Selalu Berjuang dan Berdaya

Menyandang nama Lolom bukan berarti hidupku kelam selamanya. Sejak kecil telah biasa bekerja keras, aku mampu bertahan meskipun kesulitan hidup datang tanpa jeda. Suamiku bahkan sempat dipenjara. Pekka membantuku mencapai cita-cita.

 

Hitam. Entah mengapa Kakek memberiku nama Lolom – yang dalam bahasa Mandailing berarti hitam. Mungkin, waktu lahir, kulitku hitam. Hanya Lolom, tanpa ada kata lain yang diletakkan di belakang kata itu. Orang lain sering merasa heran, mengapa namaku hanya terdiri dari satu kata, dan jarang terdengar. Tetapi aku tidak menyesal dengan nama yang diberikan kepadaku. Aku yakin, pasti ada berkah bagiku sebagai penyandang nama itu.

 

Aku lahir pada 6 Juni 1975 di sebuah desa di pesisir pantai bernama Bagan Asahan Pekan, Kecamatan Tanjung Balai, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara. Aku merupakan anak keenam dari sembilan bersaudara, yang terdiri dari empat laki-laki dan lima perempuan. Muhammad Siddik, ayahku, bekerja sebagai buruh gudang. Ibuku bernama Rohani, perempuan hebat yang sangat aku hormati. Kami hidup dalam keadaan serba kekurangan. Penghasilan ayahku sangat jauh dari kata cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup kami bersebelas. Untuk membantu orang tua, sejak tamat bangku sekolah dasar pada tahun 1988, aku sudah mulai bekerja dengan menjual gula-gula.

 

Waktu kecil, aku sering bermain sekolah-sekolahan dengan teman-teman sebayaku. Dan aku selalu berperan sebagai guru. Aku memang bercita-cita menjadi guru. Sehingga, aku begitu menghayati peranku. Bagiku, guru adalah pekerjaan yang mulia. Mereka layak disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.

 

Aku bekerja keras untuk belajar dan membantu orang tua, agar cita-citaku tercapai. Aku tetap semangat meski harus pulang malam sebagai buruh gudang mengupek (mengupas) kepiting. Aku melakukan pekerjaan itu sejak SMA, di hari sekolah aku mulai bekerja seusai sekolah hingga pukul 6 sore. Di hari libur, aku bekerja dari subuh hingga sore hari dengan upah harian sejumlah 3 ribu rupiah per 1 kg. Dalam sehari aku bisa mengupas 3 – 6 kg, uang upah kupakai untuk jajan dan membeli kebutuhan sekolah.

 

Aku tamat dari Madrasah Tsanawiyah YMPI (Yayasan Madrasah Pendidikan Islam) Kota Tanjung Balai yang terletak di Sei Tualang Raso pada tahun 1992. Aku bertekad untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, sehingga aku mencari pekerjaan lain sebagai sumber penghasilan tambahan selain mengupek kepiting. Aku tahu, biaya sekolahku menjadi lebih besar. Maka dari itu, aku mencari tambahan uang dengan mencuci pakaian tetangga. Uangnya aku gunakan untuk membayar tunggakan uang sekolah. Kerja kerasku terbayar dengan keberhasilanku lulus dari Madrasah Aliyah Swasta di tempat yang sama pada tahun 1995. 

 

Bermodalkan ijazah madrasah Aliyah, aku mencoba melamar pekerjaan di sebuah sekolah agama yang berlokasi tidak jauh dari rumahku. Sayang, aku tidak diterima bekerja sebagai guru. Tetapi aku beruntung, aku tetap bisa bekerja di sekolah itu sebagai staf tata usaha, menggantikan staf yang harus mengambil cuti dalam waktu lama. Aku masih ingat, honor yang aku terima saat itu adalah sebesar Rp 60 ribu per bulan. Pada masa itu, uang sejumlah yang aku dapatkan ini sudah cukup besar. Aku tidak mempedulikan betapa kecilnya honor yang aku terima. Aku tetap bekerja sebaik mungkin. 

Bagiku pekerjaan ini adalah pengabdian. Lebih berharga dari jumlah nominal uang yang diterima. Meski kecil, yang penting aku bisa melakukan pekerjaan yang bermanfaat bagi orang lain. Aku memahami bahwa hidup tidak mudah untuk dijalani. Penuh dengan suka dan duka. Demi mencapai cita-cita, aku menjalani 2 pekerjaan  sekaligus yaitu sebagai guru dan pengupas kepiting dan udang.

Aku berhasil mengumpulkan sejumlah uang dari hasil pekerjaanku sebagai staf TU. Dengan uang tersebut, pada tahun 2002 aku mendaftar kuliah di PGMI (Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah) Al Hikmah. Kampusnya terletak di Jalan Listrik, Kota Tanjung Balai sekitar 25 menit dari rumahku bila menggunakan motor atau becak. 

Aku mengambil Jurusan Pendidikan Agama Islam di Fakultas Tarbiah Aku masuk sebagai angkatan pertama di fakultas tersebut. Aku tamat dengan mendapat ijazah D2 dan berhak menyandang gelar Ahli Muda (A. Ma.). Pada tahun 1996 selain sebagai staf TU aku juga berperan sebagai menjadi guru pengganti ketika ada guru yang berhalangan hadir. Biasanya aku mengajar Al Quran, hadist dan Bahasa Indonesia.

