Tidak Akan Aku Pedulikan Sindiran Itu

Tetangga mencemoohku karena tidak kunjung menikah. Mereka menolak Pekka dengan alasan kegiatannya hanya kumpul-kumpul. Aku patahkan segala omongan negatif itu dengan kerja kerasku. Pekka berhasil membantu ibu-ibu mengatasi kesulitan hidup.


“Kami bukan janda, jadi tidak perlu masuk Pekka!” Seorang ibu memotong penjelasanku dengan tajam. Aku kaget mendengarnya. Aku pandangi wajah ibu-ibu lainnya, mereka mulai menatapku dengan sinis. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk tenang sebelum menjawab.

“Maaf, Ibu. Pekka bukan untuk ibu janda saja, tapi untuk ibu yang bersuami juga boleh ikut, kok.” Aku kemudian menjelaskan panjang lebar tentang kriteria anggota Pekka. Tidak hanya perempuan yang suaminya telah meninggal, atau telah bercerai yang bisa menjadi anggota Pekka, melainkan juga perempuan lajang yang menafkahi diri sendiri, atau juga menafkahi keluarganya. Selain itu, perempuan yang ditelantarkan oleh suami, atau suaminya telah bertahun-tahun jatuh sakit, istri yang menjadi pencari nafkah utama di keluarga dan menyatakan diri sebagai kepala keluarga, serta perempuan yang masih bersuami tetapi ditinggal merantau oleh suaminya yang mencari nafkah di luar daerah, bisa menjadi anggota Pekka. Ada juga perempuan yang bersuami tetapi ingin berkontribusi dalam Serikat Pekka, tetap diterima sebagai anggota Pekka.

Penjelasan panjang lebar yang aku sampaikan tidak berguna. Ibu-ibu tetap tidak mau berkelompok. Istri kepala desa bahkan berkata, “Kami lebih mengutamakan ilmu agama daripada kumpul-kumpul.” Aku dan teman-teman pun langsung pergi mendengarnya. Kami pulang dengan sedih dan lesu karena gagal membangun kelompok di desa itu.

Pengalaman ditolak mentah-mentah oleh para ibu yang aku ajak untuk berkelompok adalah yang paling berkesan bagiku. Apalagi, kedatanganku di desa itu bukan untuk yang pertama kali. Berkali-kali aku bersama kader Pekka yang lain datang, tetapi selalu gagal bertemu dengan kepala desa.

Setelah berkali-kali gagal bertemu dengan kepala desa, aku meneleponnya sebelum melakukan kunjungan. Beliau menjawab, “Iya, datang aja hari Sabtu. Saya ada di rumah pada hari itu.” Kami pun berhasil menemuinya di hari Sabtu yang beliau janjikan. “Silakan membentuk kelompok dengan tujuan memajukan perempuan di desa ini, terutama perempuan kepala keluarga. Tapi mohon maaf, kalau hari-hari begini, ibu-ibunya tidak ada. Lebih baik Ibu datang aja hari Selasa, pada saat kegiatan pengajian ibu-ibu.”

Aku bersama seorang kader Pekka pun kembali datang ke desa itu di hari Selasa, minggu berikutnya. Kami sengaja datang lebih awal. Terlambat sedikit saja, ibu-ibu pengajian pasti sudah pulang ke rumah mereka. Dengan sabar, kami menunggu pengajian selesai. Aku menjelaskan dengan panjang lebar tentang Pekka, sampai akhirnya seorang ibu memotong penjelasanku, dan membuat kami gagal membentuk kelompok di desa itu.

Meski demikian, aku tetap bersyukur karena pada tahun 2022 berhasil membentuk kelompok baru. Tunai sudah kesulitan yang harus kami atasi. Desa tempat kelompok yang baru terbentuk itu harus kami capai melalui jalanan yang rusak dan becek bila hujan. Kelompok itu adalah kelompok keempat yang berhasil aku bentuk, sejak terpilih sebagai Ketua Serikat Pekka Kabupaten Aceh Timur. Keputusan ini diambil pada Musyawarah Besar tahun 2016.

