Pekka, Warisan Berharga dari Ibuku
Kisah Diri Sarah Nadila

Aku tidak sempat mengingat wajah ayahku. Tragedi akibat konflik senjata telah merenggut nyawanya di saat aku masih bayi. Ibu dan kakak-kakakku mengajarkan agar aku mampu hidup mandiri. Pekka mengasahku untuk menjadi dewasa, juga menjadi perempuan pemimpin.

Desa Dayah Tanoh, sebuah desa yang tidak jauh dari Kantor Kecamatan Mutiara Timur, Kabupaten Pidie. Mayoritas pekerjaan penduduk di desaku adalah buruh tani, pedagang, dan pekerja kantoran. Sebagian lain ada yang menjahit daun atap rumbia. Di desa tersebut aku dilahirkan, Sarah Nadila namaku, lahir pada Oktober 1997 dari seorang ibu yang bekerja sebagai buruh tani. Aku anak bungsu dari 8 bersaudara. Saat ini, aku tinggal bersama ibu dan 3 kakakku, karena kakak-kakakku yang lain sudah berkeluarga.

Ayahku meninggal dunia pada Maret 1998. Beliau menjadi korban penculikan saat terjadi peristiwa yang dikenal dengan nama Tragedi Rumah Geudong. Peristiwa ini terjadi di Desa Bili Aron, Kabupaten Pidie, di mana konflik antara GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dengan aparat TNI masih berlangsung. Ayahku bekerja sebagai tukang ojek pada saat itu, dan sekarang kami tidak tahu di mana beliau dimakamkan. Saat tragedi ini terjadi, aku masih berusia 5 bulan.

Aku mendengar kisah ini dari Ibu, yang masih merasakan sesak di dada setiap kali menceritakannya. Ayahku dituduh mendukung kelompok separatis GAM. Ketika mendengar berita tentang tuduhan itu, Ibu merasa takut dan cemas. Banyak sekali anggota masyarakat yang diculik dan disiksa berdasarkan tuduhan tersebut. Malam itu, Ibu menyarankan Ayah untuk melarikan diri dan bersembunyi. Namun, Ayah memilih tetap tinggal di rumah dan menjalankan aktivitasnya seperti biasa. Beliau merasa tidak pernah melakukan apa yang dituduhkan.

Suatu malam, setelah sekelompok aparat datang ke rumah mencari Ayah, beliau tidak pulang. Ibu benar-benar khawatir, sehingga tidak dapat tidur. Berhari-hari kami menanti dengan cemas, karena Ayah tidak kunjung pulang, dan tidak ada kabar darinya sama sekali. Hingga suatu pagi, kami mendapatkan kabar bahwa ayah kami telah tiada. Kabar ini benar-benar menyakitkan bagi Ibu, juga kami, anak-anaknya. Dunia terasa runtuh mendengarnya. Namun, keadaan memaksa Ibu untuk kuat bertahan dan berjuang demi kami.

Ibuku Adalah Tulang Punggung Keluarga

Ibu pun membanting tulang menafkahi keluarga. Abangku yang paling tua membantu Ibu menyokong perekonomian keluarga. Ibu bekerja siang dan malam, mulai dari buruh tani hingga pengrajin atap rumbia. Sementara, di dalam hatinya, Ibu juga berjuang untuk mengikhlaskan kepergian Ayah, serta menyembuhkan trauma dan luka yang beliau rasakan.

Ketika aku mulai bersekolah pada 2003, wilayah tempat tinggalku masih dilanda konflik. Sekolah Dasar yang berlokasi di dekat rumahku dibakar orang tak dikenal. Aku berkata kepada Ibu, bahwa aku tidak mau bersekolah di situ, karena sebagian bangunannya sudah hancur terbakar.

