Tumbuh Di Tengah Konflik, Besar Menghadapi Bencana,

Dewasa Menguatkan Pekka

Konflik dan tsunami menghantam hidupku saat masih belia.

Tapi aku harus bangkit melawan trauma. Berkat Nenek, aku mengenal Pekka. 

 

Mulyani namaku. Terlahir di Desa Krueng Baro, Kecamatan Peulimbang, Kabupaten Bireun, Provinsi Daerah Istimewa Aceh.  Aku lahir tanggal 10 Oktober 1989, sebagai anak pertama. Adikku dua orang, semuanya perempuan. Ayahku, M. Kasem, adalah seorang pekerja di tambak udang yang letaknya di desa tetangga, Desa Seneubok Peulimbang. Desa ini berjarak sekitar 2-3 km dari rumah. Sementara ibuku adalah ibu rumah tangga. Sakdiah namanya. Kami hidup sangat sederhana. Aku bersyukur segala kebutuhan hidup kami tercukupi. Sekolah gratis membuat orang tuaku tidak perlu memusingkan biaya sekolah. Kondisi desaku saat itu aman dan tenteram. Masyarakatnya hidup rukun dan damai.

Aku mulai bersekolah tahun 1996, di  SDN 1 Peulimbang. Layaknya anak kecil yang baru masuk sekolah, aku merasa senang dan bahagia ketika mengenakan seragam, sepatu dan tas baru. Suka cita ke sekolah berjalan sampai aku duduk di kelas 3. Ketika itu, keamanan masih terjamin. Aku tidak perlu diantar orang tua saat ke sekolah, dan berangkat serta pulang bersama kawan-kawan. 

Tumbuh dalam Konflik

Menjelang kelas 4 SD, situasi mulai tidak aman karena di tahun 1998-1999 terjadi konflik antara Gerakan Aceh Merdeka/GAM dengan TNI. Pernah suatu hari, saat kami sedang belajar, terdengar suara tembakan yang begitu keras. Ibu guru meminta kami untuk tiarap bersama di lantai. Kejadian baku tembak terjadi di belakang sekolah. Kami sangat ketakutan. Di antara kami bahkan ada yang menangis. 

Baku tembak berlangsung cukup lama, sekitar satu jam. Setelah keadaan mulai tenang, kami berdiri dan menunggu dijemput orang tua. Kepanikan juga dirasakan oleh para orang tua, karena sekolah kami berdekatan dengan pemukiman penduduk. Sekolah tetap berjalan dengan normal, walaupun konflik berlangsung. Setiap hari kami berangkat dan pulang sekolah ditemani orang tua, sampai kami tamat SD.

  Tahun 2000, aku masuk SMP. Alhamdulilah, sekolahku lokasinya dekat dengan rumah, kurang lebih 100 meter. Bila lonceng sekolah berbunyi, aku bisa mendengarnya dari kamarku. Selama aku bersekolah di SMP, tidak ada kejadian yang membuat kami khawatir. Sekolah pun berjalan seperti biasa, meskipun konfik bersenjata masih ada. 

Ketika hendak mendaftar SMP, meski masih anak-anak, kami diwajibkan memiliki KTP Merah Putih. Hal yang sama berlaku pada orang dewasa. KTP ini merupakan tanda bahwa kami tidak terlibat dalam Gerakan Aceh Merdeka. Laki-laki yang terlibat dalam GAM disebut pasukan GAM, sementara perempuan disebut Inong Balee, artinya perempuan yang tidak mempunyai suami. Para perempuan ini kehilangan suami mereka karena bergabung dalam pasukan GAM. Ada juga perempuan yang suaminya meninggal karena terbunuh oleh TNI, dan akhirnya mereka bergabung menjadi Inong Balee.

Pembuatan KTP Merah Putih dilakukan di Kantor Polsek Jeunib. Suasana pembuatan KTP sangat menegangkan. Kami yang mengantre merasa diawasi oleh seseorang di balik ruangan. Apabila ada yang dianggap mencurigakan, maka dia akan dibawa ke ruangan lain untuk diinterogasi. Kabarnya, orang-orang yang diinterogasi dipukuli. Jika kecurigaan pihak petugas tersebut tidak terbukti, maka  orang  tersebut akan dikembalikan kepada keluarganya. Namun, kalau menurut mereka orang itu terlibat GAM, maka dia akan hilang tanpa kabar yang jelas, dan tidak pernah kembali.

