Semangat Berkelompok di Desa Santri
Kisah Diri Malichah

Menjadi janda memberiku beban berat. Aku harus berusaha sendirian dan menepis segala godaan yang membuatku merasa dilecehkan. Bersama teman-teman di kelompok Pekka, aku menjadi berdaya, dan mampu memberi manfaat kepada masyarakat di sekelilingku.

Kauman adalah nama sebuah desa yang terletak di Kecamatan Wiradesa, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Desa ini terkenal sebagai desa santri, karena banyak terdapat pondok pesantren dan ustad yang bermukim di desa ini. Rasa aman yang diberikan para penduduk desa membuatku merasa beruntung lahir dan tinggal di sini.

Namaku Malichah. Nama ini diberikan oleh seorang kakak ipar dari bapakku, ketika aku lahir pada pertengahan April 1972. Aku memiliki 2 orang kakak dan empat orang adik. Bapakku bekerja sebagai penjaja minyak tanah keliling. Beliau berjualan sejak 1968, dengan menggunakan sepeda rakitannya sendiri. Pada masa itu, minyak tanah masih dibutuhkan untuk penerangan dan memasak. Ketika aku lahir, orang tuaku belum memiliki rumah sendiri, sehingga aku tinggal bersama Nenek, bibi, serta paman, di sebuah rumah bambu. Rumah nenekku lumayan besar, sehingga dapat menampung beberapa keluarga.

Aku mulai bersekolah di sebuah madrasah ibtidaiyah milik Muhammadiyah pada 1979, dan meneruskan ke SMP Muhammadiyah Pencongan Wiradesa. Namun, aku harus berhenti bersekolah ketika naik ke kelas 2. Aku harus mengalah pada kakakku yang mau melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Penghasilan orang tua yang saaat itu mulai menurun, dan cita-cita kakakku adalah alasan yang diberikan kepadaku untuk berhenti bersekolah. Aku sedih sekali, sampai merasa malu apabila bertemu dengan teman-teman sekolah.

Setelah tidak lagi bersekolah, aku membantu Ibu menjaga keempat adikku. Aku juga mengantar dagangan buatan Ibu, yakni: ubi kukus, ke warung-warung setiap pukul 6 pagi. Aku melakukan semua itu selama 2 tahun.

Sekitar 1988, aku ikut Bude (sebutan untuk kakak perempuan dari orang tua) berjualan di angkringannya yang terletak di tepi jalan raya. Angkringan (kios dengan gerobak kecil yang menjual makanan) ini dibuka mulai dari pukul 4 sore hingga pukul 3 pagi. Aku mendapat giliran membantu berjualan dari pukul 4 sore hingga pukul 9 malam. Setelah itu, kakak sepupuku yang menggantikanku berjualan.

Hasil dari bekerja membantu Bude berjualan aku gunakan untuk membantu orang tuaku memperbaiki rumah, agar rumah mereka layak huni. Aku juga ingin membuat kamar mandi, perturasan, dan memasang jaringan listrik di rumah itu. Rumah yang ingin aku renovasi pada saat itu adalah rumah milik Ibu, yang merupakan warisan dari kakekku.

Seiring bertambah usia, Bude tidak lagi melanjutkan usaha angkringannya. Sebagai gantinya, aku diminta untuk menjaga warung sembako yang beliau buka di rumahnya. Pada masa ini, ada seorang laki-laki yang jatuh hati padaku. Namun, Bude melarangku untuk menerima larangannya, karena ada kakakku yang belum menikah.

Kesulitan Hidup Terus Mengikutiku

Aku baru  menikah pada 2002, dengan laki-laki yang usianya 3 tahun lebih tua dariku. Ia bekerja sebagai seorang montir di sebuah bengkel dinamo. Setelah menikah, aku memutuskan untuk berhenti membantu Bude berjualan.

Pernikahan kami dikaruniai seorang putri. Saat ini, anakku sudah duduk di semester 3 program diploma untuk jurusan elektro. Ia bisa kuliah berkat Program KIP (Kartu Indonesia Pintar) Kuliah, yaitu program bantuan biaya pendidikan dari pemerintah untuk lulusan SMA/sederajat yang memiliki potensi akademik tetapi terkendala secara finansial.

