Perubahan untuk Melahirkan Perempuan Pemimpin
Kisah Diri Hafsah

Pahitnya kehidupan sewaktu aku masih kecil benar-benar memotivasiku untuk melakukan perubahan agar hidupku lebih baik. Aku mendidik anak-anakku dengan keras, agar mereka tidak mengalami kepahitan yang sama. Pekka berhasil membukakan mata mereka, bahwa pendidikan adalah hal yang utama untuk melakukan perubahan.

Hafsah adalah nama yang diberikan orang tuaku ketika aku lahir pada awal 1981. Sebagai anak tunggal, aku menjadi satu-satunya tempat curahan kasih sayang sekaligus menaruh harapan dari orang tuaku. Ayahku bekerja sebagai buruh tani, dan ibuku tinggal di rumah, mengurusku dan segala pekerjaan domestik. Kami tinggal di Desa Blang Makmur, Kecamatan Kuala Batee, Kabupaten Aceh Barat Daya, Aceh.

Usiaku baru delapan bulan ketika ayahku tercinta meninggal dunia. Ibuku sangat terpukul. Beliau pun harus berperan sebagai ayah untukku, menjadi tulang punggung keluarga. Ibu kemudian menjadi buruh tani, dengan penghasilan tidak menentu. Tidak setiap hari ada yang membutuhkan jasanya. Keadaan ini membuat kami hidup serba kekurangan.

Aku masuk SD Negeri Blang Makmur, di Desa Blang Makmur pada 1987. Setelah lulus, aku melanjutkan ke SMP. Sayangnya, aku hanya bisa bersekolah sampai kelas 3. Ibu tidak mampu  membayar uang iuran sekolah (SPP), sehingga aku tidak diizinkan mengikuti Ujian Akhir Nasional. Aku sangat kecewa dan marah saat itu. Aku terpaksa mengubur dalam-dalam cita-citaku untuk menjadi seorang guru. Namun, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa pasrah dan menerima keadaan dengan ikhlas.

Saat berusia 16 tahun, aku dijodohkan dengan seorang buruh tani yang berasal dari desa tetangga. Awalnya aku menolak, karena aku masih ingin bermain dengan teman-teman. Aku juga merasa belum siap secara fisik dan mental untuk membina rumah tangga. Namun, lagi-lagi, aku tidak tega melihat Ibu yang hidup serba kekurangan. Aku tidak punya pilihan selain menerima perjodohan itu. Aku sama sekali tidak bisa membayangkan, apa yang akan aku lakukan setelah menikah. “Biarlah, bagaimana nanti saja,” begitu aku membatin.

Kami dikaruniai seorang anak perempuan yang cantik dan sehat di tahun pertama pernikahan kami. Aku bahagia sekaligus bingung dan sedih. Bahagia karena menjadi ibu, bingung apakah aku sanggup membesarkan anakku dengan baik, sedih melihat teman-teman sebayaku masih asyik bermain. Sementara, aku sudah harus mengurus anak dan suami. Aku bertekad untuk menjalaninya semampuku. Dan aku berhasil. Saat ini, aku telah dikaruniai 5 orang anak, 2 laki-laki dan 3 perempuan.

Anak-anakku Harus Hidup Lebih Baik

Pengalaman masa lalu yang aku rasakan begitu pahit, mendorongku untuk menyekolahkan anakku setinggi mungkin. Bagiku, pendidikan adalah hal yang paling penting dan paling utama. Hal berbeda yang aku terapkan kepada anak-anakku adalah kesetaraan. Aku sering menasihati mereka, bahwa peran dan tugas laki-laki dan perempuan adalah sama.

Patriarki memang menancap kuat dalam kehidupan masyarakat di sekelilingku. Mereka beranggapan bahwa pekerjaan domestik adalah tugas perempuan, terutama istri. Namun, sejak bergabung dengan komunitas Pekka, aku langsung mempraktikkannya di rumah. Awalnya memang sulit, tetapi pandangan yang mendobrak sistem ini terus aku tanamkan ke anak-anakku.

