“Berkah Bareng” Berkat Pekka
Kisah Diri Turyati

Aku dipaksa menikah saat masih belia. Di usia yang masih muda itu pun aku menjadi janda. Semangatku tidak berhenti. Aku selalu mencari jalan untuk mandiri. Bahkan setelah aku memiliki cucu, aku tetap bersemangat menambah pengetahuan agar mampu menepis pandangan yang merendahkan.

Desa Pecalungan adalah sebuah desa yang berlokasi sekitar 22 km dari barat daya ibu kota Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Mayoritas penduduk di desa ini bekerja sebagai petani, baik yang menggarap lahan milik mereka sendiri, maupun yang bekerja sebagai buruh. Hasil pertanian dari desa ini adalah padi dan jagung, meskipun ada juga beberapa petani yang menanam sayur.

Ketika aku masih kecil, akses jalan menuju desa ini belum beraspal. Di musim hujan, jalanan akan dipenuhi lumpur. Jaringan listrik pun belum ada. Penduduk desa biasanya memakai pelita sebagai alat penerangan bila malam telah tiba.

Bapakku juga bekerja sebagai petani. Sebagaian besar hasil panen dari lahan miliknya ini kami konsumsi sendiri. Aku lahir di keluarga sederhana ini pada 1969, sebagai anak pertama dari 3 bersaudara. Aku diberi nama Turyati.

Sejak berusia 3 bulan, aku diasuh nenek dari ibuku, karena pada saat itu, ibuku jatuh sakit. Rumah Nenek letaknya tidak jauh dari rumah orang tuaku. Alhamdulillah, Nenek dan Kakek sangat sayang kepadaku. Mereka mengajariku kedisiplinan yang tinggi, seperti salat subuh dan menyapu rumah sebelum berangkat sekolah.

Setelah tamat Sekolah Dasar, aku tidak melanjutkan ke SMP, karena lokasinya sangat jauh dari tempat tinggalku. Aku melanjutkan pendidikanku ke Pesantren Al Hidayah, yang berlokasi di Desa Plumbon, Kecamatan Limpung.

Dipaksa Menikah

Baru 2 tahun belajar di pesantren ini, tiba-tiba aku dijemput seorang pamanku. “Ada apa saya disuruh pulang?” Tanyaku. Namun, Paman tidak mau menjelaskan. Setibanya di rumah, aku bingung melihat saudara-saudaraku yang berkumpul. Sebagian dari mereka sibuk memasak di dapur. Setelah aku beristirahat, Ibu menjelaskan bahwa aku akan ditunangkan dengan anak dari seorang teman Kakek. Aku benar-benar kaget, dan langsung menangis.

Aku masih berusia 16 tahun waktu itu. Aku benar-benar kecewa. Semangat belajarku sedang tinggi-tingginya. Aku bahkan masih menikmati rasa bangga setelah meraih juara pertama lomba qiroah, hapalan tajwid, dan berbagai prestasi lainnya. Apalagi, pernikahanku telah ditetapkan dua bulan setelah pertunangan. Aku jadi tidak bisa kembali ke pesantren.

Aku benar-benar merasa tersiksa. Ketika duduk di pelaminan, air mataku terus berderai. Aku pun tidak dapat melakukan kewajiban sebagai istri, meskipun aku telah mencobanya. Perasaan ini bahkan telah muncul sejak di malam pengantin. Aku lari keluar dari kamar pengantin. Aku takut, mengapa aku harus tidur dengan laki-laki yang tidak aku kenal. Meskipun suamiku bersikap baik, pernikahan ini hanya bertahan 5 bulan. Kami sepakat untuk bercerai.

Bukannya bersedih, aku justru merasa lega setelah bercerai. Tidak aku pedulikan orang-orang yang mencemoohkan statusku sebagai janda. Toh tetap ada yang mendukungku. Untuk mengisi waktu, aku mengambil kursus menjahit selama 3 bulan. Aku harus berjalan kaki sejauh 10 km setiap hari, untuk bisa sampai di tempat kursus. Aku bertekad untuk bisa membuka usaha jahit baju di rumah. Hasil dari praktik di tempat kursus aku kenakan sendiri. Lama kelamaan, banyak orang tertarik untuk memesan baju kepadaku.

Menikah dan Menjanda Lagi

Aku menikah untuk kedua kali pada 1988, dengan laki-laki pilihanku. Suamiku bekerja sebagai petani, dan sesekali mengojek motor. Aku tetap menekuni usaha jahitku, meskipun telah menikah. Selain menjahit, aku juga mengajar mengaji untuk anak-anak di lingkunganku, setiap malam, selepas magrib. Mengajar mengaji adalah cita-citaku sejak dulu.

Aku mulai terlibat dalam kegiatan desa, sebagai kader Posyandu, pada 1990. Saat terjadi Reformasi 1998, aku diangkat sebagai kader PKK, kader kesehatan, dan kader KB. Suamiku sangat mendukung semua kegiatanku. Hanya anakku yang pada awalnya mengeluhkan kesibukanku, sehingga ia merasa kurang diperhatikan. Namun, ia bisa menerima kesibukanku, setelah aku beri pemahaman.