Pencapaianku mencapai posisi ketua serikat Pekka benar-benar di luar dugaan. Sebenarnya, aku masuk Pekka untuk menggantikan ibuku yang meninggal dunia tahun 2010. Almarhum ibuku bergabung pada 2005. Aku memang tidak serta merta bergabung dengan Pekka. “Masa gadis berkawan sama ibu-ibu sih?” Pikirku saat itu.

Rasa penasaran mendorongku untuk ikut kegiatan Pekka di tahun 2013. Aku hanya ingin tahu, seperti apa sih Pekka itu? Aku baru bergabung secara resmi dengan Pekka satu tahun berikutnya. Statusku hanya anggota biasa. Namun, aku sering diajak pengurus Serikat Pekka berkunjung untuk melakukan advokasi ke pemerintah daerah setempat. Selain terpilih menjadi ketua Serikat Pekka Kabupaten Aceh Timur, aku juga menjadi ketua kelompok tani serta kader Kesehatan Lingkungan (Kesling).

Masa Kecil

Aku diberi nama Masyitah. Aku besar di lingkungan yang taat kepada hukum agama, karena di kampungku ada pondok pesantren. Gedungnya bahkan satu pagar dengan rumahku. Meskipun aku bukan kepala keluarga, tetapi aku adalah pencari nafkah utama di keluargaku. Aku belum menikah. Statusku ini mengundang omongan yang tidak baik dari para tetangga. Aku tidak memedulikan omongan mereka itu. Biar bagaimanapun, aku tidak meminta makan pada orang lain. Aku makan dari hasil kerjaku yang halal.

Aku lahir pada 1991 di Desa Seuneubok Teungoh, Kecamatan Idi Timur, Kabupaten Aceh Timur. Aku adalah anak bungsu dari sembilan bersaudara. Aku tidak sempat merasakan kasih sayang ayahku. Beliau meninggal dunia satu bulan sebelum aku lahir.

Biaya hidupku kemudian ditopang oleh pamanku, adik dari almarhum ayahku. Sebagian besar kakakku hidup bersama Ibu, dan sebagian lainnya tinggal bersama Nenek. Mata pencaharian utama keluarga besar kami adalah bertani, sama seperti mayoritas penduduk desa tempat tinggalku. Meski jumlah anggota keluarga kami besar, kami tidak pernah merasakan kekurangan.

Saat kecil, aku bercita-cita ingin menjadi pekerja kantoran. Untuk itu, aku berusaha belajar sebaik mungkin. Saat bersekolah di SDN Matang Rayeuk, aku sering mendapat nilai bagus. Aku bahkan sering mendapat peringkat 1 di kelas. Aku bahkan pernah menjadi peserta olimpiade matematika sewaktu bersekolah di SMP Negeri 1 Peudawa, meskipun tidak juara. Aku juga masuk dalam tim bola voli putri, dan meraih juara 2 tingkat provinsi. Setelah lulus SMP, aku meneruskan sekolahku ke SMA Negeri 1 Pandawa Raya. Aku sering dipanggil tomboi oleh teman-teman karena sering terlambat tiba di sekolah. Aku sering bolos bersama beberapa teman di jam pelajaran yang tidak kami suka: bahasa Inggris.

Aku gagal menjadi pekerja kantoran karena pada 2010, Ibu meninggal dunia. Aku memutuskan untuk tidak kuliah karena khawatir tidak ada yang menunjang biaya kuliahku. Kakak-kakakku hanya petani. Meski demikian, aku bersyukur karena bisa menamatkan SMA. Aku satu-satunya anak dari sembilan bersaudara yang berhasil lulus dari SMA.

Kiprahku di Masyarakat

Aktivitasku di masyarakat membuatku sering digosipkan tetangga, karena aku belum menikah. Mereka sering menyindir melihatku jarang ada di rumah, dan pergi dari pagi hingga sore. Aku memang kecewa dengan sindiran-sindiran mereka. Toh, tetap ada yang mengerti ke mana aku pergi dan apa yang aku lakukan.

Sebenarnya, lingkungan di desaku tidak terlalu sepi. Ada Puskesmas yang setiap hari ramai dikunjungi masyarakat dari berbagai desa. Desaku juga mendapat predikat Desa ODF (Open Defacation Free) atau Desa Stop Buang Air Besar Sembarangan (SBS), sebutan untuk desa yang masyarakatnya tidak buang air besar di sembarang tempat. ODF adalah komunitas masyarakat yang menyatakan bahwa secara kolektif mereka telah bebas dari perilaku buang air besar sembarangan.

