Sesungguhnya Setiap Kita Adalah Pemimpin

Duniaku runtuh di usia muda. Suamiku meninggalkanku sendiri bersama dua anak. Kegiatan simpan-pinjam yang dilakukan kelompok Pekka membantuku mengumpulkan modal usaha. Ilmu yang kudapat dari sana membuat hidupku jauh lebih bermakna.

Namaku Juliani, lahir pada bulan Juli 1978 di Desa Gunung Singit, Kecamatan Silih Nara, Kabupaten Aceh Tengah, Nangroe Aceh Darussalam. Aku lahir sebagai anak kedua dari 14 bersaudara. Orang tuaku bekerja sebagai petani kopi.

Aku tinggal di lingkungan perkebunan kopi yang sejuk dan masih asri. Sejak usia 10 tahun, aku sudah terbiasa mandiri. Ibu sering meninggalkanku pergi ke kampung halamannya, sehingga aku harus bisa mencuci baju. Selain itu, aku mencari uang jajan sendiri dengan mengolek (mengumpulkan) jatuhan kopi, karena orang tua tidak pernah memberiku uang jajan.

Setamat SD di tahun 1986, aku melanjutkan pendidikan ke SMPN Sili Nara. Sekolah ini berjarak hampir 7 kilometer dari rumah. Setiap hari, aku harus berjalan kaki menempuh jalan setapak yang becek. Tantangan ini aku hadapi dengan perjuangan keras, agar aku bisa menamatkan SMP.

Pada tahun 1993, aku pindah ke Bireun untuk melanjutkan sekolah ke SMA 1 Mutiara Beureuneun. Sewaktu di kampung, aku mulai mengenal laki-laki dan jatuh cinta. Pada 1997, aku menikah dengan lelaki pilihanku. Kami sangat berbahagia dan dikaruniai dua orang anak, laki-laki dan perempuan. 

 

Titik Terang dari Pekka

Kebahagiaan pernikahan tidak bertahan lama. Sejak aku hamil anak kedua, suamiku mulai sakit-sakitan. Ia mengidap penyakit paru-paru dan harus berobat ke dokter spesialis paru. Biaya pengobatannya sangat menguras tabungan kami, dan membuat kami terpaksa menjual sepeda motor agar suamiku tetap bisa berobat. Sayangnya, kenyataan berkata lain. Suamiku meninggal dunia pada 2001.

Duniaku terasa runtuh. Aku tidak sanggup membayangkan hidup tanpa suami, dengan dua anak yang masih bayi. Mereka masih membutuhkan kasih sayang ayah dan ibunya. Aku pun menjadi kepala keluarga dengan modal seadanya. Aku memutuskan untuk membangun kios kecil di depan rumah, menjual jajanan anak-anak dan sembako untuk bertahan hidup. 

Pada 2002, beberapa orang janda, termasuk saya, diajak berkumpul di Menasah untuk membentuk kelompok. Kami pun memilih nama kelompok, juga pengurus. Dalam pembentukan kelompok ini, Pak Muhammad, orang yang mengajak kami berkumpul, menjelaskan mengenai Pekka. saat itu, banyak yang menolak dan menganggap dengan sinis. Ada yang berkata tidak ada gunanya membentuk kelompok bila tidak ada yang memberi uang. “Cuman uang kita-kita aja yang disuruh simpan pinjam,” kata mereka.

Kegiatan kelompok ini pada saat itu memang hanya berupa kegiatan simpan-pinjam. Kami, para anggota, membayar simpanan pokok sebesar Rp 10.000,00 dan simpanan wajib Rp 1.000,00. Selain itu, pendamping lapang menjelaskan tentang visi dan misi bagi anggota kelompok agar para anggota lebih dapat memahami apa tujuan kelompok, sehingga bisa membantu mengembangkan potensi diri masing-masing anggota kelompok. Alhamdulillah, berkat kegiatan simpan-pinjam, aku bisa mendapat pinjaman ekonomi produktif untuk menambah modal kiosku. 

Di Aceh pada waktu itu, masih dalam keadaan konflik antara TNI dengan GAM. Selain masyarakat, GAM juga menolak adanya kelompok di desa kami. Namun, pendamping lapang bisa meyakinkan ibu-ibu, sehingga tetap ada yang mau bergabung menjadi anggota kelompok, termasuk aku. Awalnya anggota kelompok kami berjumlah 15 orang. Lama kelamaan bertambah menjadi 20 orang. Setelah terbentuk sembilan kelompok di Kecamatan Mutiara, maka kami membentuk lembaga keuangan mikro tingkat kecamatan untuk mempersatukan kesembilan kelompok tersebut.

