Pekka Menjauhkanku Dari Rentenir

Aku sempat terjerat bank renten yang merugikanku. Kegiatan simpan-pinjam yang diadakan koperasi Pekka benar-benar membantuku terhindar dari pinjaman yang menjerat semacam itu. Dukungan suami dan anak membuatku maju bersama Pekka

Riuh rendah suara ibu-ibu saling memanggil satu sama lain untuk segera berkumpul di rumah seorang tetangga. Lalu, seorang ibu meneriaki tetangga yang tinggal di sebelah rumahku agar bergegas. Aku intip, penasaran, ada apa rame-rame? Oh iya, hari ini adalah hari pertemuan bank emok.

Bank emok adalah sejenis “bank keliling” yang memberikan jasa pinjaman uang tunai. Emok sendiri berasal dari bahasa sunda yang berarti cara duduk perempuan saat lesehan, yakni dengan bersimpuh menyilangkan kaki ke belakang. Penyalur dana ini diberi nama bank emok lantaran transaksi dilakukan secara lesehan, dengan menargetkan emak-emak. Peminjamnya adalah ibu-ibu yang bergabung dalam kelompok, minimal terdiri dari 10 orang.

Aku sendiri pernah meminjam di bank emok, ketika anak pertamaku sakit tifus. Anakku mengalami demam tinggi, dan harus dirawat di rumah dengan bantuan seorang mantri. Biaya perawatan anakku mencapai Rp 1.800.000,00, sedangkan uangku hanya 1 juta rupiah. Aku kemudian meminta waktu satu minggu kepada mantri tersebut untuk melunasinya. Aku meminjam pada saudaraku, sayangnya saudaraku juga bukan orang mampu. Sehingga aku tidak berhasil mendapat pinjaman. 

Kebetulan, rumah tetanggaku menjadi tempat berkumpulnya bank emok. Aku bertanya kepada tetanggaku, bagaimana agar bisa meminjam di bank emok. Tetanggaku kemudian mengajakku untuk bergabung di kelompoknya. Aku diminta menyerahkan fotokopi KTP suami, isteri dan Kartu Keluarga. Aku akhirnya mendapat pinjaman sebesar Rp1.500.000.00, meski pada kenyataannya uang yang aku dapatkan tidak sebesar itu. Ada potongan administrasi dan ada simpanan tabungan sebesar Rp 150.000,00. Jadi, uang yang aku terima hanya sebesar Rp 1.350.000,00. Pinjaman itu harus aku cicil selama 50 minggu. Setiap minggu aku harus membayar Rp 37.500,00. Jumlah total uang yang harus aku kembalikan adalah sebesar Rp 1.875.000,00. 

Sistem peminjaman di bank emok adalah tanggung renteng. Artinya, jika ada nasabah yang tidak hadir dan tidak membayar cicilan, maka anggota kelompok yang lain harus membayar cicilan anggota yang tidak hadir. Dengan demikian, anggota yang tidak membayar cicilan, atau kredit macet, akan ditagih dan dimarahi oleh teman-teman satu kelompoknya. 

Di desaku ada banyak ragam bank emok. Meminjam di bank emok sangat gampang. Tidak ada agunan seperti di bank konvensional. Asal mau hadir tiap minggu dan mau bayar tepat waktu, bisa langsung jadi nasabah. Makanya bank emok sangat diminati di kalangan ibu-ibu. Sangking gampangnya, banyak tetanggaku yang sampai meminjam di tiga bank emok

Awalnya bank emok menawarkan pinjaman permodalan usaha, misalnya untuk berdagang. Sayangnya, banyak anggota yang meminjam bukan untuk keperluan tersebut, melainkan untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Sedangkan angsuran harus dibayar setiap minggu. Bagi mereka yang tidak punya usaha, pinjaman itu menjadi lilitan hutang yang tidak kunjung selesai. Mereka harus mencari pinjaman baru untuk membayar cicilan mereka. “Gali lubang tutup lubang,” istilahnya. Untunglah, saat itu aku berjualan makanan di depan rumah. Aku berjualan sosis bakar, seblak dan jajanan anak-anak. Hasilnya aku pakai untuk membayar angsuran bank emok. Dengan begitu, aku tidak berlama-lama terlilit hutang. 