Ibu mendaftarkanku ke Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Beureneun, yang terletak di tepi Jalan Nasional Banda Aceh-Medan. Sekolah ini berjarak 3 km dari rumahku. Aku berangkat sekolah dengan diantar Abang atau Kakakku, secara bergantian. Setelah lulus dari sekolah ini, aku melanjutkan sekolah ke madrasah tsanawiyah yang juga terletak di Beureunuen. Untuk meringankan beban Ibu, aku tinggal di rumah abang pertamaku. Ia sudah bekerja dan menikah, sehingga mampu untuk membiayai hidupku. Aku senang tinggal bersamanya. Ia tidak membedakan aku dengan anak-anaknya. Saat duduk di kelas 3, aku mendapat kesempatan untuk mengikuti Kompetisi Expo Madrasah Tingkat Nasional 2011 di Jakarta. Aku memang tidak memenangkan apa-apa dalam kompetisi ini, tetapi aku tetap merasa senang sekali mendapatkan kesempatan ini.

Lulus dari madrasah tsanawiyah ini, aku melanjutkan ke madrasah aliyah di kota yang sama hingga tamat pada 2015. Aku pun kembali ke rumah Ibu di Desa Dayah Tanoe. Saat itu, aku ingin sekali kuliah di Banda Aceh. Namun, aku sadar bahwa kemampuan ibuku terbatas. Apalagi, pada saat itu ada kakakku yang masih kuliah, sementara kakak yang lain membantu Ibu mencari nafkah. Kenyataan ini membuatku semakin ragu untuk mengutarakan keinginanku.

Suatu sore, aku memberanikan diri untuk berkata terus terang kepada kakakku, bahwa aku ingin sekali kuliah. Aku juga mengatakan bahwa aku tidak akan kecewa, apabila keinginanku ini tidak disetujui keluarga. Jawaban kakakku sungguh di luar perkiraan. Kakakku langsung menyetujui keinginanku, bahkan dengan penuh semangat.

“Nanti uangnya dari mana?” Tanyaku. “Pasti ada uangnya. Yang penting, daftar saja dulu. Insya Allah pasti ada jalannya,” jawab kakakku.

Aku mengambil jurusan Perbankan Syariah di Universitas Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh. Biaya kuliah ditanggung Ibu dan kakak-kakakku. Untuk kebutuhan sehari-hari, aku bekerja sebagai guru les privat, juga guru mengaji di sebuah TPA. Selain itu, aku juga mengajar mengaji secara privat untuk dua keluarga. Alhamdulillah, uang dari hasil mengajar cukup untuk makan dan membeli buku kuliah. Selain mengajar, aku juga pernah bekerja sebagai pramusaji di sebuah rumah makan, menggantikan temanku yang bekerja di sana. Pernah juga aku menjadi penyaji makanan di sebuah kendurian. Untuk mengisi waktu luang, aku membuka jasa pengetikan dan pembuatan tugas. Aku senang, karena dapat bekerja tanpa mengganggu jadwal kuliah. Pekerjaan-pekerjaan yang aku lakukan membuatku sadar, bahwa aku harus mau melakukan pekerjaan apa pun, agar aku tidak terus menerus bergantung kepada Ibu dan kakak-kakakku.

Pekka, Warisan Berharga dari Ibu

Aku mengenal Pekka dari keluarga. Ibuku bergabung dengan Pekka pada 2002. Aku ingat betul, saat itu aku masih berusia 9 tahun. Ibu memintaku datang ke rumah Pak Muhammad. Rupanya, pada waktu itu sedang diadakan pembagian bantuan untuk anak-anak, berupa peralatan sekolah seperti: sepatu, tas, dan buku tulis.

Kakakku memutuskan bergabung dengan Pekka pada 2009, dan tetap aktif hingga sekarang. Aku sering melihat kakakku pergi ke kantor-kantor dinas untuk membantu masyarakat membuat Kartu Keluarga dan KTP, atau mendampingi ibu-ibu melakukan isbat nikah. Rumahku juga sering dikunjungi ibu-ibu, untuk membahas kegiatan simpan-pinjam.

