Mandiri Mengangkat Martabat Diri

Secara tidak sengaja, aku menemukan Pekka. Ibarat pintu yang membuka cakrawala, Pekka membawaku ke dunia baru yang membuatku mampu melakukan hal-hal yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya.

Di sebuah kampung yang jauh dari keramaian Kota Karawang, aku lahir pada tanggal 13 November 1969. Pasangan Adim dan Ami memberiku nama Diah Nurjanah. Aku terlahir sebagai anak pertama mereka. Setelah aku, lahir empat orang anak lagi, dua laki-laki dan dua perempuan. Orang tuaku bekerja sebagai buruh tani. 

Aku mulai mengenyam pendidikan di SDN Ir. H. Juanda pada tahun 1977. Sekolah ini terletak di Kampung Neglasari, Desa Pasir Kamuning, Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Letaknya cukup jauh dari kampung tempat tinggalku, jaraknya sekitar tiga sampai empat kilometer. Aku harus berjalan kaki selama 30 menit untuk bisa sampai ke sekolah. 

Jalur yang aku tempuh untuk sampai ke sekolah adalah jalan rusak. Lumpur nan licin menggenangi lubang-lubang yang bertebaran di jalan itu bila hujan turun. Bahkan, kadang kaki kecilku bisa terendam hingga setengah betis. 

Bila sedang tidak hujan, aku seringkali naik sepeda untuk menghemat waktu perjalanan ke sekolah, yang biasanya dapat kutempuh dalam 15 menit. Ketika itu, karena keadaan ekonomi orang tua yang sangat buruk, aku tidak memiliki sepatu. Untunglah, aku berangkat ke sekolah bersama adik yang bernama Siti Komah. Jarak usia kami hanya dua tahun. Aku jadi memiliki teman berbagi selama perjalanan menuju dan dari sekolah. 

Ada masa-masa indah yang aku kenang selama bersekolah di SD ini. Salah satunya adalah ketika diajar oleh seorang guru yang baik dan sabar. Pak Jajuli namanya. Beliau selalu mengayomi para muridnya. Beliau bahkan bersedia memberi pelajaran tambahan di luar jam sekolah secara gratis kepada murid yang membutuhkan, sekalipun rumah muridnya jauh dari sekolah. 

Ketika telah menginjak kelas 3, aku membantu Ibu berjualan penganan seperti rempeyek jengkol, jengkol goreng, atau bakwan di sekolah. Gorengan itu aku jual dengan harga seratus rupiah per buah. Aku bisa mendapatkan uang hingga sejumlah Rp 10.000 per hari bila semua daganganku habis. Uang itu bisa aku pakai untuk kebutuhan sehari-hari.

Suka Duka Tinggal di Asrama

Setelah lulus sekolah dasar, aku melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah (MTs – setingkat SMP) Al Mujahidin yang berlokasi di Desa Calung, Kecamatan Teluk Jambe, Karawang Barat. Adikku dan beberapa kawan dari Pasar Kamuning juga bersekolah di SMP Al Mujahidin ini. Adikku ini adalah teman perjalananku saat bersekolah di di SD dulu. Usianya hanya berjarak 2 tahun dariku. Kami sama-sama melanjutkan pendidikan di MTs Al Mujahidin. 

Seorang paman kami, Talim namanya, juga bersekolah MTs Al Mujahidin. Usianya tidak terpaut jauh denganku. Kami sama-sama tinggal di asrama. Hanya saja, aku dan adikku tinggal di asrama perempuan, sedangkan Talim di asrama laki-laki. Asrama laki-laki terletak persis di sebelah sekolah, sedangkan antara sekolah dan asrama perempuan terpisah jarak yang dapat ditempuh dalam waktu 10 menit dengan berjalan kaki.

Suka dan duka aku rasakan selama tinggal di asrama ini. Aku dan teman-teman seasrama sempat merasakan kesulitan untuk mendapatkan air untuk mandi dan minum. Kesulitan ini semakin menjadi di musim kemarau. Kami harus mengantre lama sekali di sumur hanya untuk mendapatkan satu ember air. Kalau tidak, kami harus menggunakan air dari sungai untuk mencuci pakaian. Apabila sungainya kering, kami harus mencari air di kubangan sawah atau kubangan air, yang jaraknya bisa mencapai 6 km dari asrama. 

