku dengan Bapak Camat saat itu, Bapak Kiki. Beliau tertarik untuk bertanya dan mendengar cerita mengenai ilmu dan pengalaman yang aku dapat selama mengikuti di Bogor.

Aku bangga sekali, sekaligus merasa deg-degan karena bisa bertemu dengan Bapak Camat. Selama hidup, baru kali itu aku bisa bertemu dengan orang yang jabatannya setinggi Bapak Camat. Dengan senang hati aku menceritakan semua proses yang aku ikuti selama pelatihan di Bogor. Pak Camat, Bapak dan Ibu Kades sangat mendukung Pekka dan memberi semangat kepadaku untuk terus lebih maju bersama Pekka. 

Pada tanggal 20 September 2019, aku bersama Mbak Dhesi, kader desa Watini, dan Ayu Octavia berkunjung ke Balai Desa Karanganyar untuk melakukan sosialisasi tentang KLIK PEKKA (Klinik Layanan Informasi dan Konsultasi) dan meminta izin untuk mengadakan KLIK di Desa Karangayar. Alhamdulillah, pihak pemerintah Desa Karanganyar menyambut baik kehadiran kami dan memberi ijin serta mendukung dan membantu proses KLIK. Setelah kami pamit, kami berangkat menuju Desa Tanggaran untuk Pelatihan Visi dan Misi. Naas, Mbak Dhesi kehilangan dompetnya. Aku baru mengetahui kabar tentang Mbak Dhesi yang kehilangan dompetnya sore hari, setelah aku tiba di rumah. Selama aku bersama Mbak Dhesi, aku tidak melihat Mbak Dhesi mengeluarkan dompet. Untunglah, dua hari kemudian dompet mbak Dhesi ditemukan oleh orang Pule. 

Tanggal 23 September  2019, kami mengadakan rakor di Desa Sumberbening untuk persiapan KLIK. Mbak Dhesi menunjukku sebagai koordinator KLIK. Sebelum KLIK dilaksanakan, kami menyiapkan semua kelengkapan. Aku bersama Mbak Dhesi mengantar undangan ke kantor kecamatan dan Dinas Pendidikan. Selanjutnya, bersama kader lain, aku memasang selebaran di tempat-tempat yang bisa dilihat, dan lain-lain. Bangga rasanya, aku bisa menjadi koordinator untuk acara sebesar itu, dan bisa berkunjung ke kantor-kantor pemerintahan yang sebelumnya tidak pernah aku datangi. Karena tidak bisa naik motor, aku naik ojek. Rasa capek tidak terasa karena semangat yang tinggi di hatiku.   

Kami, tim yang terdiri dari kader dan pengurus Serikat Pekka Trenggalek menyelenggarakan KLIK PEKKA yang pertama kali di Trenggalek di Desa Karanganyar pada tanggal 1 Oktober 2019. Aku  sangat bangga karena desaku terpilih untuk menjadi lokasi yang pertama penyelenggaraan KLIK. KLIK berjalan dengan lancar, walaupun masih ada kesalahan komunikasi, tetapi itu semua bisa kami atasi dengan baik. Karena masyarakat yang hadir membludak, acara baru selesai pada pukul 17.00 WIB. Rasa capek setelah seharian wira-wiri tak terasa karena semangatku untuk membantu masyarakat mengurus adminduk dan pelayanan lain.

Pada tanggal 2 Oktober 2019, kami menyelenggarakan Diskusi Kampung. Acara ini merupakan hasil evaluasi  KLIK PEKKA yang kemarin kami selenggarakan. Saat itu pagi-pagi aku sudah datang untuk menyiapkan meja dan makanan kecil. Namun, pada saat acara dimulai aku langsung disuruh maju untuk menjadi dirigen dan memimpin menyanyikan lagu Indonesia. Laaah…, aku jelas kaget karena tidak mempersiapkan diri sebelumnya. Demi lancarnya acara, dengan gemetar aku maju dan berusaha untuk tenang meskipun banyak melakukan kesalahan. Untung saat itu aku mengenakan rok panjang, sehingga pada saat berdiri tidak ada yang melihat bahwa kakiku bergoyang-goyang karena gemetar. Syukurlah, akhirnya acara berjalan dengan lancar dan sesuai dengan harapan kami. Masing-masing pihak merasa senang, dan Bapak Kades siap menganggarkan dengan Dana Desa untuk penyelenggaraan acara yang serupa tahun berikutnya. 

