Perjuangan dari Masa Kecil yang Membuahkan Hasil
Kisah Diri Ovi Rosidah

Sejak kecil aku sudah bergelut dengan kesulitan ekonomi. Kematian suami membuatku harus berjuang seorang diri. Ketelitian membuatku mampu mengembangkan koperasi. Memang, ilmu dari PEKKA tidak akan habis meski terus dibagi.

 

” Si mata Blaruk dan alis Golek,” itulah julukan yang diberikan Bapak kepada seorang gadis mungil berambut pirang dan kulit putih bersih. Gadis kecil itu bernama Ratu Ovi Rosidah Noviar, lahir di sebuah desa di Lombok Timur, pada awal November 1965. Gadis kecil itu adalah aku. Bapakku berperawakan tinggi besar, sementara ibuku sebaliknya, mungil. Ibuku berkulit putih bersih, dan cantik. Aku anak ke-8 dari 9 bersaudara. Orang tuaku berasal dari Serang, Banten. Aku lahir di Lombok karena pada saat itu bapakku sedang bertugas sebagai Kepala Dinas Sosial di Mataram, Nusa Tenggara Timur.

Kesulitan Ekonomi orang tua, membuat Ovi kecil untuk bisa berbuat sesuatu.

Bapak pensiun ketika aku berusia 5 tahun. Kami pun kembali ke Banten, tepatnya di Rangkasbitung. Dulu, tempat tinggalku ini masih termasuk ke dalam Provinsi Jawa Barat. Baru setelah terjadi pemekaran wilayah, tempat tinggalku masuk ke dalam wilayah Provinsi Banten.

Banyak sekali penyesuaian yang harus kami lakukan setelah pindah ke Rangkasbitung. Meskipun pensiun dari jabatan kepala dinas, Bapak tidak memiliki materi yang berlimpah. Malah sebaliknya, kami mengalami kesulitan ekonomi. Memang, Bapak selalu mengajarkan anak-anaknya untuk mengutamakan kejujuran. Bahkan untuk perabot rumah tangga, seperti lemari baju, kursi, dan meja makan, Bapak membuatnya sendiri.

Kami bahkan membeli pakaian hanya setahun sekali, yakni setiap Lebaran. Itu pun Bapak yang menjahitkan. Bila Bapak dapat rezeki, Bapak akan membelikan sepatu baru untukku. Namun, ukurannya pasti lebih besar dari ukuran kakiku. Alasannya adalah agar bisa dipakai lebih lama. Terpaksalah, ujung sepatu aku ganjal dengan gumpalan kertas koran. Dan aku akan tersiksa bila harus berlari, karena sepatuku akan terlepas atau lompat sendiri. 

Bila tanggal tua tiba, aku diberi kertas sakti untuk pinjam beras kepada tetangga. Utang itu akan dibayar setelah Bapak mendapat uang pensiun. Keadaan ini membuatku tidak merasa malu untuk ikut teman yang berjualan daun. Hasilnya, berupa kepingan uang logam kecil, aku berikan kepada Ibu. Aku juga pernah ikut-ikutan menjadi buruh pembungkus kerupuk. Imbalannya adalah sebungkus kerupuk. Walau hasilnya tidak seberapa, aku merasa senang, karena bisa memberi sesuatu kepada Ibu.

 

Masa aku menemukan jodohku

Aku menikah di tahun 1992. Aku disunting oleh pemuda pilihanku, seorang laki-laki pendiam, simpatik, dan bertanggung jawab. Dia bekerja di sebuah perusahaan swasta di Karawang. Setelah menikah, aku tetap bekerja di Rangkasbitung. Alhamdulillah, rumah tangga kami berjalan harmonis, meskipun kami tinggal berjauhan. Suamiku pulang setiap akhir pekan. 

Lima tahun setelah menikah, kami dikaruniai dua anak, laki-laki dan perempuan. Selama itu pula, suamiku sering mengajakku untuk pindah ke Karawang, tetapi aku tolak. Dua gaji saja keuangan kami minus terus, apalagi kalau hanya satu. Hingga suatu hari, pengasuh anakku berkata, “Neng, sudah ikut Bapak ke Karawang. Saya suka kasihan sama Aa, suka ciumin foto Bapak sambil nangis.”

Hatiku pun luluh mendengar kata-kata pengasuh anakku. Keesokan harinya aku langsung menghadap ketua koperasi tempat aku bekerja untuk mengundurkan diri. Ketika suamiku pulang di hari Sabtu, aku bercerita bahwa aku telah berhenti bekerja. Suamiku senang sekali mendengarnya.