Kubangan sawah yang aku maksud di sini bukanlah kubangan seperti yang sering kita jumpai di jalan-jalan yang berlubang, melainkan tanah kering di sawah yang sengaja digali untuk diambil airnya. Berbeda dengan kubangan sawah, kubangan air milik orang lain bentuknya seperti kolam ikan, hanya saja berisi air dan tidak ada ikannya. Keduanya sama-sama berfungsi sebagai tempat penampungan air, namun airnya tidak jernih dan berwarna sedikit kuning.

Alhamdulillah, dengan kesulitan semacam itu aku tetap bisa lulus dari MTs Al Mujahidin. Aku mencoba mendaftar ke Sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA), yang tingkatnya setara dengan SMA, ketika lulus dari MTs Al Mujahidin di tahun 1987. Sekolah ini berlokasi di Kecamatan Cilamaya Wetan, Kabupaten Karawang. Jaraknya sekitar 30 kilometer dari kampungku di Kecamatan Telagasari. Aku tidak lulus ujian masuk, sehingga aku tidak bisa melanjutkan pendidikan di sekolah itu. Sedih dan kecewa rasanya, karena aku tidak diterima di sekolah yang aku harapkan.

Setelah itu aku berpikir untuk meringankan beban orang tua. Aku memilih untuk mengambil kursus untuk menjadi pengasuh bayi di Yayasan Darma Bakti Karawang. Kursus berlangsung selama dua bulan, yang diisi dengan materi di kelas dan praktik atau magang di Rumah Sakit Bayu Asih di Purwakarta selama dua minggu. 

Tumbuh Menjadi Mandiri 

Berbekal sertifikat kursus, di tahun yang sama aku memutuskan untuk merantau ke Jakarta. Aku kerja di sebuah pabrik pembuatan payung di daerah Tanjung Priok. Saat itu aku diajak seorang teman kursusku untuk bekerja di sana. Jadi sesampainya di Jakarta, aku bisa langsung masuk kerja. Aku bekerja di bagian produksi. 

Selama di Jakarta, aku tinggal di sebuah kontrakan di daerah Cakung bersama teman-temanku yang juga bekerja di tempat yang sama denganku. Aku bersyukur bisa mendapat pekerjaan di pabrik ini. Aku jadi bisa mengurangi beban orang tua sekaligus membantu membiayai sekolah adik-adikku. 

Satu tahun aku bekerja di pabrik pembuatan payung tersebut. Aku kemudian memutuskan untuk berhenti dan mencari kerja ke Arab Saudi. Aku mendaftar ke PT Trisula di Cakung yang berfungsi sebagai sponsor bagi TKI, dan langsung mendapat pelatihan untuk membersihkan rumah sesuai dengan standar yang ditetapkan di Arab Saudi.

Dua pekan lamanya aku mengikuti pelatihan itu. Setelah selesai, aku terpilih untuk berangkat ke Arab Saudi. Pada bulan Maret 1990, untuk pertama kalinya naik pesawat. Aku berangkat menuju Bandar Udara Internasional Raja Fahd yang terletak di Kota Dhahran, Arab Saudi. Aku sangat deg-degan dan panik, karena itu adalah pengalaman pertamaku naik pesawat. Ketika di pesawat, aku teringat akan pesan orang tuaku untuk bekerja dengan baik dan menurut pada majikan. 

Sesampainya di bandara, aku dijemput oleh perwakilan PT Trisula dan dibawa ke kantor perwakilan mereka yang terletak tidak jauh dari bandara. Satu hari kemudian, aku sudah mendapat majikan. Aku dijemput oleh anak majikanku untuk kemudian tinggal di rumahnya yang berlokasi di kota Dhahran. Begitu sampai, aku diperkenalkan kepada anak-anak majikanku yang lain, majikanku yang ternyata seorang janda, dan anggota keluarga yang lain. 

