Masa Lalu Menguatkan Diriku yang Sekarang
Kisah Diri Warisem

Aku merasakan kekuatan diri setelah lepas dari cengkeraman suami. Pemberdayaan yang diberikan Yayasan PEKKA kepada para janda memberiku wawasan baru: kami adalah perempuan yang kuat dan bermartabat. Kami mampu menjadi kepala keluarga bagi anak-anak kami, dan bermanfaat bagi masyarakat.

Aku bernama Warisem, lahir di Karanganom, Desa Karangmaja, Kecamatan Karangayam, Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah, di awal 1971. Bapakku hanya lulusan Sekolah Rakyat (SR), atau setara dengan SD. Ibuku tidak lulus sekolah.

Orang tuaku bekerja sebagai buruh tani. Mereka baru bekerja bila ada tetangga yang meminta. Kalau tidak, mereka menganggur. Kami hidup serba kekurangan, untuk makan saja seadanya. Faktor ekonomi menyebabkan kakak-kakakku hanya bersekolah sampai lulus SD. Hanya aku dan adikku yang bisa sekolah sampai SMP.

Aku dibesarkan di lingkungan yang sangat baik, dengan para tetangga yang juga sangat baik. Kami terbiasa saling membantu. Kami masih melestarikan sifat gotong-royong, ramah-tamah, dan sopan-santun.

Pada tahun 1988 aku lulus SMP. Pekerjaan orang tuaku yang tidak menentu membuatku menerima begitu saja ajakan tetangga untuk bekerja sebagai pelayan toko di Pasar Kebumen. Aku bekerja selama 1 tahun. Gaji yang sangat kecil, yakni  Rp 20.000,00 per bulan, mendorongku untuk merantau ke Jakarta dengan harapan bisa mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi.

Aku bekerja sebagai pembantu rumah tangga di sebuah keluarga yang berasal dari Padang, Sumatera Barat. Pasangan ini tidak dikaruniai anak meskipun telah menikah selama hampir 30 tahun. Mereka sangat baik, memperlakukanku seperti anak sendiri. Aku sering diajak jalan-jalan ke rumah teman-teman mereka yang berasal dari Sumatera. Aku diperkenalkan sebagai anaknya. Aku tidak pernah merasa diperlakukan sebagai pembantu rumah tangga. Itulah yang membuatku bertahan bekerja bersama mereka 4 tahun lamanya.

Latar belakang ekonomi keluarga yang kurang mampu menjadikanku terbiasa hidup sederhana. Gaji yang tidak seberapa besar, hanya berbeda sedikit dari yang aku peroleh saat menjadi pegawai toko di kampungku, yakni Rp 25.000,00 per bulan, terasa cukup. Sebagian aku berikan ke orangtuaku dan sebagian lagi aku tabung.

Pada 1993, aku berhenti bekerja dan pulang ke kampung halaman untuk menikah dengan seorang pemuda yang masih satu desa denganku. Meskipun aku tahu, pemuda itu belum bekerja. Bahkan, ijazah SMA pun belum diambilnya dari sekolah karena masih ada kewajiban yang belum dipenuhi. Aku merelakan sebagian tabunganku untuk  membayar kewajibannya, agar ia bisa memperoleh ijazahnya. Mertua laki-lakiku bekerja di Perum Perhutani. Setelah ijazah SMA didapat, suamiku didaftarkan bekerja di tempat ayahnya, lagi-lagi membayar dengan uang hasil penjualan emas yang pernah ia berikan untukku.

Di saat suamiku mulai bekerja, aku melahirkan anak pertamaku. Sebagai pekerja kontrak, gaji suamiku tidaklah besar. Setelah anakku berusia 2 tahun, aku turut mencari nafkah dengan menjadi buruh tani, tentunya dengan seizin suami. Pada tahun 1999 aku melahirkan anak kedua, yang juga perempuan. Setelah anak yang kedua sudah mulai besar, aku kembali bekerja sebagai buruh tani.

Saat ini, kedua anakku sudah mentas. Pada Agustus 2014, anak pertamaku menikah, Alhamdulillah, pada 2015 aku mendapat cucu perempuan, dan keluarga kami sangat gembira. Kelahiran cucu pertamaku rupanya memberi berkah buat keluarga. Suamiku diangkat menjadi karyawan tetap dengan gaji yang lebih besar.

