KILAS BALIK KEHIDUPANKU BERSAMA PEKKA
Kisah Diri Lusia Uba Salan

 

Di usia muda aku sudah menyandang status janda. Empat anak harus aku besarkan tanpa siapa-siapa. Pekka hadir dalam hidupku, memantapkan diri untuk selalu bersemangat dalam pengabdian terhadap sesama. Bersama anggota Pekka lainnya aku memupuk semangat untuk menyuburkan hasil produksi sendiri demi kesejahteraan bersama.


 

Aku lahir di Dusun Lewoduli, Desa Lamatewelu, Kecamatan Adonara Timur, Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur, pada bulan Juli 961. Aku lahir sebagai anak ketiga dari enam saudara, dan diberi nama Lusia Uba Salan. Keluargaku adalah keluarga sederhana. Kami hidup apa adanya, memakai pakaian dan mengonsumsi makanan sesuai keadaan, tidak menuntut lebih kepada orang tua.

Dari keenam anak mereka, hanya dua yang bisa menyelesaikan pendidikan sampai tingkat menengah atas dan berhasil menjadi guru. Aku adalah satu dari kedua anak itu. Keberhasilanku lulus dari SPG Larantuka dan menekuni karier sebagai guru menjadi kebanggaan tersendiri. Apalagi, aku termasuk perempuan kedua di dusun tempat tinggal kami yang menjadi guru.

Ketika bersekolah di SPG (Sekolah Pendidikan Guru – setingkat SMA; sekarang sekolah kejuruan ini sudah dihapus oleh pemerintah), aku dititipkan untuk menumpang tinggal bersama keluarga yang ada di Larantuka. Aku rela berjalan kaki pulang-pergi ke sekolah yang jaraknya 6 km dari rumah selama 3,5 tahun, demi mengubah hidup. Perjuanganku tidak sia-sia, aku berhasil lulus dari sekolah yang menerapkan disiplin tinggi pada murid-muridnya, dan menjadi guru. Setelah lulus, aku diangkat menjadi guru honorer. Enam bulan kemudian, aku langsung diangkat menjadi pegawai negeri sipil.

Aku mengabdi sebagai guru selama 39,5 tahun. Selama itu, aku bekerja kepada tiga sekolah, yakni: SDK Lewoduli, SDK Horowura, dan SDN Nisakarang. Untuk SD yang terakhir, aku diangkat menjadi kepala sekolah dan menjalani posisi itu selama 9,5 tahun.

Kehidupan Berkeluarga

Aku menikah di tahun 1985, dengan laki-laki yang juga bekerja sebagai guru. Kami dikaruniai empat orang anak: tiga perempuan dan satu laki-laki.

Suamiku meninggal dunia secara mendadak di bulan Oktober 2001. Ketika itu, anak pertama kami masih duduk di kelas 1 SMA, sementara anak bungsu kami baru berusia 2,5 tahun. Aku sendiri berusia 40 tahun saat itu.

Aku harus memikul beban tanpa persiapan sedikit pun. Aku menjalani peran ganda sebagai mama sekaligus bapa untuk keempat buah hatiku. Banyak tantangan yang aku hadapi, baik terhadap anak maupun terhadap statusku sebagai janda muda. Semua aku jalani dengan penuh keyakinan, bahwa Tuhan tidak akan pernah terlambat menolongku.

Bergabung dengan PEKKA

Februari 2002 adalah saat yang sangat penting dalam hidupku. Itu adalah ketika aku memutuskan untuk bergabung sebagai anggota Serikat Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka), saat pertama kali masuk ke Kabupaten Flores Timur. Keputusan untuk bergabung bersama Pekka tepat beberapa bulan setelah aku hidup menjanda. 

Sejak bergabung, aku aktif mengikuti berbagai kegiatan. Peran utama yang aku jalani di Pekka adalah sebagai penyokong atau pendorong, sesuai dengan profesi saya sebagai guru. Sinergi dan koordinasi sesama anggota pengurus kami lakukan secara terus menerus pada masa-masa awal pembentukkan Pekka di Flores Timur. Kegiatan yang kami lakukan antara lain adalah membuat pembukuan maupun Forwil dan Fornas pertama. 

