Menjadi Ibu Bagi Adik-Adikku:
Kisah Diri Nirmala

 

Ibuku meninggal dunia saat aku masih kecil. Aku pun harus menggantikan posisinya, mengasuh keenam adikku, sendirian. Impian untuk kuliah pun aku tinggalkan. Impian yang kemudian bisa kuraih kembali melalui Pekka. Aku berhasil berguna bagi orang banyak.


Aku diberi nama Nirmala. Menurut ibuku, namaku diambil dari nama pemain film di film India yang sering beliau tonton. Aku lahir di bulan Juli 1969 sebagai anak pertama dari 7 bersaudara. Sewaktu kecil, aku tinggal di Kota Makassar, di mana bapakku memiliki toko yang menjual tembakau. Di toko itulah kami tinggal.

Kehidupanku berubah di saat aku baru menginjak masa remaja. Ibuku meninggal dunia di saat aku masih duduk di kelas 2 SMP. Kanker paru-paru serta penyakit lambung yang sudah lama beliau derita telah mengambil nyawanya. Sejak saat itu, aku mengambil alih peran ibuku, dan mengasuh keenam adikku.

Setelah lulus SMA, aku mengurungkan niatku untuk kuliah. Meskipun, pada saat itu aku telah diterima di Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia. Aku kasihan kepada pada bapakku. Usaha penjualan tembakaunya semakin tidak menentu. Rokok produksi pabrik semakin banyak beredar, sehingga tembakau yang dijual bapakku tidak lagi begitu diminati. Keadaan ini membuatku memutuskan untuk lebih mementingkan pendidikan adik-adikku, dan tidak kuliah.

Bapakku memutuskan untuk pulang ke kampung asalnya di Bone. Kami semua diajaknya.Rumah kami di Makassar dikontrakkan. Kami kemudian mendiami rumah peninggalan orang tua bapakku yang berlokasi di Kecamatan Palakka. Aku merasa nyaman tinggal di sini. Pada saat kami baru pindah, jumlah penduduknya masih kurang dari 100 jiwa. Suasananya tenang dan damai. Perempuan umumnya tidak bersekolah, dan dikawinkan di usia yang masih sangat muda. Para orang tua berharap, menantu mereka dapat membantu bekerja di sawah dan ladang. Mereka tidak berpikir untuk menyekolahkan anak perempuan mereka. Percuma, kata mereka, karena akhirnya akan ke dapur dan mengurus anak saja.

Sama seperti kebanyakan penduduk di kampung ini pada saat itu, Bapak bekerja sebagai petani. Beliau menggarap tanah warisan orang tuanya, bertanam jagung dan padi. Berbeda dengan sekarang, sudah banyak warga yang berdagang atau bekerja kantoran. Sudah banyak pula anak di desa ini yang mengenyam pendidikan sampai ke perguruan tinggi. Para perempuan pun sudah banyak yang bekerja di luar rumah, menggarap kebun ataupun sawah milik orang lain. Sebagian berjuanan untuk menambah penghasilan, ada juga yang bekerja di kota. Bahkan ada yang berprofesi sebagai buruh bangunan. Mereka lebih memilih bersekolah atau bekerja daripada menikah muda. Kini, jumlah penduduk di kampungku sudah lebih dari 1.300 jiwa.

Bapakku adalah orang yang dihormati oleh masyarakat di kampungku. Beliau pun  diangkat menjadi kepala dusun. Ketika bapakku meninggal dunia pada 2010, otomatis jabatan itu diwariskan kepadaku. Sistem ini merupakan tradisi yang berlaku di Bone. Jabatan kepala dusun dan kepala desa bersifat turun temurun.

Menjadi Kepala Dusun

Setelah menggantikan Bapak, aku terpaksa berhenti bekerja dari posisi tenaga pembukuan di sebuah koperasi simpan-pinjam. Aku mensyukuri amanat yang aku emban sebagai kepala dusun, meskipun gajiku hanya sepertiga dari gajiku sebelumnya. Hasil dari sawah dan kebun peninggalan bapakku cukup untuk menghidupiku dan kedua adik yang masih bersekolah.

