Tak Ada Kata Menyerah Demi Mencapai Cita-cita

Keputusanku untuk tidak melanjutkan sekolah berbuah mahal. Aku dinikahkan dengan laki-laki yang tidak aku kenal. Hidup mandiri pun aku perjuangkan bersama suami. Tak peduli harus menjadi buruh tani dan terlilit hutang, apapun aku jalani. Pekka membantuku mewujudkan meraih mimpi.

Tidak banyak yang tahu bila aku punya nama Wikdini di depan Harti, karena aku lebih dikenal dengan nama belakangku. Namun, itulah nama yang diberikan kedua orang tuaku ketika aku lahir pada tanggal 3 Maret 1981. Aku lahir di Dusun Buntrak, RT 05/02, Desa Wlahar, Kecamatan Larangan, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. 

Tempat tinggalku sangat terpencil, jauh dari keramaian. Saat aku lahir, hanya ada 20 rumah di RT tempat tinggalku. Waktu itu belum ada listrik, kami menggunakan lampu ceplik yang terbuat dari kaleng bekas berisi minyak tanah dengan sumbu dari kain yang digulung. Bila hendak bepergian pada malam hari, seperti pergi mengaji, aku menggunakan obor yang terbuat dari bambu.

Saat usiaku menginjak satu tahun, ibuku hamil lagi. Aku kemudian diasuh oleh ibu angkatku. Ibu angkatku pun pernah mengasuh ibu kandungku, sejak kecil hingga menikah. Ibu angkatku tinggal sendirian. Suaminya menikah dengan perempuan lain sebelum resmi bercerai dari ibu angkatku. Kami tinggal di rumahnya, sebuah gubug bambu yang sangat sederhana.

Ibu angkatku bekerja sebagai pedagang keliling. Aku dirawat dengan penuh kasih sayang. Ibu angkatku sangat menyayangi dan memanjakanku. Sayang, musibah datang dan merenggut nyawa ibu angkatku. Sebuah truk besar menabrak becak yang kami tumpangi. Kami terpental ke jalan raya. Aku dan supir becak selamat. Sementara ibu angkatku menderita luka parah di kepalanya, sehingga nyawanya tidak tertolong. Hari itu, Selasa, 21 April 1986, ibu angkatku tutup usia.

Aku masuk SDN 1 Wlahar di usia 6 tahun. Sama seperti teman-temanku, aku bersekolah tanpa mengenakan sepatu, berpakaian seragam seadanya, dan menggunakan kantung plastik sebagai tas untuk membawa peralatan sekolah. Aku hanya punya satu buku tulis dan sebuah pensil, dengan karet gelang yang diikat di batang pensil sebagai penghapus.

Jarak antara sekolah dengan rumahku tidak sampai satu kilometer, tetapi aku harus menyeberang sungai dengan menggunakan perahu kecil. Bila air sungai meluap, aku tidak bisa bersekolah karena sungai tidak bisa diseberangi.

Keinginanku untuk terus bersekolah berhenti setelah aku lulus SD pada tahun 1993. Aku lega sekali bisa lulus. Padahal, meskipun pendapatan mereka pas-pasan, orang tuaku ingin sekali aku melanjutkan pendidikanku. Bayangan akan sekolah yang jauh, tanpa teman dan transportasi umum yang mendukung, memperlemah niatku untuk bersekolah lagi. Untuk mencapai SMP terdekat, aku harus bersepeda sejauh empat kilometer. Bila tidak punya sepeda, aku harus berjalan kaki sampai jalan raya, lalu disambung dengan menumpang kendaraan umum. SMP terdekat dari rumahku adalah SMP Margasari Tegal, yang terletak di Kabupaten Tegal.

“Terjebak” di Jakarta

Pada masa itu, anak-anak seusiaku, yang hanya lulus SD atau tidak bersekolah, akan merantau ke Jakarta. Mereka akan bekerja sebagai pekerja rumah tangga. Aku ingin melakukan hal yang sama. Namun, Bapak melarangku dan membujuk agar aku mau bersekolah. Aku bersikeras melawan keinginan Bapak, hingga akhirnya Bapak menyerah dan tidak lagi memaksaku untuk bersekolah.

Suatu hari, aku diam-diam ikut tetangga berangkat ke Jakarta. Aku hanya pamit kepada Ibu, tanpa meminta izin kepada Bapak. Setelah tiba di Jakarta dan bekerja, aku lantas tersadar, betapa beratnya bekerja sebagai pekerja rumah tangga. Aku merasa tidak betah, sehingga aku menangis setiap hari dan menyesali keputusanku. Apalagi gajiku tidak besar, hanya Rp 30.000,00 per bulan.

Suatu hari, ketika berbelanja di pasar, aku mengirim surat kepada Bapak. Aku meminta Bapak untuk menjemputku. Bapak datang satu minggu kemudian. Aku girang sekali. Aku peluk Bapak sambil menangis. Hanya empat bulan aku bertahan di Jakarta.