Menjelang lulus SMA, secara iseng aku bertanya kepada kakakku, apa itu Pekka, dan mengapa Ibu dan beberapa ibu lain disebut pekka. Aku juga menanyakan mengapa kakakku juga disebut pekka, dan bagaimana cara kerja Pekka.

Kakakku lalu menjelaskan, bahwa Pekka adalah organisasi perempuan, khususnya perempuan kepala keluarga seperti Ibu, yang mencari nafkah untuk diri sendiri dan keluarga. Kakakku yang lajang tetapi harus mencari nafkah untuk diri sendiri, dan menyokong keluarga, juga termasuk dalam kategori pekka.

Kakakku menambahkan penjelasannya dengan mengatakan bahwa kegiatan Pekka antara lain adalah seperti yang ia lakukan, yakni: mendampingi ibu-ibu untuk melakukan isbat nikah, agar mereka bisa mendapatkan Surat Nikah. Kakak juga mendatangi kantor-kantor dinas untuk membuka kerja sama dengan pemerintah desa, membantu menyuarakan kepentingan perempuan, dan membantu mereka mendapatkan akses ke pemerintah untuk mendapatkan hak-hak mereka, seperti bantuan sosial, pembuatan KTP dan Kartu Keluarga.

Melihat Ibu dan kakakku berkegiatan bersama Pekka, membuatku tertarik untuk bergabung. Aku mengemukakan pandanganku ini kepada kakakku, dan berkata bahwa aku ingin bergabung dengan Pekka. Akhirnya aku bergabung dengan kelompok Pekka di desaku, Kelompok Jeumpa, pada awal 2020, saat pandemi COVID-19 mulai merebak.

Setelah bergabung, aku semakin tahu bahwa kegiatan-kegiatan Pekka bermanfaat sekali bagi perempuan. Organisasi ini mendorong perempuan untuk aktif dalam kehidupan masyarakat, membantu mereka memperoleh dokumen identitas, juga memberikan pelatihan-pelatihan yang berguna untuk meningkatkan kapasitas diri mereka.

Aku baru mulai aktif berkegiatan bersama Pekka setelah lulus kuliah, yakni pada 2021. Satu tahun kemudian, seorang kader Pekka, Kak Irzawati, dan Koordinator Pendidikan Akademi Paradigta Indonesia, Kak Fazriah, mengajakku untuk menjadi Mentor Kewirausahaan di Akademi Paradigta Indonesia.

Aku sangat kaget, karena aku dipilih untuk menjadi mentor. Aku pun harus mengikuti Pelatihan Mentor Kelas Kewirausahaan di Wisma Hijau, Depok, Jawa Barat, pada Agustus 2022. Aku benar-benar bersyukur, berkat pelatihan ini, aku bisa mendapatkan ilmu baru, juga lebih banyak pengetahuan mengenai Pekka dan Akademi Paradigta Indonesia.

Satu bulan sebelum berangkat ke Depok, kami mempersiapkan berbagai materi untuk sosialisasi awal kelas. Selain itu, aku bersama teman-teman, juga Koordinator Pendidikan API, Kak Fazriah, berkunjung ke kantor Bappeda, DP3AKB, dan Sekretaris Daerah, untuk mensosialisasikan akademi ini.

Sosialisasi kami diterima dengan baik oleh Kabid Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan, DP3AKB, Ibu Levi Ambara. Beliau mendukung penuh rencana kami untuk mengadakan Akademi Paradigta Kewirausahaan di Kecamatan Mutiara, karena beliau telah mengenal Pekka.

Setelah mendapat persetujuan dari dinas-dinas, kami datang ke Kantor Camat Mutiara untuk memperoleh izin membuka kelas Akademi Paradigta Kewirausahaan. Rupanya, Camat Mutiara baru terpilih, dan beliau belum mengenal organisasi Pekka. Setelah mendengarkan penjelasan kami, Pak Camat Mutiara menyambut baik rencana Pekka, dan memberi rekomendasi untuk membuka kelas di wilayah Desa Beureueh II.