Setelah itu, banyak kegiatan yang aku hadiri sebagai perwakilan Pekka. Misalnya adalah Peluncuran Sepeda Keren di Trenggalek pada tanggal 4 Oktober 2019. 

Aku kembali mendapat kesempatan untuk menghadiri undangan dari Bapak Bupati pada tanggal  21 November 2020. Semua kader Pekka Trenggalek hadir di acara yang diselenggarakan di Cafe Whening Trenggalek. Dalam acara tersebut Bupati Ngamen, Bapak Ipin, berbagi pengalaman beliau saat mengunjungi Amerika Serikat. Saat itu kami semua, para kader Pekka  berkesempatan untuk berjabat tangan bahkan berfoto bareng bersama Bapak serta Ibu Bupati beserta putra putri beliau. 

Aku tidak menyangka bisa mendapatkan kesempatan ini. Aku yang hanya orang desa dan bukan siapa-siapa bisa berfoto bersama keluarga orang nomor 1 di Trenggalek. Semua ini bisa terjadi karena PEKKA. Sesampainya di rumah, aku memperlihatkan foto-foto bersama Bapak dan Ibu Bupati beserta keluarga kepada keluarga. Mereka ikut bangga. Ibuku sampai terharu dan menitikkan air mata.

Kegiatan berikutnya yang aku ikuti adalah undangan dari Balai Desa Karanganyar, berisi sosialisasi dan pemilihan calon peserta Sepeda Keren, tanggal 26 November 2019. Para mentor Sepeda Keren ternyata sudah mengetahui visi dan misi Pekka hingga berkali kali aku diminta untuk mengomentari apa yang disampaikan serta dimintai pendapat. Alhamdulillah, aku sangat bangga. 

Pada tanggal  27 Januari 2020, kader Pekka Wilayah Kecamatan Pule kembali menyelenggarakan KLIK Pekka di Desa Jombok. Kali ini aku menjadi petugas di bagian Konsultasi Sosial. 

Acara berjalan dengan lancar dan banyak masyarakat yang datang. Suasana lebih terkendali karena kami belajar dari penyelenggaraan KLIK di Karanganyar. Acara selesai pukul 3 sore. Dengan sigap, kami semua kader dan pendamping lapang bahu membahu menyelesaikan menyelesaikan tugas kami. Tidak jauh berbeda dari KLIK di Karanganyar, sebagian besar kasus yang kami temui adalah adminduk.  

Pada tgl 30 Januari 2020, aku hadir dalam acara Musrena Keren (Musyawarah Rencana Pembangunan Perempuan, Anak dan Kelompok Rentan). Bapak dan Ibu Kepala Desa, anggota BPD, dan tokoh masyarakat hadir dalam musyawarah tersebut. Ini merupakan kali pertama aku menghadiri MUSRENA KEREN. Aku tidak mengerti apa yang akan dibahas, atau apa dan  bagaimana isi acaranya. Dalam sesi diskusi, setiap desa diharuskan memilih wakil untuk pendapat dan permintaan. Aku diam saja karena di antara peserta yang hadir, ada banyak wakil dari Pemerintah Desa Karanganyar. Namun, begitu hampir tiba giliran Desa Karanganyar, tiba-tiba Ibu Kepala Desa berkata, “Mira saja yang menyampaikan.” Aku terkejut dan menjawab:

“Lho Bu, kok saya?”

Aku tidak menyiapkan materi, dan tidak ada dari pihak desa yang sebelumnya menyampaikan informasi tentang diskusi hari itu. Aku menghampiri Ketua BPD dan Bapak Kepala Desa untuk menyampaikan bahwa aku tidak siap, dan berpikir bahwa lebih baik Bapak Ketua BPD yang menyampaikan. Tapi Bapak BPD menolak dan mengatakan, “Mira saja ya…” Aku bertanya kepada Bapak Kepala Desa, apa-apa saja yang perlu aku sampaikan. Bapak Kepala Desa malah menyerahkan sepenuhnya kepadaku.