Setelah berkenalan, aku ditunjukkan ruangan-ruangan yang harus aku bersihkan, serta diberi tahu pekerjaan yang harus aku lakukan sebagai asisten rumah tangga. Majikanku sudah berusia lanjut dan memiliki tiga orang anak. Saat itu, anak pertamanya telah bekerja di sebuah bank, yang kedua berprofesi sebagai guru, dan yang ketiga masih kuliah.

Alhamdulillah, aku mendapat majikan yang baik. Mereka dengan tertib membayar gajiku setiap bulan. Tidak terasa aku sudah bekerja di rumah mereka selama dua tahun enam bulan. Aku kemudian memutuskan untuk pulang kampung. Aku khawatir perang Kuwait akan segera pecah. Kota Dhahran terletak tidak jauh dari Kuwait, dan banyak pengungsi dari Kota Kuwait berdatangan ke kota ini. Bukan itu saja, tentara Amerika Serikat juga sering berpatroli saat itu. Bandara di Kota Dhahran jadi ramai. 

Meski aku belum mendengar suara tembakan atau ledakan bom seperti yang sering terjadi di masa perang, orang tuaku sangat khawatir dan memintaku untuk pulang saja. Aku bersyukur, majikanku memaklumi kekhawatiran orang tuaku. Mereka pun mengizinkan aku pulang. Begitulah, aku kembali ke tanah air pada tahun 1993. Alhamdulillah, selama bekerja di Arab Saudi, aku berhasil menyekolahkan adik-adikku sampai mereka tamat SMA.

Menikah dan Kembali Menjadi TKI

Aku memutuskan untuk menikah dengan seorang laki-laki yang berasal dari Kampung Pasir Kamuning pada tahun 1994. Usup namanya, seorang tukang jahit rumahan. Kami sengaja dijodohkan oleh orang tua kami. Kami pun dikaruniai anak perempuan yang lahir pada 25 Mei 1995, dan kami beri nama      Siti Umirah. 

Ketika Umirah berusia 2,5 tahun, aku memutuskan untuk kembali bekerja di Arab Saudi karena tuntutan ekonomi. Aku merasa tidak punya pilihan lain, meskipun berat sekali rasanya meninggalkan anak yang masih sangat kecil. Aku ingin mengumpulkan uang agar kami bisa memiliki rumah sendiri. Alhamdulillah, suamiku mengizinkan. 

Berbekal tekad untuk mewujudkan keinginanku memiliki rumah, aku kembali berangkat ke Arab Saudi. Majikanku yang baru tinggal di kota Riyadh. Aku bersyukur, lagi-lagi aku mendapat majikan yang baik. Selain membersihkan rumah, kali ini aku juga mengurus kedua anak majikanku. Selama bekerja, aku juga sering diajak majikanku jalan-jalan sembari mengasuh anak-anaknya. 

Aku bekerja hingga tahun 2001. Gaji yang aku terima, aku kumpulkan. Begitu sampai di kampung, aku membangun rumahku sesuai dengan apa yang aku impikan selama ini. Rumahku masih terletak di desa yang sama dengan rumah orang tuaku. Rumahku dengan rumah orang tua hanya terpisah oleh beberapa rumah. Meski ada beberapa bagian yang masih belum rampung, aku bersyukur rumah itu sudah bisa kami tinggali.

Mendadak Pekka

Ibu Hajjah Aminah tiba-tiba mendatangiku. Aku masih ingat tanggalnya: 5 Februari 2006. Aminah adalah sepupuku. Beliau adalah orang pertama yang menjadi anggota Pekka di desaku. Rumahnya masih satu desa denganku. Beliau mengajakku untuk mengikuti sebuah forum nasional di Jakarta. Aku diminta berangkat untuk menggantikan seorang kerabat yang tidak bisa meninggalkan anaknya yang mendadak sakit. 

Aku belum menjadi anggota Pekka pada saat itu. Aku bahkan belum tahu apa itu Pekka. Tetapi, tidak ada anggota Pekka di lingkunganku yang bisa atau bersedia berangkat. Maka, mau tidak mau, Ibu Hajjah Aminah menyuruhku untuk berangkat. Mungkin beliau melihatku sebagai seseorang yang mau diajak untuk maju bersama dan memiliki kemauan untuk belajar yang tinggi. Sehingga, beliau akhirnya memintaku untuk mengikuti forum nasional tersebut.