Pada 2014, aku berkunjung ke rumah Ibu Sekretaris Desa. Beliau bercerita bahwa ada perwakilan dari sebuah organisasi perempuan yang datang mengunjunginya. Organisasi itu bernama Serikat Pekka Kabupaten Bone, dan bermaksud memperkenalkan organisasi mereka di desa kami. Ibu Sekdes menjadwalkan kami untuk mengadakan pertemuan pada 10 April 2010.

Sesuai jadwal kami mengadakan pertemuan, yang dihadiri oleh kader dari Serikat Pekka Kabupaten Bone bernama Andi Dahniar dan Nursanna, serta 15 perempuan dari kampung kami. Dalam pertemuan ini, Ibu Andi Dahniar menjelaskan tentang pekka dan orang-orang yang terlibat di dalamnya, serta kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan.

Kami membentuk kelompok yang kami beri nama Kelompok Melati. Ibu Harwana terpilih sebagai ketua kelompok, Andi Herlina sebagai sekretaris, dan aku sebagai bendahara. Kami bersepakat untuk mengadakan arisan sembako dan kegiatan simpan-pinjam setiap bulan.

Aku amat terkesan terhadap Pelatihan Visi, Misi, dan Motivasi Berkelompok yang difasilitasi oleh Andi Dahniar dan Soraya. Pelatihan ini diadakan pada 2015 di rumahku. Aku jadi tahu banyak tentang cara berorganisasi, juga filosofi sapu lidi yang mengajarkan bahwa kita pasti akan kuat bila bersatu.

Di tahun 2016, aku mengundurkan diri dari jabatan kepala dusun. Keputusan ini membuatku bisa lebih leluasa berkiprah di Pekka. Aku jadi bisa mengikuti pertemuan Serikat Pekka Bone yang diadakan di center serikat kabupaten. Aku senang sekali. Aku bisa bertemu dengan beberapa kader dari kecamatan lain, juga Ibu Romlawati dari Yayasan PEKKA Jakarta. Aku terkagum-kagum melihat center Serikat Pekka Kabupaten Bone. Dalam pertemuan ini, aku mendapatkan pelatihan mengenai kesehatan reproduksi, antara lain pengetahuan mengenai kanker serviks, juga cara-cara merawat alat reproduksi perempuan.

Memulai KLIK PEKKA

Pada tahun berikutnya, aku dilibatkan dalam kegiatan KLIK PEKKA yang diadakan di beberapa desa, yakni Desa Mallasari, Kecamatan Awangpone; Desa Pasempe, Kecamatan Palakka; juga di Kelurahan Bajoe dan Kelurahan Kellu, Kecamatan Tanete Riattang Timur. Aku juga diikutsertakan dalam Akademi Paradigta yang difasilitasi oleh fasilitator lapang, Yusnia, sebagai mentor. Kegiatan ini diadakan selama 4 bulan, dibagi menjadi 12 kali pertemuan.

Aku terpilih sebagai Ketua Serikat Pekka Kabupaten Bone periode 2018-2013 melalui musyawarah besar yang diadakan pada 27 Maret 2018 dan dihadiri oleh Ibu Dwi Indah Wilujeng dari Sekretariat Nasional Yayasan PEKKA Jakarta, dan Ibu Baralia. Keesokan harinya, diadakan wisuda bagi peserta Akademi Paradigta.

Salah satu tugasku sebagai ketua serikat adalah melakukan perluasan wilayah. Tugas ini pertama kali aku lakukan di bulan Juli 2018. Didampingi fasilitator lapang, Andi Dahniar, aku pergi ke Kabupaten Wajo dan langsung menghadap bupati untuk memperkenalkan Pekka. Beliau mengarahkan kami untuk mengunjungi Kantor Dinas Kesbangpol, yang kemudian memberi rekomendasi supaya kami bisa melakukan advokasi ke Kantor Dinas Terpadu. Kami lalu melanjutkan advokasi ke kantor-kantor dinas yang lain, yakni Dinas Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Anak, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, serta Kantor BPJS.

Keesokan harinya, aku dan Andi Dahniar, didampingi kader yang kami temui saat pelatihan di Gadod sebelumnya, Hasnidar, berangkat ke Desa Tua, Kecamatan Majauleng. Kami berhasil membentuk kelompok pertama di Kabupaaten Wajo, yang beranggotakan 15 orang. Setelah itu, kami mengunjungi Kantor Camat Tanasitolo untuk memperkenalkan Pekka, dan meminta surat rekomendasi agar kami bisa turun ke desa-desa. Alhamdulillah, dalam kunjungan yang pertama ini, terbentuk 18 kelompok di 11 desa yang ada di 4 kecamatan di Kabupaten Wajo.