Selama di Pekka, aku ditempa dengan berbagai pelatihan. Dan yang paling berkesan dan tetap bertahan hingga sekarang adalah menyelesaikan pembukuan. Pengalaman dalam pembukuan membuatku dipercaya sebagai ketua salah satu koperasi wanita di wilayah kecamatan sejak 2001 sampai sekarang. Perlu diketahui bahwa sebuah organisasi keuangan bisa bertahan dan dipercaya apabila administrasi pembukuannya baik.

Gerakan Menggunakan Hasil Tenun Produk Lokal

Kalau bukan Pekka siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi. Tidak menghargai hasil karya sendiri sesungguhnya mengkianati diri sendiri. Hal itu menjadi dorongan bagi kami untuk melakukan terobosan baru, menggerakkan semua pihak mulai dari diri sendiri, menyebar ke lingkungan sekitar dan lebih luas lagi bermanfaat bagi masyarakat luas. 

Gerakan ini diawali pada kegiatan perayaan Hari Kartini, 21 April tahun 2007 yang terpusat di Center Pekka Lodan Doe, Kecamatan Kelubagolit, Kabupaten Flores Timur. Kegiatan ini dihadiri oleh banyak pihak, termasuk pejabat daerah seperti Bupati Flores Timur, Drs Simon Hayon. Kegiatan ini dilaksanakan oleh panitia perayaan yang didampingi langsung oleh pendamping lapang Ibu Bernadete Deram. Pekka mengambil langkah ini dengan latar belakang masyarakat lebih mengutamakan produk-produk luar ketimbang hasil produk sendiri. Pada ujungnya hasil tenun dari daerah sendiri menumpuk akibat kurang laku di pasaran.

Gerakan ini berkelanjutan. Melalui kegiatan RAT (Rapat Anggota Tahunan) LKM (Lembaga Keuangan Mikro) untuk tahun buku 2007, maka tanggal 25 Januari 2008 dilaksanakan Rapat Anggota Tahunan. Keputusan RAT adalah keputusan tertinggi, dan satu dari keputusan yang dihasilkan adalah penetapan penggunaan kain sarung produk sendiri untuk setiap kegiatan, baik dalam kegiatan-kegiatan resmi juga kegiatan sosial kemasyarakatan, seperti pesta-pesta adat, juga saat melayat orang mati. Situasi berpakaian peserta  saat itu menjadikan RAT semakin bergengsi dan berwibawa. Ibu-ibu berpenampilan sangat anggun dengan kebaya dan sarung dengan berbagai corak dan motif.

Menggunakan produk sendiri menjadi gerakan yang tiada henti. Melalui kegiatan-kegiatan lain, Pekka tetap mendorong, bahkan mewajibkan seluruh anggota untuk tetap memakai sarung. Hal ini bahkan menjadi keputusan bersama. Peserta yang tidak memakai dikenakan sanksi denda Rp 20.000 per pelanggaran. Pekka juga sekali lagi menekankan, bilamana ada kematian, anggota Pekka wajib memakai sarung saat melayat. Akhirnya, sedikit demi sedikit pemakai kain lipa mulai berkurang, sementara pemakai sarung mulai mendominasi peristiwa kematian serta pesta adat dan agama. Kesadaran masyarakat akan hasil karya sendiri mulai nampak, kreasi para penenun dengan berbagai corak dan motif mulai muncul, termasuk menggunakan benang yang berkualitas sehingga sarung tidak mudah luntur. 

Gerakan Pekka ini mendapat sambutan baik dari pemerintah serta pihak terkait lainnya. Sekolah-sekolah yang ada di wilayah Kecamatan Kelubagolit, Kabupaten Flores Timur mewajibkan seluruh warga sekolah, terutama guru dan siswa, untuk menggunakan baju motif tenun setiap Rabu dan Kamis. Pakaian ini menggantikan seragam batik yang selama ini digunakan. Di samping itu, pada upacara-upacara resmi seperti HUT Proklamasi, pejabat pemerintah dan masyarakat—laki-laki dan perempuan—diwajibkan memakai pakaian daerah, juga di setiap acara kunjungan pejabat seperti bupati atau gubernur, masyarakat dan pejabat setempat wajib mengenakan pakaian daerah, untuk laki-laki disebut ‘nowing’ dan perempuan disebut ‘kwatek’.