Pada tahun 2005 keluar peraturan pemerintah yang menetapkan bahwa untuk mengajar, guru harus sudah menyandang gelar sarjana. Aku pun bertekad untuk melanjutkan studiku yang tertunda karena kondisi keuanganku yang amat terbatas. Aku bersyukur, teman-teman sesama pengajar, juga pihak sekolah, mendorongku untuk mewujudkan cita-citaku. Sehingga, aku memandang kendala ekonomi hanya sebagai tantangan, bukan halangan, untuk kembali kuliah. Tujuh tahun sudah aku menunggu untuk mendapat gelar itu. Dengan dukungan keluarga dan juga suami, akhirnya gelar sarjana berhasil aku dapatkan pada tahun 2012. Aku amat bersyukur atas keberhasilan ini. Cita-citaku tercapai sudah.

 

Aku mendapat kenaikan jenjang pada tahun 2012 dan dipercaya untuk memegang jabatan wakil kepala sekolah bagian humas, sarana dan prasarana. Aku juga lulus sebagai guru bersertifikasi untuk mengampu mata pelajaran SKI (Sejarah Kebudayaan Islam) selama 28 jam (per minggu). Perlahan, kondisi ekonomiku mulai membaik, kehidupanku mulai lebih sejahtera. Aku bersyukur kepada Allah atas segala nikmat dan rezeki yang begitu mencukupi bagiku. 

 

Jatuh Bangun Mengejar Impian 

Rata-rata, penduduk di wilayah tempat tinggalku bekerja sebagai nelayan. Biasanya, mereka berlayar selama dua atau tiga hari dan pulang dengan membawa hasil tangkapan mereka. Sudah menjadi kebiasaan masyarakat di desa Bagan Asahan, Kecamatan Asahan Kabupaten Tj Balai untuk menggunakan uang yang didapat dari penjualan hasil tangkapan mereka untuk berbelanja atau bersenang-senang. Biasanya, para nelayan pergi berlayar pada Minggu malam dan kembali ke darat pada Rabu pagi. 

Malam Kamis akan menjadi waktu bagi anak-anak muda berkencan, layaknya malam Minggu di daerah lain. Aku sendiri tidak tahu, sejak kapan kebiasaan malam kamisan ini dimulai. Aku pun turut larut dalam kebiasaan ini. Seperti anak muda lainnya, aku bersama beberapa orang teman pergi berjalan-jalan untuk mencari hiburan di Pasar Pajak Ikan, Desa Bagan Asahan, Dusun 3. Hampir setiap minggu kami pergi ke sana. 

Saat itulah aku bertemu dengan seorang laki-laki yang dengan ramah menyapa kami. Waktu itu kami bertiga sedang duduk-duduk. Di tengah canda dan cengkrama kami, datang tiga orang laik-laki yang kemudian ikut mengobrol bersama kami. Salah satu laki-laki itu berkenalan denganku. Awalnya, kami hanya berteman selama 1 tahun. Sampai akhirnya di tahun 2002 kami menjadi sepasang kekasih, dan tiga tahun setelah pertemuan pertama itu kami pun menikah. 

Setelah beberapa tiga tahun berpacaran, pada tahun 2005, orang tuanya datang ke rumah orang tuaku untuk melamarku. Kami menikah satu tahun kemudian. Resmi sudah aku menjadi istri dari DTM Asmaul Husna. Suamiku bekerja sebagai nelayan. 

Setelah satu tahun menikah, kami dikaruniai anak pertama. Anak kedua lahir 3 tahun kemudian dan yang ketiga berjarak 8 tahun dari anak yang kedua. Jadi, kami memiliki tiga orang anak: dua laki-laki dan satu perempuan. Saat ini [per tahun 2022], anak tertuaku – perempuan – duduk di kelas 1 di sebuah Madrasah Aliyah Swasta. Anak keduaku masih duduk di kelas 1 di MTS tempatku mengajar, dan yang bungsu masih berusia 5 tahun. Kami hidup tenteram dan bahagia, meskipun dengan sangat sederhana.

Setelah 2 tahun menikah, penghasilan suamiku menurun karena keadaan laut yang tidak menentu. Suamiku lalu memutuskan untuk alih profesi dengan bekerja sebagai tekong dan berlayar membawa TKI ilegal ke Malaysia. Suamiku tertangkap dan dijatuhi hukuman 5 tahun penjara. Sejak saat itu, semua tanggung jawab – termasuk mencari nafkah – bertumpu padaku. Aku harus menghidupi anak-anakku sendirian. 

Aku hanya bisa mengharapkan gaji dari sekolah yang cairnya setiap tiga bulan. Sebelum gajiku cair, aku harus berhutang pada kios yang ada di depan rumah. Rasa malu tak terkira harus terus aku tanggung, karena aku tidak berhenti berhutang. Namun rasa malu itu harus aku tahan agar kami bisa bertahan hidup. 