Waaduuuh! Aku kebingungan. Belum sempat berpikir, nama Desa Karanganyar sudah disebut. Seorang petugas lalu mengantar mikrofon kepadaku. Dengan gemetar aku berdiri dan mengucapkan salam. Aku juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Camat serta Bapak Kepala Desa Karanganyar beserta BPD atas kesempatan yang diberikan kepadaku. Aku lalu memperkenalkan diri :

“Saya Mirawati wakil desa Karanganyar saya dari Pekka.”

Setelah itu tanpa berpikir lagi, aku berbicara dengan gemetaran. Bahkan mikrofon yang aku pegang bergoyang kuat saking gemetarnya. Hal pertama yang aku sampaikan adalah perlunya pembangunan fisik di Desa Karanganyar, yaitu jalan poros desa, selanjutnya jalan lintas desa yang belum tembus. Aku meminta agar jalan tersebut segera dibangun karena perekonomian masyarakat akan sangat terbantu dengan adanya jalan tembus antara Desa Suko Kidul dan Karanganyar. Selama ini penduduk di kedua desa tersebut terkendala masalah transportasi. Aku juga menyampaikan agar pihak pemerintah desa dan kecamatan untuk mendukung Pekka, dan membantu setiap kegiatan Pekka, serta memberikan pendampingan keterampilan untuk kaum rentan. Juga pesan titipan dari Mbak Rinawati, mentor Sepeda Keren, agar program ini dilanjutkan. Aku menutup usulanku salam. Para peserta bertepuk tangan ketika aku duduk. Mereka semua tidak tahu, aku hampir terkencing-kencing saat itu. 

Pada Tanggal 4 Maret 2020, kami mengadakan FPK (Forum Pemangku Kepentingan) di Rumah Perempuan Trenggalek. Ini adalah FPK pertama yang kami adakan. Semua persiapan kami lakukan dengan matang, mengingat tamu undangan yang akan hadir adalah orang-orang penting dalam pemerintahan. Alhamdulilah semua acara berjalan dengan lancar. 

Setelah penyelenggaraan FPK, semua kegiatan kami terhenti karena adanya pandemi Covid-19. Secara otomatis, semua pertemuan kelompok menjadi vakum akibat pandemi ini. Bulan April 2020, Seknas Pekka memberi bantuan sembako bagi anggota kelompok yang terkena dampak Covid-19. Aku mencari data anggota di Desa Karanganyar dan Desa Tanggaran, yang memang pantas mendapatkan sumbangan sembako karena mereka belum mendapat bantuan dari pemerintah. 

Pada tanggal 3 Mei 2020, tepatnya pada bulan puasa, kami membagikan sumbangan kepada anggota Pekka. Aku bertugas membagikan sumbangan dari Desa Jombok, Desa Tanggaran dan Desa Karanganyar kepada anggota Pekka di Desa Tanggaran bersama ketua kelompok Pekka Sukun Jaya Ibu Hartini, dan di Desa Karanganyar bersama Ibu Kepala Desa, Supiani dan kader Pekka Watini dan Ayu Octavia. Kami mendatangi para anggota di rumah mereka masing-masing untuk menyerahkan bantuan sembako. Anggota yang menerima sangat senang dan berterima kasih kepada Yayasan PEKKA yang telah peduli dan memberikan sumbangan kepada mereka. 

Aku kembali mendapat undangan untuk hadir di sebuah acara. Kali ini adalah Musyawarah Dusun yang diadakan di rumah Kepala Dusun Karanganyar, Bapak Sarjono, pada tanggal 13 Juli 2020. Peserta yang hadir jumlahnya sangat terbatas, karena masih dalam masa pandemi dan kami semua harus memenuhi protokol kesehatan. Aku diundang sebagai wakil kelompok Pekka.

Kali ini aku sudah menyiapkan permintaan, mengingat pengalaman dari MUSRENA KEREN. Pada saat giliranku untuk berbicara, aku langsung mengajukan permintaan lahan di tanah desa untuk anggota pekka yang mayoritas petani. Lahan tersebut akan kami tanami empon-empon untuk diolah menjadi obat herbal, tanaman bahan dasar membuat kue. Aku juga meminta lahan di taman desa untuk mendirikan bangunan sebagai tempat Pekka Mart untuk menjual semua produk Pekka. 