Berdasarkan rekomendasi Camat Mutiara, keesokan harinya, kami berangkat ke Kantor Desa Beureueh II. Kami disambut oleh Bapak Keuchik (Kepala Desa), juga Tuha Peut (perangkat desa). Keuchik Desa Beureuh II meminta kami untuk menunggu selama beberapa hari, sementara beliau meminta para pegawai desa untuk mendata penduduk desa tersebut yang bersedia mengikuti Akademi Paradigta Kewirausahaan. Pada hari yang sama, kami juga berkunjung ke Kemukiman Busu, dan bertemu dengan Keuchik Busu.

Dari kunjungan-kunjungan yang kami lakukan, ada 37 orang yang bersedia menjadi peserta Akademi Paradigta Kewirausahaan. Mereka berasal dari Desau Beureueh II, Desa Busu Syarif, Desa Busu Balee, Desa Pereulak, dan Desa Busu Linkok.

Pertemuan dengan para pejabat dinas, pemerintah desa, dan akademia, mengajarkanku tentang bagaimana berkomunikasi dan berkoordinasi, terutama cara-cara memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud dan tujuan dari kegiatan yang aku dan teman-temanku di Pekka.

Akademi Paradigta dan Diskusi Kampung

Akademi Paradigta Indonesia Kewirausahaan dibuka dengan Forum Pemangku Kepentingan. Acara ini diselenggarakan pada Oktober 2022, di Meunasah Dayah Busu Balee, Kecamatan Mutiara. Perwakilan dari DP3AKB Kabupaten Pidie, Bappeda Kabupaten Pidie, Dinas Koperasi dan UMKM Kabupaten Pidie, Camat Mutiara, serta perwakilan dari pemerintah Desa Busu Balee, Desa Lingkok, Desa Pereulak, Desa Syarif, dan Desa Beureueh Meunasah Blang, hadir dalam Forum Pemangku Kepentingan ini. Selain itu, acara ini juga dihadiri ibu-ibu anggota Serikat Pekka Kabupaten Pide, dan Koperasi Wanita Maju Bersama Kabupaten Pidie.

Forum Pemangku Kepentingan dan pembukaan Akademi Paradigta Indonesia Kewirausahaan dibuka oleh Camat Mutiara, Bapak Saiful Amri, S.E. Dalam sambutannya, beliau berharap para peserta dapat memanfaatkan kesempatan ini, karena banyak hal yang bisa dipelajari secara gratis. Aku bertugas sebagai pembawa acara dalam acara ini.

Setelah akademi ini selesai, aku dan teman-teman mentor mendampingi pembentukan kelompok Pekka. Kami berhasil membentuk 4 kelompok, yaitu: Kelompok Jeumpa di Desa Blang Beureueh, Kelompok Seulanga, Kelompok Seroja, dan Kelompok Ikhtiar yang masing-masing beranggotakan 10 hingga 12 orang.

Di bulan pertama 2023, aku terlibat dalam Diskusi Kampung. Kegiatan yang merupakan hasil kerja sama dari Serikat Pekka Kabupaten Pidie dengan pemerintah desa, dengan tema “Penguatan Suara dan Pengaruh Perempuan Kepala Keluarga untuk Masyarakat yang Adil dan Inklusif melalui Pendekatan Ekonomi Berkeadilan.” Diskusi Kampung dilakukan di 5 lokasi, yaitu: Desa Dayah Syarif, Desa Peureulak, Desa Lingkok Busu, Desa Balee Busu, dan Desa Blang Beureueh, yang semuanya berada di wilayah Kecamatan Mutiara, Kabupaten Pidie.

Diskusi Kampung ini dihadiri pemerintah desa, anggota Serikat Pekka Kabupaten Pidie, akademia, mentor, dan fasilitator lapang. Ibu-ibu yang hadir dalam acara ini sangat senang, karena mereka dapat secara langsung mengutarakan keinginan untuk membuka usaha dan memajukan perekonomian desa. Mereka juga secara lugas mengatakan, bahwa mereka berharap mendapat dukungan dari pemerintah desa.