Sekarang aku tidak harus merasa bingung bila membutuhkan uang pinjaman. Aku bisa meminjamnya kepada koperasi Pekka. Seperti yang aku lakukan baru-baru ini, aku meminjam uang sebesar satu juta rupiah. Jumlah yang aku terima utuh, tanpa potongan apa-apa. Pengurus koperasi Pekka membuat kebijakan dengan memintaku membayar jasa administrasi sebesar 1% dari jumlah pinjaman, yakni Rp 10.000,00. Kebijakan ini diambil karena aku hanya meminjam selama dua pekan. Aku senang sekali. aku benar-benar merasakan manfaat dari bergabung dengan Pekka, dan menjadi anggota koperasi Pekka.

 

Masa Kecilku

Namaku Sri Umiyani, lahir di Karawang tahun 1976. Aku punya satu kakak perempuan dan dua adik laki-laki. Ayahku bekerja sebagai kuli serabutan. Kadang bekerja sebagai tukang bangunan, kadang bekerja di bengkel. Meskipun kurang berpendidikan, ayahku serba bisa. Tingkat pendidikan ibuku lebih tinggi dari ayahku. Beliau lulusan SMA, dan perempuan yang pintar. Beliau bisa berbahasa Inggris. Aku ingat waktu aku kecil, aku pernah melihat ibuku diminta menemui seorang warga asing yang menjadi tamu di desa kami. Karena pintar, ibuku bekerja sebagai juru ketik di balai desa. 

Aku dibesarkan di desa. Rumah kami terletak di pinggir sungai dan dikelilingi area persawahan. Pemandangan indah dan udara yang sejuk di pagi hari membangkitkan semangat. Desaku tidak bisa dibilang terlalu sepi. Jaraknya hanya sekitar 5 km dari kota kecamatan dan 10 km dari kota kabupaten. 

Aku sendiri tidak melanjutkan sekolah setelah tamat dari madrasah tsanawiyah, karena tidak ada biaya. Tingginya keinginan untuk membantu orang tua mencari uang, aku langsung mencari pekerjaan setelah lulus. Awalnya, aku hanya menjaga toko milik paman. Gajinya tidak seberapa. Setelah beberapa lama, aku memutuskan untuk bekerja di sebuah pabrik sepatu di Bekasi. Lumayan, gaji yang aku dapat bisa untuk membiayai adik-adikku sekolah.

Pada 1997, aku menikah. Suamiku, seorang pekerja pabrik, melarangku untuk bekerja. Menurutnya, laki-lakilah yang harus mencari nafkah. Ia memang laki-laki yang baik dan bertanggung jawab. Ia selalu baik kepada keluarganya, juga kepada keluargaku. Suamiku pun mampu menguatkanku, ketika ibuku meninggal dunia pada tahun 1999. Kami dikaruniai dua anak laki-laki. Setelah menikah, hidupku hanya berpusat pada rumah, mengurus anak dan suami. 

 

Pekka Memberiku Jalan

Pada 2008, pabrik tempat suamiku bekerja terguncang karena krisis keuangan global. Meski sudah 13 tahun bekerja, suamiku ikut terkena PHK. Kami memanfaatkan uang pesangon dari pabrik untuk merintis usaha. Aku membuka warung kecil di depan rumah, menjual makanan kecil dan jajanan anak-anak. Suamiku juga mulai berdagang keliling.

Jauh di lubuk hatiku, aku berkeinginan untuk maju, sukses, dan bermanfaat untuk orang lain. Aku mulai tertarik bergabung dengan Pekka setelah ada seorang saudaraku yang menjadi anggotanya. Aku lihat, ia sering sekali ikut kegiatan, bahkan sampai ke Cianjur, Sukabumi, dan kota-kota lainnya. 

“Enak ya, anggota Pekka itu bisa jalan-jalan terus.” Itu terus yang ada di pikiranku saat itu. Aku bertanya kepada saudaraku itu: “Bisa nggak, aku ikut Pekka?” 

“Tanya dulu sama suamimu,” jawab dia.

