Kerubaki: Inspirasi dan Perjuangan Menjadi Pembaharu dalam Diri
Kisah Diri Maria Redemta Carmeliati

Jangan Menyerah, buatlah sesuatu bagi keluarga, tetangga, teman dan masyarakat. Hidup terasa bernilai apabila ada beberapa orang yang merasa bersyukur bertemu dengan kita, Gerakan pembaharu harus selalu dilagukan pada nadi kehidupan perempuan.

Kerubaki bermakna penyejuk, yang dipilih menjadi nama Center Pekka Nusa Tenggara Timur yang terletak di Kabupaten Lembata. Tempat ini merupakan surga kecil bagi ibu-ibu Pekka di NTT. Di dalamnya ada kebun organik, kolam ikan, dan penginapan yang dilengkapi dapur. Kita juga bisa melihat kegiatan menanam kapas dan menenun.

Center Pekka NTT ini terletak di Desa Amakaka, di bawah kaki gunung Ileape Lewolotok, di seberang Pantai Lewolotok yang asri. Pantai ini dikenal memiliki kekayaan biota laut, dan konon menjadi tempat tinggal dugong. Sesekali, kita bisa melihat ikan paus menampakkan diri di pantai ini.

Kerubaki adalah tempatku beraktivitas dalam beberapa tahun ini. Namaku Maria Redemta Carmeliati. Aku biasa dipanggil Melty. Aku lahir di sebuah rumah sakit di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Pada 2023, aku berusia 36 tahun. Ayahku seorang camat, sementara ibuku mengajar di lembaga PAUD yang beliau dirikan di rumah kami. Aku memiliki 3 adik perempuan dan seorang adik laki-laki. Aku dibesarkan oleh orang tua dari Ibu, karena orang tuaku pindah ke Kupang untuk melanjutkan pendidikan. Kakekku seorang kepala Sekolah Dasar, dan nenekku seorang mantri.

Keluargaku berasal dari Suku Sikka Krowe, yang dalam bahasa Sikka berarti orang gunung. Padahal, kami tinggal di daerah pesisir. Kami menggunakan bahasa Sikka dalam kehidupan sehari-hari. Suku kami punya adat yang telah berlaku secara turun temurun, yakni budaya materi yang berdasarkan pada kesepakatan. Budaya ini terwujud melalui budaya menukar barang dalam setiap ritual adat. Dalam upacara pernikahan, misalnya, pihak laki-laki harus menukar perempuan dengan beberapa materi yang disebut “belis”. Satu barang yang harus ada dalam “belis” adalah kuda. Pihak perempuan harus mengganti “belis” dengan barang-barang lain.

Menurutku, ketentuan dalam adat ini merugikan perempuan. Banyak perempuan yang akhirnya tidak menikah, karena laki-laki yang ingin meminangnya tidak sanggup membeli kuda. Apalagi, kuda yang harus dibawa tidak cukup 1 atau 2 ekor. Pihak perempuan juga merasa keberatan untuk membalas pemberian tersebut. Apalagi bagi mereka yang berasal dari keluarga tidak mampu. Hal yang menyedihkan bagi perempuan adalah, apabila sudah menikah, belis yang dibawa pihak laki-laki tidak bisa menjadi hak milik perempuan, tetapi menjadi milik anak atau paman laki-laki dari keluarga perempuan. Menurutku, itu sangat tidak adil.

Aku dibesarkan di Desa Geliting, yang terletak di pusat kota Kecamatan Kewapante. Kota ini terletak tidak jauh dari pelabuhan penyeberangan antarpulau. Rumah tempat tinggalku berdekatan dengan Pasar Geliting, pasar terbesar dan tertua di wilayah kami.

Keluargaku tergolong keluarga mampu dan cukup terpandang. Bapakku merupakan keturunan raja Suku Sikka. Aku menamatkan SD, SMP, dan SMA di Kabupaten Sikka, dan melanjutkan kuliah di Universitas Nusa Cendana Kupang jurusan Administrasi Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat. Aku lulus pada 2010.