Konsep kesetaraan ini tidak hanya aku terapkan kepada anak-anakku. Aku juga melakukannya terhadap suami. Aku dan suami bersepakat bahwa aku yang memutuskan semua keputusan dalam rumah tangga. Suami memercayaiku, karena aku bisa mempertanggungjawabkan segala keputusan yang sudah kubuat.

Keputusan terbesar yang pernah aku ambil adalah menyekolahkan anak ketigaku ke luar negeri. Ketika ia mengutarakan keinginannya untuk melanjutkan pendidikan ke Yaman, aku berusaha keras untuk mencari uang untuk membeli tiket pesawat, agar ia bisa berangkat. Aku bertanya ke pihak kampus mengenai cara mendapatkan beasiswa untuk anakku. Berkat pengetahuan yang aku dapatkan dari Pekka, juga dukungan dari sesama anggota Pekka, anakku dapat berangkat ke Yaman.

Perjuanganku menyekolahkan anak-anak membuka mata masyarakat di sekitarku. Mereka tidak lagi merendahkanku. Aku telah mampu membuktikan bahwa aku adalah perempuan yang gigih dan mampu melawan “kemustahilan takdir”, sehingga peran kepala keluarga pun mampu aku lakukan.

Pada 2005, aku diangkat menjadi kader Posyandu, yang aku jalani hingga 2015. Pada masa awal aku menjadi kader Posyandu, banyak ibu yang belum memiliki kesadaran untuk memeriksakan anak mereka ke Posyandu. Aku dan kader lainnya pun berinisiatif untuk berkeliling dari rumah ke rumah. Kami membawa timbangan untuk memeriksa berat badan balita, dan makanan tambahan untuk mereka.

Perempuan Harus Berani Bersuara

Aku bertemu dengan seorang fasilitator lapang Pekka dari Kabupaten Pidie, Ibu Juairiah, pada 2006. Beliau datang ke desaku dan meminta izin kepada Kepala Desa untuk mengajak ibu-ibu membentuk kelompok Pekka. Ibu Juairiah juga mengajakku. Awalnya aku ragu. Aku tidak tahu apa itu Pekka.

Ibu Juairiah pun menjelaskan bahwa perempuan harus kuat, dan apabila bergabung dalam kelompok, perempuan bisa mandiri dan lebih kuat. Di dalam kelompok, ibu-ibu bisa melakukan kegiatan simpan-pinjam, sehingga bisa menambah modal usaha.

Aku jadi tertarik mendengar penjelasan Ibu Juairiah. Aku pun bersedia hadir dalam rapat  dan membentuk kelompok. Aku terpilih sebagai bendahara ketika dilakukan pemilihan pengurus kelompok Pekka.

Setelah beberapa tahun aktif di kelompok Pekka, aku terpilih menjadi ketua Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Desa Muka Blang pada 2015. Selama memimpin lembaga ini, aku telah melakukan penambahan aset desa seperti: membeli 1 hektar kebun sawit, membeli mesin perontok padi, dan membeli traktor tangan. Semua itu terbeli dari keuntungan dana BUMDes. Selama aku menjabat sebagai ketua BUMDes, aset desa yang terkumpul setiap tahun mencapai 17 juta rupiah. Hasil ini aku umumkan di rapat terbuka yang dihadiri semua masyarakat desa.

Rapat terbuka ini sekaligus menunjukkan bahwa perempuan dapat memimpin, dan perempuan dapat bekerja dengan baik. Pada masa awal aku menjabat ketua BUMDes, aku diremehkan. Masyarakat tidak percaya bahwa perempuan dapat mengelola aset desa. Namun, tantangan tersebut aku jadikan motivasi untuk membuktikan bahwa aku mampu.

Sebelum aku, BUMDes Desa Muka Blang dipimpin oleh laki-laki. Mereka tidak pernah mengadakan rapat pertanggungjawaban anggaran. Dan pendapatan aset desa tidak pernah terkumpul sebanyak ketika aku menjadi ketua.

Setiap kebun sawit milik desa panen, aku turun langsung ke kebun untuk mengontrol hasilnya. Aku juga ikut dalam proses penimbangan hasil panen dan pembayaran upah pekerja. Setiap 3 bulan, semua pengurus melakukan pembersihan dan pemupukan sawit. Kami, para pengurus, memegang teguh prinsip kejujuran dengan selalu mencatat setiap transaksi. Pencatatan inilah yang kami umumkan pada rapat pertanggungjawaban keuangan. Inilah yang membuat masyarakat di desaku menyadari bahwa perempuan mampu bekerja, bahkan bisa lebih baik.