Noktah Hitam Perkawinan

Sikap suamiku sontak berubah setelah ia diangkat menjadi karyawan tetap dan mendapatkan gaji yang lebih baik. Ia jadi kasar, sering menamparku dan anak-anak. Ia juga mulai keranjingan berjudi dan pulang larut malam, bahkan kerap tidak pulang.

Pernah, setelah 2 hari 2 malam tidak pulang ke rumah, mungkin karena berjudi, suamiku pulang tepat 02.00 dini hari. Setelah kubukakan pintu dan kuambilkan minum air putih, aku melihat wajah suamiku seperti menyimpan perasaan marah dan benci terhadapku. Lalu kutanya pelan-pelan, khawatir anak-anak dan cucuku bangun. “Bapak dari mana aja jam segini baru pulang?”

“Ya, bekerja”, jawab suamiku.

“Kok bekerja sampai dua hari dua malam, emang kerja di hutan juga ngelembur? Nungguin apa?” Beberapa pertanyaan beruntun aku lontarkan.

“Cerewet!” bentaknya. Dan dia manempar pipiku.

Aku langsung berlari masuk kamar dan menangis dengan ditutupi bantal supaya tidak ada yang mendengar tangisku. Aku malu dengan anak-anak dan menantu.

Melabrak Suami

Di masa awal perkawinanku, aku sering ikut terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan di desa, seperti kegiatan PKK, juga kegiatan pengajian. Lama kelamaan, aku dikurung dan dilarang bergaul dengan masyarakat. Aku pun mendengar cerita dari tetangga bahwa suamiku berselingkuh dengan perempuan lain. Meskipun belum ada bukti, namun hatiku terasa sakit dan pedih.

Aku masih mencatat hari itu dalam ingatanku, 4 Juni 2015, aku mendapat berita dari tetangga perempuan yang menjadi selingkuhan suamiku. Dia mengatakan bahwa suamiku ada di rumahnya. Aku tahu, perempuan itu juga bersuami.

Malam itu juga, aku dan kedua anakku beserta beberapa orang kerabat ‘melabrak’ rumah perempuan itu. Kami mendapati suamiku sedang berada di kamar perempuan itu. Betapa hancur dan sakit hatiku, tubuhku terasa gemetar setelah menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri. Rupanya benar apa yang menjadi gunjingan tetangga selama ini. Dia telah berselingkuh.

Sejak kejadian itu, suamiku sudah tidak bisa dihubungi. Tiga hari kemudian barulah dia pulang, hanya untuk mengambil pakaiannya. Ketika dia bergegas pergi, aku menahannya agar dia tidak pergi. Anak-anakku pun demikian, mereka melarang ayahnya pergi. “Apa enggak kasihan sama anak-anak?” Ujarku memberanikan diri. Aku malah dipukul. Leherku pun dicekiknya.

Berbulan-bulan kami tidak pernah mendengar kabarnya. Aku hanya mendengar selentingan dari tetangga, kalau malam hari suamiku ada di rumah perempuan itu, menelantarkan aku dan anak-anakku tanpa memberi nafkah. Aku dengar, gajinya sekarang diberikan kepada perempuan itu.

Pada suatu malam, aku didatangi oleh adik dari perempuan itu. Dia mengajakku untuk melaporkan perilaku suamiku ke polisi. Aku setuju, dan pada keesokan harinya kami mendatangi kantor polisi. Aku ditemani oleh kadus dan seorang guru yang mau mengantar dan menemaniku. Setelah melalui proses dan menghadirkan saksi juga dari pihak suami, polisi mengatakan bahwa suamiku bisa dipenjara.

Suamiku pun takut. Kalau nanti dipenjara, otomatis dia akan dikeluarkan dari pekerjaannya. Suamiku datang ke rumah ditemani bapaknya, memohon kepadaku untuk mencabut laporan tersebut. Awalnya saya bergeming dan tetap akan memenjarakan suamiku agar dia jera. Tapi di sisi lain, aku juga memikirkan anak, cucu dan menantu, kalau nanti bapaknya dipenjara, pasti mereka sangat malu.

Dengan pertimbangan itu, aku menyetujui permohonan suami dan keluarga dengan syarat: aku meminta suamiku membagi separuh dari gajinya untuk menafkahi anak keduaku yang saat itu masih sekolah. Suamiku menyetujuinya, dan menandatangani perjanjian di atas materai dengan keluarga yang menjadi saksi.