Ibu Nunung, pendamping lapang (PL) untuk Pekka di wilayah Karawang pada saat itu, tidak mengetahui bahwa aku belum menjadi anggota Pekka. Beliau baru mengetahui hal ini dua hari setelah forum nasional berlangsung. Itu pun setelah Ibu Hajjah Aminah bercerita kepada Teh Aisah, Ketua Serikat Pekka Kabupaten Karawang saat itu, yang kemudian menceritakan jati diriku kepada Ibu Nunung.

“Ya sudah telanjur,” begitu kata Bu Nunung. “Yang penting, nanti kalau pulang harus masuk jadi anggota Pekka.”

Aku terkagum-kagum saat melihat peserta forum nasional yang datang dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka mengenakan pakaian daerah masing-masing. Kami juga diberikan materi yang luar biasa. Salah satunya adalah materi yang terkait dengan kegotongroyongan dan kebersamaan anggota Pekka dari seluruh Indonesia untuk sama-sama memberdayakan perempuan di akar rumput. Aku bahagia sekali, bisa mengikuti acara ini sampai selesai. 

Pekka Memberiku Jalan

Sepulang dari forum nasional, aku diangkat menjadi anggota Pekka. Pada waktu yang bersamaan, Ibu Hajjah Aminah juga mengajak beberapa orang untuk ikut menjadi anggota Pekka. Dengan menjadi anggota Pekka, aku mulai mengikuti berbagai kegiatan, seperti pelatihan pembuatan pakan ikan untuk ikan lele. 

Pelatihan pembuatan pakan ikan lele ini diadakan di Desa Telagajaya, Kecamatan Telagasari. Peserta yang datang berjumlah 24 orang dari 12 kelompok yang ada di 8 desa dari dua kecamatan. Kelompok tersebut adalah Kelompok Subur Makmur, Subur Jaya, Ridho Iklas, Ridho Asih, Sejati, Telaga Jaya, Telaga Maju, Melati, Rahmat Ilahi, Gadel, Indah, Sekar Wangi, Nusa Indah, dan Suka Maju. Masing-masing kelompok diwakili oleh dua orang. 

Dua bulan setelah pelatihan, semua kelompok mendapat bantuan bibit ikan lele, peralatan, dan bak untuk pembesaran ikan lele dari Pemerintah Kabupaten Karawang yang disalurkan melalui Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemberdayaan Sosial (BPMPS). 

Ada dua kelompok di desaku yang mendapat bantuan, yakni Kelompok Subur Makmur dan Ridho Asih, juga satu kelompok di Desa Lemah Karya, Kecamatan Tempuran yakni Kelompok Suka Maju. Masing-masing dari kelompok ini mendapat bantuan sebesar Rp 7,5 juta. 

Ada pula kelompok di Desa Kalibuaya dan di Desa Kalijaya, Kecamatan Telagasari, yakni kelompok Ridho Iklas dan kelompok Rahmat Ilahi, yang mendapat bantuan masing-masing sebesar Rp 5 juta. Dari semua kelompok yang mendapat bantuan, sebenarnya jumlah bantuannya sama, yakni sebesar Rp 10 juta. Hanya saja, pemberian dana tersebut disalurkan secara bertahap dalam waktu beberapa bulan. 

Khusus untuk kelompok Ridho Asih dan kelompok Suka Maju, mereka mendapatkan dana bantuan lebih besar, yakni Rp 20 juta untuk masing-masing kelompok, yang digunakan untuk menambahkan kolam pada usaha ternak lele kelompok.

Berbagai Tantangan Dihadapi Bersama Pekka

Banyak pelatihan yang diberikan oleh Pekka. Namun, tidak semua pelatihan yang diberikan oleh Pekka aku ikuti. Pelatihan menjahit, misalnya, tidak aku ikuti karena aku terpilih menjadi panitia penyelenggara. Pelatihan ini diadakan setelah Serikat Pekka Karawang mendapat bantuan berupa enam unit mesin jahit, satu unit mesin obras, dan satu unit mesin jahit konveksi dengan kekuatan 3.200 watt. 