Para perwakilan desa yang hadir dalam Diskusi Kampung menyatakan dukungan mereka atas usaha yang akan dijalankan oleh ibu-ibu pekka. Hasilnya adalah dimulainya beberapa usaha di masing-masing desa, yakni: peternakan bebek dan telur asin di Desa Dayah Syarif, usaha makanan siap saji untuk ibu-ibu di Desa Lingkok Busu, usaha kue rumahan untuk para ibu pekka di Desa Blang Beuerueh, serta usaha usaha kue kering dan mie caluek untuk Kelompok Seroja. Usaha lain yang diadakan oleh para mentor adalah membuat sabun cuci piring. Kegiatan ini dilakukan pada Maret 2023.

Selama satu tahun (2022-2023), aku banyak mengikuti kegiatan. Selain aktif bersama Pekka, aku juga terlibat dalam pendataan awal Sensus Registrasi Sosial Ekonomi pada Oktober 2022. Saat sedang mendata, ada seorang ibu responden yang bertanya tentang pembuatan BPJS. Ia ingin mendaftarkan anaknya yang baru lahir. Aku bercerita tentang KLIK PEKKA yang baru saja diadakan di Desa Cot Kuthang, dan kegiatan yang sama akan diadakan di Desa Meucat Adan beberapa hari kemudian. Aku pun menyarankan ibu tadi untuk datang.

Kegiatan-kegiatan bersama Pekka benar-benar membuka wawasanku. Aku tadinya berpikir, pemimpin adalah orang-orang yang memegang jabatan tinggi di pemerintahan, seperti kepala desa dan camat. Namun, setelah mempelajari cara-cara mengorganisir masyarakat, dan menggerakan kelompok, serta belajar tentang kepemimpinan dan perempuan, pola pikirku berubah. Siapa saja bisa menjadi pemimpin.

Pemimpin adalah orang yang mampu mempengaruhi orang lain, bijaksana, dan mampu mengambil keputusan. Seorang ibu yang menafkahi keluarganya juga bisa disebut sebagai pemimpin. Ini berarti, kepemimpinan tidak memandang jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan bisa menjadi pemimpin, selama ia amanah, jujur, dan bertanggung jawab atas keputusan yang ia ambil, serta bisa melakukan perubahan untuk membuat keadaan menjadi lebih baik.

Pola pikir lain yang berubah adalah, dulu aku menganggap janda adalah perempuan biasa yang tugasnya merangkap sebagai pencari nafkah utama untuk keluarga. Setelah melihat Ibu, Kakak, dan teman-teman di Pekka, aku menyadari bahwa perempuan kepala keluarga adalah perempuan istimewa. Mereka berharga, mereka tidak boleh dipandang sebelah mata. Kita harus merangkul mereka, dan memberi jalan agar mereka dapat meningkatkan kapasitas mereka. Kita juga perlu membantu mereka dalam mengakses hak-hak mereka, agar kedudukan mereka bisa setara di dalam kehidupan masyarakat. Pandangan ini membuatku ingin terus dapat berkontribusi bersama Pekka, agar aku dapat membantu perempuan kepala keluarga tetap berdaya.

Aku pun merasakan perubahan di dalam keluarga. Aku yang tadinya dianggap masih kecil, sekarang pendapatku sudah didengar dalam setiap diskusi keluarga. Aku jadi berani mengemukakan pendapat, dan mengarahkan keluarga untuk lebih peka terhadap isu-isu perempuan. Aku merasa sudah mampu berdikari, bahkan berkontribusi dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari di rumah. Aku telah mendapatkan proses pendewasaan melalui kegiatan-kegiatan yang aku jalani.

Aku berharap Pekka akan selalu ada, semakin berkembang, dan semakin dikenal luas. Pekka telah terbukti mampu mendampingi kaum marginal, terutama dalam mengembangkan kapasitas perempuan kepala keluarga.(*)

Bagikan Cerita Ini

Cerita Terkait

Leave a Comment