Saat itu aku memiliki impian agar semua hasil pertanian dari anggota Pekka bisa dijual di Pekka Mart, atau diolah untuk dijual di sana. Jadi, dari kita untuk kita dan untuk semua guna memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat, karena Bumdes merupakan wadah seluruh aktivitas ekonomi desa. Oleh karena itu, aku meminta agar Pekka Mart dimasukkan sebagai unit usaha perdagangan desa. Selain itu, aku meminta untuk dilibatkan dalam Program Pamsimas, yakni pengadaan air menjadi air minum yang menyehatkan. 

Dalam hati aku bergumam: “Hmmm, mimpiku terlalu besar. Dengan segala keterbatasan pengalaman aku memimpikan semua bisa terwujud, amin.”

Pada tanggal 29 Juli 2020, Mbak Dhesi memintaku untuk ikut Pelatihan Enumerator secara daring melalui aplikasi Zoom. Pelatihan ini bertujuan untuk mendata anggota Pekka.  Aku berangkat dengan diantar anak ke rumah Mbak Susan di Desa Sumberbening untuk mengikuti pelatihan selama sehari.

Meski pelatihannya hanya satu hari, setelah itu aku dan kader lainnya harus mendata semua anggota Pekka di wilayah Kecamatan Pule, baik anggota yang masih aktif ataupun yang sudah tidak aktif. Pada saat aku mendata kelompok yang sudah tidak aktif, yaitu kelompok Pekka Keluarga Sejahtera di Desa Tanggaran, aku dan anakku yang mengantar mendapat perlakuan yang  kurang menyenangkan. Aku harus menunggu hingga dua jam, tetapi aku tidak diizinkan untuk mendata. Padahal, aku sudah menghubungi salah seorang dari mereka sebelumnya. Aku dan anakku dibiarkan menunggu di teras, tanpa dipersilakan masuk. Akhirnya orang yang menerimaku mengatakan bahwa mereka tidak mau lagi bergabung dengan Pekka karena waktu itu tidak mendapat bantuan sembako dari Pekka. Dengan sopan, aku berusaha menjelaskan kriteria penerima bantuan. Namun, penjelasan itu tetap tidak didengarkan. Aku pun pergi dari desa itu dan melanjutkan perjalanan untuk mendata kelompok lain. 

Mbak Dhesi kembali mengontakku pada tanggal 25 September. Aku diminta mengikuti rapat Federasi Serikat Pekka bersama Bu Titin Handayani. Aku hadir mewakili Pekka Kecamatan Pule dan Bu Titin mewakili Pekka Kecamatan Dongko. Rapat ini diadakan melalui aplikasi Zoom. Aku mengikuti rapat dari rumah, dan tidak bersama Bu Titin. Pada saat masuk kelas kecil saya menyampaikan kepada Mbak Dhesi dan semua peserta rapat yang masuk kelas kecil mengenai apa-apa yang aku ajukan saat Musdus, dan aku meminta kepada Mbak Dhesi agar kami para kader mendampingi setiap pertemuan kelompok di wilayah, agar kelompok selalu kuat.

Pada tanggal 4 November 2020, aku kembali mengikuti pelatihan. Kali ini adalah pelatihan menulis untuk EnsikloPekka melalui Zoom. Pada awalnya aku tidak tahu apa itu EnsikloPekka. Namun, karena aku selalu “haus” dengan ilmu dan pengalaman baru, apa pun acara webinar, aku selalu ikuti. Pada saat itu, Bunda Nani menjelaskan apa yang dimaksud dengan EnsikloPekka, dan aku dapat memahaminya. Pada saat dibagikan timeline tentang Ibu Mahdalena, aku langsung membuat tabel di buku tulis dan mengirimnya ke Mbak Dhesi. Dari sini aku belajar membuat table, setelah itu selama berhari-hari, berdasarkan dari tabel timeline, aku menceritakan semua kejadian berurutan dan menjadikannya sebagai tulisan mengenai diriku untuk EnsikloPekka. 

Aku bersyukur telah bergabung dengan Pekka, bersama Pekka aku merasa menjadi bagian penting dari gerakan perempuan kepala keluarga. Aku berharap kelompok Pekka yang ada di Trenggalek terus berkembang dan terus memberikan manfaat kepada perempuan dan masyarakat pada umumnya.

Bagikan Cerita Ini

Cerita Terkait

Leave a Comment