Menyandang Status Janda Cerai Mati

Aku dan anak-anak pindah ke Karawang di tahun 1997. Di kota ini, kami menempati rumah kontrakan di sebuah perumahan di Kecamatan Klari. Aku menjalani keseharian di rumah saja, mengerjakan segala pekerjaan domestik. Baru tiga bulan, aku jatuh sakit karena merasa bosan dengan rutinitas pekerjaan di rumah. Aku lantas meminta izin kepada suami untuk melakukan kegiatan lain agar aku tidak stres. Dia memberiku modal untuk menjual pakaian, juga menjahit aksesoris peralatan rumah tangga seperti tutup kulkas, TV, taplak meja, sprei, tirai, dan mukena. Lumayan, ada kegiatan yang aku suka. Lagi pula, kegiatan ini bisa menambah pendapatan rumah tangga. 

Kami mengontrak lima tahun lamanya. Setelah itu, kami pindah ke perumahan lain, ke rumah kami sendiri. Di lingkungan baru ini, aku memiliki banyak kegiatan. Perekonomian rumah tanggaku juga semakin membaik, sementara anak-anak kami semakin besar.

Sampai suatu hari di bulan April 2003, suamiku berpamitan untuk berangkat kerja. Berbeda dari biasanya, aku melihat wajah suamiku seperti berpendar cahaya. Aku baru sadar, suamiku sangat tampan. Padahal, kulitnya sering terlihat hitam apabila pulang dari tugas luar kota. Firasatku mengatakan, aku tidak ingin dia berangkat kerja. Aku tatap kepergiannya hingga mobil yang dia kendarai menghilang di belokan jalan.

Aku kembali menyibukan diri dengan pekerjaan rumah. Tiba-tiba, menjelang pukul sepuluh, ada mobil berhenti di depan rumah. “Bu, …, ini bawa pasien!” Seseorang berteriak. Aku melihat suamiku turun dari mobil sambil memegang dada kirinya. 

“Aduh, Ma, Papa nggak kuat. Tolong ambilkan handuk,” kata suamiku sambil menahan sakit. Suamiku lalu memintaku untuk menyuapinya makan. Namun, tiba-tiba, dia merasa mual, tetapi tidak bisa muntah. Aku mencoba mengangkat tubuhnya, tetapi badannya tidak bergerak sedikit pun. Aku lalu lari keluar rumah, meminta bantuan kepada tetangga.

Suamiku dilarikan ke klinik terdekat dengan menggunakan ambulans. Tidak ada satu tindakan pun yang diberikan di klinik yang pertama kami datangi, karena ketiadaan alat bantu. Suamiku lalu dilarikan ke klinik yang lebih besar, dan langsung mendapat penanganan. Hingga akhirnya dokter yang menangani mendatangiku dan berkata, “Maaf, kami sudah berusaha memberikan pertolongan, tetapi Allah berkata lain. Bapak sudah tidak ada.”

Badanku terasa melayang, lemas seakan tidak memiliki kekuatan. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. “Ya Allah, apakah ini benar? Apakah aku sedang tidak bermimpi? Apakah suamiku benar-benar meninggalkan aku dan anak-anak? Berbagai rasa berkecamuk di dada. Sakit rasanya.

Selesai acara pemandian dan urusan lainnya, suamiku dikebumikan di Rangkasbitung Banten.

Menyandang status janda sangat menyakitkan bagiku. Aku pernah diolok-olok tetangga, meskipun menurut mereka hanya bercanda. Bila mereka aku keluar rumah dengan berpakaian rapi, mereka akan bertanya, “Mau ke mana nih, …, sudah rapi?” Padahal, mereka tahu aku mengajar di sebuah taman kanak-kanak, berlatih senam, atau mengikuti kegiatan organisasi lain.

Penghinaan yang aku dapat tidak berhenti di situ. Ada lelaki yang memainkan jarinya saat berjabat tangan denganku. Ada yang menyatakan bahwa sedari dulu dia suka denganku. Ada yang mengajakku jalan-jalan, menurutnya aku tidak pernah mendapat hiburan. Ada yang menelepon dengan kata-kata genit penuh rayuan, hingga ada yang mengajak menikah siri.

Aku benar-benar muak menghadapi semuanya. Aku bukan tipe perempuan yang genit, yang sering menebar pesona. Bisa-bisanya aku diperlakukan seperti itu, hanya karena aku tidak bersuami. Aku pun menyibukkan diri dengan memperbesar usaha sewa baju dan menjahit aksesoris perlengkapan rumah tangga. Aku benar-benar menikmati kesendirianku.

