Pengalaman Membuatku Kuat dan Bisa Meraih Prestasi
Kisah Diri Hasna

KDRT sudah aku hadapi di usia belia. Aku pun tumbuh sebagai remaja yang penuh amarah. Kemandirian telah aku jalani sejak kecil. Berbekal pengalaman di masa lalu, aku mendobrak patriarki.


Aku sudah kehilangan sosok bapak sejak usia 2 tahun. Kepergian Bapak benar-benar meninggalkan duka yang dalam bagi Ibu, karena pada saat Bapak meninggal dunia, beliau tengah hamil tua. Bayi yang dikandung Ibu pada saat itu lahir dua puluh hari kemudian. Namun, usianya hanya dua puluh hari.

Namaku Hasna. Aku lahir di bulan Desember 1977. Bapakku bekerja sebagai pedagang kecil di pasar. Ibuku tinggal di rumah, mengurusi anak-anaknya. Menurut cerita, bapakku adalah seorang lelaki yang penuh tanggung jawab. Bila pulang dari pasar, Bapak langsung ke dapur dan memasak. Beliau tidak mau menambah kerepotan Ibu yang mengurusi kami.

Ibu benar-benar tidak berdaya sepeninggal Bapak. Ibu tidak punya keahlian apa-apa, dan tidak memegang uang sedikit pun. Selama beberapa bulan, kami hidup dengan bantuan adik angkat Bapak, hingga Ibu kembali kuat secara fisik. Kemudian, seorang tetangga mengajak dan membimbing Ibu untuk berjualan di pasar. Adik angkat Bapak yang mendukung hidup kami pun memberikan bantuan modal. 

Setiap berjualan, Ibu selalu mengajakku. Itu berarti aku harus bangun dini hari, karena kami harus berangkat saat subuh. Banyak hal yang aku alami di pasar. Yang paling aku ingat adalah razia terhadap pedagang. Aku selalu ketakutan bila hal itu terjadi. Namun, petugas yang melakukan razia sering jatuh iba melihat kami. mereka malah membantu memindahkan dagangan Ibu ke tempat aman.

Lama kelamaan, Ibu bisa melupakan kesedihannya, dan mahir berdagang. Ibu pun sanggup menghidupi dan menyekolahkan kedua kakakku yang duduk di kelas 3 dan 5 SD. Kami tetap bahagia meski tinggal di gubuk peninggalan Bapak, yang atapnya sering bocor ketika hujan turun.

Status Ibu sebagai janda membuatnya sering didekati, bahkan dilamar oleh laki-laki. Awalnya, Ibu selalu menolak dengan halus. Namun, akhirnya Ibu menikah dengan laki-laki yang usianya lebih mudah. Laki-laki itu pernah ia tolak lamarannya. Ketika Ibu menikah lagi, aku baru masuk SD. Dari pernikahannya ini, Ibu dikaruniai tiga orang anak.

Aku masih terlalu kecil untuk memahami keadaan di rumah setelah Ibu menikah. Kedua kakakku merasa tertekan dengan kehadiran ayah tiri kami. Mereka sering adu mulut. Ayah tiriku juga melarang Ibu untuk berjualan. Padahal, keadaan ekonomi kami sudah jauh lebih baik, berkat kelincahan Ibu berjualan.

Pertengkaran demi pertengkaran terjadi antara Ibu dengan ayah tiriku, yang berujung pada kekerasan fisik. Aku sering juga ditendang, ditampar, bahkan dijambak. Aku tidak tahu apa salahku. Bila kekerasan ini terjadi, Ibu selalu membelaku. Namun, Ibu juga akan mendapat perlakuan yang sama dari laki-laki itu.

Keadaan ini jauh berbeda ketika Bapak masih hidup. Meski aku belum terlalu mengenal Bapak, aku selalu rindu kepadanya. Apalagi bila melihat teman-teman yang selalu diantar bapaknya ke sekolah. Mereka begitu disayang dan dimanjakan. Kondisi di rumah yang penuh kekerasan membuatku tumbuh menjadi anak yang mandiri.