Untuk membantu suami mencari nafkah, aku menjual jasa pemasangan payet. Untuk satu baju, hasil kerjaku dihargai Rp 3.000,00 hingga Rp 6.000,00, tergantung banyak atau sedikitnya payet yang terpasang.

Pada 2014, suamiku didiagnosis gagal ginjal, dan harus cuci darah dua kali dalam seminggu. Dokter yang merawat suamiku menyarankanku untuk membuat BPJS Mandiri. Apabila aku tidak memiliki jaminan kesehatan, semua hartaku akan habis.

Aku pernah bertanya kepada seorang tetanggaku, (alm.) Mak Duk, begitu aku memanggilnya. ”Alah, angel. Aku sing sedulure be angel ora due KIS, (alah, susah. Aku yang saudaranya saja sulit, tidak punya KIS).” Aku pun memutuskan untuk mendaftar BPJS Mandiri atas namaku dan suami. Aku kumpulkan uang sebesar Rp 2.000,00 setiap hari, dari hasil memasang payet dan berjualan keripik condro (keripik yang terbuat dari campuran tepung terigu, tepung tapioka, bawang putih, kemiri, dan ketumbar). Uang yang terkumpul itu aku pakai untuk membayar iuran BPJS Mandiri sebesar Rp 51.000,00 per bulan.

Dua tahun setelah membayar sendiri iuran BPJS Mandiri, aku mendapat bantuan dari Lazizmu Muhammadiyah. Bantuan ini adalah untuk mengganti biaya pengobatan suamiku. Aku mendapatkannya selama 5 tahun, hingga suamiku meninggal dunia pada 2019.

Aku seperti kehilangan separuh hidupku ketika suamiku meninggal. Setelah ia tidak ada, bebanku terasa berat. Aku harus melakukan semua hal, seperti mengambil air untuk minum, sendiri. Belum lagi godaan dari orang lain, yang terasa menghinaku hanya karena aku berstatus janda. “Lah iki ra rondone, selot mene selot ayu.(Nah, ini dia jandanya, semakin ke sini semakin cantik), kata pedagang ayam keliling langgananku. Sakit hatiku mendengar candaannya.

Pada saat suamiku meninggal dunia, anakku masih duduk di bangku SMA. Aku dibantu kakak-kakakku dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, juga untuk membayar biaya sekolah anakku. Selain itu, aku juga menjual keripik buatanku ke warung-warung di sekitar tempat tinggalku. Kakak-kakakku pula yang membantuku ketika aku mengalami cedera karena ototku stres. Akibatnya, aku tidak dapat menggerakkan kakiku selama 3 bulan.

Aku tidak termasuk orang yang aktif berkegiatan di desa. Aku hanya berfokus mencari nafkah demi kelangsungan hidupku dan anakku. Aku sama sekali tidak membayangkan, aku akan bisa membantu orang lain. Hidupku saja sudah pelik bukan main.

Aku Tidak Merasa Sendiri Lagi

Pada suatu sore di 2017, istri Ketua RW tempat tinggalku datang dan mengantarkan undangan pertemuan. Almarhum suamiku yang menerimanya, karena pada saat itu aku sedang mengantarkan daganganku ke warung. Ketika aku membacanya, aku jadi penasaran. “Apakah ini sebuah bantuan, atau apa?” tanyaku dalam hati.

Aku pun datang memenuhi undangan tersebut. Dalam pertemuan itu yang diadakan di rumah Ketua RW 06 Desa Rowoyoso, seorang kader Pekka menyampaikan bahwa perempuan harus mandiri, dan harus berani mengungkapkan pendapatnya. Aku diajak bergabung dengan kelompok Pekka, karena apa pun yang terjadi pada diriku kelak, aku bisa berbagi dengan para anggota kelompok.

Aku tidak langsung mengiyakan ajakan itu. Aku merasa perlu meminta izin kepada suamiku. “Oh ya wis, mono melu ra. Biyen koe kan sekolah ora lulus, saiki melu ben nambah ilmu karo nambah pengalaman ben kancane akeh, terus diwisuda, (Ya sudah ikut. Kamu kan sekolah tidak lulus. Sekarang ikut supaya bertambah ilmu, bertambah pengalaman, supaya banyak teman, terus diwisuda),” begitu kata suamiku, setelah mendengar ceritaku.

