Seperti Pantai Yang Tak Terpengaruh Ombak

Namaku Irawati lahir di Desa Dayah Kumba Kecamatan Mutiara Timur Kabupaten Pidie Aceh, 37 tahun silam atau tepatnya  23 Maret 1985. Nama ibuku Saudah, seorang perempuan lemah lembut penuh kasih sayang, pekerja keras dan menjadi  tulang punggung keluarga karena ibu sudah resmi berpisah dari ayah saat  aku masih berusia dua tahun. Aku tumbuh seperti anak-anak perempuan lainnya hingga tahun 1988 aku masuk Sekolah Dasar (SD) Jeurat Manyang di Desa Dayah Kumba kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri Blang Malu dan tahun 2000 aku melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA)  Negeri 1 Mutiara dan lulus di tahun 2003.  

 

Setahun setelah tamat SMA aku berniat untuk bekerja di Malaysia,  keinginan yang sudah aku pendam semenjak aku SMP karena melihat   kakak perempuanku  yang saat itu bekerja disana, tetapi ibu melarang dan  mengharuskan aku melanjutkan sekolah dulu hingga tamat SMA.  Aku mendaftarkan diri ke agen Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Kota Medan dan Alhamdulillah aku  bisa berangkat ke Malaysia dan bekerja di perusahaan Elektronik SUNNY  PRECISION  MALAYSIA SDN BHD. Seminggu  di Malaysia pada saat sedang bekerja aku dan teman-teman  merasakan guncangan gempa, satu jam setelah itu kami mendengar kabar bahwa pusat gempa ada di Aceh dan diikuti oleh  tsunami. Aku sangat cemas mengingat semua keluargaku berada di Aceh, aku coba menghubungi mereka tetapi tidak tersambung karena jaringan telefon terputus. Dalam kesedihan dan berkat dukungan dari teman-teman aku  berusaha sabar hingga dua hari kemudian aku berhasil menghubungi kakakku  dan aku bersyukur semua keluargaku selamat dari tsunami.   

 

Setelah empat tahun di Malaysia tepatnya tahun 2009 aku memutuskan untuk tidak memperpanjang kontrakku dan ingin pulang ke Aceh, karena selama di Malaysia aku sering merasa sakit dibagian perut dan ketika diperiksa ternyata aku mengidap penyakit maag.  Setelah menetap di kampung aku mulai merasa bosan dan ingin kembali ke Malaysia.  Aku mendaftar kembali untuk bekerja di Malaysia dan pada saat melakukan medical checkup di Kota Medan ternyata aku  punya penyakit kista ovarium dan otomatis aku tidak bisa berangkat. Agar penyakitku tidak merembet kemana-mana aku pun segera berobat dengan uang hasil tabunganku ketika bekerja di Malaysia sebelumnya dan atas kuasa Allah aku bisa sembuh.  

 

Keinginanku untuk kembali bekerja ke Malaysia masih ada  tetapi  ibu melarang keras dan memintaku  untuk  segera menikah. Aku pun menuruti keinginan ibu dan bekerja sebagai karyawan di sebuah usaha jasa dekorasi dan rias pengantin milik salah satu kerabatku. Saat itu ibu mengajakku bergabung di Pekka dan kebetulan saat itu ibu  menjabat sebagai Ketua Serikat Pekka Kabupaten Pidie. Tetapi  aku belum tertarik karena menurutku  yang bisa bergabung di Pekka harus berstatus janda. Meskipun Ibu sudah menjelaskan bahwa aku bisa bergabung karena aku  adalah seorang perempuan yang sudah dewasa dan bekerja, tetapi tetap saja aku belum berminat untuk gabung di Pekka.  

 

Tahun 2010 aku menikah dengan seorang laki-laki yang terhitung masih kerabat dekatku dan  setelah menikah suamiku  bekerja sebagai sales pertanian di Medan dan menetap di sana sedang aku masih  tinggal di Aceh bersama ibu. Kembali ibu mengajakku untuk bergabung di Pekka,  karena suami merantau ke Medan aku pun  akhirnya mau bergabung di Pekka dan tentunya dengan dukungan dari suami.  

 

Setahun pernikahan dan dalam kondisi hamil tujuh bulan aku  ditawari oleh suami  untuk kuliah karena melihat aku tidak ada kegiatan dirumah. Tentu aku senang sekali karena bisa belajar kembali dan kebetulan kampusku tidak jauh dari rumah yaitu di Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu pengetahuan (STKIP) AL-Wasliyah Banda Aceh. Tahun 2016 aku lulus kuliah dan sambil menunggu ijazah aku bekerja sebagai guru honorer di SMA Sigli. Saat lulus kuliah  aku sudah punya dua orang anak laki-laki dan perempuan.   

 

Meskipun sudah bergabung di Pekka tetapi aku belum bisa aktif karena karena selain  sebagai guru aku juga punya kesibukan lain yaitu usaha bumbu masakan dan juga menerima pesanan  kue kering  terutama di saat  lebaran.   

 

Hingga awal tahun 2021 aku di ajak untuk menjadi panitia sekaligus notulensi di salah satu acara Bimbingan Teknis Kepemimpinan Perempuan Perdesaan yang merupakan kerjasama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KPPA)  dengan Akademi Paradigta Indonesia (API) oleh kak Aji, seorang Konsultan API. Aku senang sekali dan tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Peserta kegiatan terdiri dari masing-masing lima orang  anggota Pekka dan Kader Desa dari  4 desa yaitu Desa Dayah Kumba, Desa Meugit, Desa Karieng dan Desa Menasah Krueng.   