Setiap hari, aku berangkat ke sekolah sendiri, meski kadang-kadang diantar oleh seorang kakakku. Ibu sudah berangkat ke pasar sejak subuh, dan baru pulang setelah isya. Beliau berjuang agar kami tidak hidup bergantung pada belas kasihan orang lain, termasuk suaminya. Bagiku, Ibu adalah seorang pekerja keras dan mandiri. Beliau adalah perempuan hebat yang tidak pernah mengeluh meski lelah dan sakit akibat kekerasan fisik sekaligus psikis yang diakibatkan oleh suaminya sendiri. Ibu selalu tetap bisa tersenyum dan penuh semangat.

Ketika aku duduk di kelas 2 SD, salah seorang kakakku menikah di usia 14 tahun. Saat itu dia sedang mengisi liburan sekolah di kampung Ibu. Paman kami yang membujuknya. Pernikahan itu di luar pengetahuan Ibu hingga akhirnya Ibu merasa sangat kecewa terhadap Paman. Lagi-lagi, aku mendapat tontonan yang sama. Kakak iparku memiliki sifat yang sama dengan ayah tiriku. Aku sering melihat kakakku disiksa, seperti halnya Ibu disiksa oleh suami keduanya. Aku hanya bisa menangis sampai gemetar melihat kakak yang sangat aku sayangi disiksa oleh suaminya. Akhirnya aku juga jadi sering menjadi sasaran kemarahan kakak iparku, tanpa jelas apa kesalahanku. Kakak sering melindungi saya dari sikap kasar suaminya. 

Entah takdir apa yang menimpa keluarga kami. Kakak keduaku juga sering disakiti dan diperlakukan kasar oleh suaminya yang ringan tangan. Perasaan benci terhadap laki-laki yang kasar terhadap perempuan tumbuh dalam diriku. Aku sering berdoa dan meminta kepada Yang Maha Kuasa agar aku tidak mengalami kekerasan yang dialami Ibu dan kedua kakakku. 

 

Masa Bersekolah yang Menyenangkan

Aku tumbuh menjadi perempuan yang kuat dan pemberani. Aku bergabung dengan kelompok pencak silat dan taekwondo di SMP, agar aku bisa menjaga diri. Aku tidak segan-segan menendang orang yang menggangguku di jalan. Tatapanku selalu penuh dengan amarah, karena pikiranku selalu tertuju pada laki-laki yang menyakiti ibuku dan kedua kakakku. 

Masa menyenangkan dalam hidupku adalah selama bersekolah. Sejak duduk di jenjang SMP, aku menjadi kebanggaan sekolah. Aku selalu menjadi juara kelas dan juara umum, sehingga guru dan teman-temanku menyayangiku. Dukungan keluarga mampu membuatku keluar dari trauma yang aku alami di masa kecil. Hidupku tenang dan tidak lagi dihantui ketakutan akan kekerasan fisik dan psikis yang pernah aku alami.

Aku mendapat predikat murid teladan ketika aku bersekolah di STM Negeri 2 Ambon. Sikapku yang selalu patuh dan hormat kepada guru, rajin belajar dan selalu berpakaian rapi membuatku mendapat julukan tersebut. Meskipun aku adalah satu-satunya murid perempuan di kelas, aku selalu ditunjuk untuk menjadi pemimpin bagi teman-teman sekelasku. Aku sangat dihargai, dilindungi, dan disayangi oleh mereka karena aku memiliki rasa setia kawan. Inilah yang membuatku bangga karena teman-temanku tidak pernah menganggap remeh keberadaanku di antara mereka.  

Suatu hari, aku membalas tendangan ayah tiriku ketika beliau mabuk berat. Aku menendangnya tanpa perasaan. Sejak saat itu, ayah tiriku pergi merantau selama 15 tahun. Ibuku akhirnya bercerai darinya.

Kesenanganku di sekolah tidak membuatku lupa untuk setia menjadi pengawal Ibu. Aku akan selalu sudah tiba di pasar menjelang malam untuk menjemput Ibu, karena Ibu sering diganggu lelaki hidung belang. Aku takut Ibu akan menikah lagi. Tetapi Ibu selalu menyayangi anak-anaknya, dan memutuskan untuk tidak menikah lagi demi anak-anaknya.

 

Mulai Berdikari

Aku memutuskan untuk tidak meneruskan sekolah setelah lulus dari STM di tahun 1995. Padahal, Ibu ingin aku kuliah. Tetapi, aku takut akan putus di tengah jalan. Apalagi, aku mendapat tawaran pekerjaan di perusahaan kontraktor tempat aku melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) ketika lulus. Namun, aku tidak ingin pergi jauh meninggalkan Ibu. Akhirnya aku memilih bekerja di sebuah restoran siap saji bertaraf internasional di Kota Ambon, karena letaknya yang tidak jauh dari rumah.