Setelah aku bergabung dengan Pekka, aku mengikuti pelatihan Community Organizer (Pengorganisasian Masyarakat) di Pidie. Setelah itu, pada 2014, aku bersama teman-teman di Pekka mengadakan pelatihan yang sama di kabupaten masing-masing. Sejak saat itu, aku sering terlibat kegiatan Pekka, baik di tingkat kabupaten, provinsi, maupun nasional.

Sepanjang tahun 2015 dan 2016, aku membantu masyarakat membuat Akta Kelahiran. Ada sekitar 50 Akta Kelahiran yang aku dampingi permohonan pembuatannya. Selain Akta Kelahiran, aku juga mendampingi masyarakat mengurus kartu BPJS. Aku senang membuat orang lain merasa terbantu, meskipun tidak mendapatkan upah. Aku membayangkan bila pihak lain yang mendampingi, mereka pasti akan memintanya. Padahal, untuk pembuatan dokumen kependudukan tidak dipungut biaya.

Aku berhenti mendampingi pembuatan Akta Kelahiran pada 2017, agar masyarakat bisa mandiri dan pengetahuan tentang pengurusan dokumen identitas hukum ini tersebar luas. Selain itu, ada peraturan tentang pengurusan BPJS Mandiri yang mengharuskan orang yang mengajukan pembuatan kartu untuk datang sendiri dan membubuhkan tanda tangan untuk mengambilnya.

Sebelum aku terpilih menjadi ketua Serikat Pekka Kabupaten Aceh Timur, kami melakukan pelatihan Pengorganisasian Masyarakat dan Kepemimpinan yang dihadiri Sekretariat Wilayah (Sekwil) Aceh. Pada saat itu Yayasan Pekka masih menggunakan sistem sekwil. Sekwil adalah cabang tingkat provinsi dari Sekretariat Nasional (Seknas) yang ada di Jakarta.
Pengalamanku sebagai ketua serikat tidak melulu menyenangkan. Satu dari yang tidak menyenangkan itu adalah tidak disukai oleh anggota. Hal ini aku alami ketika ada seorang anggota Pekka yang ingin dirinya menjadi ketua serikat. Ia tidak mengizinkan aku masuk ke kelompoknya karena iri kepadaku. Untungnya, ada anggota kelompok itu yang antusias dengan arisan sembako yang aku tawarkan pada saat itu. Hingga kini, kelompok itu masih aktif mengadakan arisan sembako.

Sejak menjabat ketua serikat, aku mengajak anggota Pekka untuk mengadakan arisan sembako, agar kegiatan di masing-masing kelompok selalu hidup. Arisan Sembako ini awalnya dikembangkan karena sebagian besar anggota mengaku bosan dengan kegiatan simpan-pinjam. Nah, untuk menambah semangat, aku mengusulkan kegiatan ini. Arisan Sembako dilakukan setiap bulan pada pertemuan kelompok. Selain itu, ada juga kelompok yang mengadakan Arisan Sirup yang akan dibagikan setiap bulan Ramadan.

Sebagai pengurus Pekka, aku sering diundang untuk menghadiri Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrembang) tingkat kecamatan dan desa. Sayangnya, Musrembang di desaku selalu dilakukan pada malam hari, sehingga ibu-ibu tidak bisa hadir. Mereka mengatakan bahwa malam hari adalah waktu untuk mengurus keluarga, dan sebagian besar sudah mengantuk. Akibatnya, mayoritas perempuan yang diundang tidak hadir dalam Musrembang desa.

Aku lalu melobi kepala desa agar memindahkan waktu pelaksanaan Musrembang. Aku kemukakan alasannya, mengapa sebagian besar ibu-ibu, termasuk pengurus PKK tidak dapat hadir. Alhamdulillah, sejak itu, semua acara di desaku dilakukan di siang hari, termasuk rapat desa dan Musrembang.