Pada suatu hari di tahun 2000, tersebar isu bahwa ada anggota GAM bersembunyi di depan rumahku. Memang, ada lahan yang cukup luas di sana. Lahan tersebut terdiri dari 30 tambak udang, sehingga setiap hari banyak orang yang bekerja di lahan tersebut. Tentara berdatangan menggerebek tempat itu, juga dua rumah yang ada di dekatnya, termasuk rumah orang tuaku. Peristiwa ini terjadi sekitar pukul 07.00 WIB, saat orang-orang baru memulai hari. Aku baru saja selesai mandi saat di depan rumah sudah ramai karena kedatangan tentara. Seingatku, jumlahnya hampir satu kompi. 

Dua anggota tentara masuk ke rumah kami. Mereka mengobrak-abrik barang-barang yang ada di rumah. Salah satu dari mereka berbicara dengan Ayah. Saat itu Ayah sedang menggendong adikku yang ketiga. Namun, ketika Ayah mulai diinterogasi, adikku diambil dan digendong oleh tentara yang lain. Aku tidak terlalu mendengar apa yang mereka katakan karena panik. Aku langsung berlari keluar rumah setelah selesai berpakaian. 

Di luar rumah, aku melihat para pekerja tambak ditendang masuk ke dalam kolam dan didorong dengan galah yang terbuat dari batang rumbiah. Mereka didesak untuk memberitahu keberadaan pasukan GAM yang bersembunyi di area tambak. Aku sangat ketakutan sehingga tidak berani berangkat ke sekolah. Aku lihat Ibu tetap memasak di dapur. Meski panik, Ibu berusaha untuk tetap tenang sambil meneruskan pekerjaannya dengan ditemani oleh adikku yang kedua. 

Salah seorang tentara yang menggeledah rumah kami keluar rumah dengan membawa sepatu Ayah dan menanyakan sepatu itu dari mana. Ayah menjawab bahwa sepatu itu dia dapat ketika menjadi anggota Hansip (Pertahanan Sipil). Mereka baru percaya setelah Ayah menunjukkan sertifikat keanggotaan Hansip. Ibu dan Ayah sempat khawatir karena Si Bungsu masih digendong oleh tentara, yang mengatakan sedang kangen dengan anaknya. Tetapi akhirnya tentara tersebut menyerahkan kembali adikku kepada Ayah. 

Tsunami

Minggu pagi, 25 Desember 2004, gempa bumi mengguncang wilayah kami. Ketika itu kami sedang sarapan, dan segera berlari ke luar rumah dan duduk di tanah. Begitu getaran di tanah mereda, kami kembali melakukan aktivitas masing-masing seperti menjemur pakaian dan memberesi rumah, karena banyak barang yang jatuh berantakan akibat gempa. Kira-kira 30 menit berselang, aku melihat ada dua orang berlarian dari arah laut sambil berteriak ketakutan. Aku mengira mereka sedang mengejar pencuri udang, karena pada saat itu ada tambak yang sedang dipanen. Aku baru bisa menangkap kata-kata yang mereka katakan setelah mereka sudah dekat: air laut naik!

Aku melihat ke arah laut, dan benar! Air laut meluap hingga setinggi pohon kelapa! Aku bingung dan panik. Aku tidak tahu harus melakukan apa. Aku bersama Ibu dan dua orang adik langsung berlari ke jalan raya. Kami tidak sempat membawa apa-apa. Kami bahkan tidak mengenakan alas kaki. Setiba di jalan raya, kami mengikuti orang-orang yang berebut naik ke atas truk. Kami duduk dan pasrah, tanpa tahu akan dibawa ke mana. Kami pun bersyukur setelah tahu bahwa truk melaju ke arah gunung. Kami diturunkan di depan masjid, dan berkumpul dengan masyarakat lain yang tinggal di dekat pantai.

Kami lalu memutuskan untuk pergi ke rumah orang tua Ibu yang memang tinggal di wilayah pegunungan. Untuk sampai di rumah mereka, kami harus berjalan kaki sejauh dua kilometer. Selama berjalan, kami berharap Ayah sudah berada di sana. Tapi ternyata Ayah belum ada. Dengan panik, Ibu bertanya kepada setiap orang yang melewati kami. 