Nikmatnya bisa memperoleh penghasilan sendiri membuatku tidak punya keinginan lagi untuk kuliah, apalagi sejak awal diterima bekerja aku langsung menjabat sebagai kasir. Satu tahun kemudian, jenjang karirku naik menjadi kepala kasir, dan di tahun ketiga aku diangkat sebagai manajer. Kesibukan dalam bekerja membuatku mengubur cita-cita yang aku idam-idamkan sejak kecil, yaitu menjadi polisi wanita. 

  Menjelang krisis moneter yang melanda negeri ini di akhir tahun 1997, aku menikah dengan pria pilihanku. Ia kakak kelasku di SMP dan STM. Suamiku bekerja di sebuah perusahaan pelayaran, sehingga keadaan ekonomi kami sangat baik.

Sejak menikah, aku memilih berhenti bekerja karena ingin istirahat. Apalagi posisi yang aku pegang saat itu sangat menyita waktu. Suamiku tidak pernah melarangku untuk bekerja, dan selalu memberi kebebasan atas apa yang aku lakukan, selama itu baik. Satu tahun setelah menikah, tepatnya tanggal 24 September 1998, kami dikaruniai seorang putri yang lucu dan cantik. Kehadirannya membuat kami bahagia, terutama kedua mertua, juga Ibu.

Kerusuhan Ambon Meletus di bulan Januari 1999. Konflik ras dan suku merembet hingga ke masalah agama sehingga menimbulkan peristiwa yang sangat menakutkan. Saling serang antar pemeluk agama, pembantaian, dan pembunuhan terjadi di mana-mana. Saat itu kami berada di rumah mertua. Kami terpaksa melarikan diri ke hutan bersama keluarga dan para tetangga untuk menyelamatkan diri. Kami tinggal di hutan selama tiga hari tiga malam tanpa penerangan. Hanya cahaya kunang-kunang yang bisa kami gunakan untuk menerangi malam. Aku betul-betul ketakutan, suasana benar-benar mencekam. Bila malam, ada ulat-ulat kecil yang merayap ke tubuhku dan bayiku, yang pada saat itu masih berusia tiga bulan.

Pertolongan datang dari aparat TNI yang membawa kami keluar dari hutan ke tempat pengungsian, tiga hari setelah kami berada di hutan. Namun, aku meminta untuk diantar ke rumah orang tuaku yang aku rasa sedikit lebih aman. Setelah sampai di sana, Ibu mengajak kami pulang ke kampung halamannya di Kota Baubau, Sulawesi Selatan. Di sanalah kami tinggal hingga saat ini. 

Perlu waktu beberapa tahun bagi kami untuk bisa menghapus trauma akibat kerusuhan di Ambon. Kami kehilangan beberapa kerabat yang terbunuh, juga semua harta benda akibat kerusuhan tersebut.

 

Terbentur Patriarki

Di masa-masa awal hijrah di Kota Baubau, aku mengalami hal yang bertentangan dengan sudut pandangku sebagai perempuan. Budaya patriarki di sini sangat kental. Laki-laki tidak boleh bekerja di dapur, tidak boleh menjemur cucian, tidak boleh menceboki anak, dan lain-lain. Berbeda sekali dengan kebiasaan kami ketika tinggal di Ambon. Di tanah kelahiranku, perempuan dan laki-laki bisa bekerja sama dalam mengurus rumah. Ketidaksukaanku terhadap budaya ini membuatku sering dikatai tidak tahu adat oleh keluarga saat itu. Apalagi melihat aku dan suami tetap mengerjakan pekerjaan rumah bersama-sama.

Aku memutuskan pindah rumah, berpisah dengan Ibu dan adik-adik karena aku tidak tahan dengan perdebatan tentang masalah patriarki ini. Ibu sering mengutamakan adik-adikku, karena mereka laki-laki. Aku dan suami membangun istana kecil kami, tidak jauh dari rumah Ibu. Kami berbahagia tinggal di sana bersama tiga anak kami.

Taraf ekonomi kami mulai meningkat, terutama setelah suami diangkat menjadi ASN di tahun 2007. Aku berusaha melindungi anak-anakku dari kekerasan, mengingat pengalaman yang aku dapatkan ketika aku masih kecil. Aku ingin perempuan dan anak-anak senantiasa mendapat perlindungan. Aku juga ingin semua perempuan bisa kuat dan mandiri, seperti ibuku dulu. 

