Melawan Patriarki: Perjuangan Memenuhi Kebutuhan Keluarga
Kisah Hidup Kartini

Aku dibesarkan oleh ayah yang memegang teguh patriarki. Hal itu membuatku tidak mudah menyerah meski harus membanting tulang demi memenuhi kebutuhan hidup. Menikah dan bercerai di usia belia, aku harus pergi ke negeri nun jauh di sana demi cita-cita: menyekolahkan anak-anakku setinggi-tingginya.

 

Rumah itu terletak di lereng Gunung Gede-Pangrango. Dikelilingi kesejukan dan hijaunya pegunungan. Bagian depan dan belakang rumah tersebut terhampar perkebunan sayuran. Di rumah inilah aku lahir di tahun 1976, sebagai anak pertama dari tiga bersaudara. Orang tuaku memberiku nama: Kartini. 

Aku baru berusia satu tahun ketika adikku lahir. Ayah melarang Ibu mengikuti program Keluarga Berencana. Ayahku, yang memegang teguh budaya patriaraki, sangat menginginkan anak laki-laki. Anak laki-laki adalah penerus keluarga bagi ayahku. Karena anak laki-lakinya hanya satu, dia diperlakukan seperti raja. Adik laki-lakiku ini tidak pernah disuruh mengerjakan pekerjaan domestik, dan kemauannya selalu dituruti. Belakangan, ayahku menyadari kekeliruannya. Beliau melihat bahwa kepedulian dan tanggung jawab anak perempuannya lebih tinggi dibandingkan dengan anak laki-lakinya.

Aku hanya bersekolah sampai SMP. Meskipun aku bercita-cita menjadi guru, ayah melarangku untuk meneruskan sekolah. Akses jalan dan transportasi yang belum memadai saat itu. Aku sempat memberontak, tetapi tidak sampai merusak masa depanku. Aku akhirnya dinikahkan dengan kekasihku, setelah tiga bulan aku bersekolah di pesantren.

Aku dinikahkan oleh kedua orang tuaku pada 1993, saat usiaku masih usia 17 tahun, 6 bulan setelah aku menjalin hubungan dengan pacarku. Orang tuaku dan orang tua pacarku khawatir kami akan melangkah terlalu jauh karena pada saat itu ada kasus hamil di luar nikah.

Satu tahun setelah menikah, kami dikaruniai anak laki-laki. Sayangnya, anakku meninggal dunia di usia dua tahun, sesaat setelah disunat. Anak kedua kami lahir di tahun 1996, dan tujuh tahun kemudian anak ketiga kami lahir. Suamiku bekerja sebagai supir angkutan sayur-mayur, dia bolak-balik ke Jakar ta setiap hari. Aku bekerja di rumah, berkebun, dan menangani pekerjaan rumah tangga.

Pernikahanku hanya bertahan 10 tahun, saat anak bungsuku berusia 6 bulan. Suamiku mulai jarang bekerja, kerjanya hanya memancing. Setelah bercerai, mantan suamiku tidak lagi memedulikan kebutuhan anak-anaknya. Aku memang memegang hak asuk mereka, dan pada akhirnya orang tuaku yang menopang kehidupan kami bertiga.

Masalah hidupku bertambah berat setelah ayahku menikah lagi di tahun 1991 dan menceraikan ibuku. Perekonomian kami semakin memburuk, karena ayahku semakin mengurangi dukungannya kepada kami. Aku terpaksa bekerja sebagai buruh tani. Kadang aku bekerja di kebun orang lain, kadang di kebun Ayah, dengan upah tidak lebih dari lima ribu rupiah meskipun aku bekerja dari pagi sampai tengah hari.

 

Meninggalkan Kesempatan Demi Memperbaiki Hidup

 

Pada 2005, aku diundang temanku, Titin, untuk datang ke rumah tetanggaku Ai Yani. Saat aku datang, mereka didampingi Mbak Oemi. Beliau bercerita tentang Pekka secara sekilas, tetang siapa saja yang ada di dalamnya, juga perempuan seperti apa yang bergerak di Pekka. Meskipun belum mengerti benar, aku mengiyakan ketika diajak bergabung. Pada saat itu aku menangkap bahwa Pekka benar-benar tepat untuk situasiku pada saat itu.

Namun, desakan ekonomi menuntutku untuk lebih memikirkan kebutuhan anak-anakku dan ibuku. Akhirnya aku memutuskan untuk menjemput rejeki ke Timur Tengah. Padahal, saat itu anak bungsuku baru berusia 2 tahun. Aku merasa betul-betul terpuruk, dan sulit sekali untuk bangkit. Aku jalani hidup sebagai buruh migran selama 30 bulan di Kuwait. Setiap bulan, aku kirim gajiku untuk memenuhi kebutuhan sekolah anak-anakku, juga kebutuhan rumah. Ketika aku pulang aku dapati ibuku mulai sakit-sakitan. Satu bulan aku tinggal di Cianjur, tetapi uang di rekeningku semakin menipis. Maka, aku putuskan kembali mencari rezeki di negeri orang.