Ternyata Ayah tidak berlari ke arah rumah Kakek, tetapi ke arah lain sambil mencari-cari kami. Ayah baru terpikir untuk pergi ke rumah mertuanya setelah berita tentang tsunami mereda. Alhamdulillah, Ayah tiba di rumah Kakek dua jam setelah tsunami berhenti dengan menggunakan sepeda ontel. Kami betul-betul bersyukur karena keluarga kami masih utuh. Tidak satu pun dari kami yang tersapu oleh tsunami.

Kami menunggu hingga keadaan cukup tenang dan yakin bahwa tidak akan terjadi tsunami lagi untuk pulang ke rumah. Kami pulang dengan berjalan kaki, dan sepanjang jalan kami tidak melihat ada sisa-sisa tsunami. Seperti tidak ada musibah yang terjadi. Namun, keadaan berubah setelah kami memasuki kampung kami. Banyak sekali rumah yang mengalami kerusakan parah, seperti dinding rumah yang hilang sebagian, barang-barang berserakan di jalan dan tertutup lumpur hitam pekat dan bau. Kondisi desa kami tidak terlalu parah dan tidak ada korban jiwa. Wilayah yang rusaknya paling parah adalah Banda Aceh.

Tinggal di Pengungsian

Kami mendapati rumah kami sudah hancur dan rata dengan tanah. Tidak ada tanda-tanda bahwa di tempat itu pernah berdiri sebuah bangunan. Hanya ada tumpukan sampah dan puing-puing, serta lumpur yang cukup tebal. Kami kebingungan, tidak tahu harus tinggal di mana. Kami tidak mungkin kembali ke rumah Kakek, karena rumahnya kecil. Dalam kebingungan, kami mencari barang-barang yang masih bisa diambil seperti celengan, kipas angin, setrika, baju-baju yang harus dicuci karena tertimbun lumpur. Kami dibantu tentara untuk memberesi semuanya.

Keuchik (Kepala Desa) datang ketika kami masih sibuk mengumpulkan sisa-sisa harta benda kami. Beliau menyarankan kami untuk tinggal di tenda yang telah dibangun di depan rumah Mantri Kafrawi. Kafrawi adalah seorang mantri atau perawat di Kabupaten Bireun. Kami tidak punya pilihan selain mengikuti saran itu, meskipun tenda pengungsian tersebut sesak dan hanya beralaskan terpal. 

Selama tinggal di pengungsian, kami mendapat bantuan berupa makanan tiga kali sehari dari dapur umum. Jumlah pengungsi mulai berkurang setelah satu minggu, karena sebagian bisa kembali ke rumah mereka yang masih utuh dan bisa dibersihkan. Hanya pengungsi seperti kami, yang rumahnya sudah rata dengan tanah, atau tidak bisa diperbaiki karena rusak berat, yang masih tinggal. 

Satu minggu setelah tsunami, aku dan adikku kembali bersekolah. Kondisi sekolah saat itu tidak parah, hanya terkena lumpur. Kami bersekolah dengan menggunakan pakaian seadany,a sampai bantuan untuk keperluan sekolah kami datang. Anak-anak lain juga mulai melanjutkan sekolah, meski desa belum pulih dari musibah tsunami. 

Setelah dua bulan tinggal di tenda, kami pindah ke barak yang telah dibangun oleh para relawan. Hampir satu tahun kami tinggal di sana. Di barak ini, kami mendapat fasilitas satu kamar untuk satu keluarga. Aku merasa lega. Kami tidak perlu lagi tinggal berdesak-desakan dengan keluarga lain. Selain itu, bantuan berupa makanan dan kebutuhan lain mulai dihitung per kepala keluarga. 

Para relawan juga mengajarkan berbagai keterampilan kepada ibu-ibu yang tidak memiliki kegiatan, seperti menjahit dan membuat kerajinan sulam strimin atau kruistik. Kegiatan ini juga diajarkan kepada anak-anak usia sekolah sepertiku, pada hari libur. Mereka juga mendirikan pendidikan prasekolah untuk anak-anak usia dini, dengan melibatkan anak-anak muda yang menganggur. Mereka membantu para relawan membimbing anak-anak. 