Dukungan Pemerintah Daerah

 Hal yang membahagiakanku dalam kunjungan ini adalah dukungan yang diberikan Kepala Dinas Bappeda Kabupaten Wajo. Beliau bahkan melibatkan Bappeda dalam setiap Forum Pemangku Kepentingan di Kabupaten Bajo, mulai dari menyediakan tempat di aula Kantor Dinas Bappeda, menyiapkan dan menyebarkan undangan, sampai menyediakan konsumsi. Pihak Kantor Dinas Bappeda juga mempertemukan kami dengan Bapak Bupati Wajo, yang memberikan dukungannya dalam bentuk Surat Edaran Bupati Wajo. Surat tersebut memudahkan kami dalam  memperkenalkan Pekka kepada dinas-dinas setempat dan desa-desa. Bentuk dukungan lain datang dari sebuah desa yang ada di Kecamatan Sitolo. Pemerintah desa tersebut telah membuat peraturan desa untuk mengadakan kegiatan KLIK PEKKA dan surat keputusan untuk melibatkan anggota Pekka dalam Musrembang desa.

Aku melakukan perluasan wilayah Pekka di bulan Juli 2022. Kali ini aku didampingi Nursia Untung Daleng dan Nunik Tri Harini dari Yayasan PEKKA. Wilayah yang kami datangi adalah Kabupaten Pohuwato di Provinsi Gorontalo. Sebelum berangkat, kami berkenalan dengan Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Ibu Hamka Mbuinge, melalui aplikasi Zoom. Beliau memberi respon yang sangat baik ketika diberitahu mengenai rencana kunjungan kami di Kabupaten Pohuwatu. Bahkan, ketika kami tiba, beliau menyediakan kendaraan untuk menjemput kami di bandara dan menerima kami menginap di rumah beliau.

Kedatangan Pekka di Kabupaten Pohuwatu mendapat sambutan baik dari Bupati dan Kepala Bappeda Pohuwatu. Atas anjuran Kepala Bapped, kami melaksanakan rapat koordinasi di kantor Bupati dengan mengundang perwakilan dari Organisasi Perangkat Daerah, camat, dan kepala desa atau perwakilan desa dari 15 desa yang menjadi target Pekka untuk hadir dalam rapat koordinasi.

Rapat koordinasi ini diisi dengan penjelasan mengenai Program Inklusi dan kegiatan-kegiatan yang akan diadakan Pekka di Pohuwatu. Penjelasan ini disampaikan oleh Mbak Nunik. Selesai rakor, aku bersama Ibu Nursia mengadakan sosialisasi program Pekka ke desa-desa, didampingi Kepala Seksi Pemerintahan di DP3AP2KBA, Ibu Marlin. Sayangnya, kami hanya berhasil bertemu dengan pejabat sementara kepala desa.

Kami berhasil membentuk kelompok di 17 desa di empat kecamatan, yakni Kecamatan Marisa, Kecamatan Duhiadaa, Kecamatan Buntulia, Kecamatan Taluditi yang terdiri dari 22 kelompok dengan 391 anggota.

Kegagalan di Tempat Lain

Aku mendapat kesempatan untuk membantu Ketua Federasi Serikat Nasional Pekka, Ibu Mahdalena, untuk melakukan perluasan wilayah di Kabupaten Paser, Provinsi Kalimantan Timur. Aku diminta untuk menggantikan Ibu Muhae yang tidak bisa turun ke lapangan, karena ayahnya sedang sakit.

Aku tiba di rumah seorang anggota Pekka, Ibu Eni, di Desa Sangkuriman, Kecamatan Tanah Grogot, Kabupaten Paser pada 17 Mei 2023. Ibu Eni menyediakan rumahnya untukku dan Ibu Mahdalena menginap selama kami berada di Kabupaten Paser. Keesokan harinya, kami menghadiri Forum Perempuan Desa di Kantor Desa Sangkuriman. Acara ini dihadiri 12 orang, dan mereka bercerita telah rutin mengadakan pertemuan dan membentuk arisan sebesar Rp 10.000,00 per orang.