Kembali Bangkit Berkat PEKKA

Satu tahun setelah suamiku tiada, aku dikunjungi seorang teman saat dulu bekerja sebagai BKM (Badan Keuangan Mikro) di PNPM. Saat itu, beliau sudah menjadi aparat Desa Bengle. Pak Karna namanya. Beliau menawarkanku untuk menjadi ketua kelompok Pekka di Desa Bengle.

“Apa, sih, Pekka? Perkumpulan janda-janda, ya?” tanyaku. Pak Karna lalu menjawab, “Bukan janda saja, Bu. Bisa juga seorang gadis atau ibu rumah tangga yang masih memiliki suami, tetapi suaminya sakit menahun atau memang tidak bekerja. Nah, Ibu masuk kriteria ini. Nanti Bu Ovi jadi ketua kelompoknya ya. Kebetulan, di Bengle belum ada kelompok Pekka. Bu Ovi, kan, banyak pengalamannya, jadi bisa berbagi ke yang lain.” Aku terdiam sejenak. “Siap ya, Bu. Pasti Ibu bisa!” Pak Karna meyakinkanku. Aku mengangguk pelan. “Aku coba saja dulu,” pikirku.

Aku resmi bergabung dengan kelompok Pekka yang diberi nama “Putri Binangkit” pada 18 Mei 2014. Aku langsung dinobatkan menjadi ketua kelompok. Setelah itu, aku jadi rutin menghadiri pertemuan di Center Pekka, yang berlokasi di Kalibuaya. Jaraknya lumayan jauh dari rumahku. Perlu 25 menit untuk mencapainya dengan sepeda motor.

Saat pertama kali aku menghadiri pertemuan di Center Pekka, aku diliputi dengan tanda tanya yang timbul dari keingintahuanku tentang Pekka. Aku bertemu dengan banyak kader Pekka, yang semuanya bersikap ramah dan murah senyum kepadaku. Aku diperkenalkan oleh ketua Serikat Pekka Kabupaten Karawang, bernama Ibu Aisah, kepada teman-teman yang hadir, sebagai anggota baru dari Desa Bengle, Kecamatan Majalaya. Di pertemuan ini, aku dijelaskan tentang Pekka dan kriteria untuk menjadi anggotanya, kegiatan-kegiatan, Pekka, dan lain-lain.

Aku benar-benar merasakan ketenangan, kedamaian, kepolosan, kerendahan hati, dan ketulusan dari para kader yang hadir. Tidak seperti kegiatan organisasi lain yang pernah aku ikuti, suasananya serius dan kaku. 

Baru sepuluh bulan bergabung, aku diminta untuk ikut Pelatihan Community Organizer di Kalimantan Barat selama 10 hari bersama kader dari Jawa Barat lainnya. Semua biaya ditanggung oleh Yayasan Pekka. Ada kejadian lucu ketika aku mengikuti pelatihan ini. Aku merasa masuk ke ruangan yang salah. Aku mengira pelatihan yang diselenggarakan Pekka bersifat resmi. Sementara, ruangan yang aku masuki dipenuhi oleh ibu-ibu yang berpakaian sederhana nan rapi, dan duduk di lantai.

Saat bertemu dengan Ketua Yayasan Pekka, Bunda Nani Zulminarni, beliau langsung mengenaliku. Aku pun langsung menyampaikan salam dari adikku, R. Viva Saptarina, yang aktif di PPSW. Bunda Nani pun langsung memperkenalkanku kepada teman-teman dari Yayasan Pekka, seperti Mbak Villa dan Mbak Reni. Luar biasa. Mereka benar-benar ramah, sama sekali tidak sombong.

Aku merasakan kekaguman yang luar biasa terhadap para peserta ketika menyampaikan pengalaman hidup sebagai kepala keluarga. Banyak sekali tantangan yang didapat, baik itu yang berasal dari keluarga maupun masyarakat. Apalagi mereka menceritakannya sambil bercucuran air mata. Dan meskipun cerita kami berbeda-beda, intinya tetap sama: orang akan memandang perempuan sebelah mata bila menyandang status janda. Bukan sisi baiknya yang dilihat, melainkan sisi buruknya.

Kekagumanku bertambah ketika ada peserta yang bercerita bahwa dirinya tidak lulus SD, tetapi sudah mampu melakukan advokasi ke pihak pemerintah di tingkat desa, bahkan hingga tingkat kabupaten. Aku jadi terpicu untuk banyak belajar dan bertanya kepada mereka. 