Suatu hari, kami kedatangan dua orang tamu yang tidak kami kenal. Mereka datang mengajakku untuk ikut bertemu dengan tokoh masyarakat atau pimpinan di barak, karena kebetulan Ayah terpilih sebagai ketua barak untuk pengungsi dari desa kami. Mereka ternyata perwakilan dari NGO yang bernama IOM/Internationl Organization For Migration Indonesia yang datang untuk mengecek kebenaran, bahwa orang-orang yang mendapat bantuan dari mereka benar-benar tinggal di pengungsian. 

Mereka meminta nama-nama pengungsi dari desa kami dan meminta Ayah untuk mengumpulkan fotokopi kartu keluarga dan sertifikat tanah sebagai syarat sebelum rumah kami dibangun oleh NGO asing. Setelah selang beberapa bulan akhirnya rumah kami dibangun secara bertahap oleh mereka. 

Setamat SMA tahun 2007, aku mulai bekerja membantu orang tua dengan membuat makanan yang dititipkan di warung kopi, mengikuti les komputer di Internasional College (IC) yang ada di kota Bireuen. Selama tiga bulan mengikuti les, aku mendapat sertifikat dan mulai mencoba mencari kerja. Sambil mencari kerja aku menjadi relawan desa, relawan PMI yang bekerja sama dengan American Red Cross.

 

Berkenalan dengan Pekka

Nenek, ibu angkat ibuku, mengajakku untuk menjadi anggota Pekka di tahun 2015. Pada saat itu, Nenek sudah aktif sebagai bendahara kelompok Cut Mutia sejak tahun 2002. Menurut Nenek, aku akan banyak mendapat ilmu serta pengetahuan bila aku menjadi anggota Pekka. Aku pun menurut, dan bergabung dengan kelompok yang sama dengan Nenek. Setelah enam bulan bergabung, aku diminta untuk menggantikan Nenek yang mengundurkan diri karena sudah lanjut usia. Pengangkatanku ini membuat aku menjadi semakin aktif mengikuti kegiatan Pekka, seperti pertemuan kelompok di desa, pertemuan di Lembaga Keuangan Mikro (LKM), serta rapat kader di Center Pekka.

Aku pun diikutsertakan dalam Mubes tahun 2016, yang saat itu diikuti oleh fasilitator lapang, Ibu Keumalawati. Peserta Mubes tersebut terdiri dari pengurus serikat, pengurus koperasi, kader, dan dua perwakilan dari setiap kelompok Pekka yang ada di Kabupaten Bireun. Total peserta Mubes ini adalah 40 orang, yang bersepakat untuk menunjuk Cut Ratna Dewi sebagai ketua serikat, Yusnidar sebagai sekretaris, dan Haswadana sebagai bendahara. Selain itu kami juga mengangkat pengurus koperasi yang terdiri dari Marlina sebagai ketua, Nurmala sebagai sekretaris, dan Ismiati sebagai bendahara.

Selain aktif dalam kegiatan Pekka, aku pernah ikut mendaftarkan diri menjadi petugas Sensus Ekonomi. Alhamdulillah, aku diterima. Aku mengikuti pelatihan untuk menjadi petugas sensus selama satu minggu di Hotel Meuligo Bireuen. Aku juga dipercaya menjadi kader Posyandu di desa. Di tahun 2017, aku ditunjuk oleh Sekdes untuk menjadi operator komputer.

Suatu hari aku dihubungi oleh seorang kader, yaitu Kak Ismiati, untuk mengikuti pelatihan di Aceh Besar. Ini adalah pelatihan Pekka pertama yang aku ikuti selama menjadi anggota Pekka. Ternyata, ini adalah pelatihan untuk mentor Akademi Paradigta. Saat itu aku  belum berani berbicara di depan orang banyak, apalagi sambil berdiri di hadapan mereka. Aku sampai gemetaran saking merasa sangat grogi, semua yang sudah aku pelajari hilang dari kepala. Namun, aku tetap berusaha untuk tenang. Saat itu yang menjadi pembimbing di kelas adalah Mbak Villa dan Kak Afrida Purnama. 

Pelatihan ini membuatku menjadi lebih paham bagaimana menjadi seorang pemimpin, dan bagaimana caranya memberi pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya keterlibatan perempuan di desa, mempelajari materi perempuan pemimpin, perempuan dan APBdes, perempuan dan tata kelola desa, serta banyak materi lainnya. 