Suamiku dibebaskan dari penjara pada 2017. Akhirnya, kehidupan rumah tangga kami kembali normal. Sayang, 11 bulan kemudian suamiku kembali masuk penjara karena kasus yang sama. Suamiku sebagai nahkoda saat itu, dia membawa penumpang dari penyedia jasa TKI ilegal dari Malaysia ke Indonesia. Kapal suamiku ditahan pasukan dari TNI Angkatan Laut di Perairan Tanjung Api. Saat itu juga dia dibawa ke pos TNI untuk diperiksa. Setelah ditahan 1 tahun, suamiku dijatuhi hukuman 2 tahun 9 bulan penjara. Suamiku ditahan di LP Kelas II Pulau Simardan Kota Tanjungbalai. Sesekali kami berkunjung, dan membawakan makanan. Biaya kehidupan kami meningkat, beban hidup kami semakin bertambah. Aku kesulitan menghidupi kebutuhan kami sekeluarga. 

Suamiku bebas pada tahun 2018. Laut sudah tidak begitu bersahabat. Semua nelayan di kampungku kesulitan mencari nafkah. Hasil laut sudah tidak lagi berlimpah seperti dulu. Tuntutan ekonomi rumah tangga yang semakin mendesak membuat suamiku kembali bekerja sebagai pembawa TKI dari dan ke Malaysia. Suamiku kembali tertangkap pada 22 Februari 2020, dan ditahan di Lapas yang sama. Pandemi Covid-19 membuatku tidak diizinkan untuk datang berkunjung ke Lapas. Kami hanya bisa berkomunikasi melalui telepon seluler. 

Pandemi membawa berkah bagi suamiku. Dia mendapatkan remisi masa tahanan dari pihak LP sehingga hanya menjalani masa hukuman selama tujuh bulan. Tanggal 29 November 2020, suamiku dibebaskan. Sampai saat ini, suamiku belum lagi bekerja, karena sulitnya mendapat pekerjaan. Dia hanya diam di rumah. Sepertinya, suamiku tidak punya semangat untuk bangkit lagi.

Aku berusaha untuk tetap bersabar, tegar dan kuat untuk memikul beban rumah tangga yang jatuh bangun aku jalani. Aku berharap untuk selalu kuat, menguji batas kesabaranku hingga aku tidak sanggup lagi.

 

Mengenal Organisasi  

 

Sejak masih remaja, aku aktif di organisasi. Pada tahun 1995, aku bergabung dengan Remaja Masjid At-Taufiq dan terpilih sebagai sekretaris organisasi. Organisasi bertujuan agar para anggotanya dapat mengembangkan bakat, berkarya, dan lebih kreatif. Ada berbagai macam kegiatan yang dilaksanakan, mulai dari memperingati Hari Besar Islam (HBI), hingga peringatan 17 Agustus.  Saat peringatan 17 Agustus di tahun 1995 kami membentuk  TPA (Tempat Pengajian Al Quran), Iqra (sebelum Al Quran) dan pentas seni. Dari mengikuti organisasi saya jadi berani tampil di depan umum, aku juga belajar cara bekerjasama dengan DPR, masyarakat dan aparat desa untuk mendapatkan dukungan untuk kegiatan yang kami lakukan.

Pada tahun 2000, aku terlibat dalam kegiatan PKK Desa Bagan Asahan Pekan. Saat itu aku terpilih sebagai Sekretaris Pokja 2 yang membidangi pendidikan. Aku tertarik ikut PKK karena PKK mengajarkan keterampilan mengurus rumah tangga, mendidik anak, keterampilan kehidupan seperti menjahit dan masak. Saat itu anggota PKK di desaku hanya berjumlah sembilan orang. Kami membuat pertanggungjawaban kegiatan – khususnya kependidikan dan koperasi, dan mencatat anak-anak sekolah yang membutuh pendidikan melalui Kejar Paket A dan Paket B. Sayangnya, untuk koperasi PKK belum berjalan saat aku menjabat karena anggota banyak yang takut untuk meminjamkan uang khawatir tidak kembali. 

Beberapa bulan kemudian, saat pengajian perwiritan tahun 2011 secara tidak sengaja aku bertemu Ibu Siti Jawiyah. Perempuan separuh baya yang tinggal di Desa Bagan Asahan Dusun VI ini merupakan perempuan aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Dialah yang memperkenalkan aku dengan sebuah organisasi bernama Pekka, yaitu pemberdayaan perempuan kepala keluarga. Setelah beberapa hari kemudian aku mulai bergabung di Pekka dengan menjadi anggota kelompok. 

Aku tertarik ikut Pekka karena berkaitan dengan kemasyarakatan dan sosial. Saat itu, banyak muridku yang tidak memiliki Akta Kelahiran. Bak gayung bersambut, Pekka mengajarkan agar anggotanya mengadvokasi masyarakat untuk mengurus identitas hukum secara gratis. Pekka di wilayah Asahan, dibantu Sekretariat Nasional sangat membantu masyarakat untuk mendapatkan dokumen kewarganegaraan. Aku juga tertarik dengan pelatihan-pelatihan yang diajarkan di Pekka seperti pelatihan kepemimpinan, pelatihan hukum dan lainnya.