Pada 2016, aku memilih untuk lebih aktif berkegiatan bersama Pekka. Aku bahkan diangkat menjadi kader pada tahun ini. Aku senang sekaligus bangga, karena artinya aku akan lebih sering terlibat dalam kegiatan Pekka. seperti Musyawarah Besar Luar Biasa (Mubeslub) Pekka di tingkat Kabupaten Aceh Barat Daya.

KLIK PEKKA dan Akademi Paradigta Indonesia

Satu tahun setelah Mubeslub, Serikat Pekka Kabupaten Aceh Barat Daya melakukan pendataan anggota serikat. Hasilnya menunjukkan bahwa banyak anggota serikat yang belum memiliki dokumen identitas seperti KTP, Kartu Keluarga, dan BPJS Kesehatan. Bersama pengurus serikat, kami membahas hal tersebut, yang bertepatan dengan datangnya tawaran dari Yayasan PEKKA untuk mengadakan kegiatan Klinik Layanan Informasi dan Konsultasi (KLIK) PEKKA.

Kami bersepakat untuk mengadakan KLIK PEKKA di 3 kecamatan, yaitu: Kecamatan Kuala Batee, Kecamatan Suak Setia, dan Kecamatan Tangan-Tangan. Kami bekerja sama dengan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, juga Dinas Kesehatan  untuk melayani masyarakat yang datang ke kegiatan ini. Setelah kegiatan ini selesai, masyarakat berterima kasih kepada Yayasan PEKKA, karena mereka benar-benar terbantu dalam mengurus dokumen yang mereka butuhkan.

Aku terpilih menjadi mentor Akademi Paradigta Indonesia (API) Kader Desa pada 2018. Kelas ini bertujuan melahirkan pemimpin perempuan di desa-desa. Aku sangat senang, karena pengetahuan dan wawasanku akan bertambah luas. Selain itu, pergaulanku pun akan semakin meluas karena kegiatan ini akan mengundang dinas-dinas terkait, mulai dari tingkat desa hingga kabupaten.

Sebelum API dimulai, aku dan mentor-mentor lain mensosialisasikan rencana kegiatan ini kepada Kepala Desa, dan meminta beliau untuk membuka kelas. Kami juga mengundang Camat untuk hadir dalam acara pembukaan kelas, agar beliau mengetahui bahwa akademi ini telah dimulai.

Dalam proses belajar, aku memfasilitasi materi “Sungai Kehidupan”. Materi ini meminta semua akademia untuk menggambar dan menceritakan pengalaman hidup mereka masing-masing. Aku memulainya dengan menceritakan pengalaman hidupku, sebagai contoh kenyataan yang aku jalani. Cerita tentang hidupku ternyata membuat para akademia termotivasi, bahkan ada yang sampai menangis.

Para akademia benar-benar merasakan manfaat dari mengikuti API. Sekarang, mereka berani tampil di depan umum, bahkan berani mengusulkan dan menyuarakan hak-hak perempuan di desa mereka. Sebelumnya, mereka hanya duduk dan diam saat menghadiri rapat. Kedatangan mereka hanya untuk melengkapi daftar hadir.

Pada 2022, aku terpilih menjadi bendahara Tuha Peut atau Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Aku ditunjuk langsung oleh Kepala Desa. Jabatan ini mengharuskanku mengundurkan diri dari ketua BUMDes, karena tidak boleh ada tumpang-tindih jabatan.

Aku menjadi satu-satunya perempuan yang menjadi pengurus Tuha Peut. Meski demikian, aku selalu terlibat dalam musyawarah desa. tidak peduli apakah rapat desa itu diadakan siang atau malam hari. Alhamdulillah, suamiku tidak mempermasalahkan hal ini. Ia memahami tugas dan tanggung jawabku sebagai anggota Tuha Peut.