Aku pun bertanya kepada suamiku. Pada saat itu, suamiku tidak mengizinkan karena anak-anak masih kecil. Akhirnya aku hanya bisa memendam keinginanku itu.

Di tahun 2017, aku melihat anak-anakku sudah besar. Aku utarakan lagi keinginanku kepada suami. Kali ini, ia mengizinkan. Ia bahkan benar-benar mendukungku. Suamiku tahu, bertahun-tahun aku memendam keinginan itu. Aku pun mengikuti kegiatan Pekka dengan aktif. Kegiatan apa pun yang diadakan Pekka aku ikuti. Tidak peduli apakah aku harus menutup warung dan tidak  berjualan berhari-hari. Untunglah suamiku selalu mengingatkan, bahwa ada ilmu yang bermanfaat di setiap pelatihan. Aku jadi tambah bersemangat.

Ketua Serikat Pekka Karawang, Ibu Astini, selalu memotivasi. “Ayo belajar, pasti bisa. Semua berawal dari belajar.” Motivasi dari Bu Bro, begitu Ibu Astini biasa dipanggil, mendorongku untuk berani dan percaya diri. Aku ingat saat pertama kali bicara di depan umum, yakni saat ditunjuk untuk menjadi pembawa acara dalam kegiatan Diskusi Kampung di Desa Pulo Sari. 

Saat itu, pembawa acara yang bertugas tidak dapat hadir. Aku kemudian disuruh menggantikan. Awalnya aku menolak. Aku malu dan minder. Namun, Bu Bro dan Bu Ovi, seorang kader Pekka yang telah lama bergabung dengan Pekka menguatkanku. “Teh Umi pasti bisa. Jangan takut salah,” begitu kata Bu Ovi. Aku mengambil napas lega ketika acara selesai. Peristiwa ini menjadi awal dari rasa percaya diriku.

Aku tergabung dalam kelompok Pekka Sekar Wangi, yang ada di desaku. Anggotanya ada 11 orang. Kelompok ini diketuai oleh Ibu Maemunah. Usianya sudah lanjut, sehingga setiap ada rapat Serikat Pekka di tingkat kabupaten, beliau selalu memintaku untuk hadir mewakili kelompok. Rapat serikat ini penting, karena selalu ada informasi atau perkembangan yang perlu untuk disampaikan kepada kelompok Pekka di tingkat desa. Lama kelamaan, Ibu Maemunah dan anggota lain mengangkatku menjadi ketua, menggantikan Ibu Maemunah. Awalnya aku merasa berat, karena sebagai ketua kelompok, aku harus bisa memajukan kelompokku.

Kegiatan rutin di kelompokku adalah simpan-pinjam. Kegiatan ini dilakukan setiap tanggal 10, saat pertemuan rutin diadakan. Simpan-pinjam diisi dengan membayar simpanan pokok sebesar Rp 50.000,00 dan simpanan wajib Rp 5.000,00. Simpanan pokok cukup disetorkan satu kali, sementara simpanan wajib disetor di setiap pertemuan. Uang yang terkumpul kemudian aku setorkan ke Koperasi Pekka Sri Rejeki pada pertemuan bulanan. Anggota kelompok dapat meminjam uang dari koperasi ini, baik dalam bentuk pinjaman kelompok maupun pinjaman perorangan. Selain kegiatan ini, pertemuan rutin juga diisi dengan rencana kegiatan bulan berikutnya. 

Agar kelompokku maju, aku membuka usaha kelompok berupa pembuatan keripik pisang dan telur asin. Semua anggota bekerja sama memproduksi dan memasarkannya di lingkungan sekitar kami. Pada Januari 2021, kami mendapat tambahan modal usaha dari BisaKita sebesar satu juta rupiah. Tambahan modal ini menambah jumlah produksi, dan berimbas pada keuntungan kami. Hasil dari penjualan tersebut kami kumpulkan untuk kemudian dibelikan daging saat menjelang Lebaran. 

Pengalaman ini membuatku paham akan banyaknya manfaat yang bisa didapat dari Pekka untuk meningkatkan ekonomi kami, baik secara pribadi maupun kelompok. Para anggota Pekka akhirnya mendapatkan cara untuk menambah penghasilan melalui berbagai program yang diadakan Pekka.