Sayangnya, mesin jahit konveksi tidak dapat kami gunakan karena membutuhkan daya listrik yang amat besar. Mesin-mesin ini disimpan di Center Pekka Kabupaten Karawang dan bisa dipinjam sewaktu-waktu oleh anggota kelompok yang ingin menggunakan.

Pelatihan menjahit gelombang pertama diikuti oleh 15 peserta. Kursus ini diadakan selama satu bulan, dan difasilitasi oleh Ibu Mamah, Sumini, dan Aisah. Mereka adalah anggota Pekka yang mahir menjahit. Kami diajari bagaimana memasang jarum mesin, memasang benang, membuat pola, memotong bahan, melihat jahitan, dan lain sebagainya. Usai pelatihan, seluruh peserta mendapat sertifikat kelulusan dari Pekka.

Pekka kemudian mengadakan kursus menjahit gelombang kedua, yang diikuti oleh 10 peserta. Sayangnya, belum genap satu bulan, kursus terpaksa dihentikan karena banyak peserta yang diterima bekerja di pabrik. Mereka jadi tidak punya waktu untuk melanjutkan kursus. Penyebabnya adalah, ada sekitar 5 orang yang diterima bekerja di pabrik karena memiliki sertifikat kursus menjahit dari Pekka. Akibatnya, peserta yang belum menyelesaikan kursus, asal mereka sudah lancar menjahit, diterima meski belum memiliki sertifikat. 

Awalnya, Serikat Pekka Karawang berencana untuk mengadakan usaha konveksi bersama anggota yang sudah dilatih melalui kursus ini. Usaha konveksi ini bisa menjadi cara untuk meningkatkan kesejahteraan dan pendapatan anggota, juga organisasi Serikat Pekka

Sayang, rencana ini tidak berjalan mulus karena para lulusan kursus lebih memilih menjahit untuk pabrik konveksi. Bahkan, Pekka diminta Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Karawang untuk bekerja sama menyiapkan masyarakat yang terlatih dan siap pakai. Pendamping lapang (PL) menolak karena Serikat Pekka bukan pemasok atau agen tenaga kerja. Rencana usaha konveksi Pekka batal direalisasikan karenanya. 

Menanam Benih Lain

Satu program lain yang aku geluti bersama Pekka adalah program Pendidikan Anak Usia Dini. Serikat Pekka Karawang berencana mengembangkan PAUD di Desa Lemah Subur. Sebelumnya, sudah ada dua PAUD yakni Surya Gemilang di Desa Kalibuaya, dan Nurul Kamilah di Desa Pasir Kamuning.

Rencana pendirian PAUD ini tercetus pada 27 Februari 2009. Ketika itu, aku bersama Ibu Dede dan Ibu Koyah bersepakat untuk mendirikan PAUD karena di daerah kami banyak anak usia balita hingga enam tahun. Kami berkoordinasi dengan Pemerintah Desa yang mendukung rencana kami. Dukungan tersebut menambah semangat kami untuk mendirikan sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). 

Setelah melakukan sosialisasi di majelis-majelis taklim dan juga door to door langsung ke masyarakat, masyarakat dengan antusias mendaftarkan anak mereka untuk bersekolah di PAUD yang kami dirikan. Tepat tanggal 14 Februari 2009, kami membuka kelas pertama PAUD Melati di Desa Lemah Subur. Untuk sementara, sekolah ini diadakan di gedung Majelis Taklim Nurul Bayan.

Kami berinisiatif untuk tidak selamanya menumpang tempat di Majelis Taklim Nurul Bayan. Setelah PAUD berjalan selama beberapa tahun, kami mendapatkan ide untuk meminta bantuan dari masyarakat agar bisa membeli tanah. Caranya, kami meminta sumbangan dengan menggunakan jaring untuk menampung uang sumbangan dari orang-orang yang melewati Jalan Raya Lemah Subur menuju Kecamatan Tempuran. Posisinya di Jalan Raya Cinyemplat, di pinggir jalan raya yang menuju arah ke kantor kecamatan. 

Cara ini kami lakukan sejak tahun 2011 hingga 2013. Dana yang berhasil kami kumpulkan adalah sebesar Rp 35 juta, yang kami gunakan untuk membeli tanah seluas kurang lebih 6 x 12 meter. Kami pun memutuskan untuk berhenti meminta sumbangan di jalan, begitu kami berhasil membeli sebidang tanah ini. 