Kiprahku dalam Kegiatan PEKKA

Semakin lama bergabung dengan Pekka, kegiatanku semakin banyak. Kelompokku mengikuti Pelatihan Tata Rias Rambut L’Oreal yang diselenggarakan Pekka, juga menjadi anggota Koperasi Pekka Sri Rejeki. 

Aku terpilih menjadi Ketua Koperasi Pekka Sri Rejeki pada 12 Juli 2019. Pada waktu itu, aku didampingi Mbak Dian Trikanita dari Yayasan Pekka. Kepengurusan koperasi harus diganti karena yang lama dianggap tidak sehat. Jabatan ini menjadi pekerjaan rumah yang besar bagiku, karena sebelum aku diangkat menjadi pengurus koperasi, dilakukan pembenahan koperasi yang pelaksanaannya berbarengan dengan Forum Wilayah di Cianjur. Dan Karawang termasuk satu dari dua wilayah yang pembukuan keuangannya belum beres. 

Aku mengajak bendahara koperasi untuk mengecek buku kas dan saldo akhir yang dinyatakan tidak ada ketika diadakan pembenahan. Kami cek satu per satu transaksi yang telah berjalan. Ternyata, ada banyak selisih jumlah uang dan keterangan transaksi yang tidak jelas. Tanpa mengenal lelah dan memperhitungkan penggantian biaya, para pengurus baru koperasi mengoreksi data, termasuk membuka lemari yang ada di Center untuk menemukan buku berisi data koperasi.

Tahun Pertama RAT Koperasi di Masa Kepengurusanku.

Tingginya keinginan untuk melakukan perubahan ke arah yang jauh lebih baik, maka Koperasi Pekka Sri Rejeki mengadakan Rapat Akhir Tahun Periode 2014-2020 pada 24 Mei 2021. RAT ini mendorongku bersama pengurus koperasi lainnya terus membenahi pembukuan dan mengklarifikasi data kelompok anggota, baik yang aktif maupun tidak, serta jumlah simpanan dan pinjaman. 

Selain RAT Koperasi Sri Rejeki, masih banyak kegiatan Pekka yang aku ikuti. Di antaranya adalah MONEV se-Jawa Barat pada 22-27 Juli 2019 yang diadakan di Sukabumi, pembuatan Specimen BRI yang baru, Program Produksi dan Distribusi Masker yang bekerja sama dengan PEKKA dan KPPA, juga berbagai kegiatan Pekka yang dilakukan secara daring akibat mewabahnya COVID-19.

Setelah ada setoran dari Gadai Sawah (tanah dengan luas tertentu yang sudah disetujui lalu digadai untuk digarap dan hasilnya dibagi bersama) sebesar lima juta rupiah, pengurus Koperasi Pekka Sri Rejeki memberanikan diri untuk membuka PEKKA MART. Kegiatan ini sesuai dengan program dari Yayasan PEKKA. PEKKA MART ini kami beri nama “Sareundeuk”, yang berarti sama-sama atau satu arah. Tujuannya adalah membantu anggota dalam menghadapi kesulitan ekonomi akibat COVID-19. Sareundeuk menerima pesanan sembako dari para anggota, yang dibayar dengan cara mencicil, dan membantu pemasaran produk anggota dengan menjualnya di “Sareundeuk” atau pada pertemuan kelompok/kader melalui bazar mini, yang nantinya memberi kontribusi kepada kas koperasi.

Masih dalam rangka penanganan dampak pandemi COVID-19, Yayasan Pekka mengadakan workshop bagi para anggota Koperasi Sri Rejeki melalui Zoom dengan tema “Workshop Persiapan Pelaksanaan Power Up”. Program ini adalah program advokasi terkait suara perempuan di masyarakat dan akses sumber daya. Alhamdulillah, kegiatan ini bisa menjadi angin segar bagi koperasi kami, yang sebelumnya seakan hidup segan mati tak mau. Kami kembali bersemangat untuk melakukan kegiatan seperti Diskusi Kampung. Kami berkeliling ke desa-desa yang dianggap rendah sumber daya manusia dan perekonomiannya. Diskusi kampung ini bertema: “Perempuan Memimpin Gerakan Ekonomi Lokal Untuk Kesejahteraan Masyarakat.”

Sebagai tindak lanjut dari diskusi kampung, Desa Subur Makmur ditunjuk menjadi proyek percontohan “SAIGEL” yang berarti Satu Gerakan/Satu Tujuan/Kompak. Kegiatan dari proyek percontohan ini adalah pengadaan beras lokal. Desa ini ditunjuk karena ada dua kelompok Pekka, yakni Kelompok Subur Makmur dan Subur Jaya yang memiliki lahan persawahan yang lebih luas dibandingkan dengan kelompok Pekka lainnya, juga anggotanya kebanyakan berprofesi sebagai petani.