Aktivitasku di masyarakat membuatku dipercaya untuk bergabung dalam Tim Pendataan SDGs di desaku. Pemerintah desa melihat aku aktif dalam kegiatan pendataan. Hasilnya, desaku memiliki data yang akurat karena aku betul-betul melakukan pendataan dengan mendatangi penduduk dari rumah ke rumah. Reputasiku yang selalu melakukan pendataan dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab membuat Kepala Desa kini memanggilku dengan sebutan ‘Ibu Pekka’.

Jeratan Koperasi Simpan Pinjam

Sekitar awal tahun 2020, kami digemparkan dengan adanya koperasi simpan pinjam seperti yang dilakukan Pekka. Masyarakat di desaku menyebutnya kelompok ‘Mekar’. Aku tidak mengetahui bagaimana mekanisme dari kegiatan simpan pinjam itu, karena aku tidak mau ikut campur dengan kegiatan orang lain. Aku hanya mendengar bahwa ada anggota Pekka yang meminjam uang di situ.

Setiap orang yang aku tanyakan tentang kelompok ini menjelaskan, bahwa orang-orang dapat langsung mendapat uang pinjaman tanpa persyaratan apapun. Hal ini yang membuat masyarakat lebih memilih untuk meminjam uang kepada mereka karena untuk meminjam uang dari koperasi Pekka mensyaratkan ibu-ibu untuk menjadi anggota kelompok minimal selama dua tahun.

Perbedaan besar dari kegiatan simpan-pinjam ini adalah cicilan pembayaran pijaman. Kelompok ini mengharuskan peminjam uang untuk membayar cicilan setiap minggu, dan tidak boleh terlambat. Sementara, koperasi Pekka mewajibkan pembayaran cicilan setiap bulan. Selain itu, petugas yang menagih cicilan tidak mau tahu, apakah saat ditagih, peminjam memiliki uang atau tidak. Petugas tersebut akan rela menunggu berjam-jam ketika menagih, dan ini membuat peminjam uang menjadi segan dan akhirnya harus berutang kepada orang lain untuk membayar uangnya. Mereka pun jadi seperti ‘gali lubang tutup lubang’.

Pernah satu kali, ada seorang warga desa meminjam uang kepada kelompok itu, dengan menggunakan fotokopi KTP milik seorang tetangganya. Mereka sepakat akan membagi dua pinjaman yang didapat. Si pemilik KTP setuju, karena ia juga membutuhkan modal usaha. Setelah uang pinjaman cair, orang yang meminjam KTP melarikan diri, bahkan pindah ke daerah lain. Ia meninggalkan tanggungan angsuran yang harus dibayar oleh pemilik KTP. Padahal, ia sangat miskin. Untuk kehidupan sehari-hari, ia menggantungkan hidup dari dana Program Keluarga Harapan (PKH).

Aku sangat prihatin mendengar cerita itu. Aku berpikir, ini salah siapa? Apakah salah meminjam atau salah koperasi tersebut, yang tidak memberi keringanan kepada peminjam uang. Aku sangat bersyukur, karena tidak ada anggota Koperasi Pekka Aceh Timur yang membawa kabur uang. Aku menduga ini adalah berkat kelonggaran yang kami berikan dalam metode pembayaran. Apabila ada anggota yang belum mampu membayar sejumlah nilai angsuran, maka diberikan kelonggaran untuk membayar semampunya, yang penting harus lunas dalam satu tahun.

Banyak terjadi perubahan dalam diriku, juga dalam kelompok Pekka. Beberapa bulan terakhir ini, aku mendorong kelompok Pekka untuk melakukan kegiatan tambahan. Kami melakukan percobaan membuat pengharum ruangan dari kulit jeruk. Kami juga berencana membuat sabun cuci piring. Rencana ini disambut dengan antusias oleh ibu-ibu Pekka.

Aku tidak berkeberatan harus mencari ilmu, mempelajari keterampilan baru untuk kemudian aku sebarkan kepada para anggota Pekka. Semangat para anggota mengikuti pertemuan kelompok sudah cukup membuatku senang. Pengetahuan baru yang dibagikan itu akan membuat para anggota kelompok Pekka selalu penasaran dan bersemangat untuk hadir di setiap pertemuan. Hubungan kami menjadi semakin erat, semakin bersemangat untuk saling membantu dan menyemangati dalam mengatasi segala macam masalah kehidupan.(Wilu/Lits)

Bagikan Cerita Ini

Cerita Terkait

Leave a Comment