 

PekkaMart

Selain menjadi ketua kelompok, aku juga menjabat sekretaris Pekka Mart. Bagiku, jabatan ini adalah tantangan berat. Selain ikut ambil bagian demi kemajuan dan perkembangan Pekka Mart, aku juga harus bertanggung jawab apabila ada anggota yang terlambat membayar. Aku harus ikut mencari solusi untuk mencegah kemacetan pembayaran ini.

Pekka Mart menyediakan berbagai bahan pokok, seperti beras, minyak goreng, gula, kopi, terigu, sabun cuci, dan lain-lain, sesuai dengan pesanan anggota. Pekka Mart juga memasarkan produk lokal yang dihasilkan oleh kelompok-kelompok dari desa lain. Beras yang dijual di Pekka Mart adalah beras produksi kelompok Pekka yang ada di Desa Lemah Subur.

Untuk menarik anggota agar mau berbelanja di Pekka Mart, barang-barang yang ada di Pekka Mart dijual dengan harga lebih murah dari toko. Pembayaran juga bisa dilakukan secara tunai, kredit, maupun dengan tempo. Setiap anggota yang berbelanja di Pekka Mart, akan mendapatkan sisa hasil usaha (SHU) pada setiap Rapat Akhir Tahun. Besarnya SHU ditentukan oleh jumlah uang yang dibelanjakan pada tahun tersebut. Tentu saja, SHU menjadi daya tarik anggota. Sesuai dengan motto Pekka Mart: “Dari kita, untuk kita, kembali ke kita.”

Terkadang, ada juga kendala di PekkaMart, terutama terkait dengan pengiriman barang belanja bagi anggota yang letak rumahnya jauh. Pengurus Pekka Mart pun berencana untuk membuka warung Pekka Mart, dengan cara mencari anggota Pekka yang memiliki warung, atau yang rumahnya bisa dijadikan warung Pekka Mart, agar lebih mudah dicapai oleh anggota yang tempat tinggalnya jauh dari Pekka Mart.

 

Bahagia Bersama Pekka

Sebagai kader Pekka, aku sering ikut Diskusi Kampung di berbagai desa. Aku juga pernah mendampingi kelompok Pekka di Desa Lemah Subur dan membentuk kelompok di Desa Gombong Sari pada Oktober 2020. Kelompok ini diberi nama Kelompok Legit Sari, yang anggotanya berjumlah 13 orang. Sebagai kader, aku bertanggung jawab untuk mensosialisasikan Pekka ke masyarakat di desa yang belum membentuk kelompok Pekka.

Aku bangga dan bersyukur bisa menjadi anggota Pekka. Aku bisa berkenalan dengan pendiri Yayasan Pekka, Bunda Nani Zulminarni, Ibu Romlawati, Mbak Nunung, Mbak Dian, Mbak Wilu, Mbak Rima, dan lain-lain. Di mataku, mereka adalah perempuan hebat. Selain mereka, aku juga mengenal Mas Rudianto dan Mas Erfan. Mereka semua menjadi sumber inspirasi untuk maju dan berkembang. Aku juga bangga dengan Ibu Astini dan Ibu Ovi yang selalu sabar menguatkanku, dan banyak mengajariku.

Pengalaman yang tidak dapat aku lupakan adalah saat menghadiri Forum Nasional Pekka ke-4. Aku bertemu dengan banyak teman dari berbagai provinsi di Indonesia. Selama menjadi anggota Pekka, aku merasa sangat senang dan bahagia. Aku menjadi tidak minder bahkan makin percaya diri, belajar bertanggung jawab atas jabatan yang diberikan padaku. Banyak perubahan dalam hidupku. Dulu tidak tahu sekarang bertambah tahu. Pola pikir jadi bertambah. Aku juga  belajar memecahkan masalah yang ada di kelompok. Harapanku semoga aku bisa lebih maju dan bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain.(Wilu/Lits)

Bagikan Cerita Ini

Cerita Terkait

Menjadi Perempuan yang Bermartabat: Kisah Dir

Menjadi Perempuan yang Bermartabat: Kisah Diri Suminah...

Leave a Comment