Pelaksanaan proyek Saigel ini didampingi Ibu Nunung Nurnaningrum dari Yayasan Pekka. Setelah membentuk kepengurusan pada 17 September 2021, proyek ini kami jalankan dengan modal yang diambil dari kas koperasi. Alhamdulillah, saat ini Koperasi PEKKA Sri Rejeki mendapat dana hibah dari proyek BISA KITA sebesar lima belas juta rupiah. Dana tersebut kami bagi tiga, yakni untuk PEKKA MART sebesar lima juta rupiah, PEKKA Produksi sebesar lima juta rupiah, dan lima kelompok yang masing-masing mendapat dana sebesar satu juta rupiah.

Di tahun ke-3, aku sudah mulai bernapas lega. Segala sesuatunya sudah membaik. Selain dana hibah dari Program Power Up, ada lagi Program MSC untuk UMKM dengan inovasi daro Go To Financial yang memfasilitasi terbentuknya BRI Link. Tujuannya adalah untuk melayani anggota koperasi yang ingin melakukan pembayaran secara digital. Selain itu, ada juga Program INKLUSI yang membuka kelas Akademi Paradigta Kewirausahaan di Purwakarta. Koperasi juga mulai melebarkan sayapnya, dengan bekerja sama dengan pihak lain yang sama-sama memberi keuntungan. Di antaranya adalah: pengadaan beras dengan Koperasi Wanita Citra Mandiri, Koperasi Perumahan CKM, KOBETA Jakarta, dan Koperasi Primer Alta Karya Jakarta.

 

Puncak dari kegiatan koperasi Sri Rejeki adalah Forum Nasional PEKKA IV di Wisma Haji Pondok Gede, Jakarta, pada Desember 2022. Dalam acara ini, para anggota koperasi kami boleh membawa produk sendiri untuk dipasarkan dalam acara Bazar PEKKA se-Indonesia. Bangga sekali bisa memfasilitasi anggota untuk menampilkan produk mereka. Tidak semua produk yang didaftarkan diterima oleh Yayasan PEKKA. Produk yang diusulkan disortir dan dibatasi jumlahnya. Alhamdulillah, produk yang diusulkan Pekka Karawang lulus dan bisa ditampilkan dalam bazar tersebut.

Yang paling membanggakanku adalah, dalam forum nasional kali ini, Koperasi Sri Rejeki mendapat penghargaan untuk kategori “Koperasi Bangkit dari Krisis”. Air mataku menetes ketika melihat layar lebar yang menampilkan nama koperasi kami, dan mendengar teman-temanku meneriakan namaku sambil berdiri dan memintaku untuk naik ke panggung dan menerima penghargaan itu.

Penghargaan ini adalah hasil perjuangan dan kerjasama tim yang solid. Kolaborasi yang harmonis antara koperasi dan serikat. Kami tidak pernah mengambil jalan masing-masing, karena anggota koperasi sudah pasti anggota serikat. Sehingga, perlu ada kerjasama yang baik dan saling mendukung.

 

Semuanya Berkat Dukungan Orang-orang Terdekatku

Secara pribadi, Pekka memungkinkanku untuk mendapatkan banyak teman, pengalaman, dan ilmu yang sangat berbeda dengan yang pernah aku dapat. Aku jadi sering berhadapan dengan orang-orang yang berbeda usia dan latar belakangnya, mulai dari anak-anak usia TK, anggota Karang Taruna, hingga ibu-ibu PKK. Alhamdulillah, anak-anakku mendukung kegiatanku bersama Pekka. 

Anak perempuanku sekarang mengelola usaha kecil penyewaan baju, setelah lulus dari perguruan tinggi negeri yang ada di Karawang. Dia sudah terbiasa menghadapi ibu-ibu yang super cerewet yang hendak menyewa baju. Dia bahkan lebih sabar dariku.

Aku menikah lagi dengan laki-laki yang berasal dari Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur. Beliau dikenal sebagai Bapak Pekka karena sering mengantarku mengikuti kegiatan Pekka.

Aku percaya dengan niat baikku. Aku ingin memberikan kemampuanku untuk bisa berbagi dengan orang banyak. Ilmu yang aku dapatkan dari berbagai pelatihan dari PEKKA yang aku ikuti tidak akan habis. PEKKA memang senantiasa mencetak orang biasa menjadi luar biasa, dengan jiwa yang tetap rendah hati.

Bagikan Cerita Ini

Cerita Terkait

Leave a Comment