 

Kegiatanku Semakin Banyak

Gempa yang disusul tsunami melanda Aceh pada 26 Desember 2004. Pagi itu, aku dan anak-anakku sedang menonton TV. Kami berhamburan keluar rumah untuk menyelamatkan diri. Baru 15 menit kami berada di luar rumah, terdengar orang berteriak, ‘Air, air!” Aku bertanya dalam hati, mana mungkin air bisa mencapai daratan. Pada kenyataannya, memang di wilayah pesisir banyak rumah yang disapu ombak. Korban jiwa akibat bencana ini berjumlah hingga puluhan ribu, terbanyak berasal dari Banda Aceh, Meulaboh, dan Bireun. Gempa dan tsunami yang melanda Aceh dinyatakan sebagai bencana nasional, dan banyak negara membantu untuk menemukan korban yang tertimbun reruntuhan dan pemulihan trauma bagi masyarakat yang terdampak, khususnya anak-anak.

Saya dan Ratna pergi ke kantor World Bank (WB) di Jalan Diponegoro,  Banda Aceh pada 2005, untuk memenuhi undangan. Pada saat itu banyak LSM asing seperti Oxfam dan Save the Children mengadakan acara dalam rangka pemulihan sosial dan ekonomi Aceh. Waktu itu kami diajak untuk menyambut Presiden Direktur Bank Dunia dari Australia untuk membahas rencana pembangunan prasarana dan penguatan mental atau psikis bagi anak-anak yang terdampak tsunami, khususnya yang mengalami trauma pasca tsunami.

Setelah pulang dari pelatihan kepemimpinan yang pertama di Jakarta pada tahun 2005, aku mulai aktif mengadakan pertemuan kelompok di wilayah Mutiara Timur. Pelatihan yang pernah aku ikuti antara lain adalah Pelatihan Kepemimpinan yang difasilitasi Mbak Kodar Tri Wusananingsih dan Mbak Mien Rianingsih di Kota Mini. Pelatihan ini diikuti oleh tiga perwakilan pengurus kelompok dari sembilan kelompok yang ada di Kecamatan Mutiara Timur.

Di kelompok, aku terpilih sebagai bendahara karena banyak anggota kelompokku yang buta huruf. Awalnya, aku memang tidak bisa membuat laporan pembukuan. Namun, selalu ada orang yang mendampingi kami di Pekka untuk mengatasi ketidaktahuan dan ketidakmampuan kami. Aku mendapat pembekalan mengenai administrasi pembukuan melalui pelatihan yang diadakan di Bireun. Pelatihnya adalah Mas Adi Nugroho, Mbak Romlawati, Pak Muhammad, dan Pak Is. Pelatihan ini merupakan yang pertama yang aku ikuti di luar Kabupaten Pidie. Pada saat itu, aku masih merasa minder terhadap teman-teman dari wilayah lain.

Sejak saat itu, aku sering dilibatkan di dalam kegiatan kelompok dan desa. Aku pun diwajibkan untuk mengadakan Rapat Anggota Tahunan (RAT) kelompok, karena posisiku sebagai bendahara. Pada 2007, aku mengikuti pelatihan di Hotel Purnama, Bireun, yang difasilitasi oleh Mbak Mien, Mbak Kodar, Mas Jo Han Tan, dan Mas Rudianto untuk lebih memahami kepemimpinan. Sesungguhnya setiap kita adalah pemimpin. Aku diajarkan untuk menggali potensi diri, siapa diriku, bagaimana aku di mata anak-anak dan teman-teman.

 

Halangan Terbesar Berhasil Kuatasi

Tidak mudah menjadi kepala keluarga dengan label janda. Aku tidak leluasa pergi ke luar rumah karena semua mata akan menatap curiga. Namun, aku harus bersabar dan mengabaikan omongan orang agar aku bisa lebih fokus membesarkan anak-anakku. Anak laki-lakiku lulus dari SMK pada 2016, dan memilih untuk bekerja agar bisa membantuku menyekolahkan adiknya. Anak perempuanku telah tamat dari SMAN 1 Mutiara Kabupaten Pidie, dan melanjutkan pendidikannya ke pesantren.

Selama menjadi anggota Pekka, aku banyak merasakan perubahan di dalam diriku. Kemampuanku semakin terasah berkat pelatihan-pelatihan yang diadakan Pekka. Satu pelatihan yang mengubah diriku adalah Pelatihan Keaksaraan Fungsional yang diadakan di Jakarta pada 2006. Pengetahuan yang aku dapat dari pelatihan ini memberiku bekal untuk mengajarkan ibu-ibu yang buta huruf membaca dan menulis.