Hanya tiga bulan suamiku memenuhi janjinya. Itu pun tidak utuh. Ia hanya memberiku satu juta rupiah per bulan. Pada bulan keempat, ia mulai berhenti memberiku uang yang telah ia janjikan.

Aku menyerahkan semuanya kepada Allah, tempatku bertumpu atas segala persoalan hidup. Aku harus ikhlas karena jodoh, rejeki dan semuanya sudah ada yang mengatur.

Tanpa sepengetahuanku, 2 hari setelah penandatanganan perjanjian itu, suamiku pergi ke Pengadilan Agama Kabupaten Kebumen untuk menggugat cerai. Aku tahu setelah  aku menerima surat undangan sidang di pengadilan agama. Hatiku sangat sakit sekali. Kurang apa aku selama ini? Di saat keadaan ekonomi rumah tangga pas-pasan, aku juga ikut bekerja sebagai buruh tani agar anak-anakku bisa sekolah. Tapi sekarang, setelah suamiku mendapat penghasilan lebih baik, malah dinikmati orang lain.

Sidang pertama sampai sidang kedelapan belas gagal mengeluarkan keputusan. Aku memang sengaja mempersulit, agar perceraian itu tidak terjadi. Pihak pengadilan pun tahu kasus yang dialami keluarga kami dan apa yang suami perbuat kepada kami.

Namun, akhirnya keluarga menyarankan kepadaku untuk melepas dan menerima saja, karena mereka kasihan melihat aku mondar-mandir ke pengadilan. Bukan hanya itu, sepulang sidang, suamiku pasti mengirimkan SMS kepadaku mengata-ngataiku dan itu membuat keluargaku makin merasa sakit hati.

Melupakan Masa Lalu, Bangkit bersama Pekka

Tahun 2016 kami resmi bercerai. Tinggallah aku yang merasa bingung setelah bercerai. Harus bagaimana? Mencari uang dari mana? Beruntung, adikku mengajakku membantunya berjualan di Pasar Karanggayam. Kami berjualan sayur mayur, cabai, bawang, bawang merah dan lainnya, juga buah-buahan. Setiap hari aku diberi upah oleh adikku sebesar Rp 50.000,00. Uang itu cukup untuk menopang kehidupanku dan kedua anakku hingga saat ini.

Setelah bercerai, aku merasa memiliki kebebasan yang selama ini hilang. Aku mulai menyibukkan diri dengan kembali aktif di kegiatan kemasyarakatan. Aku pun dipercaya untuk menjadi pengurus PKK dan bendahara kelompok pengajian karena aktif berkegiatan.

Aku mendapat undangan dari Pemerintah Desa Karangmaja untuk menghadiri sosialisasi Pekka pada Agustus 2022. “Itu katanya kumpulan janda-janda,” jelas orang yang mengantar undangan, ketika aku bertanya tentang Pekka.

Penjelasan itu mengundang rasa penasaranku, sehingga aku hadir dalam pertemuan yang diadakan di Balai Desa. Di situlah aku mendapat pemahaman awal tentang PEKKA dari Koordinator Pendidikan Wilayah Akademi Paradigta Indonesia, Sri Urianti. Di sana juga hadir Ketua Serikat Pekka Kabupaten Banyumas, yang memang lebih dulu bergabung dalam kegiatan PEKKA. Aku baru tahu bahwa yang bisa bergabung dengan Pekka itu tidak hanya janda, tetapi juga yang punya suami tapi pergi tanpa kabar atau sakit menahun.

Kami diajak ikut kelas Akademi Paradigta, atau kami yang biasa sebut API. Pelajaran yang aku terima di kelas adalah tentang kewirausahaan. Aku berkesempatan mengikuti kegiatan Forum Wilayah (Forwil) Pekka Jawa Tengah yang diselenggarakan di Banyumas pada tanggal 18 – 20 Agustus 2022. Dalam Forwil ini dilakukan penandatanganan nota kesepahaman dengan dinas-dinas yang ada di 10 kabupaten.

Kegiatan ini membuatku semakin merasa bangkit dan ingin berubah. Aku dipertemukan dengan perwakilan ibu-ibu Pekka dari 10 kabupaten di Jawa Tengah. Banyak dari mereka yang lebih tua dari usiaku, tetapi masih terlihat bersemangat. Satu materi yang menarik hatiku adalah kiat untuk memanfaatkan sumber daya lokal yang ada di lingkungan sekitar, serta untuk melestarikan lingkungan alam dengan mengumpulkan sampah. Materi ini disampaikan Ibu Mien Rianingsih dari Yayasan Pekka.