Aku tinggal di Kelurahan Sulaa, Kota Baubau. Wilayah ini memiliki daerah pesisir dengan hamparan pasir putih yang bersih dan indah di sepanjang pantai, yang disebut Topa Pantai. Ada juga wilayah tanah berbatu yang subur dengan sedikit perbukitan, yang dikenal dengan Topa Darat.

Wilayah ini memiliki sumber mata air alami yang dijadikan salah satu sumber utama kehidupan masyarakat. Sumber lainnya adalah hasil laut yang dipelihara kelestarian alamnya. Kelurahan Sulaa merupakan satu destinasi wisata di Kota Baubau, dengan produk rumput laut yang tumbuh subur dan industri tenun. Tempat tinggalku ini dapat dicapat melalui darat dan laut. 

Kelurahan Sulaa sudah memiliki taraf pendidikan yang baik. Di wilayah ini terdapat sekolah mulai dari tingkat Paud hingga SMP. Sebagian besar penduduknya bahkan ada yang sudah mengenyam pendidikan hingga S3. Profesi yang paling banyak ditekuni adalah nelayan. Sementara, para perempuan memiliki kesibukan di luar urusan domestik, dengan menjadi perajin tenun. 

 

Mendobrak Patriarki Bersama Pekka

Aku menghadiri sosialisasi Pekka di kantor Kelurahan Sulaa pada 2013. Pada saat itu, aku tidak berniat untuk bergabung, karena aku mendapat kesimpulan bahwa pertemuan itu adalah untuk para janda.

Baru satu tahun berikutnya, aku tertarik untuk bergabung dengan organisasi ini. Di bulan Juli 2014, aku ditawari Halisa, seorang pengurus kelompok Pekka Poose ose, untuk menjadi perwakilan masyarakat dalam pelatihan tentang penguatan hukum dalam perspektif Islam yang diadakan Pekka. Pelatihan ini diadakan di Hotel Galaxi, dan difasilitasi oleh Mas Adi Nugroho. Tanpa berpikir panjang, aku menerima tawaran itu.

Aku jadi termotivasi untuk bergabung dengan kelompok Pekka. Anggapanku bahwa Pekka hanya untuk janda ternyata salah. Aku langsung menemui ketua kelompok Poose ose, dan di bulan itu juga aku resmi menjadi anggotanya.

Pekka menarik perhatianku karena banyak kegiatan yang diadakan oleh organisasi ini. Aku jadi belajar bagaimana cara memimpin rapat, dan lain-lain. Sejak bergabung dengan kelompok Pekka, aku mulai dilibatkan dalam rapat-rapat Serikat Pekka di tingkat provinsi. Aku berlatih berbicara di depan banyak orang. Awalnya aku merasa gugup dan takut. Namun, aku terus berusaha, belajar dan belajar. Setelah enam bulan bergabung, di kelompokku diadakan pergantian pengurus. Aku terpilih menjadi ketua kelompok. Jabatan ini membuatku mulai aktif di berbagai kegiatan.

Pengetahuan yang aku dapat dari berbagai pelatihan yang diberikan fasilitator lapang Yayasan Pekka, terutama yang berkaitan dengan gender, aku bagikan kepada keluarga dan kerabat, terutama suami. Pelan-pelan, sosialisasi mengenai persamaan gender sering diadakan di kelurahan, kecamatan, bahkan hingga tingkat kota. Sosialisasi ini juga diberikan di sekolah-sekolah maupun fasilitas publik lainnya.

Secara bertahap, masyarakat di lingkungan tempat tinggalku sudah mulai bisa menerima persamaan gender. Meski demikian, masih ada sebagian kecil yang masih mengutamakan laki-laki. Biasanya, malah perempuan yang tidak mendukung bila ada perempuan yang dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Padahal, sudah banyak laki-laki yang jauh lebih dapat mengakui kesetaraan gender.

Perubahan pun mulai terlihat. Kesetaraan antara laki-laki dengan perempuan mulai tampak. Keterlibatan perempuan mulai tampak di LPM, BKM, Karang Taruna, RT, RW, dan kelurahan.