Gebrakan Pekka tidak hanya sebatas mewajibkan memakai sarung saat perayaan atau upacara. Terlaksana pula melalui perlombaan-perlombaan. Di tahun 2005, Pekka melakukan perlombaan menenun antarkelompok dengan menggunakan benang kapas hasil pintalan sendiri. Saat itu, yang menjadi juri adalah Ibu Bernadete Deram dan saya sendiri. Kegiatan ini bermaksud agar pengolahan benang kapas secara manual digiatkan kembali.

Festival Budaya Anak

Tidak hanya sampai di situ, Pekka juga melaksanakan kegiatan ‘Festival Budaya Anak’. Berbagai perlombaan diadakan, mulai dari lomba menenun untuk anak sekolah, lomba tarian daerah, juga lomba fashion show pakaian daerah. Festival ini pertama kali diadakan pada 2014, dan terakhir diadakan pada perayaan HUT Pekka ke-20, dan disaksikan oleh direktur dan pendiri Yayasan Pekka, Bunda Nani Zulminarni. Tujuan dari ‘Festival Budaya Anak’ ini antara lain adalah agar produksi tenun tetap diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. 

Gebrakan ini akhirnya mendapat pengakuan resmi dari pemerintah melalui Perbup Flores Timur No. 63 Tahun 2020 yang berlaku efektif sejak 1 Januari 2021. Perbup ini ditandatangani oleh Bupati Flores Timur, Antonius Gege Hajon dan menetapkan Kwatek, Nowing, dan pakaian tenun khas Lamaholot sebagai pakaian resmi kedinasan bagi Aparatur Sipil Negara dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Pakaian ini menggantikan pakaian Linmas hijau yang sebelumnya dipakai setiap Senin. Perbup ini mengakomodir gerakan Pekka untuk mempertahankan tradisi budaya pakaian setempat.

Memetik Hasil

Tahun demi tahun aku lalui, hingga menuai hasil pada kesuksesan anak-anakku dalam bidang pendidikan. Anak pertamaku lulus dari D3 Keperawatan, dan sekarang bekerja sebagai PNS di sebuah rumah sakit daerah di Kupang. Anak keduaku lulusan sarjana yang bekerja sebagai pegawai swasta di Kupang. Keduanya sudah menikah. Sementara, anak ketigaku lulusan S2 Keperawatan dan bekerja di sebuah rumah sakit swasta di di Bandung. Dan anak keempatku, satu-satunya laki-laki, masih kuliah di semester akhir. Itulah buah perjuanganku. Aku perjuangkan dengan segala kemampuan hingga purnatugas sebagai guru.

Kehadiran PEKKA membuka wawasan berpikir saya bahwa dunia tidak selebar daun kelor, dengan PEKKA juga saya bisa mengalami bahwa pagi masih di Adonara – Flores Timur, malamnya sudah ada di Jakarta kota metropolitan.

Manfaat nyata yang aku rasakan dalam hidup membuatku tetap bergabung dengan PEKKA hingga saat ini. Komitmenku untuk berjalan bersama PEKKA semakin kuat, terlebih saat ini aku sudah purnatugas sebagai guru, sehingga bisa mengambil peran secara optimal. Bagiku, berada di PEKKA menjadi momentum berharga untuk saling berkolaborasi meningkatkan kesejahteraan kaum perempuan yang berkeadilan. Aku telah menyaksikan dan merasakan kehadiran PEKKA yang telah membuka jalan menuju kemakmuran generasi bangsa secara berkelanjutan, di tengah berbagai tantangan di lingkungan sosial budaya. PEKKA kini tetap eksis, membuka mata dan hati untuk kaum perempuan yang terpinggirkan, untuk bangkit dan optimis, terus melangkah dalam berkarya membangun kehidupan yang lebih baik.

 

Bagikan Cerita Ini

Cerita Terkait

Leave a Comment