Saat ini aku tergabung di kelompok Maratun Martinah. Kami berjumlah 20 orang, dan memiliki latar belakang yang berbeda, mulai dari ibu rumah tangga, guru, dan pedagang. Rata-rata kami berusia 30 – 40 tahun, walaupun ada juga anggota kami yang berusia 85 tahun. Kegiatan rutin kami adalah rapat koordinasi dan pertemuan kelompok, bank sampah seminggu sekali dan membuat kerajinan, dan simpan pinjam

Sewaktu kelompok ini terbentuk, aku menjabat sebagai ketua. Namun sekarang, aku menjabat sebagai pengawas untuk Serikat Pekka Kabupaten Asahan. Setelah bergabung, aku merasakan bahwa sebagai anggota Pekka, aku bisa mengurus identitas hukum sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Selain itu, aku juga bisa berkomunikasi dengan aparat desa, serta berani mengeluarkan pendapat. Masyarakat mulai mengakui keberadaan Pekka dengan meminta bantuan mengurus permasalahan terkait identitas, gugat cerai, pelecehan seksual. Sehingga, aparat desa sering menyarankan masyarakat untuk berkonsultasi dengan ibu Pekka. 

 

Mengumpulkan Bekal Melalui Berbagai Pelatihan

Dua pekan setelah kami membentuk kelompok di tahun 2010, kami dibekali pengetahuan melalui Pelatihan Visi, Misi, dan Motivasi Berkelompok. Ibu Dahlia dan Ibu Musro Sinaga, serta Mbak Nunik dari Seknas memfasilitasi pelatihan ini.

Dalam pelatihan ini, kami mendapat pelajaran mengenai manajemen organisasi yang baik, pengambilan keputusan, dan sikap saling menghargai pendapat sesama anggota. Hal yang paling berkesan bagiku saat itu adalah pengelolaan organisasi. Aku baru tahu bahwa organisasi harus memiliki struktur. Selain itu, kami belajar membuat kesepakatan. Dari organisasi aku belajar bahwa dengan sendiri kita tidak bisa bersuara, namun bila bersama-sama kita menjadi lebih kuat dan didengar. Seperti sapu lidi. Satu batang lidi tidak akan bisa membersihkan, namun dengan banyak lidi kita bisa menyapu dan membersihkan.

Di tahun 2013 aku mengikuti Pelatihan Paralegal. Sebelumnya, kami diminta ketua serikat untuk mengirim satu orang dari satu kelompok, yang diutamakan adalah ketua kelompok, sehingga aku yang terpilih. Mentor kelas tersebut adalah Mbak Nunik. 

Materi pelatihan ini adalah sikap kepemimpinan, juga kesetaraan gender dalam pekerjaan. Aku mendapat kesulitan dalam mengikuti pelatihan ini, karena keterbatasan data dari para anggota kelompok, dan untuk mendapatkannya aku harus mendatangi rumah mereka yang jaraknya jauh. Kesulitanku bertambah karena ada juga yang tidak memiliki Kartu Keluarga dan KTP.

Bekal yang aku dapatkan dari pelatihan ini aku teruskan ke kelompokku. Sebagai tindak lanjutnya, kami mengadakan Yandu untuk isbat nikah. Yandu yang kami adakan didukung oleh (Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA UI) dan Australia Indonesia Partnership for Justice (AIPJ) , yang berhasil membantu 37 pasangan.

Pada tahun 2013, aku mendapat kesempatan untuk mengikuti Pelatihan Data dan Refleksi Kelas Paralegal yang diselenggarakan oleh Yayasan PEKKA. Ini merupakan kali pertama bepergian jauh. Mendengar akan naik pesawat menuju lokasi saja rasanya bagai mimpi. Saat itu, wilayah Sumatera Utara mengutus dua orang peserta. Aku mewakili Kabupaten Asahan dan Ibu Hasmurina dari Kota Tanjungbalai. 

Kegiatan dilaksanakan di Pekalongan. Di sana, kami belajar tentang pengelolaan data kegiatan paralegal Pekka; mulai dari mengumpulkan data, mengirimkan data, dan menginput data secara online. Peserta yang hadir adalah para pengurus serikat dari berbagai daerah. Pelatihan ini difasilitasi oleh Mbak Nunik, Mbak Wilu, dan Mas Yanto. 

Kami para peserta pelatihan mempraktekkan langsung materi yang diajarkan. Oleh karenanya, kami diminta untuk membawa telepon genggam agar bisa langsung memasukkan data yang kami peroleh melalui aplikasi. Melalui pelatihan ini, setiap kegiatan yang kami lakukan bisa tercatat. Kami pun bisa melihat langsung berapa jumlah data yang kami kirim tanpa menghabiskan kuota.

Pada awalnya aku mengalami kesulitan mengikuti pelatihan ini. Saat pemaparan, kami langsung mengisi data melalui aplikasi yang diajarkan. Maklum, aku baru belajar menggunakan telepon genggam. Tetapi lama kelamaan  jadi terbiasa juga. 

Satu tahun kemudian, aku mengikuti Pelatihan Manajemen Berkelompok yang diadakan di Jalan Syekh H. Ismail Abd Wahab, Dusun VI,  Desa Bagan Asahan Pekan, yang difasilitasi oleh Nunik, fasilitator lapang Yayasan PEKKA. Saat itu masing-masing kelompok diajarkan cara mengelola kelompok agar lebih tetap aktif dan dinamis. Deskripsi kerja dari ketua, sekretaris, dan bendahara pun diajarkan secara rinci. 