Menjadi Pendamping Sejak Awal Karier

Begitu lulus kuliah, aku langsung mendapat pekerjaan sebagai tenaga pendamping bagian penyuluh kesehatan untuk Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pansimas). Aku mendapat kontrak kerja selama 1 tahun. Setelah kontrakku selesai, aku bekerja sebagai pendamping kelompok masyarakat untuk program kewirausahaan “Anggur Merah” dari APBD2 Provinsi Nusa Tenggara Timur, dan tenaga kontrak di Kantor Sekretariat Daerah Kabupaten Flores Timur di bagian kesejahteraan sosial pada 2012-2015. Sejak tahun 2015 hingga sekarang, aku aktif bekerja sebagai Pendamping Desa Program Pemberdayaan Masyarakat Desa di Kecamatan Witihama, Kabupaten Flores Timur. Kecamatan ini terletak di Pulau Adonara.

Pada Oktober 2018, aku terlibat dalam Program Inovasi Desa yang diadakan di Lapangan Seni Budaya Desa Pledo, Kecamatan Witihama. Kegiatan ini bertujuan menggali potensi yang ada di desa kami. Dalam acara ini, aku bertemu dengan Ina (Ibu) Bernadette Deram, yang pada saat itu menjadi fasilitator lapang Pekka NTT.

Ina Dette menjelaskan kegiatan dan strategi pemberdayaan yang dilakukan oleh Yayasan PEKKA, sehingga mereka dapat mengorganisir perempuan-perempuan di desa agar lebih maju dan dapat mengisi posisi-posisi strategis seperti bendahara desa, ketua BUMDes, ketua RT, anggota BPD, hingga kepala desa.

“Ina-ina Pekka selalu membuat bukti dulu, baru kemudian memotivasi orang lain. Kami harus membuat inovasi bagi diri kami sendiri, lalu mendampingi desa dan mengajarkan masyarakat untuk makan apa yang ditanam dan tanam apa yang dimakan. Coba teman-teman pendamping, jangan belajar jauh-jauh ke tempat lain. Silakan ke Center Pekka. Ina-ina yang pakai sarung lusuh itu, mereka bisa ciptakan sabun, minyak goreng, dan kebutuhan lainnya, tanpa harus dibeli dari luar,” kata Ina Dette dengan lantang.

Kata-kata Dette membuat semua yang hadir dalam acara itu menjadi penasaran. Beberapa tenaga pendamping, terutama aku yang merupakan pendatang baru di Adonara, berinisiatif untuk berkomunikasi dengan Ina Dette dan belajar ke Center Pekka.

Beberapa hari kemudian, aku mengunjungi Center Pekka di Lodan Doe, Kelubagolit. Aku disambut baik di sana, dan mendengar kisah perjuangan ibu-ibu anggota serikat Pekka. Di center itu, mereka membuat kebun organik, membangun usaha bersama, dan lain-lain. Banyak hal yang kami diskusikan dan rancang bersama.

Kelompok Pekka di Witihama belum mendapat perhatian dari pemerintah. Sebagai seorang pendamping, aku melakukan pendekatan kepada kepala-kepala desa, agar mereka bersedia bekerja sama dengan Pekka. Misalnya, pemerintah desa dapat memberi bantuan berupa hibah Dana Desa untuk meningkatkan pengembangan kelompok di wilayah ini.

Membuka Diri kepada Para Ina

Oleh ina-ina di Center Pekka, aku diminta untuk bercerita tentang diriku. Aku pun menjelaskan perjalanan karirku yang berpindah tempat, mulai dari kampungku sendiri di Sikka hingga ke Kecamatan Witihama, yang merupakan kampung halaman mantan tunanganku.

Pertunangan kami hancur berantakan karena aku tidak suka dengan sikapnya yang memegang teguh patriarkat. Apalagi setelah ia bekerja di sebuah bank, aku mendengar bahwa ia memiliki “ikan ayam”, istilah untuk menyebut perempuan yang dapat dijadikan istri dari garis saudara. Hatiku bertambah sakit ketika mengetahui bahwa mereka telah mempunyai anak. Aku semakin merasa tidak nyaman karena selama di Witihama, aku tinggal di rumah ibu kandungnya. Ina-ina yang mendengar ceritaku menyarankan agar aku keluar dari rumah itu, dan pindah ke Center Lodan Loe sambil menyelesaikan masalah pribadiku.