Setelah kembali ke kampung halaman, aku menggantikan Ibu mengerjakan pekerjaan di rumah, sementara Ibu bekerja di ladang sebagai buruh tani. Terkadang, aku juga membantu Bapak yang bekerja sebagai penjahit, dengan memasang kancing dan menyeterika baju hasil jahitan Bapak.

Dipaksa Menikah

Suatu pagi, Bapak membujukku untuk kembali bersekolah. Lagi-lagi aku menolak dengan tegas. Bapak kemudian mengatakan, aku akan dinikahkan bila tidak melanjutkan sekolah. Aku pikir Bapak hanya bercanda ketika mengatakan hal itu. Ternyata Bapak serius dengan perkataannya. Apalagi, Bapak memberitahuku bahwa akan ada laki-laki yang datang berkenalan denganku malam itu.

Ternyata benar. Malam itu ada dua laki-laki datang ke rumahku. Aku sama sekali tidak kenal dengan mereka. Aku gugup tidak karuan, tanganku sampai gemetar, jantungku berdebar-debar. Aku menebak-nebak, yang mana calon suamiku. Setelah menemui mereka, aku langsung lari masuk kamar dan menangis sejadi-jadinya.

Aku masih berusia 14 tahun. Aku takut membayangkan pernikahan. Aku tidak akan bisa lagi bermain bersama teman-temanku. Setelah mereka pulang, Bapak memberitahuku yang mana calon suamiku. Tetapi tetap saja aku tidak merasa senang atau bahagia.

Keluarga calon suamiku datang pada tanggal 20 Januari 1995. Aku resmi dipinang oleh lelaki yang sama sekali tidak aku kenal. Pengikatnya berupa kalung emas seberat tujuh gram. Selama empat bulan bertunangan, dia sering datang ke rumah. namun, aku tidak pernah mau menemuinya.

Kami menikah pada tanggal 26 Mei 1995. Usia suamiku 21 tahun saat itu. Setelah menikah, aku sama sekali tidak paham arti dan tujuan pernikahan, juga bagaimana seharusnya perempuan setelah menikah. Aku menjalani kehidupanku seperti biasa, mengerjakan pekerjaan rumah, lalu bermain bersama teman. Segala keperluan suamiku diurus oleh Ibu.

Setiap malam aku tidur dengan Ibu. Aku takut tidur bersama orang asing, meskipun status dia adalah suamiku. Hal ini terjadi karena aku tidak memahami tanggung jawabku sebagai istri. Setelah mendapat banyak wejangan dari orang tuaku, aku mulai mengerti dan bisa menjalani tugas dan peranku sebagai istri. Suamiku benar-benar sabar dan penuh perhatian, hingga aku mulai jatuh cinta dan menyayanginya.

Suamiku bekerja sebagai buruh tani serabutan, apa saja dia kerjakan. Kadang ada pekerjaan, kadang juga tidak ada. Aku melahirkan anak pertama laki laki di usia  17 tahun. Saat itu, suamiku tidak bekerja. Aku dan suami, bahkan anakku pun akhirnya menjadi tanggungan orang tua. Padahal, saat itu aku juga memiliki 2 orang adik laki-laki. Kondisi tersebut membuatku menjadi serba salah. Meskipun orang tuaku tidak mempermasalahkan hal itu, tetapi aku merasa tidak enak pada kedua adikku. 

Pada tahun 2000, suamiku meminta dibuatkan rumah oleh orangtuanya. Rumah kami sangat sederhana, terbuat dari kayu dan bilik bambu.  Meski sederhana, setidaknya itu membuat kami lebih mandiri dan mulai bertanggung jawab atas keluarga kami sendiri. 

Aku sangat bersyukur dan bahagia.Sejak saat itu suamiku mulai berpikir untuk mencari pekerjaan yang bisa mencukupi kami tanpa harus membebani orangtua. Dia mulai belajar untuk membuat perabotan rumah seperti kursi, meja, lemari dan juga tempat tidur dari kayu. Dia juga belajar membuat kusen dan jendela rumah bersama Bapak. Bapak saat itu juga beralih profesi menjadi tukang kayu, karena pesanan jahitan mulai menurun karena masyarakat mulai langsung membeli baju jadi dari pada menjahit sendiri. 

Aku melahirkan anak keduaku pada tahun 2004. Suamiku lantas berkeinginan untuk membangun rumah yang lebih layak dengan modal tabungan yang kami miliki. Sayangnya, uang kami belum cukup, sehingga kami mengurungkan keinginan untuk membangun rumah.

Untuk menambah pendapatan, aku membantu suami dengan bekerja sebagai buruh tani, dengan upah sebesar Rp 15.000,00 per hari. Pengeluaran kami benar-benar lebih besar pasak daripada tiang saat itu. Kami harus membayar angsuran pinjaman yang kami pakai untuk membangun rumah di tahun 2010. Belum lagi anak pertamaku meminta bersekolah di pesantren yang biayanya cukup tinggi. 