Dari pelatihan ini, aku jadi lebih memahami perencanaan dalam mengelola kegiatan dan pengelolaan organisasi secara mendalam. Prosesnya kita diajari bagaimana cara membuat organisasi untuk pengurus menerapkan aturan-aturan, fungsi masing-masing pengurus, juga keterampilan menggerakkan anggota untuk berkegiatan. Aku menerapkannya dengan bersikap akomodatif terhadap semua anggota, dan tidak pilih kasih. Aku pun belajar menjadi pendengar yang baik bagi anggota kelompok, dan bijaksana dalam memutuskan suatu masalah. 

Di tahun yang sama, aku mengikuti Pelatihan KLIK PEKKA di Hotel Bintang di Kisaran, Kabupaten Asahan yang difasilitasi oleh Nunik dan Mbak Mien. Ada 24 peserta yang hadir saat itu. Pesertanya adalah kader Pekka utusan dari Kota Tanjungbalai dan Kabupaten Asahan. Kami mendapatkan pengetahuan tentang kasus-kasus perempuan dan anak (KDRT, kekerasan seksual, kekerasan terhadap anak), juga legal identitas. 

Para fasilitator menjelaskan mengenai perbedaan antara kasus pidana dengan kasus perdata serta,  proses penanganan kasus secara litigasi dan nonlitigasi. Kami juga mendalami cara-cara menyelenggarakan KLIK (Klinik Layanan Informasi dan Konsultasi) PEKKA dan cara mendampingi klien saat berkonsultasi sehingga kami paham dan dapat mempraktekkannya di lingkungan wilayah masing-masing. 

Tindak lanjut dari KLIK adalah kami merekap data-data di desa masyarakat yang membutuhkan dokumen kependudukan, dan membawanya dinas-dinas terkait. Beberapa bulan kemudian dinas membuat program. Masyarakat diminta mendaftar ulang untuk mendapatkan dokumen dan bantuan perlindungan sosial yang mereka butuhkan. Setidaknya perlu waktu satu tahun untuk melakukan advokasi ini, karena dinas-dinas tersebut mempunyai kuota tersendiri untuk jumlah warga yang bisa mendapat bantuan. 

 

Menjadi Caleg

Beberapa bulan kemudian aku mendaftarkan diri sebagai calon legislatif melalui Partai FKPI Daerah Pemilihan IV dan V Kecamatan Tanjung Balai, Kabupaten Asahan. Awalnya aku didukung oleh Seknas untuk terlibat dalam partisipasi publik dari pelatihan kepemimpinan. Untuk mengajukan pencalonan ini, aku resmi dipinang FKPI pada 2014. Aku mengenal FKPI dari saudara sepupu. Anggota kelompokku sangat mendukung keikutsertaanku dalam pencalonan itu. Juga, tentu saja, suami dan keluarga yang mendukung secara penuh.

Yayasan PEKKA memberikan dukungan dan perhatian kepada kader Pekka yang mengikuti bursa pencalonan legislatif. Saat itu aku diundang untuk mengikuti “Pelatihan Pembekalan Anggota Legislatif Komunitas Pekka” di Hotel Cempaka, Jalan Letjen Suprapto, Cempaka Putih, Jakarta. Pelatihan dilaksanakan selama 4 hari dan dihadiri 59 peserta dari 13 provinsi. 

Dari hasil pelatihan ini aku menjadi tahu strategi berkampanye dengan baik untuk mencapai target perolehan suara secara maksimal, cara menghitung perolehan suara, upaya mengamankan suara di TPS  serta merekap suara. Pelajaran yang didapat adalah bagaimana mengawal data dari desa jangan sampai data kita hilang, lalu bagaimana cara meyakinkan masyarakat dengan melakukan pemetaan isu prioritas di wilayah-wilayah yang potensial memberikan suara. Strategiku dalam memperoleh suara hanyalah membantu pembuatan Akta Kelahiran secara gratis. 

Caranya adalah: wilayah yang tercatat memiliki banyak warga tidak memiliki Akta Kelahiran didata, agar aku bisa membantu dalam mengurus Akta Kelahiran dan memperolehnya tanpa biaya. Aku juga memudahkan anak-anak yang putus sekolah untuk memperoleh ijazah melalui Program Kejar Paket.

Awalnya, banyak masyarakat yang merespon isi kampanyeku. Saat itu, ada 1.000 berkas yang berhasil diurus. Namun, begitulah manusia. Lain di mulut lain di hati. Saat dibantu berucap akan memilihku, tetapi ketika pencoblosan malah memilih calon yang lain. Tantanganku saat kampanye adalah karena aku tidak memiliki uang, sehingga aku kalah dari calon yang punya uang dan memberikannya lewat “serangan fajar”. Selain itu, ada juga yang mencibirku karena aku perempuan. Di desaku masih banyak masyarakat yang mengutamakan laki-laki daripada perempuan, walau kini sudah tidak seperti itu lagi.