Setelah mengikuti pelatihan mentor Akademi Paradigta 2017, aku mulai menjadi mentor di Akademi Paradigta tahun 2018. Saya menjalankan tugas sebagai mentor di akademi Paradigta. Sejak itulah, aku mulai belajar sedikit demi sedikit untuk berbicara di depan orang banyak. Aku merasa senang dan bangga, meski tetap harus dan dibantu oleh kader lainnya dan lebih banyak membantu fasilitator atau sebagai pendamping fasilitator untuk Kak Haswadana di kelas A. 

 

Ke Tanah Jawa

Aku terpilih menjadi bendahara desa pada tahun 2019. Di tahun yang sama, aku juga diangkat menjadi sekretaris Serikat Pekka Bireuen untuk menggantikan sekretaris sebelumnya, Kak Yusnidar yang sudah tidak aktif lagi. Aku diminta untuk mengikuti  pelatihan Akademi Paradigta angkatan kedua di Bogor. Oleh karena itu, aku harus berangkat ke tanah Jawa dengan menumpang pesawat terbang. Pengalaman pertama pergi dengan menumpang pesawat terbang ini membuatku sangat penasaran, sekaligus takut. 

Ada pengalaman yang lucu dalam perjalanan pulang ke Aceh. Aku kehilangan KTP ketika hendak check-in. Semua panik karena hanya aku yang belum masuk. Aku sudah membongkar semua isi tas untuk mencari KTPku, tetapi tidak berhasil menemukannya. Syukurlah, masih ada kartu majelis taklim. “Apakah kartu ini bisa dipakai?” tanyaku kepada petugas bandara sambil menunjukkan kartu majelis tersebut kepada petugas bandara. Aku lantas mengatakan kalau KTPku hilang. Mereka mengatakan bisa. Alhamdulilah, lega rasanya. 

Kawan-kawan satu rombongan juga menjadi tenang karena sudah bisa melihatku masuk ke ruang tunggu penumpang. Aku merasa senang bisa mengikuti pelatihan ini karena bisa bertemu dengan teman dari wilayah lain. Aku melihat tidak ada perbedaan suku dan ras, semua kita sama dan mempunyai semangat yang sama. Saat itu aku juga terkesima dengan toleransi dari teman NTT. Saat sholat, mereka meminta teman yang lain untuk diam agar tidak menganggu.

Setelah kembali dari Bogor, banyak sekali kegiatan Pekka yang aku ikuti. Di antaranya adalah membentuk kelompok baru di Kecamatan Simpang Mamplam. Ada enam desa yang menjadi target pengembangan Pekka, yaitu Desa Blang Kuta Dua Meunasah, Keude Tambue, Meulasah Hasan, Paku, Krueng Meuseugop. Kami melakukan kunjungan ke keuchik atau kepala desa yang ada di desa-desa tersebut, dan menjelaskan tentang Pekka serta kegiatan-kegiatan kami. 

Keuchik Meunasah menyetujui permohonan kami. Beliau pun mengumpulkan masyarakat di Meunasah dan memberi kami kesempatan untuk menjelaskan secara langsung kepada masyarakat tentang Pekka dan kegiatan yang dilakukan. Apabila mereka tertarik,  mereka harus membentuk kelompok supaya kami bisa mendampingi mereka sebagai anggota Pekka. 

Terbentuklah beberapa kelompok di masing–masing desa setelah melakukan satu kali sosialisasi karena mendapat dukungan dari keuchik dan perangkat desa. Kedatangan kami disambut baik oleh keuchik. 

Dalam perjalanannya, kelompok di Desa Keude Tambue dan Meunasah Hasan tidak bisa bertahan karena sudah empat kali berganti kepengurusan. Padahal, kami sudah berusaha keras mempertahankan dan memberi pemahaman kepada anggota kelompok. Kami bahkan sempat meminta keuchik di kedua desa tersebut untuk membantu kami menjelaskan kepada anggota kelompok. Kami berharap, mungkin kalau Keuchik yang berbicara, mereka akan mendengarkan. Pernah juga kami sudah menjadwalkan pertemuan di desa tersebut, tetapi tidak ada seorang pun yang datang. Kami hubungi ketua kelompok mereka, tetapi jawaban yang diberikan membuat kami kecewa, sakit hati, dan kesal. “Kelompok telah bubar,” begitu katanya. Mereka merasa malas dan membuang waktu dengan adanya pertemuan kelompok.