Ibuku menangis ketika aku berangkat untuk kedua kalinya. Sedih, malu, dan iba terhadap ibuku bercampur jadi satu. Tak terbayang beban ibuku yang begitu banyak karena harus mengurus kedua anakku. Rasa lelahku tidak sebanding dengan beban yang dipikul Ibu.

Aku mendapat majikan yang sangat baik ketika bekerja di Arab Saudi. Mereka tidak menganggapku sebagai pembantu. Aku bahkan bisa berkumpul bersama pekerja migran asal Indonesia lainnya setiap kali, bahkan bisa mendampingi mualaf asal Filipina. 

Empat tahun berlalu. Aku pun pulang ke tanah air. Anakku yang kedua sudah duduk di kelas 2 SMA. Aku berpikir bisa menggunakan sisa uangku sebagai modal aku hidup di tanah air. Ternyata, uang tabunganku telah dibelikan mobil pick-up oleh adik iparku. Dia menggunakannya untuk menarik barang. Rencananya, adik iparku akan mencicil sebesar Rp 300.000,00 per bulan, untuk memenuhi kebutuhan anak-anakku. Namun, janji tinggal janji, rencana tinggal rencana. Mobil yang telah dicicil selama 8 bulan, dengan uang muka 18 juta rupiah tidak ada wujudnya ketika aku sampai rumah.

Dengan geram dan marah, antara sadar dan tidak aku memutuskan untuk kembali bekerja di negeri orang. Kali ini aku tidak memproses izin kerjaku. Aku menempuh jalur ilegal alias ‘jalur tikus’. Kali ini aku menuju Syria, yang pada saat itu, tahun 2012, dilanda konflik. Lika-liku perjalanan menuju negara itu sulit aku lupakan. Aku berkali-kali lolos dari pemantauan pihak  dan berhasil melewati beberapa batas negara. Alhamdulillah, aku bisa tiba di Syria dengan selamat. Satu tahun lamanya aku bekerja di negara itu. 

Aku bersyukur bisa kembali ke kampung halaman dengan selamat. Aku telah memutuskan, aku tidak akan pernah pergi lagi. Aku nikmati hidupku bersama anak-anakku dan ibu, sambil berpikir keras, bagaimana caranya menyambung hidup.  Aku pasrahkan hidupku pada Allah.

 

Kesempatan Itu Datang Lagi

Pada saat itu, Teh Ai datang ke rumahku dan kembali mengajakku bergabung dengan Pekka. Tanpa penjelasan apa-apa, Teh Ai langsung mengajakku ikut Pelatihan Paralegal Pekka. Selama mengikuti pelatihan itu, hatiku bertanya-tanya: “Kok Pekka sekarang begini ya? Kok punya center ya?” Dst. Aku betul-betul tercengang melihat perjuangan teman-teman Pekka.

Selama mengikuti kegiatan Pekka, aku benar-benar belajar sendiri. Di sela-sela itu, aku bertanya pada kader yang sudah senior, yang hanya dijawab sepintas lalu. Aku mengerti, mereka sibuk. Kebetulan, teman-teman menunjukku sebagai sekretaris Serikat, sehingga aku harus belajar mengenai cara pengajuan uang muka, menghitung RAB, juga AD/ART.

Tak dipungkiri, begitu banyak ilmu yang didapat selama aku bergabung dengan serikat Pekka. Aku jadi sering mengikuti pelatihan-pelatihan yang diadakan. Aku senang dilibatkan di berbagai pertemuan, undangan, kunjungan-kunjungan untuk melakukan advokasi. Padahal, aku tidak mengetahui program-program yang telah dilakukan ataupun sosialisasi yang dilakukan staf pemerintah dan LSM lain. Namun, aku dapat menangkap pandangan dan tujuan dari Pekka setelah mengikuti berbagai program-program yang diadakan, yaitu mengubah pandangan masyarakat yang selalu mengedepankan laki-laki. Padahal, perempuan juga harus diberi kesempatan untuk menerapkan pengetahuan dan pandangannya pada diri sendiri, juga keluarga dan masyarakat. 