Kelas Akademi Paradigta Kewirausahaan juga menugaskan kami, para peserta, untuk membentuk kelompok Pekka. Berbekal pengetahuan yang aku dapatkan dari Forwil, aku sangat bersemangat mengajak ibu-ibu, terutama perempuan kepala keluarga, untuk bergabung dengan Pekka.

Alhamdulillah, mereka percaya dengan apa yang aku sampaikan, dan mau bergabung dan membentuk kelompok Pekka. Kelompok ini kami beri nama Kelompok Pekka Bersinergi yang beranggotakan 20 orang. Namun, karena kesibukan dan hal lainnya, tiga orang tidak aktif, sehingga kini anggotanya berjumlah 17 orang.

Keberhasilanku membentuk kelompok membuat pengurus serikat Pekka memintaku untuk mencarikan anggota kelompok Pekka di desa-desa lain yang belum tebentuk kelompok. Aku sangat bersemangat meskipun harus menerjang hujan dan panas. Tanpa kenal lelah dan tanpa dibayar, aku mencari ibu-ibu pekka di desa lain untuk diajak bergabung dengan kelompok Pekka.

Setelah terbentuk kelompok, kami melakukan kegiatan usaha bersama. Kami mengembangkan usaha pembuatan tempe. Usaha ini kami mulai dengan modal sebesar seratus ribu rupiah, yang kami gunakan untuk membeli 6 kg kedelai dan ragi.  Tempe yang kami buat mengunakan daun pisang. Usaha ini masih kami jalalankan dengan cara bergotong royong atau bekerja bakti.

Hasil dari pembuatan tempe ini bisa menambah uang kas kelompok kami. Dan uang kas yang telah terkumpul saat ini sudah mencapai Rp 370.000,00. Ada kalanya tempe yang kami buat gagal, dan kami merugi. Namun, kami masih tetap bisa produksi.

Kami memang sangat membutuhkan peningkatan keterampilan dan pengetahuan dalam memproduksi tempe. Kami hanya belajar membuat tempe dari mentor kami, Ibu Sugiyah yang berasal dari Banyumas. Sebetulnya, kami berharap dapat menggunakan bahan baku lokal. Namun, karena tidak ada hasil kedelai yang ditanam petani, kami masih membeli dari luar daerah.

Kenyataan ini kami diskusikan dalam Diskusi Kampung yang kami adakan. Kami mengundang para pemangku kepentingan di desa, warga masyarakat dan tokoh setempat dalam acara tersebut. Selain kedelai, kami membincangkan tentang kurangnya pemanfaatan bahan lokal yang ada di desa agar bisa diolah untuk bahan produksi. Pertemuan ini juga menjadi sarana untuk memperkenalkan kelompok Pekka yang sudah kami bentuk, dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan. Kegiatan diskusi kampung atau pertemuan Forum Pemangku Kepentingan tingkat desa, kami lanjutkan dengan kegiatan di tingkat kecamatan.

Di samping usaha tempe, setiap bulan kami mengadakan pertemuan dan melakukan kegiatan simpan-pinjam. Setiap bulan anggota menabung simpanan wajib lima ribu rupiah per orang, dan simpanan sukarela berdasarkan kemampuan masing-masing. Uang yang terkumpul dari simpanan anggota kemudian dipinjamkan lagi ke anggota yang membutuhkan. Anggota yang pinjam biasanya untuk kebutuhan sehari-hari untuk konsumsi. Sampai saat ini setelah 7 bulan berjalan sudah ada dana yang dikelola sebesar dua juta rupiah dari 15 orang anggota yang aktif.

Kami juga mengadakan forum diskusi di tingkat kabupaten, yaitu Forum Pemangku Kepentingan yang diselenggarakan di kantor Dinas Sosial Kabupaten Kebumen pada 2023.  Kegiatan tersebut dilaksanakan dengan harapan agar dinas-dinas di Kabupaten Kebumen juga mengenal kelompok/komunitas Pekka yang ada di Kabupaten Kebumen dan mengetahui kegiatan-kegiatan kami. Hasil dari kegiatan ini, Serikat Pekka diberikan peluang untuk mengajukan usulan-usulan langsung ke dinas terkait jika membutuhkan dukungan baik dalam bentuk pelatihan maupun pendanaan.