Aku menerima tawaran para ina tersebut dan pindah ke Center Lodan Loe pada akhir November 2018. Di bulan pertama, aku memutuskan untuk membayar biaya sewa kamar, ditambah biaya listrik dan makan-minum. Aku berharap uang yang aku bayarkan itu bisa sedikit berkontribusi untuk pengembangan center, dan memberi masukan tambahan bagi pengelolaan center.

Meski telah tinggal di Center Pekka, aku masih belum bergabung dengan organisasi ini. Namun, aku membantu ina-ina memfasilitasi Musyawarah Desa Tuwagoetobi, dengan cara mengadvokasi kerjasama BUMDes dengan PekkaMart. Advokasi ini menghasilkan kesepakatan bahwa BUMDes menyiapkan kebutuhan yang diminta PekkaMart, seperti: kayu bakar, benih jagung, buah kelapa, dll. Kerja sama ini berhasil masuk dalam satu unit pengelolaan BUMDes Tuwagoetobi. Aku juga membantu penyusunan beberapa dokumen mengenai Rencana Pembangunan Lima Tahun khusus nomenklatur bantuan pemberdayaan peningkatan ekonomi kelompok Pekka di Desa Lamabelawa, Desa Lewopulo, dan Desa Weranggere, Kecamatan Witihama. Aku senang sekali bisa membantu Pekka dalam mengakses Dana Desa untuk mendukung kegiatan mereka.

Sayangnya, aku tidak bisa berlama-lama tinggal di Center Pekka Lodan Loe. Aku harus pindah karena pada saat itu Center Pekka akan dibenahi. Selain itu, sinyal internet yang tidak stabil akibat seringnya pemadaman listrik menjadi kendala tersendiri. Aku pun pamit untuk pindah ke wilayah lain, yang masih termasuk wilayah ibu kota Kecamatan Adonara Timur. Namun, aku tetap menjalin komunikasi dengan ina-ina Pekka, karena aku merasa mereka masih membutuhkan dampingan dan dorongan dariku, sebagai seorang pendamping desa.

Pekka yang Masih Lajang

Seorang pengurus Serikat Pekka Lodan Doe, Ina Yani Ese, menyarankan agar aku bergabung dengan Pekka. Statusku sebagai perempuan lajang yang menafkahi diri sendiri dan keluarga masuk dalam kriteria pekka.

Aku pun jadi merenung. Mengapa tidak? Begitu pikirku. Apa salahnya aku masuk ke kelompok Pekka di Witihama, kalau aku benar-benar ingin membantu ina-ina, terutama dari segi pemikiran mengenai pemberdayaan? Namun, aku berpikir lagi. Aku harus memahami dulu gerakan yang dilakukan Pekka. Aku merasa, tidak semua ina dapat menerimaku. Posisiku sebagai tenaga pendamping desa membuat mereka memberi jarak.

Di akhir tahun itu, aku pulang untuk berlibur di tempat kelahiranku, Maumere, yang merupakan ibu kota Kabupaten Sikka. Ina Dette menghubungiku, dan memintaku untuk membantu membeli benang asli yang hanya dijual di Kota Maumere. Benang itu harus aku antar ke Center Kerubaki di Lembata, untuk diberikan kepada Ina Gita Barek, ketua serikat, dan Ina Kandida Abon, yang merupakan pelatih tenun.

Itulah kali pertama aku menginjakkan kaki di Pulau Lembata. Entah mengapa, aku merasa seperti kembali ke rumah. Ternyata, suami Ina Gita Barek berasal dari Maumere, dan memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan keluargaku. Sayangnya, suami Ina Gita Barek telah lama meninggal dunia. Aku merasa haru bercampur bahagia, bahwa ternyata aku memiliki keluarga di Lembata. Setelah itu, selain berkegiatan di Adonara, aku selalu menyempatkan diri untuk datang ke Lembata setiap akhir pekan, untuk belajar menanam dan memanen kapas bersama ina-ina pekka di Lembata.