Aku selalu diajak dan dilibatkan oleh Teh Ai dan Titin sepanjang 2014, meskipun tanpa dijelaskan dan harus memahami sendiri program-program Pekka yang diadakan. Ketika mengikuti Pelatihan Paralegal di tahun 2015 di Sari, aku meraba-raba hingga akhirnya mengerti sendiri mengenai pentingnya legalitas hukum dan membangun kesadaran hukum. Saat itu, aku dilatih oleh Mbak Wilu, Mbak Nunung, dan Mbak Mien.

Aku mensosialisasikan pengetahuan yang aku dapat dari pelatihan itu kepada teman, saudara, dan kelompokku. Semuanya masih belum paham betul mengenai hukum. Ternyata, masih banyak masyarakat yang belum paham tentang keharusan memiliki legalitas diri. Hal ini terlihat dari banyaknya anggota masyarakat yang meminta bantuanku untuk mengajukan perbaikan pencantuman nama dan tanggal lahir, yang sebelumnya mungkin ditulis secara asal-asalan. Hampir semua kerabatku meminta bantuan untuk memperbaiki data yang ada di Akta Kelahiran atau Kartu Keluarga. Mereka malas untuk meminta perbaikan kepada orang yang mengajukan, karena harus membayar mahal. Untuk membantu masyarakat seperti itu, aku dibantu oleh Ketua Serikat Pekka Cianjur, Ibu Nina. Beliau sudah terbiasa mondar-mandir ke instansi-instasi terkait.

Di kelompokku, aku mengadakan arisan sembako. Ini dilakukan agar anggota merasa bersemangat untuk datang ke pertemuan. Selain itu, kami juga mengadakan kegiatan simpan-pinjam dan menabung. Memang agak susah meminta ibu-ibu pekka untuk menabung. Bahkan untuk iuran serikat harus dibayarkan dari sisa hasil usaha LKM setiap tahun. Alhamdulillah, sekarang sebagian besar anggota, sudah memahami pentingnya menabung.

Aku dilibatkan sebagai peserta Akademi Paradigta Cianjur pada 2016. Aku benar-benar bersyukur, usai Akademi Paradigta, banyak akademia yang dilibatkan di pemerintahan, mulai tingkat RT sampai BPD. Misalnya, Ibu Nina Rosniar di Desa Cipendawa dan Ibu Marwiyah Tanjung di Desa Sukamanah, Kecamatan Cugenang sebagai anggota BPD, atau Ibu Lina di desa Cimasan, juga Ibu Rosmoati yang diangkat sebagai Ketua RT di Desa Sukanagalih.

 

Membuka Jalan Bagi Masyarakat

Kegiatan lain yang aku ikuti adalah pengajuan Surat Keputusan mengenai Pencegahan Perkawinan Anak ke Desa Cipanas, yang disetujui pada 2021. Program lainnya adalah PEKKA Mart yang telah berjalan selama kira-kira 6 bulan. PEKKA Mart memberi keuntungan kepada para anggota, dengan cara dari kita untuk kita. Bahkan, bagi kelompok koperasi yang telah bergabung dan merupakan kumpulan dari kelompok produksi bisa saling tukar kebutuhan.

Meskipun sistem penjualan agak sulit, terutama untuk pembelian sembako, anggota mau bersabar menunggu pesanan mereka datang. Biasanya, aku membawa barang-barang pesanan anggota setiap ada pertemuan. Barang-barang pesanan itu aku ambil langsung, kecuali minyak goreng yang aku selalu sediakan di rumah. Ketika pandemi COVID-19 melanda, Serikat Pekka Cianjur juga membagikan masker hasil produksi anggota.

Pada 13 Desember 2022, aku menghadiri audiensi dari Kementarian PPPA tentang penanganan kasus eksploitasi anak di Balai Pemerintah Daerah Cianjur. Audiensi ini adalah undangan dari Bapak Bupati Cianjur, dan diadakan setelah ditemukan adanya eksploitasi anak berusia 13 hingga 16 tahun asal Cianjur yang dipekerjakan di kafe-kafe di Bau-Bau dan NTB. Bahkan, ada 10 anak yang ditemukan dalam keadaan hamil. Para korban eksploitasi ini diberi pelatihan keterampilan, seperti salon, oleh ibu-ibu Pekka.

Pada 2015, aku menikah lagi. Alhamdulillah, suami keduaku baik. Dia mengizinkanku untuk mengikuti kegiatan Pekka, selama aku dalam keadaan sehat. Suamiku juga sudah terbiasa memasak dan mencuci baju sendiri. Aku berharap semakin banyak anggota Pekka yang betul-betul ingin memperjuangkan hak dan martabat perempuan. Aku percaya dengan banyaknya perempuan yang mendapatkan perubahan pola pikir maka bangsa ini akan semakin maju.

Bagikan Cerita Ini

Cerita Terkait

Leave a Comment