Lama kelamaan terlihat mulai ada keterlibatan perempuan seperti di LPM, BKM, Karang Taruna, RT, RW, dan kelurahan. Di kelurahan tempatku tinggal bahkan sudah mulai didominasi oleh perempuan. Kesetaraan antara laki-laki dengan perempuan sudah mulai tampak, meski ada sebagian kecil pola hidup masyarakat yang masih didominasi laki-laki karena minimnya perempuan yang mau melibatkan diri.

Di Kelurahan Sulaa, misalnya, sekretaris lurah dan kepala seksi kesejahteraan rakyat dijabat perempuan. Selain itu, sudah banyak pula perempuan yang menjadi guru. Bahkan, ketika Pemilu Legislatif 2019 digelar, aku menjadi satu-satunya perempuan yang menjadi ketua KPPS, dari lima TPS yang ada. 

Meskipun telah ada pemerataan dalam pemenuhan hak-hak dasar, penduduk Kelurahan Sulaa masih memegang tradisi. Tentu saja ada tradisi yang sedikit bergeser seiring perkembangan zaman. Adat istiadat masih dipertahankan, seperti tradisi haroa (untuk menyambut hari besar keagamaan), pingitan (tradisi pranikah), posipo (prosesi menyambut kelahiran bayi), atau dole-dole (selamatan untuk kelahiran bayi), walaupun ada juga sebagian kecil masyarakat yang meninggalkannya. Gotong royong pun sudah mulai banyak yang meninggalkan, karena kesibukan masing-masing penduduk.

 

Kiprahku Bersama Pekka

Sejak menjadi pengurus di tahun 2015, aku mulai mendampingi kelompok lain, mengikuti kegiatan Rencana Anggaran Tahunan kelompok, belajar membuka pertemuan dan memimpin rapat. Aku juga ikut pengembangan wilayah oleh kader Pekka yang bernama Linda, dan seorang fasilitator lapang, Yusnia, ke Kelurahan Waborobo dan Kelurahan Kalia-lia. Hingga terbentuklah 16 kelompok saat itu.

Untuk memperkuat kegiatan pengembangan wilayah ini, saya dan beberapa kader Pekka Baubau mengikuti pelatihan untuk memfasilitasi (Trainer on Training-ToT) Pelatihan Visi, Misi, dan Motivasi Berkelompok di 16 kelompok yang telah terbentuk tadi. Selain itu, kami juga mendampingi kelompok dengan memberikan penguatan dan materi yang sesuai dengan program Pekka.

Setelah itu, berbagai pelatihan aku ikuti, termasuk Pelatihan Data Tingkat Provinsi yang difasilitasi oleh Ade Swarni dan Mas Yanto dari Yayasan Pekka. Pelatihan ini dilanjutkan ke tingkat kabupaten, dan setelah itu aku diangkat sebagai penanggung jawab pendataan anggota Pekka di Kota Baubau.

Pengembangan wilayah yang kami lakukan membuat jumlah kelompok yang ada di Kota Baubau bertambah menjadi 32 kelompok. Perkembangan ini mendorong kami untuk melaksanakan Musyawarah Besar untuk memilih pengurus serikat, sebelum melakukan deklarasi. Hingga pada 16 Juli 2016 kami menggelar Deklarasi Serikat Pekka Kota Baubau, yang dihadiri oleh Wakil Walikota Baubau, Ibu Dra Maasra Manarfa, serta para OPD dan pemangku kepentingan.

Satu tahun berikutnya, Serikat Pekka Kota Baubau mengadakan KLIK Pekka yang berlokasi di Kelurahan Tampuna, dengan melibatkan kelurahan, kecamatan, Dinas Sosial, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, serta kantor perwakilan BPJS. Tahun berikutnya, 2018, kami ikut serta dalam KLIK Pekka lintas kabupaten. Kegiatan ini digelar di Desa Langkomu dan Desa Lagili, Kabupaten Buton Tengah. 

Di tahun yang sama, kami juga mengadakan kegiatan Sustainable Development Goals (SDGs) dan Konsultasi Daerah yang membahas tujuan pembangunan berkelanjutan. Kegiatan ini dibuka oleh Pj Walikota Baubau Dr Hado Hasina, dan dihadiri oleh OPD, SKPD, perwakilan organisasi dan komunitas, Bappenas, serta Direktur Yayasan Pekka saat itu Bunda Nani Zulminarni yang didampingi Dwi Indah Wilujeng.