Namun, kami masih memelihara semangat dan tetap pantang menyerah. Kami mengadakan Pelatihan Visi Misi, dan Motivasi Berkelompok bagi kelompok-kelompok di desa yang masih bertahan. Sekali waktu aku dilibatkan dalam  Pelatihan Visi Misi, dan Motivasi Berkelompok di Desa Paku. Aku, Haswadana, Ismiati dan Marlina, kami saling bergantian dalam menyampaikan materi, kadang menjadi fasilitator, dan kadang menjadi pendamping fasilitator. Aku sudah mulai berani buka suara di depan umum dan sering memberi pendapat di rapat-rapat yang ada di desa seperti rapat pleno, rapat umum desa seperti pembangunan desa, Musrembang Desa, dan Musrembang Kecamatan.

Mendampingi Masyarakat

Setelah semakin banyak kelompok yang terbentuk, aku berinisiatif untuk selalu membantu masyarakat agar mereka bisa mendapatkan berbagai informasi yang mereka butuhkan seperti bagaimana cara mendapatkan KTP, Kartu Keluarga, Keanggotaan BPJS, dan Akta Kelahiran bagi anggota Pekka. Juga mengenai penggunaan anggaran dana desa, serta ikut membantu masyarakat yang bukan anggota Pekka mengurus legalitas diri seperti kartu keluarga, KTP, Akta Kelahiran dan BPJS Kesehatan. 

Aku antar mereka ke dinas terkait, mengarahkan mereka untuk mengambil fomulir, membantu mengisi fomulir dengan benar, dan memberitahu ke mana berkas-berkas mereka harus dibawa. Aku juga memotivasi mereka untuk berbicara dan bertanya kepada petugas kalau ada hal-hal yang tidak mereka pahami. 

Pernah suatu kali seorang petugas Disdukcapil menegurku: “Mengapa kamu selalu membawa orang ke dinas, apakah kamu calo?” Aku menjelaskan bahwa aku mendampingi mereka, karena mereka tidak berani datang sendiri. Aku bukan calo. Semua ini aku lakukan supaya masyarakat lebih mengenal kegiatan-kegiatan yang dilakukan kader Pekka dan tidak cuma mendengar omongan dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, yang suka menjelek-jelekkan nama Pekka dan mengatakan kalau kegiatan yang ada di Pekka adalah ajaran sesat. 

Setelah banyak kegiatan di masyarakat yang dilakukan, akhirnya mereka sadar kalau Pekka bukan mengajarkan tentang agama dan ajaran sesat seperti yang mereka pikirkan. Dan akhirnya Pekka mendapat respon baik, banyak masyarakat yang akhirnya bergabung menjadi anggota kelompok Pekka.

Selain aktif di Pekka, aku masih aktif bekerja sebagai bendahara Desa Krueng Baro, Kecamatan Peulimbang. Aku juga aktif di majelis taklim di Gampong Krueng Baro, terpilih menjadi anggota tim panitia pembangunan renovasi rumah dhuafa dan pembangunan kamar mandi, cuci, dan kakus (MCK) bagi masyarakat miskin. Tugasku sebagai anggota tim ini adalah memastikan agar renovasi berjalan sesuai dengan anggaran dan peruntukkannya serta melaporkan hasilnya kepada Kepala Desa untuk dijadikan bahan laporan ke pusat. 

Aku menikah pada tanggal 28 Oktober 2020 dengan laki-laki bernama Muhammad, ia bekerja sebagai petugas cleaning service di Pasar Al Mahira Banda Aceh. Saat itu aku bertemu di Facebook, kemudian berlanjut saat ia kembali ke rumah orangtuanya di Bireun untuk merayakan Idul Fitri. Setelah menikah aku tetap tinggal bersama orang tuaku di Bireun sedangkan suami tinggal di Banda Aceh karena bekerja. Saat aku tidak ada kegiatan aku akan ke Banda Aceh untuk mengunjungi suami. Adik keduaku sudah menikah dan tinggal di desa yang sama bersama suaminya. Adik bungsuku tinggal di pesantren untuk mengaji. Aku bahagia karena berhasil membuat orang tuaku bangga. (Nurul/Lits)

Bagikan Cerita Ini

Cerita Terkait

Leave a Comment