Lama kelamaan, Sekretaris Serikat Pekka Kabupaten Lembata, Ina Umi Kalsum, memintaku untuk terlibat dalam kepanitiaan Festival Budaya Anak, yang merupakan hasil kerja sama dari Serikat Pekka Kabupaten Lembata dan Indigo Foundation. Acara ini menghasilkan kesepakatan antara beberapa sekolah dengan pengurus serikat untuk menggelar festival budaya serupa di tiap Oktober, dengan dukungan dari Dana Desa.

Usai Festival Budaya Anak, aku mengajukan diri untuk bergabung dengan kelompok Pekka Bunga Naga, yang merupakan kelompok Ina Gita Barek. Aku juga membantu pengembangan potensi lokal bersama anak-anak muda di Lembata, dengan membentuk sanggar bermain dan belajar binaan Serikat Pekka Kabupaten Lembata.

Rapat Serikat Pekka Kabupaten Lembata yang digelar awal 2019 menjadi momentum bagiku sebagai anggota Pekka. Aku  mulai ikut Pelatihan Visi, Misi, dan Motivasi Berkelompok, kegiatan berkebun bersama, dan berbagai kegiatan lainnya. Ketika pandemi COVID-19 merebak, aku membantu ina-ina menginstal aplikasi rapat virtual dan mendampingi dalam kegiatan yang mengharuskan mereka menggunakan laptop.

Center Kerubaki yang terletak persis di kaki Gunung Ile Lewotok mengalami kerusakan akibat debu vulkanis, ketika gunung tersebut meletus pada 2020. Ina-ina yang tinggal di desa sekitar mengungsi. Aku mendapat tugas dari ketua serikat untuk mendata anggota yang terdampak dan melaporkannya kepada Serikat Pekka Provinsi NTT dan Yayasan PEKKA. Bantuan akan diberikan oleh Yayasan PEKKA dan beberapa lembaga lain, seperti: Navicef, Torajamelo, dan BenihBaik.

Bencana kembali melanda NTT pada 2021. Kali ini banjir bandang terjadi di Seroja, dan mengakibatkan ruangan di PekkaMart tertimbun tanah. Aku mempublikasikan kondisi yang menimpa center dan anggota Serikat Pekka Kabupaten Lembata. Inisiatif ini membuatku diminta menjadi anggota Jurnalisme Warga Pekka (JWP), dan menuliskan semua kondisi dan situasi saat itu.

Ketika musibah banjir bandang terjadi, aku sedang tidak berada di tempat kejadian bencana, sehingga aku bisa dengan leluasa membantu Ina Dette, yang baru saja mengalami kecelakaan lalu lintas.  Aku bertugas membuat tulisan dan dokumentasi, serta mendata anggota Pekka yang menjadi korban banjir. Semua itu aku laporkan ke Yayasan PEKKA, Federasi Serikat Pekka Indonesia, serta lembaga-lembaga lain, sebagai bahan pertimbangan pemberian bantuan berupa hunian sementara dan bantuan lainnya.

Berkah di Balik Musibah

Kejadian ini membuatku mengenal lebih dekat dengan kader-kader Pekka di Serikat Pekka Kabupaten Lembata. Aku juga menjadi relawan yang mengajar anak-anak di lokasi pengungsian. Mereka tidak dapat bersekolah karena gedung sekolah mereka rusak. Selain itu, aku juga membuat gerakan menjaga lingkungan bebas sampah plaastik bersama anak muda pembaharu yang terbentuk dari kelas Akademi Paradigta Indonesia Change Maker, dan belajar mengembangkan kebun organik di pekarangan rumah bersama Komunitas Bukit Berbunga Tana Tawa. Komunitas ini diprakarsai oleh Ina Dette, dan sebagian besar anggotanya merupakan anak atau keponakan dari para anggota Pekka.