 

Selanjutnya kak Aji menawariku untuk menjadi mentor Akademi Paradigta. Sebelum membuka kelas kami melakukan sosialisasi ke beberapa desa, tidak semua desa menyambut kami dengan baik, banyak  hambatan dan tantangan yang kami hadapi. Bagiku hal ini tentunya menambah keberanian, pengalaman dan pengetahuan, bahkan salah satu desa yang kami kunjungi yaitu Desa Barona Bereunuen, membuat kami sedikit kesal karena sambutan dari kepala Desa agak kurang menyenangkan, bahkan kami tidak dipersilakan duduk, sosialisasi kami lakukan sambil berdiri, kepala desa itu mengatakan kekhawatirannya jika  kami membawa ajaran sesat. Meskipun sedih dan kecewa, tetapi kami menyikapinya dengan wajar, karena ini bagian dari resiko bekerja di lapangan terkadang di sambut dengan baik dan hangat, terkadang juga di tolak dengan kata-kata yang kurang enak di dengar.   

Berbeda dengan Desa Jeurat Manyang dengan bantuan suami  kebetulan suamiku kenal dekat dengan kepala desa dan beliau menerima dan menunggu kedatangan kami.  Keesokan harinya saya dan teman-teman mengunjungi Kepala Desa Jeurat Manyang di kantor desa untuk melakukan sosialisasi, kami mendapatkan sambutan dan dukungan yang sangat baik dan kepala desa juga bersedia menginformasikan kepada ibu-ibu kader desa serta  masyarakat lainnya yang ingin bergabung.   

 

Singkat cerita setelah sosialisasi ke masyarakat, kegiatan ini di sambut dengan baik dan banyak yang ingin bergabung malahan melebihi dari kuota yang kita sepakati, yaitu mencapai  45 orang tapi kami menjelaskan kembali yang bahwa kami hanya bisa menerima peserta maksimal 35 orang dan jika banyak ibu-ibu yang ingin bergabung kita akan adakan tahap ke dua dengan pendanaan dana desa jika kepala desa bisa menganggarkannya.   

 

Hari pertama pembukaan kelas dilakukan di aula Desa Jeurat Manyang dihadiri oleh kepala desa dan beberapa perangkat desa, peresmian pembukaan kelas di sampaikan oleh kepala desa dan menyampaikan sepatah dua kata sambutan, juga ada kata-kata sambutan oleh bunda Nani Zulminarni melalui zoom.  Kegiatan belajar berjalan lancar, aku selaku mentor senang dan bangga melihat semangat  peserta kelas, sungguh ibu-ibu hebat, semangat peserta juga sangat mendukung kelancaran kelas,  bahkan ada salah satu suami dari peserta sempat bertanya pada istrinya, “kamu belajar apa? apa yang diajari di sana?” istrinya menjawab, “tentang kepemimpinan perempuan, peran perempuan sebagai pemimpin“. Menurut pengakuan peserta tersebut sempat terjadi selisih paham dengan suaminya, ia dilarang untuk mengikuti kelas lagi dan peserta tersebut menyampaikannya kepadaku, dan setelah kami jelaskan baik-baik, memberi pengertian akhirnya suami peserta tersebut sudah mengerti dan istrinya diizinkan untuk tetap mengikuti kelas sampai selesai.   

 

Tidak berasa kelas Akademi paradigta telah selesai lebih kurang dalam kurun waktu tiga bulan. Saya merasa sangat senang dengan perubahan-perubahan positif  yang dialami oleh akademia. Mereka sangat antusias dan bersemangat untuk menyelesaikan kelas menuju wisuda. Di hari wisuda aku  bertugas sebagai pembawa acara,  ini adalah pengalaman pertama bagiku dan Alhamdulillah acara berjalan lancar.  Kepala Desa sangat mendukung kegiatan ini memberikan karangan bunga dengan ucapan selamat dan sukses kepada wisudawati.     

   

Meskipun ada penyesalan dalam hatiku mengapa aku tidak bergabung dengan Pekka dari awal aku ditawari ibu, tetapi yang penting sekarang aku sudah bisa aktif di Serikat Pekka. Banyak sekali perubahan yang aku rasakan, aku  mulai berani tampil dan berbicara di depan umum, mampu menyelesaikan masalah keluarga dan membantu masyarakat, berani berdiskusi dengan pejabat pemerintah daerah mulai dari tingkat desa hingga kabupaten. Banyak sekali ilmu yang aku dapatkan di Pekka dan tentunya semakin membuat aku bisa menjadi seorang guru yang baik dan profesional.   

 

Satu hal yang membuat aku  senang adalah disaat suamiku, Fauzinur yang sekarang bekerja di salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pengembangan Aktivitas Sosial Ekonomi Aceh (PASKA Aceh) dan  juga sebagai anggota BPD di Desa Dayah Kumba, sudah mulai memahami arti kesetaraan gender dimana laki-laki dan perempuan punya hak dan kewajiban yang sama, harus saling memahami, menjaga dan saling membantu. Berbeda dengan sebelumnya dimana saya sering berdebat dengan suami jika berdiskusi tentang kesetaraan gender, tetapi sekarang suami malah mendukung dan sering tukar pendapat tentang kesetaraan gender, sungguh perasaan yang begitu bahagia dengan pencapaian ini.   

Bagikan Cerita Ini

Cerita Terkait

Leave a Comment