 

“Memimpin” Dengan Cara Berbeda

Tahun 2015, aku menghadiri Forum Nasional Pemangku Kepentingan di Hotel JW Marriot,  Jalan Puri Hijau No 10 di Medan, Sumut. Kegiatan yang difasilitasi oleh AIPJ dan PUSKAPA UI itu dihadiri oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Bappeda, Pengadilan Agama, dan Kemenag. Forum ini mendiskusikan upaya meningkatkan akses masyarakat terhadap identitas hukum secara murah, mudah dan inklusif.  Dalam forum ini juga didiskusikan tentang pelayanan terpadu identitas hukum yang akan diselenggarakan di Desa Bagan Asahan, Pematang Sei Baru dan Sei Apung Jaya kerjasama Serikat Pekka dengan PA, Disdukcapil dan KUA. 

Kader secara aktif bertanya kepada instansi yang hadir. Materi yang menjadi fokus dalam forum ini adalah alur pembuatan alur pembuatan BPJS dan dokumen identitas legal lainnya. Instansi juga menjelaskan tentang program kerja yang mereka punya. Para peserta menyampaikan kebutuhan akan adanya kemudahan dalam mengurus dokumen identitas legal dan perlindungan sosial. Kebutuhan ini lantas ditanggapi dengan pernyataan dari perwakilan instansi yang hadir untuk memberi asistensi kepada Pekka selama sesuai dengan prosedur, misalnya dengan pengajuan surat sebelum bertemu, lalu juga dengan kelengkapan data yang dibutuhkan.

Tindak lanjut dari forum tersebut adalah serangkaian acara dalam Launching KLIK PEKKA, Pelayanan Terpadu/YANDU dan Pesta Sayang Anak, yang diselenggarakan Serikat Pekka. Kegiatan ini dilaksanakan selama dua hari berturut-turut. PJ kegiatan ini ada 3 orang, aku sebagai PJ kegiatan Launching KLIK PEKKA, Siti Jawiyah bertanggung jawab dalam penyelenggaraan YANDU, dan Dahliani Sitorus sebagai PJ kegiatan Pesta Sayang Anak. 

Sebelumnya, kami membentuk panitia untuk melakukan tugas-tugas seperti kunjungan ke kantor-kantor dinas, melakukan sosialisasi kepada masyarakat, membuat surat, dan menjadi petugas KLIK. Kader Pekka yang bertugas sebagai petugas KLIK berjumlah 12 orang, yang semuanya sudah mengikuti pelatihan paralegal. Selain itu, ada pula moderator yang bertugas memandu pembukaan acara, agar para perwakilan instansi dapat memperkenalkan diri dan menjelaskan program yang diadakan oleh instansi mereka.

Launching KLIK PEKKA pun diadakan pada Februari 2016. Kegiatan ini dihadiri oleh Direktur Yayasan PEKKA, Nani Zulminarni dan perwakilan dari AIPJ dan Puskapa UI. Perwakilan dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, Kementerian Agama, aparat desa, dan kader Pekka juga hadir dalam acara ini. 

Masyarakat yang juga datang mengikuti acara ini bisa secara langsung menyampaikan keluh kesah mereka kepada para perwakilan instansi. Mereka pun bisa mendapat penjelasan secara langsung mengenai prosedur mengakses identitas legal tanpa menggunakan jasa perantara (calo). 

Dalam kegiatan ini, aku bertugas melayani konsultasi mengenai Kartu Keluarga. Aku pun harus menghadapi masyarakat yang tidak memahami tujuan dari pelaksanaan KLIK. Mereka dari mereka berpikir bahwa kegiatan ini memfasilitasi pembuatan Kartu Keluarga dan PKH secara langsung. Aku pun harus menjelaskan kepada mereka, bahwa Pekka hanyalah sebagai jembatan dan membantu mencatat data anggota masyarakat yang belum mempunyai dokumen identitas legal. 

Aku jadi memahami bahwa memberikan informasi kepada masyarakat haruslah secara jelas dan berterus terang, namun juga berhati-hati, agar terhindar dari salah paham. Aku menghindari kesalahan dalam pemberian informasai agar mereka tidak berbalik mencibir Pekka, dan mereka yang membutuhkan malah tidak terbantu.

Hari kedua dari kegiatan ini diisi dengan YANDU dan Pesta Sayang Anak yang diadakan di MTS MPI Desa Bagan Asahan, di Jalan Syekh H. Ismail Abd Wahab, Dusun VI, Kecamatan Tanjung Balai, Kabupaten Asahan. Pemilihan sekolah sebagai tempat kegiatan karena penyelenggaraan YANDU sendiri membutuhkan beberapa ruangan; yang pertama ruang sidang yang ditempati oleh Majelis Hakim dari Pengadilan Agama dan peserta sidang, ruang kedua adalah tempat untuk pencatatan nikah oleh KUA dan ruang ketiga adalah untuk pencatatan Akta Kelahiran oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. 

YANDU atau Pelayanan Terpadu adalah pelayanan secara bersama-sama antara Pengadilan Agama, Pengadilan Negeri atau Mahkamah Syariah, dengan Dinas Kependudukan dan Pencatatan sipil dan Kantor Urusan Agama kecamatan. Kegiatan ini bertujuan  untuk memberikan pelayanan pengesahan perkawinan, pencatatan perkawinan dan pencatatan kelahiran. Ada 21 pasang hadir dalam kegiatan tersebut, dari 23 pasang yang diajukan. Masing-masing pasangan membawa 2 orang saksi. 