Di luar Pekka, aku juga terlibat dalam kegiatan bersama komunitas lain seperti Permata. Komunitas ini berfokus pada perlindungan kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Lembata. Aku juga aktif berkegiatan bersama Stelavite, yang berfokus pada pengembangan anak remaja dan anak usia dini, serta Barakat, yang berfokus pada komunitas lansia dan perempuan Badu.

Aku mendapat kesempatan untuk ikut Pelatihan Mentor Akademi Paradigta Indonesia Change Maker pada 2019. Pelatihan ini diadakan secara daring. Tiga tahun kemudian, aku dipercaya untuk menjadi penanggung jawab kegiatan vaksin di wilayah Kabupaten Lembata. Kegiatan lainnya adalah membentuk Komunitas Anak Pembaharu, juga membentuk tim API Challenge bersama alumni API Change Maker yang membuat tantangan kegiatan inovasi untuk merawat bumi, serta membantu dokumentasi kegiatan kelas API Kewirausahaan.

Dalam mengembangkan Pekka, aku mengerjakan pangkalan data dari hasil pendataan potensi lokal untuk kebutuhan PekkaMart, sebagai bagian dari pelaksanaan kegiatan pasar barter komunitas Pekka Kabupaten Lembata. Pekka juga memercayaiku untuk melakukan advokasi kepada Pemerintah Desa Kolipadan di Kecamatan Ile Ape agar bersedia mengalokasikan Dana Desa untuk pasar barter.

Bersama anak-anak muda, aku membentuk Komunitas Kebun Kapas Rakyat dan membantu pengurus Pekka mengorganisir penanaman dan panen kapas. Berkaitan dengan kegiatan ini, aku membantu pembuatan film untuk Lembaga Toraja Melo dan Napisev yang menjadi rekanan pembelian hasil tenun ina-ina Pekka.

Aku bergabung dengan Sekretariat Bersama (Sekber) NGO. Ini merupakan perkumpulan seluruh LSM yang ada di Lembata, yang bergerak di bidang pemberdayaan dan kemanusiaan, serta ikut dalam pembahasan Peraturan Daerah mengenai Rencana Kontigensi Penangan Bencana bersama Badan Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan Daerah Kabupaten Lembata. Satu agenda yang dibahas adalah mitigasi bencana berperspektif gender, karena Kabupaten Lembata berfokus pada isu bencana alam dan bencana nonalam. Aku juga mendampingi ketua Serikat Pekka Kabupaten Lembata dalam Musrenbang Kabupaten. Dalam Musrenbang ini, kami membahas kerja komunitas Pekka dan menghasilkan bantuan dana hibah dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Bantuan dana yang didapat adalah sebesar 50 juta rupiah untuk pemulihan ekonomi pascabencana bagi perempuan kepala keluarga di wilayah Serikat Pekka Kabupaten Lembata.

Aku tidak terlalu memikirkan pandangan sebagian orang yang berpikir bahwa aku akan lupa untuk menikah karena terlalu sibuk berkegiatan bersama Pekka. Aku yakin bahwa jodoh, rezeki, dan kesuksesan telah diatur Tuhan dengan sempurna.

Bergabung dengan Pekka membuatku memperoleh jati diri, berani, dan tidak takut dalam menghadapi aturan adat, mampu melawan stigma negatif. Aku melihat masyarakat di sekitarku pun berubah setelah komunitas Pekka banyak melakukan kegiatan. Banyak anak muda, terutama perempuan, mulai tertarik dan dengan kesadaran sendiri mengikuti kegiatan Pekka. Aku yakin, gerakan pemberdayaan perempuan wajib dilakukan oleh semua kalangan, dan gerakan Pekka dapat dirasakan dan dijiwai oleh generasi mendatang. Bagiku, gerakan pemberdayaan perempuan kepala keluarga bisa menjadi solusi bagi permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan perempuan. Oleh karena itu, aku berharap gerakan ini dapat dilakukan di setiap lapisan masyarakat.(*)

Bagikan Cerita Ini

Cerita Terkait

Leave a Comment