Menjadi anggota kelompok Pekka ternyata menyenangkan. Kami mengadakan pertemuan rutin setiap bulan. Masing-masing anggota mendapat giliran untuk menjadi tuan rumah pertemuan. Kegiatan ini menjadi semacam obat bagi kejenuhan, akibat banyaknya beban yang harus aku emban. Aku belajar banyak hal, mendapatkan berbagai macam pelatihan yang membuat wawasanku bertambah.

Di tahun yang sama, aku ikut dalam kelas Akademi Paradigta Kader Desa. Akademi ini bertujuan membuka wawasan kita mengenai peraturan desa, anggaran desa, rapat-rapat yang diadakan desa, dan melatih para akademia untuk terlibat dalam setiap pengambilan keputusan di desa. Aku mengikuti akademi ini selama 5 bulan, dan setelah selesai, aku diwisuda.

Sejak lulus dari Akademi Paradigta Kader Desa, aku mulai berani berbicara di depan orang banyak, juga mengadvokasi Kepala Desa Rowoyoso bersama para akademia lain untuk mengakses Dana Desa. Hasilnya adalah, Kepala Desa menyetujui anggaran sebesar 8 juta rupiah. Dana ini digunakan untuk membiayai Pelatihan Kewirausahaan bagi 20 perempuan yang berasal dari Desa Rowoyoso. Pelatihan ini berlangsung selama 3 hari. Menurut Kepala Desa, perempuan di Desa Rowoyoso perlu meningkatkan kapasitas diri mereka, untuk memajukan perekonomian keluarga, yang juga berdampak pada kestabilan perekonomian desa.

Kegiatan Pekka yang berdampak langsung kepada masyarakat adalah KLIK PEKKA. Pada kegiatan ini, masyarakat dapat berkonsultasi mengenai perlindungan sosial, identitas diri, kasus perceraian, juga kekerasan terhadap perempuan dan anak secara gratis. Ketika kegiatan ini diadakan, ada 100 orang yang hadir. Mereka sangat antusias karena masalah mereka langsung ditangani dinas terkait.

Kemudahan yang mereka peroleh dari KLIK PEKKA adalah perekaman KTP, dan mereka dapat memperoleh KTP mereka kurang dari 10 hari setelah KLIK PEKKA diadakan. Rata-rata, perekaman KTP diikuti remaja yang baru akan berusia 17 tahun pada tahun tersebut.

Dari proses pendataan yang kami lakukan sebelum pelaksanaan KLIK PEKKA, kami mendapati bahwa ternyata banyak masyarakat yang belum memiliki dokumen identitas diri. Padahal, desa kami letaknya tidak jauh dari pusat pemerintahan Kabupaten Pekalongan. Kenyataan ini terlihat dari banyaknya anggota masyarakat yang datang ke KLIK PEKKA untuk berkonsultasi.

Dulu, masyarakat di sekitar tempat tinggalku sering memperlihatkan mimik yang tidak mengenakkan kepadaku, setiap kali rumahku menjadi tempat pertemuan kelompok Pekka. Aku tidak memusingkan sikap mereka itu. Aku sering mengajak mereka bergabung, dan menjelaskan bahwa kegiatan Pekka antara lain adalah kegiatan simpan-pinjam, arisan sembako, juga membantu masyarakat mengakses hak atas dokumen identitas. Aku juga mengajak mereka untuk mengikuti berbagai pelatihan yang diadakan Pekka. Sekarang, malah kebanyakan dari mereka memilih bergabung dan membentuk kelompok baru, sehingga komunitas Pekka di Kabupaten Pekalongan semakin berkembang.

Setelah 3 tahun bergabung dengan Pekka, aku terpilih menjadi Ketua Serikat Kabupaten Pekalongan. Aku benar-benar bersyukur, karena telah memutuskan untuk bergabung dengan Pekka. Aku mendapat banyak pengalaman. Aku pun tidak merasa sendirian, karena ternyata, sebagian besar anggota kelompok Pekka juga mengalami kesulitan hidup seperti diriku. kenyataan ini menguatkanku, dan membuatku terus bersemangat menjalani hidup, serta memotivasiku untuk terus melakukan kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat.

Bagikan Cerita Ini

Cerita Terkait

Leave a Comment