Sebelum YANDU dilaksanakan, kader Pekka telah melakukan serangkaian persiapan. Kader mengunjungi dinas-dinas dan melakukan sosialisasi tentang rencana YANDU ini. Kami duduk bersama untuk membicarakan langkah-langkah yang harus dilaksanakan agar proses pelaksanaan YANDU berjalan dengan baik. Kami berbagi tugas, aku yang melakukan koordinasi dengan PA, Disdukcapil dan KUA. Kader Pekka membantu masyarakat yang ingin melaksanakan itsbat nikah, lalu aku membuat surat permohonan isbat nikah ke Pengadilan Agama bagi peserta yang telah memenuhi syarat, yakni usia pernikahan telah lima tahun, ada saksi saat menikah, dan identitas yang tertera di KK dan KTP sama. Ada seorang peserta yang marah-marah ketika mengetahui dirinya tidak bisa dibantu, karena ketika menikah tidak ada saksi. 

Di ruang ketiga, kami menggelar acara “Sayang Anak”. Sekitar 150 anak dan cucu anggota Pekka berusia antara 1 hingga 5 tahun hadir dalam kegiatan tersebut. Mereka berkumpul, bernyanyi dan menari bersama. Kader Pekka dan panitia dari Medan memandu acara ini. Sebagian ada yang menjadi badut, sebagian lagi membuat bentuk hewan dari balon. Tujuan dari acara “Sayang Anak” ini adalah menceritakan pentingnya Akta Kelahiran bagi mereka.

Pada akhir acara, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil menerbitkan lebih kurang 100 Akta Kelahiran yang diberikan langsung ke masyarakat. Lelah kami sebagai panitia terobati dengan suksesnya kegiatan ini. Masyarakat pun sangat bersyukur. Mereka akhirnya bisa memiliki Buku Nikah dan anak anak mereka dapat melengkapi persyaratan untuk masuk sekolah. 

 

Mengadakan Yandu

Beberapa bulan berikutnya, YANDU dilaksanakan di Desa Pematang Sei Baru dengan jumlah peserta sebanyak 16 pasangan. Saat itu Pengadilan Agama menerbitkan penetapan isbat sebanyak 16 pasang, KUA menerbitkan buku nikah sebanyak 16 pasang, dan Disdukcapil menerbitkan 25 lembar Akta Kelahiran. Aku yang menjadi penanggung jawab kegiatan merasa lega. Masyarakat di Desa Sei Pematang Baru sulit untuk mendapatkan Buku Nikah, dan anak-anak mereka tidak mempunyai Akta Kelahiran karena jarak dari desa tersebut ke kantor pemerintahan jauh. Kami berinisiatif melakukan pengumpulan dokumen secara kolektif untuk membantu mereka. 

Kendala terbesar saat melaksanakan Yandu kedua ini adalah sinyal internet, karena lokasi penyelenggaraan yang berada di wilayah hutan. Sementara, petugas Catatan Sipil memasukkan data secara daring. Bila sinyal terganggu, maka sistem tidak bisa dibuka, sehingga petugas tidak bisa mengecek ulang data. Akhirnya, dokumen yang terhambat untuk diterbitkan karena masalah sinyal kami ambil di kantor instansi terkait beberapa hari kemudian. 

  YANDU ketiga dilaksanakan di Balai Desa Sei Apung, dengan peserta sebanyak 22 pasangan. Selain buku nikah, dalam satu hari kerja Disdukcapil juga telah menerbitkan 65 Akta Kelahiran. Peserta YANDU ketiga merasa senang dan terharu. Beberapa bahkan ada yang meneteskan air mata. Salah satu ibu mengatakan kepadaku, jika selama ini dia kebingungan untuk membuat Akta Kelahiran anaknya. Padahal, identitas legal ini menjadi salah satu syarat untuk mendaftar sekolah. Dia kesulitan mengurus Akta Kelahiran anaknya karena tidak memiliki Surat Nikah. Ibu ini berharap kegiatan YANDU tetap berkelanjutan, karena sangat bermanfaat bagi masyarakat yang mengalami nasib serupa dengannya.

Di tahun yang sama, aku mengikuti Lokakarya Penguatan Hukum Keluarga Islam dengan tema “Islam dan Perubahan Sosial” di Kisaran. Peserta kegiatan tersebut ustad/ustadzah, KUA dan 20 perwakilan kader Pekka. Fasilitatornya adalah Ibu Badriyah Fayumi dari Alimat. Selama pelatihan dibahas tentang hukum-hukum Islam dan hadits-hadits yang sering disalahpahami pemaknaan dan penafsirannya, sehingga relasi antara laki-laki dengan perempuan baik di keluarga dan masyarakat timpang. Ustad dan ustadzah diundang untuk memberi perbandingan dan kajian dari ayat atau surat apa yang mendukung pendapat-pendapat yang membenarkan perempuan boleh menjadi pemimpin.

Beberapa bulan kemudian, Ibu Siti Hawa Damanik dari Desa Bagan Asahan Pekan, Dusun V, datang berkunjung ke rumahku. Dia memintaku untuk mendampinginya mengajukan gugat cerai ke pengadilan. Ibu Siti, seorang anggota komite MTS PI Bagan Asahan, sudah 2 tahun ditinggal meninggal suaminya. 