Ketika anak-anakku sudah beranjak dewasa, suamiku jatuh sakit. Ia meninggal dunia pada 2014. Aku benar-benar merasa terpuruk. Aku tidak pernah menyangka, bahwa aku akan menjadi janda lagi. “Bisakah atau mampukah saya hidup tanpa suami, dan menghidupi anak-anak sendiri, tanpa suami?” Aku membatin.

Setelah suamiku tiada, aku merasa sedih, takut, juga tidak tahu arah. Tidak mudah bagiku untuk menghadapi anak-anak yang sedang beranjak dewasa. Aku hanya bisa menangis meratapi nasib. Aku berpikir, betapa sulitnya menjadi ibu sekaligus ayah. Namun, aku tetap optimis. “Saya harus bisa,” kataku dalam hati.

Setelah aku jalani hidup seorang diri, aku bisa menerima dan menjadi terbiasa. Anakku bahkan ada yang telah menikah dan memberiku cucu. Aku kembalil menikah pada 2019, setelah mendapat izin dari keluarga besar dan anak-anakku. Namun, kebahagiaanku hanya berlangsung sekejap. Suamiku meninggal dunia pada 2020.

Aku kembali ke kesendirian, dan aku berusaha menikmatinya. Aku menjalani hidup dengan prinsip yang membuatku tetap bersemangat, yaitu bermanfaat bagi orang banyak dengan hati ikhlas.

Membuka Diri agar Bisa Menebar Manfaat bagi Masyarakat

Pada 2022, aku bertemu dengan Desi Vinayanti dan kawan-kawan. Mereka mengajakku untuk bergabung dengan komunitas Pekka, dan berpartisipasi dalam Akademi Paradigta Indonesia Kewirausahaan. Aku bersedia memenuhi ajakan mereka, setelah mendapat penjelasan dari Mbak Desi.

Kelas perdana Akademi Paradigta Indonesia Kewirausahaan dibuka pada September 2022. Saat pembukaan kelas, diadakan Forum Pemangku Kepentingan (FPK) yang dihadiri perwakilan dari Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan UMKM Kabupaten Batang, Dinas Pertanian Kabupaten Batang, serta Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kabupaten Batang, Camat Pecalungan, dan beberapa kepala desa.

Peserta Akademi Paradigta Indonesia Kewirausahaan ini berasal dari 5 desa. Masing-masing desa mengirim 6 perwakilan, sehingga total peserta berjumlah 30 orang. Di tengah-tengah proses pembelajaran, sempat terbersit keinginan di hatiku untuk berhenti. Berkat seorang mentor yang tidak bosan memotivasiku, aku berhasil mengusir keinginanku itu.

Satu tugas yang kuanggap paling menantang adalah menyiapkan Diskusi Kampung. Aku kebingungan, tidak tahu bagaimana caranya meminta agar Kepala Desa Pecalungan mengizinkan Pekka untuk mengadakan Diskusi Kampung. Aku khawatir, permintaan kami tidak ditanggapi dengan baik. Aku tetap memberanikan diri, dan ternyata, Bapak Kepala Desa sangat menghargai rencana kami. Acara Diskusi Kampung pun dapat terlaksana dengan lancar. Usulan kami untuk membentuk kelompok Pekka di Desa Pecalungan direspon sangat baik oleh pihak desa.

Setelah menjadi alumni Akademi Paragdigta Indonesia Kewirausahaan, aku selalu dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan di desa, seperti musrembang desa hingga kabupaten. Aku bahkan berkesempatan untuk mengikuti Pelatihan Mentor Akademi Paradigta Indonesia pada 2023. Pelatihan ini diadakan di Wisma Hijau, Depok, Jawa Barat. Awalnya, aku merasa minder untuk mengikuti pelatihan ini, karena aku hanya lulusan SD yang tinggal di desa. Namun, aku pikir kesempatan tidak akan dua kali, jadi aku putuskan untuk tetap mengikuti pelatihan. Alhamdulillah, aku lulus sebagai mentor dan telah memfasilitasi Akademi Paradigta Indonesia Kewirausahaan 2023 di desaku.

Ilmu dan pengetahuan yang aku dapat dari berbagai kegiatan yang diadakan Pekka membuatku semakin percaya diri. Aku gunakan ilmu dan pengetahuan itu untuk mengembangkan masyarakat di sekitar tempat tinggalku, terutama di bidang ekonomi. Satu cara yang aku gunakan adalah membentuk kelompok usaha yang diberi nama “Berkah Bareng”. Kelompok ini mengembangkan usaha keripik tempe, dan anggotanya bertambah dari hanya 10 orang menjadi 22 orang. Setiap pertemuan, mereka menyetor iuran sebesar 5 ribu rupiah sebagai simpanan.

Rasa percaya diri yang tumbuh setelah mengikuti Akademi Paradigta Indonesia Kewirausahaan juga membuat pemerintah desa memercayaiku untuk mengajak para janda membangkitkan semangat mereka, dan melakukan berbagai kegiatan yang membuat mereka mandiri. Aku berhasil membuktikan kepada masyarakat bahwa janda tidaklah serendah yang mereka pikirkan, dan kami mampu melakukan hal yang bermanfaat bagi masyarakat.

Aku berharap komunitas Pekka akan langgeng hingga generasi selanjutnya, dan menjadi wadah untuk mengembangkan ilmu, memberdayakan perempuan, dan menebar manfaat bagi orang banyak.(*)

Bagikan Cerita Ini

Cerita Terkait

Leave a Comment