Aku juga berkesempatan mengikuti kegiatan Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrembang) Perempuan tingkat nasional melalui Zoom. Kami berkumpul di kantor Dinas Sosial di Kabupaten Kebumen. Aku jadi tahu, ternyata perempuan-perempuan di wilayah lain juga punya kesempatan mengikuti kegiatan tersebut. Kegiatan ini dilakukan untuk mendorong pengetahuan baru, sehinga suara perempuan jadi didengar.

Pada tanggal 5 – 11 November 2023 aku diundang untuk mengikuti pelatihan pengorganisasian masyarakat (CO) yang bertempat di Depok, Jawa Barat. Pelatihan ini merupakan kegiatan pembekalan terhadap kader-kader Pekka dalam melakukan pengorganisasian kelompok Pekka dan masyarakat. Waktu pelatihan CO di Depok yang sangat berkesan untukku adalah saat perkenalan. Ibu-ibu menceritakan pengalaman pribadi mereka. Cerita-cerita tersebut sangat mengharukan, sampai-sampai semua peserta mangeluarkan air mata, karena hampir semua peserta mengalami hal hal yang kurang menyenangkan. Setelah mendengar cerita tersebut aku merasa menjadi lebih tegar dan bersemangat untuk menjalani hidup, dan memperjuangkan kelompok Pekka yang ada di Kabupaten Kebumen.

Pada tanggal 5 Desember 2023 aku diikutkan kegiatan HAKTP (Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan) dengan tema “Akhiri Kekerasan Seksual dan Perkawinan Anak”. Kegiatan ini bertujuan untuk mengenalkan komunitas Pekka yang ada di kabupaten Kebumen dan dilakukan penandatanganan nota kesepahaman dengan dinas-dinas di Kabupaten. Kami juga melakukan kunjungan-kunjungan ke dinas-dinas di kabupaten. Diawali pada tanggal 29 Desember 2022, ditemani oleh ibu Sri Urianti ke Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, Disdikpora dan Kemenag.

Namun, tidak semua kantor dinas dapat menerima komunitas Pekka dengan baik. Kami bingung, mengapa mereka menerima kami dengan cara seerti itu. Padahal, kami mengundang mereka setiap ada kegiatan Pekka. Kami bahkan dikritik oleh seorang petinggi sebuah kantor dinas di Kabupaten Kebumen. Ia tidak bisa menerima karena surat undangan yang diterima masih dibuat oleh Serikat Pekka Kabupaten Banyumas. Kami meminta maaf, karena di Kabupaten Kebumen belum terbentuk serikat pekka.

Aku sangat berterimakasih kepada Yayasan PEKKA yang sudah memberikan kesempatan kepadaku untuk bisa belajar dan mengembangkan diri agar menjadi lebih baik. Aku mendapat banyak pengalaman, juga bisa berkunjung ke kantor-kantor dinas di Kabupaten Kebumen.

Bergabung dengan Pekka memberiku kesempatan untuk berkenalan dengan ibu-ibu pekka lain dari 18 provinsi di Indonesia. Ternyata, mereka memiliki nasib yang kurang lebih sama denganku. Pekka juga telah mengubah pola pikirku. Aku sekarang menjadi perempuan yang lebih aktif bermasyarakat, tidak hanya peduli dengan diri sendiri, tetapi juga peduli dengan permasalahan orang lain  dan mengajak mereka untuk mengatasi persoalan melalui kegiatan Pekka. Aku jadi belajar, bahwa yang menarik dari sebuah pengalamn adalah bukan tentang apa saja yang berhasil kita lalui, tetapi tentang penglaman dan hikmah yang dapat kita petik dari setiap proses perjalanan itu sendiri. Di Pekka aku merasa pola pikirku berubah, awalnya pemalu, minder dan tidak percaya diri tapi sekarang menjadi perempuan pekka yang aktif bermasyarakat, tidak hanya peduli dengan urusan sendiri tapi sudah berupaya peduli dengan permasalahan orang lain dan mengajak mereka untuk mengatasi persoalan yang ada melalui kelompok Pekka.(*)

Bagikan Cerita Ini

Cerita Terkait

Leave a Comment