Aku pun merasa bertanggung jawab untuk membantu. Keesokan harinya, aku mendampingi Ibu Siti ke balai desa untuk mengurus Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM), kemudian ke Kantor Kecamatan agar Camat membubuhkan tanda tanggannya di SKTM. Aku juga membantu membuatkan surat permohonan gugat cerainya. 

Dua hari kemudian, aku bersama Ibu Siti memasukkan berkas gugat cerai secara pro deo beserta persyaratan lainnya yaitu KK, KTP, fotocopy buku nikah dan SKTM ke Pengadilan Agama Kisaran. Alhamdulilah, berkas tersebut diterima tanpa koreksi. Setelah dua minggu, Ibu Siti mendapatkan panggilan pertamanya untuk pelaksanaan sidang ke Pengadilan Agama. Tiga kali pemanggilan, tergugat tidak hadir dalam sidang. Pengadilan memutuskan perceraian Ibu Siti Hawa. 

Aku termotivasi untuk membantu karena apabila perempuan tidak punya identitas, mereka akan kesulitan untuk bekerja. Masyarakat pun sering meremehkan perempuan yang tidak jelas identitasnya. Ini merupakan pendampingan kasus gugat cerai pertamaku. Dari mendampingi kasus gugat cerai ini, aku belajar bahwa ketika sudah memiliki Surat Cerai, perempuan bisa memiliki kebebasan untuk melanjutkan hidupnya. Terutama bila ingin menikah lagi, agar anak-anaknya ada yang menafkahi. Selain itu, aku melihat juga perempuan yang bercerai membutuhkan pendampingan juga untuk mendapat haknya pasca perceraian.

  Tahun 2020, aku bersama kader Pekka lain seperti Ibu Wati, Sugiani, Sony, Puji, dan Sunartik, serta pengurus serikat Ibu Mahyar dan Ibu Yusnita, duduk bersama Bapak Bupati Asahan di Perumahan Dinas Pandopo Kisaran. Kami diperkenalkan kepada perwakilan dari Dinas Dukcapil, KUA, Disnaker, Koperasi BPJS, dan PKH agar bisa menjalin kerjasama dengan jajaran instansi di kabupaten sehingga urusan Pekka menjadi lebih mudah.

Bersama-sama kami membicarakan Peraturan Bupati terkait anggaran kegiatan Pekka di wilayah masing-masing. Bapak Bupati menyambut hangat usulan-usulan kami dan berharap agar semua impian ibu-ibu Pekka terwujud.

Sebelumnya kami telah bertemu beliau saat mencalonkan diri untuk menjadi bupati. Saat itu, kami menjelaskan bahwa kami telah berswadaya menggerakkan Pekka selama empat tahun. Kami pun meminta agar beliau mengeluarkan PERBUP sehingga setiap desa memiliki dana yang dialokasikan untuk Pekka, sama seperti PKK. Beliau mengatakan tidak bisa mengeluarkan Perbup, namun berjanji untuk selalu mendukung kegiatan-kegiatan Pekka.

Gayung bersambut di tahun 2021. Janji tersebut beliau wujudkan dalam bentuk pelatihan kewirausahaan di Medan.  direalisasikan kami diberangkatkan untuk pelatihan kewirausahaan di Medan. Juga di awal tahun 2022, kami mendapat Pelatihan Kepemimpinan Perempuan. 

 

Pantang Menyerah untuk Berjuang

Hingga saat ini, suamiku masih di penjara. Kasusnya masih sama, yaitu penyelundupan TKI dan baru masuk Januari 2021. Kondisi perekonomianku sangat sulit di tahun ini, karena gaji dari sekolah turun empat bulan sekali. Untuk melanjutkan hidup dan sekolah anak-anak, aku berhutang sana-sini. Biaya untuk membeli seragam dan buku aku dapatkan dengan cara berhutang. Untungnya, anakku bersekolah di tempatku mengajar. Begitulah sifat ibu-ibu Pekka. Kami senantiasa kuat dan tegar. 

Anak pertamaku pemalu sehingga disuruh bekerja tidak mau bekerja sambil sekolah.Meski demikian, dia tidak pernah menolak untuk membantu menyelesaikan pekerjaan rumah. Kadang anakku protes bila harus menjaga adiknya yang berusia lima tahun. Namun, mereka bangga dan Walau begitu mereka bangga dan mendukung kegiatanku di Pekka. 

Orang tuaku sudah meninggal ketika aku mempunyai anak kedua, jadi mereka belum melihat aku diwisuda sebagai sarjana. Namun satu hal yang pasti, jika mereka masih hidup mereka pasti bangga. Orang tuaku selalu berpesan padaku agar jangan sampai putus sekolah. Bila suami melarang bekerja, jangan mau karena kita tidak bisa mengharapkan dari suami saja. Apabila disuruh memilih antara bekerja dengan suami, sebaiknya aku memilih bekerja karena kita tidak pernah tahu, seperti apa keadaan ekonomi kelak. Bila perempuan punya penghasilan sendiri, tidak akan bisa disepelekan laki-laki. Itulah yang selalu kuterapkan ke anak-anakku sekarang, bahwa kita harus bisa hidup mandiri.(Rima/Lits)

Bagikan Cerita Ini

Cerita Terkait

Leave a Comment