Pengalaman dan wawasan pengetahuanku semakin bertambah, terutama yang berhubungan dengan perlindungan sosial, sejak aku sering ikut dalam pelaksanaan KLIK PEKKA dan berinteraksi dengan masyarakat dan narasumber. Aku pernah mendampingi Ibu Haisa, seorang pengurus kelompok Lakatepi di Kelurahan Waborobo, dalam mengakses kartu KIS. Setiap pendistribusian kartu KIS di kelurahannya, Ibu Haisa dan keluarganya tidak pernah kebagian. Meskipun sudah bertanya di kelurahan bahkan sampai ke Puskesmas, jawaban yang didapat selalu tidak ada. Ibu Haisa sangat khawatir, karena beberapa bulan lagi ia akan melahirkan. Proses melahirkan yang pernah dijalani Ibu Haisa selalu sulit dan membutuhkan banyak uang. 

Akhirnya aku mencoba mendampingi Ibu Haisa dengan mencari informasi di Dinsos mengenai cara agar Ibu Haisa bisa memperoleh kartu KIS. Ternyata, kartu KIS untuk Ibu Haisa dan keluarganya sudah terbit sejak beberapa bulan sebelumnya, saat pendistribusian pertama. Kemudian pihak Dinsos bagian Perlindungan Sosial memberi kami nomor kartu KIS dan mengarahkan kami ke Dinkes untuk menanyakan kartu tersebut. Setelah kami tiba di Dinkes, pihak Dinkes mencoba mencari data tentang nomor kartu tersebut dan ternyata ada di APBD Kota Baubau. Petugas yang melayani kami lalu mencoba menelusuri kartu ke pihak Puskesmas Waborobo, karena seharusnya kartu tersebut sudah didistribusikan. Kami kemudian mendatangi  puskesmas tersebut. Namun karena kartu KIS milik Ibu Haisa sudah tidak ada lagi, maka pihak puskesmas menghubungi pihak BPJS dan berkonsultasi terkait hal ini. Akhirnya kami diminta ke datang ke kantor BPJS dengan membawa fotocopy kartu keluarga dan materai Rp 6000,00 agar kartu KIS yang hilang dapat dicetak kembali. Rasa senang dan lega kami rasakan saat itu. Akhirnya Ibu Haisa dan keluarganya bisa mengakses kartu KIS yang bisa digunakan saat melahirkan nanti. 

 

Memburu MoU

Bulan Oktober 2019, aku ikut terlibat Monitoring dan Evaluasi  (Moneva) yang diadakan di Center Pekka Kota Baubau. Kegiatan ini diikuti 30 peserta yang terdiri dari pengurus serikat dan pengurus koperasi dari Kota Baubau, Buton Selatan, Buton Tengah, Kabupaten Muna, juga para fasilitator lapang, Baralia dan Yusnia, dan dari Yayasan Pekka, Adi Nugroho dan Novita Indra. Selama melaksanakan Moneva, kami memonitor kegiatan, audit keuangan, juga peningkatan kapasitas untuk pengurus serikat dan pengurus koperasi. Selain itu, kami juga membahas kendala dalam menindaklanjuti MoU dengan pemerintah Kota Baubau.

Sejak 2018, Serikat Pekka Kota Baubau telah melakukan pendekatan terhadap pemerintah untuk menandatangani MoU, tetapi belum juga teralisasi sampai Oktober 2019. Hingga di hari terakhir tahun 2019, di saat banyak orang sibuk dengan persiapan menyambut pergantian tahun, kami, para pengurus serikat mengadakan kegiatan Forum Pemangku Kepentingan. Untuk pertama kali, kegiatan ini dihadiri oleh Wakil Walikota Baubau. Beliau bahkan sempat mengikuti acara dialog, dan memberi pernyataan untuk mencoba merealisasikan MoU yang diajukan Serikat Pekka Kota Baubau. 

Tanpa henti dan kenal lelah, aku bersama teman-teman di Serikat Pekka, juga didampingi fasilitator lapang, Yusnia, melakukan pendekatan kepada Kepala Bagian Bidang Hukum Pemerintah Kota Baubau. Beliau selalu berjanji untuk segera merealisasikan MoU tersebut, tetapi janjinya tidak kunjung ditepati. Bahkan, draft MoU yang telah kami serahkan, lengkap dengan memo dari Wakil Walikota, tercecer dan hilang entah kemana. Tiga kali kami menyerahkan dokumen tersebut, tetapi selalu hilang.