Di hari berikutnya, aku dan Ibu Mahdalena, ditemani 2 kader, Ibu Arbania dan Ibu Eni berangkat ke Desa Kasunge, Desa Batu Kajang, dan Desa Sungai Terik. Di Desa Kasunge, kami menemui Ibu Kepala Desa, yang hanya bisa menghadirkan tiga orang anggota. Menurut mereka, pada saat itu ibu-ibu pekka sedang bekerja di kebun untuk memanen buah durian. Hal yang sama kami temui ketika tiba di Desa Batu Kajang dan Desa Sungai Terik.

Kegiatan perluasan wilayah di Kabupaten Paser benar-benar berbeda dengan yang aku alami di Kabupaten Pohuwato. Di Kabupaten Paser, kami tidak mendapat dukungan dari pemerintah setempat. Masyarakatnya pun enggan berkumpul karena lebih memilih sibuk dengan kegiatan ekonomi.

Kesulitan tersebut bahkan benar-benar nyata terlihat ketika kami mengundang kantor-kantor dinas yang ada di Kabupaten Paser untuk hadir dalam Forum Pemangku Kepentingan (FPK) pada 24 Mei 2023. Sayangnya, acara FPK ini berbarengan dengan kegiatan lain yang harus dihadiri oleh para kepala dinas, Camat, dan para kepala desa, sehingga hanya perwakilan mereka yang datang.

Setelah Ibu Mahdalena memperkenalkan Pekka dan memaparkan Klinik Layanan Informasi dan Konsultasi (KLIK) PEKKA, terjadi perdebatan mengenai rencana diadakannya KLIK PEKKA di Kabupaten Paser. Pihak Pengadilan Agama beralasan bahwa jumlah pegawai mereka terbatas, sehingga tidak dapat mendukung penyelenggaraan KLIK PEKKA. Selain itu, mereka berdalih bahwa telah  memiliki aplikasi berbasis internet, sehingga masyarakat bisa mengadukan permohonan dan menyampaikan persoalannya melalui aplikasi tersebut, sehingga tidak perlu meja-meja pengaduan seperti yang akan disediakan pada KLIK PEKKA. Sementara, perwakilan dari Disdukcapil menyatakan bahwa mereka telah menjalankan program jemput bola, sehingga untuk masalah dokumen identitas legal bagi masyarakat telah terpenuhi.

Meski mendapat penolakan, aku tetap membacakan surat perjanjian kerjasama yang telah kami siapkan. Seperti yang telah saya duga, para perwakilan yang hadir menolak untuk menandatanganinya. Mereka merasa tidak berwenang menandatangani surat itu karena mereka hanya perwakilan.

Aku, Ibu Mahdalena, dan kader-kader yang hadir meninggalkan aula Kantor Bappeda Kabupaten Passer dengan rasa kecewa. Hingga malam tiba, aku masih teringat ucapan para perwakilan dinas yang menolak program yang kami tawarkan.

Harapanku Untuk Pekka

Sejak terpilih sebagai ketua serikat, aku sering kali harus memimpin rapat. Awalnya memang canggung, terlebih apabila harus berbicara dengan pejabat seperti kepala desa, camat, bupati, dan kepala dinas. Namun, lama-lama aku terbiasa, dan isi penyampaianku bisa jadi lebih rapi dan mudah dipahami.

Lama kelamaan, orang-orang di lingkungan tempat tinggalku menaruh hormat kepadaku. Apalagi setelah aku mengunggah foto di Facebook ketika menghadiri undangan pelatihan atau kegiatan Pekka lainnya. Terkadang mereka memberi respon dengan meminta bantuan untuk diurusi dokumen identitas hukum atau BPJS.

Aku berharap Pekka bisa dikenal di seluruh Indonesia, bukan hanya di tingkat kabupaten atau provinsi. Aku ingin anggota Pekka bertambah banyak, dan hadir di setiap kabupaten dan provinsi. Selain itu, aku ingin kader Pekka bisa ikut duduk dalam pengambilan keputusan di desa, kecamatan dan kabupaten.(Erf/lits)

Bagikan Cerita Ini

Cerita Terkait

Leave a Comment