Di Tengah Keterpurukan, Aku Mendapat Jalan keluar
Kisah Diri Supriyanti

 

Aku lahir dari keluarga yang serba kekurangan. Setelah lulus SMP, aku memutuskan bekerja untuk membantu orang tua. Aku menikah di usia muda, sebagai baktiku kepada orang tua. Kesulitan demi kesulitan datang silih berganti. Akademi Paradigta Indonesia yang aku ikuti membuka mataku, bahwa aku tidak sendiri dalam menghadapi sulitnya hidup ini.

Namaku Supriyanti. Aku lahir di Desa Mojosari, Kecamatan Mojotengah, Kabupeten Wonosobo, Jawa Tengah, pada November 1991. Aku memiliki satu kakak dan satu adik. Keluarga kami sangat sederhana. Orang tuaku bekerja sebagai petani dengan pendapatan yang hanya cukup untuk makan sehari-hari.

Aku lulus SD pada 2004, dan langsung melanjutkan pendidikanku ke SMP. Setelah tamat dari SMP, aku memutuskan untuk tidak melanjukan sekolah dan mencari kerja, agar bisa membantu orang tua mencari nafkah. Ketika baru saja aku mendapat kabar mengenai kelulusanku dari sekolah, aku berangkat ke Kalibeber, kelurahan yang letaknya sekitar 4,4 kilometer dari desaku, untuk bekerja sebagai asisten rumah tangga. Namun, aku hanya bertahan 2 pekan.

Keinginan untuk membantu orang tua membuatku menerima tawaran dari teman kakakku untuk bekerja di Jakarta. Satu tahun bekerja sebagai asisten rumah tangga, aku pulang. Aku memutuskan untuk mencari pekerjaan di kota lain, dan mendapatkan tawaran untuk bekerja sebagai pengasuh bayi di Semarang. Aku menerima tawaran itu, dan bekerja selama 8 bulan. Ketika hendak pulang dari Semarang, aku diantar ke terminal bus oleh seorang teman dari keponakan majikanku.

Hubunganku dengan laki-laki yang mengantarku ke terminal terus mengontakku. Ia pun sering mengobrol dengan orang tuaku melalui telepon genggam. Baru satu pekan berselang, ia datang ke rumah dan melamarku. Aku sama sekali belum berpikir untuk menikah pada saat itu. Apalagi, usiaku belum genap 20 tahun. Namun, orang tuaku memaksa. Aku pun menerima lamaran itu, demi menjadi anak yang patuh kepada orang tua. Pernikahan kami diadakan secara sederhana.

Anak pertama kami lahir pada 2009. Ketika anak kami berusia 2 tahun, aku dan suami terpaksa menitipkan dia kepada orang tua, untuk bekerja di luar kota. Aku bekerja di Semarang, sebagai asisten rumah tangga. Sementara, suamiku bekerja sebagai supir di Jakarta. Dua pekan kemudian, suamiku menyusul ke Semarang. Kami pun bekerja kepada majikan yang sama. Setelah satu tahun, kami mencoba berbagai usaha, mulai dari berjualan onderdil sepeda motor di Kecamatan Klampok, Kabupaten Banjarnegara, sampai kembali bekerja di Semarang.

Nasib baik belum berpihak kepada kami. Ketika aku sedang mengandung anak kedua, suamiku menabrak pengendara sepeda motor hingga kakinya patah. Oleh keluarga korban, suamiku dituntut untuk memberi uang dalam jumlah yang cukup besar, yang harus ia bayarkan setiap bulan selama beberapa tahun. Gajinya nyaris tidak tersisa. Kami harus hidup seadanya dengan mengandalkan hasil berjualan di teras rumah.

Akademi Paradigta Indonesia yang Mencerahkan

Pada 2022, aku mendapat undangan dari Ibu Ketua PKK Desa Mojosari untuk mengikuti Akademi Paradigta Indonesia (API). Pelatihan ini diselenggarakan oleh Yayasan PEKKA, dan diadakan di kantor Kecamatan Mojotengah selama 6 bulan. Ada 30 peserta dari 3 desa, yaitu Desa Mojosari, Desa Derongisor, dan Desa Deroduwur.

Aku benar-benar mendapat pelajaran dan pengalaman yang belum pernah aku dapatkan. Aku dan teman-teman sesama akademia belajar mengenai kewirausahaan, sungai kehidupan, kepemimpinan perempuan, dan perempuan sebagai pelaku usaha. Akademi Paradigta Indonesia ditutup dengan upacara wisuda di pendopo kantor Wakil Bupati Wonosobo.

Acara wisuda diadakan secara daring sekaligus luring, dan Kota Wonosobo menjadi pusat wisuda. Kami pun dilihat oleh seluruh peserta wisuda dan para tamu yang menyaksikan acara wisuda ini di seluruh wilayah Pekka di Indonesia.

Selepas wisuda, aku bersama teman-teman akademia memiliki rencana untuk membuka usaha berbasis komunitas. Usaha ini berangkat dari kegiatan yang telah kami lakukan, yaitu memproduksi bubuk cabai. Kami melihat, masyarakat di wilayah tempat tinggal kami banyak petani yang menanam cabai. Alangkah baiknya apabila hasil bumi lokal ini kami manfaatkan untuk menambah pendapatan kami. Aku juga berkeinginan untuk membentuk kelompok-kelompok baru. Seperti filosofi sapu lidi yang telah diajarkan kepadaku, bahwa dengan berkelompok kita bisa maju bersama untuk memperbaiki perekonomian kelompok pada khususnya, dan masyarakat sekitar pada umumnya.

Akademi Paradigta Indonesia benar-benar mengubah diriku. Mataku terbuka, bahwa kesulitan yang aku hadapi dalam hidup ini tidak sebanding dengan yang dialami teman-temanku di komunitas Pekka. Cerita yang mereka sampaikan lebih menyedihkan dibandingkan dengan kehidupan yang aku jalani.(*)

Bagikan Cerita Ini

Cerita Terkait

Leave a Comment