Dalam setiap musyawarah, aku selalu aktif mengemukakan pendapat dan membuat keputusan. Aku tidak mau hanya menjadi anggota pelengkap. Namun, usulanku sering tidak diterima, dan aku harus bersaing dengan enam anggota lain, yang semuaya laki-laki. Jika ada masalah tentang perempuan di desa, seperti kasus perceraian, atau KDRT, aku berusaha sebaik mungkin membela hak perempuan. Menurutku, siapa lagi yang membela perempuan kalau bukan perempuan sendiri.

Kado Terindah dalam Hidupku

Aku mendapat kado terindah dalam hidupku pada Mei 2023. Aku dinobatkan sebagai “Ibu Kartini” Kabupaten Aceh Barat Daya oleh Kepala Bidang Dinas Pemberdayaan Perempuan, Ibu Lia Amelia. Penobatan ini merupakan bagian dari perayaan Hari Kartini. Aku mendapat hadiah berupa piagam yang ditandatangani langsung oleh istri Presiden RI, Ibu Hj. Iriana, dan uang tunai sebesar 3 juta rupiah. Penghargaan ini aku dapatkan karena aku dianggap telah berkontribusi dalam sosialisasi pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam Akademi Paradita Indonesia.

Kegiatan lain bersama Pekka yang aku ikuti adalah Forum Pemangku Kepentingan (FPK) yang diadakan pada Juli 2023, dan kampanye dalam rangka memperingati Hari Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) 2023. Aku juga aktif terlibat dalam rapat-rapat yang diadakan pemerintah daerah, seperti Musyawarah Dusun dan Musyawarah Dusun Khusus Perempuan. Hasil musyawarah tersebut aku bawa ke Musrembang Desa dan Musrembang Kecamatan.

Satu manfaat besar yang aku dapatkan setelah bergabung dengan Pekka adalah hak warisku yang selama 30 tahun diambil paksa oleh kakak kandung ayahku. Pengetahuan yang aku peroleh dari berbagai pelatihan yang aku ikuti membuatku berani menggugat kakak kandung ayahku ke pengadilan. Alhamdulillah, hak waris itu berhasil aku dapatkan.

Sikap dan pandanganku mengenai hak-hak perempuan juga aku bawa ke rumah. Sebelum aku bergabung dengan Pekka, suamiku merasa bahwa kepala keluarga adalah raja yang harus dilayani istri, dan pekerjaan rumah tangga merupakan tugas dan kewajiban istri. Aku pun berani mematahkan pandangan itu. Aku terapkan prinsip kesetaraan gender dalam keluarga. Saat ini, suamiku sudah mau memasak, bahkan menjemur pakaian. Kami tidak memedulikan tanggapan miring dari para tetangga terhadap sikap kami ini.

Kegiatan-kegiatan yang aku lakukan bersama Pekka tidak lagi menjadi persoalan bagi suami dan anak-anakku, meskipun aku harus melakukannya dengan waktu yang tidak menentu. Bahkan, anakku yang kedua pernah berkata, “kami mendukung kegiatan Ibu di Pekka, karena kami menilai, kegiatan Pekka adalah kegiatan yang positif, membangun relasi yang luas, serta banyak terdapat ilmu-ilmu yang bermanfaat di dalamnya.”

Anak-anakku pun telah menyadari, bahwa didikan keras yang selama ini aku terapkan ke diri mereka bukanlah berdasarkan kebencian, tetapi justru karena rasa cintaku terhadap mereka. Rasa cinta ini yang akan menjadi motivasi mereka untuk menjalani kehidupan secara lebih baik.

Aku juga memotivasi keluarga terdekat untuk menyekolahkan anak-anak mereka, meskipun keadaan ekonomi mereka serba terbatas. Aku katakan kepada mereka, bahwa pendidikan adalah hak bagi setiap anak, dan hak itu harus didapatkan baik oleh anak laki-laki maupun anak perempuan.

Perubahan-perubahan yang telah terjadi dalam diriku, keluargaku, dan masyarakat di sekelilingku membuatku berharap, Pekka akan terus melahirkan perempuan-perempuan pemimpin yang mampu membawa perubahan yang lebih baik.(*)

 

Bagikan Cerita Ini

Cerita Terkait

Leave a Comment