Alhamdulillah, anggota kelompok dan masyarakat menyambut baik. Kami pun membentuk kelompok-kelompok belajar. Pelajaran pertama yang kami berikan adalah menulis nama sendiri, membuat tanda tangan, dan mengenal huruf. 

Aku juga melakukan sosialisasi Pekka di Desa Gelupang untuk perluasan wilayah Pekka di Kecamatan Kembang Tanjung dan Kecamatan Simpang Tiga. Terbentuklah tiga kelompok baru yang diberi nama Harapan Kamaa, Hubbul Hasanah, dan Phonna.

Dengan terbentuknya kelompok baru ini, kami pun mengadakan Pelatihan Visi, Misi, dan Motivasi Berkelompok bersama para kader dan pendamping lapang. Kami juga melakukan identifikasi di lingkungan masyarakat. 

Tiga tahun setelah itu, kami melakukan pendataan bagi masyarakat yang tidak punya Akta Kelahiran. Pada masa itu, kesadaran masyarakat untuk membuat dokumen identitas legal masih kurang, sehingga kami para anggota Pekka berinisiatif untuk membantu masyarakat dengan melakukan proses-proses pembuatan dokumen-dokumen tersebut. Kami juga melakukan pendampingan pengajuan gugat cerai bagi anggota kelompok hingga prosesnya selesai.

Kasus lain yang didampingi oleh kader Pekka Kabupaten Pidie adalah kasus pencurian yang dilakukan oleh anak di bawah umur. Kasus ini kami dampingi hingga ketuk palu yang menyatakan bahwa para pihak sepakat untuk berdamai. Pendataan yang dilakukan selama 2015-2016 untuk menggelar acara Pelayanan Terpadu (Yandu) juga berhasil mendorong Serikat Pekka Kabupaten Pidie untuk menggelar isbat nikah yang pertama. 120 pasangan berhasil memperoleh hak mereka, sehingga dinas-dinas terkait yang ada di Kabupaten Pidie begitu mengapresiasi keberadaan Serikat Pekka.

Tahun 2021 Serikat Pekka dan kader-kader Pekka melakukan pendataan di beberapa desa di tiga kecamatan, yaitu: Kecamatan Mutiara Timur, Kecamatan Kembang Tanjong, dan Kecamatan Tiro, Kabupaten Pidie melalui kepala desa setempat untuk proses pengurusan BPJS, Akta Kelahiran, Kartu Identitas Anak (KIA), bantuan sembako yang tidak cair, PHK bermasalah akibat ketidaksinkronan data antara pusat dengan daerah. Kami mendapati ternyata memang masih banyak Nomor Induk Kependudukan yang tidak sesuai dengan KTP. 

Aku diangkat menjadi mentor Akademi Paradigta Indonesia pada 2022. Aku bersama teman-teman mentor berkunjung ke kantor kecamatan untuk mengurus izin pembukaan kelas di Kecamatan Kembang Tanjong. Pada saat itu camatnya masih baru, belum tahu apa itu Pekka dan kami menjelaskan ingin membuat kelompok belajar bagi ibu-ibu di Desa Menasah Baro dan Menasah Sukon. Setelah mendapat surat izin, kami menemui kepala desa untuk menyampaikan keinginan kami membuka kelas di desa tersebut. Kepala desa menyambut baik dan berkata, “Saya akan suruh kader-kader Posyandu dan kader PKK dan Tuha Beut untuk ikut kelas.” 

Kelas Akademi Paradigta dimulai pada 2 Juni 2022 di Desa Menasah Baro, yang pembukaannya dilakukan oleh Pak Geuchik dan dihadiri oleh seluruh perangkat Desa Menasah Baro dan warga masyarakat. Doa dibacakan oleh Imam Menasah MC, dan acara dipandu oleh Aminah. Fajriyah selaku koordinator Akademi Paradigta, memberi kata sambutan. 20 akademia diwisuda pada tanggal 15 bulan Desember 2022. 

Tahun 2009 aku menikah lagi. Dari pernikahanku yang kedua aku dikaruniai tiga orang anak, dua perempuan dan satu laki-laki. Sejak saat itu aku mulai vakum atau jarang melibatkan diri dalam kegiatan karena hamil dan mempunyai anak kecil. Namun, aku tidak pernah keluar dari Pekka meski sudah menikah.

Bagikan Cerita Ini

Cerita Terkait

Leave a Comment