Tentu saja pekerjaan belum selesai. Kami harus membangun gedung untuk anak-anak PAUD belajar. Alhamdulillah, kami mendapat sumbangan dari Dana Desa sebesar Rp 42 juta dalam bentuk bahan-bahan bangunan. Bantuan lain datang dari seorang anggota DPRD Kabupaten Karawang yang memberi sumbangan sebesar Rp 7 juta. Terwujudlah keinginan kami untuk memiliki gedung PAUD sendiri.

Dukungan Pemerintah

Pemerintah Kabupaten Karawang sangat mendukung kegiatan-kegiatan Serikat Pekka. Mereka tanpa segan memberi bantuan dana atau prasarana pendukung seperti kendaraan (bis, mobil dinas, dan lain-lain). Ketika Serikat Pekka Karawang mengadakan Forum Wilayah (Forwil), Pemerintah Kabupaten Karawang juga memberikan dana bantuan yang diambil dari Anggaran Pemerintah Belanja Daerah (APBD) untuk kebutuhan Forwil. 

Selain Forwil, banyak lagi kegiatan Serikat yang didanai Pemerintah Kabupaten Karawang. Bahkan, Serikat Pekka Karawang sudah terdaftar dalam keanggotaan SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) terkait anggaran. Serikat Pekka Karawang dinilai telah melakukan kegiatan yang baik dan bermanfaat. Pemda merasa terbantu juga dengan adanya Pekka dan memutuskan untuk memasukkan Serikat Pekka Karawang ke dalam SKPD, sehingga pada tahun 2011 kami mendapat anggaran untuk kegiatan isbat nikah sebesar Rp 300 juta.

Kami menggunakan anggaran tersebut untuk kegiatan Pelayanan Terpadu (Yandu) dan kegiatan isbat nikah di sekitar 20 kecamatan yang ada di Kabupaten Karawang. Kegiatan yandu dilakukan sebelum pelaksanaan kegiatan isbat nikah, di mana kami mengumpulkan masyarakat untuk mengurus dokumen administrasi mereka, seperti Kartu Keluarga (KK), Kartu Tanda Penduduk (KTP), Akta Kelahiran, Surat Nikah, dll). 

Pada kegiatan isbat nikah, anggaran tersebut digunakan untuk biaya transport bagi pengurus Serikat Pekka Karawang yang mengurusi kegiatan tersebut, biaya konsumsi bagi para hakim dan jaksa yang membantu proses isbat nikah, serta biaya kebersihan untuk setiap kegiatan yang dilaksanakan di desa dan juga di kecamatan.

Dukungan Keluarga

Selama bergabung dan berkegiatan di Pekka, aku mendapatkan respon positif dari keluargaku, terutama dari suami dan anakku. Mereka tidak berkeberatan, asalkan kegiatan-kegiatan yang aku ikuti dapat membawa dampak positif baik bagi diriku sendiri, bagi keluargaku, dan bagi masyarakat di sekitarku. 

Tetangga-tetanggaku juga sudah mengenal Pekka dengan baik. Setiap kali aku berkegiatan, mereka seringkali berceletuk sembari tertawa kecil kalau aku terlihat sangat sibuk menghadiri pertemuan-pertemuan yang tidak ada habisnya. Aku tetap bersemangat untuk memajukan Serikat Pekka Karawang, meski terkadang rasa malas hinggap di diriku. Rasa malas ini muncul bila ada kader yang tidak kompak dalam berkegiatan. 

Selain di Pekka, aku juga disibukkan dengan beberapa kegiatan lain. Di antaranya menjadi tutor PAUD dan juga anggota PKK di desaku. Aku juga melayani pesanan kue kering dan kue basah (jajanan pasar). Suamiku yang seorang tengkulak sayur juga rajin membantuku dalam melayani pesanan kue. Aku bersyukur sekali dapat memiliki keluarga yang sangat suportif dan mendukung segala kegiatanku.(Ella/Lits)

Bagikan Cerita Ini

Cerita Terkait

Leave a Comment