Aku pun berhutang lagi untuk memenuhi permintaannya. Kami benar-benar terbebani hutang yang harus kami cicil setiap minggu dan bulan. Aku sampai lupa mengikuti Program KB, sehingga aku hamil lagi. Anak ketigaku lahir di tahun 2012. Aku hanya bisa pasrah dengan keadaan, dan terus bersabar serta berusaha.

Akhirnya Allah mendengar segala doaku. Hasil pekerjaan suamiku mulai dikenal orang. Setiap hari ada saja pesanan yang datang. Penghasilannya bisa mencapai lebih dari Rp 5 juta per bulan. Jumlah ini cukup untuk memenuhi biaya hidup kami, termasuk membayar sekolah di pesantren dan mencicil hutang. Kami bahkan bisa menabung dan merapikan rumah. 

Saat anak bungsuku sudah berusia dua tahun, aku berkeinginan untuk menjadi perempuan yang mandiri dan punya penghasilan sendiri. Aku pun memulai usaha kecil-kecilan dengan berjualan di rumah. Selain itu, aku mulai mengikuti kegiatan di desa dengan menjadi kader Posyandu.

Pada bulan Januari 2014, aku berkenalan dengan dua orang kader Pekka, Mbak Kartini dan Mbak Joleha yang memberikan sosialisasi Pekka. Mereka memintaku untuk bergabung. Aku pun tertarik dan mulai mensosialisasikan organisasi ini kepada ibu-ibu di lingkungan tempat tinggalku yang sesuai dengan kategori Pekka. Hingga akhirnya diadakan pertemuan di rumahku pada bulan Februari 2014, dan terbentuk kelompok di hari itu juga dengan dampingan dari Mbak Anti dan Mbak Sulastri.

Aku bersyukur suami mendukungku untuk aktif berkegiatan bersama Pekka. Aku pun  mulai mengikuti kegiatan di desa, juga pelatihan-pelatihan dari Pekka. Salah satunya adalah Pelatihan Paralegal Nasional di Jakarta.

Aku tidak peduli dengan omongan miring dari orang-orang di desa, karena aku sering pergi meninggalkan suami dan anak-anakku. Aku bahkan lebih memilih berkegiatan di Pekka ketimbang mengurusi usaha jualanku di rumah.

Ilmu yang aku dapat dari Pekka membuatku lebih percaya diri. Aku jadi berani untuk berbicara di depan orang banyak, bahkan bisa membuat keputusan. Belum lagi keberhasilanku dalam melakukan perluasan wilayah Pekka di Banyumas, dengan bekal ilmu yang aku dapat dari Pelatihan Pengorganisasian Masyarakat.

Hal-hal luar biasa semakin sering terjadi, setelah aku mulai bisa mendampingi masyarakat miskin. Aku semakin dikenal di masyarakat dan sering dilibatkan dalam setiap kegiatan desa, baik sebagai kader data, fasilitator kampung KB, maupun kader kesehatan. 

Sedikit demi sedikit, rezeki mengalir dengan sendirinya. Uasa suamiku pun semakin maju, dan cita-citaku untuk menyekolahkan anakku ke Pesantren Gontor di Ponorogo, Jawa Timur bisa tercapai.

Bukan hanya suami yang begitu mendukungku. Kemajuan dalam hidupku setelah bergabung dengan Pekka membuat bapakku sangat bangga. Sayang, beliau tidak sempat menyaksikan cucunya diwisuda karena beliau meninggal dunia akibat kejatuhan buah nangka seberat 3 kg. Aku tentu saja merasa sedih. Keberhasilanku tidak lepas dari campur tangan dan dukungan dari Bapak. Namun, aku selalu ingat nasihat dari beliau, agar aku selalu menjadi perempuan yang mandiri dan kuat, serta tidak mudah menyerah.

Alhamdulillah, anak pertamaku bisa kuliah dengan biaya sendiri. Sambil kuliah, dia mengajar di sebuah sekolah umum dan pesantren di Wonogiri, Solo. Anak sulungku ini bahkan sudah bisa mengirimiku uang setiap bulan. Anak keduaku sudah lulus SMK, namun tidak mau kuliah. Dia memilih untuk bekerja. Anak ketigaku masih duduk di kelas lima SD.

Aku tidak ingin ketiga anakku mengalami pernikahan dini seperti yang pernah aku alami. Namun, aku selalu yakin, jika ada kemauan pasti ada jalan. Itulah yang aku tanamkan pada anak-anakku. Dan ilmu yang aku dapat dari Pekka membuak jalanku untuk mencapai semua cita-citaku.

Bagikan Cerita Ini

Cerita Terkait

Leave a Comment