Hingga akhirnya kami memutuskan untuk menghadap langsung Walikota Baubau, yang langsung merespon keluhan kami. Beliau langsung memanggil Kabag Hukum dan memintanya untuk memberi ketegasan dalam merealisasikan MoU Serikat Pekka.

Meski demikian, jalan untuk memperoleh MoU dengan Pemerintah Kota Baubau masih amat panjang. Hingga 24 September 2020, Walikota Baubau membubuhkan tanda tangannya di atas MoU yang kami ajukan, sebagai tanda terealisasinya pengakuan Pemerintah Kota Baubau atas keberadaan Serikat Pekka di wilayah ini. 

 

Pandemi Covid-19

Di tengah maraknya kasus penyebaran Covid-19, Serikat Pekka Kota Baubau tetap melaksanakan isbat nikah di bulan April 2020. Memang bukan hal yang mudah. Namun, kami berhasil menggelar isbat untuk tujuh pasangan di gelombang pertama, dan enam pasangan di gelombang kedua. 

Selama masa pandemi, kami mengikuti pelatihan yang diadakan Yayasan Pekka melalui aplikasi Zoom. Pelatihan yang diadakan antara lain adalah Pelatihan Enumerator Pemantauan Bansos Covid-19 dan Pelatihan Pengolahan Data.

Pada September 2020, aku berkesempatan menjadi narasumber untuk acara bincang-bincang “Sapa Perempuan MAMPU” yang diselenggarakan oleh organisasi Kemitraan Australia-Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (MAMPU). Acara ini merupakan kali pertama bagiku untuk menjadi narasumber. Aku bersyukur bisa bercerita tentang kegiatan yang aku lakukan untuk memperkuat perempuan kepala keluarga.

 

Bukan Akhir Cerita

Keputusanku untuk bergabung dengan Pekka adalah keputusan terbaik dalam hidupku, karena membawa perubahan yang sangat besar, tidak hanya untuk diriku, tetapi juga bagi keluargaku. 

Satu hal yang berubah dalam diriku adalah, pikiranku tentang hubungan suami-istri berubah. Sekarang, aku berpikir bahwa suami dan istri adalah mitra dalam keluarga. Tidak ada yang berhak lebih dulu dalam mengambil keputusan, dan tidak hanya istri yang wajib mengurus suami. Suami juga wajib melayani istri. Walaupun aku bukan kepala keluarga, tetapi aku diberi kebebasan untuk mengambil keputusan. Aku juga diberi kesempatan untuk membantu menopang kehidupan ekonomi keluarga. 

Melalui kegiatan-kegiatan Pekka yang aku ikuti, diriku berkembang berbekal pengetahuan dan pengalaman yang aku dapat. Aku jadi percaya diri untuk berhadapan dengan para pejabat, pemangku kepentingan, tokoh masyarakat, serta berbicara di hadapan orang banyak.

Memang, awalnya suamiku kurang mendukung kegiatanku. Namun, setelah melihat atensi masyarakat yang diberikan, beliau senantiasa bersedia mengantarku pergi untuk mengikuti kegiatan Pekka. 

Para tetanggaku memberi respon positif terhadap kegiatanku. Mereka telah merasakan manfaat atas upaya yang aku lakukan ketika mereka membutuhkan bantuan dalam mengurus dokumen hukum. 

Perjuangan yang aku lakukan untuk diri sendiri hanyalah belajar menjadi tahu. Komitmen dan bertanggung jawab adalah yang utama bagiku. Namun untuk menjadi seperti sekarang ini butuh proses pembelajaran yang sangat panjang karena aku mau belajar dan akan terus belajar. Bahkan, sampai hari ini aku merasa belum bisa apa-apa tanpa orang yang selalu membimbingku dengan sabar. 

Aku berharap Serikat Pekka Kota Baubau bisa lebih mandiri dan selalu memperjuangkan keadilan bagi perempuan dan senantiasa membela dan mendukung hak-hak perempuan khususnya perempuan kepala keluarga, perempuan miskin dan yang marjinal lainnya.(Astri/Lits)

Bagikan Cerita Ini

Cerita Terkait

Perempuan yang Menjadi Tulang Punggung: Kisah

Perempuan yang Menjadi Tulang Punggung Aku terpaksa me...

Leave a Comment