Semakin Berdaya Setelah Menjadi Tulang Punggung Keluarga
Kisah Diri Siti Homsiyah

Keras kepala adalah sifatku. Aku menentang perjodohan dan keputusan orang tua agar aku berhenti sekolah. Sifat ini yang akhirnya menolongku ketika harus menjadi tulang punggung keluarga. Akademi Paradigta Kewirausahaan dari Yayasan PEKKA membuka pikiranku, bahwa aku mampu menjalani semuanya.

 

Aku diberi nama Siti Homsiyah. Aku lahir menjelang akhir tahun 1993, sebagai anak keempat dari lima bersaudara. Aku lahir dari keluarga kurang mampu. Sama seperti sebagian besar warga di desaku, ayahku bekerja sebagai petani. Apabila sedang tidak musim bertani, para laki-laki akan merantau ke luar kota atau pulau.

Desa tempat tinggalku berlokasi di pelosok Pulau Madura, dan jauh dari jalur transportasi. Namanya Desa Klapayan, bagian dari Kecamatan Sepulu, Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur. Untuk bersekolah, aku harus berjalan kaki sejauh  dua kilometer dengan melewati sawah-sawah. Selama musim hujan, jalanan becek dan licin, dan di musim kemarau banyak jalanan berlubang.

Ketika masih duduk di SD, aku sempat ikut olimpiade matematika tingkat kecamatan, dan meraih juara ketiga. Aku memang selalu giat belajar, agar orang tuaku bangga. Sayangnya, keadaan ekonomi membuat Ayah melarangku untuk melanjutkan pendidikan setelah aku lulus SD. Aku benar-benar merasa sedih. Apalagi, teman-temanku telah memiliki rencana dan memilih sekolah favorit mereka.

Aku tidak mau menyerah begitu saja. Aku meminta bantuan kakak sulungku untuk memberi pemahaman kepada Ayah, betapa pentingnya pendidikan. Aku juga memintanya untuk membiayai sekolahku, karena pada saat itu dia telah bekerja sebagai buruh bangunan di Balikpapan, Kalimatan Timur. Penjelasan kakakku membuat hati Ayah luluh. Aku diizinkan untuk melanjutkan sekolah ke sebuah madrasah tsanawiah di Kecamatan Geger, Kabupaten Bangkalan, pada 2005. Kemudian, aku melanjutkan sekolah ke sebuah SMK dengan mengambil jurusan Teknik Komputer Jaringan.

Kekeraskepalaanku juga berlaku terhadap tradisi perjodohan dan pernikahan dini. Aku berjuang agar bisa terus bersekolah, dan menolak tradisi tersebut. Namun, aku tidak bisa melawan keadaan ketika lulus dari SMK. Aku terpaksa berbesar hati untuk tidak kuliah. Akhirnya aku memutuskan untuk merantau ke Balikpapan, Kalimantan Timur.

Aku bekerja sebagai pegawai di sebuah toko aksesoris. Di toko inilah aku berkenalan dengan seorang laki-laki yang kelak menjadi suamiku. setelah bekerja selama 3 tahun, aku pindah bekerja ke sebuah toko ritel sebagai kasir. Aku menorehkan prestasi sebagai karyawan teladan di toko ini. Aku bahkan sempat dikirim ke Jakarta karena prestasi kerjaku. Pendapatanku dari hasil merantau aku kirim ke orang tua, untuk membiayai sekolah adikku. Aku menjadi harapan mereka, karena ketiga kakakku sudah berkeluarga.

Siapa sangka, ketika aku memutuskan untuk pulang kampung di awal 2016, aku menikah dengan laki-laki yang aku kenal di tempat kerja pertama. Setelah menikah, aku pindah ke rumah orang tua suami di Desa Oengkolaki, Kecamatan Mawasangka, Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara. Kami dikaruniai dua anak laki-laki. Meski tinggal di rumah, aku memberi layanan memermak pakaian. Hasilnya cukup untuk membantu suami memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Suamiku kemudian diangkat menjadi kepala dusun. Untuk menambah penghasilan, ia bekerja sebagai buruh lepas. Aku senang tinggal di Buton. Sebagian besar penduduk di wilayah ini bekerja sebagai nelayan. Mereka juga pandai mengelola potensi alam yang ada di lingkungan mereka. Banyak sekali perempuan yang ikut mencari nafkah. Bahkan, anak-anak dan remaja mereka giat bekerja untuk membantu orang tua mereka. Satu-satunya hal yang aku rasakan kurang adalah sinyal internet yang sulit didapat. Aku merasa sedikit kesulitan untuk mengakses informasi lewat media sosial.

Awal tahun 2020, suamiku jatuh sakit sehingga tidak bisa melakukan aktivitas apa pun selama tiga bulan. Aku jadi harus mengurusnya, selain anak-anakku yang memang masih kecil-kecil. Fungsi kepala keluarga pun musti aku ambil alih. Aku harus mencari nafkah, karena gaji suamiku sebagai kepala dusun hanya cukup untuk berobat.

Aku hampir menyerah akan keadaan ini. Namun, aku bisa bernapas lega setelah pelangganku bertambah banyak. Aku tetap bisa mendapatkan uang tanpa meninggalkan suami dan anak-anak.

Setelah suamiku sembuh, aku mulai aktif ikut kegiatan di desa. Aku terlibat dalam kegiatan PKK, musrembang, dan lain-lain, dengan tetap menjahit di rumah. Sekitar bulan September 2022, istri Kepala Desa memintaku untuk mewakili dusun dalam kelas Akademi Paradigta Kewirausahaan (APK).

Sebelum kelas akademi dimulai, kami dikumpulkan dan dijelaskan tentang Pekka. Aku langsung tertarik dengan komunitas ini, karena menurutku Pekka merupakan wadah bagi para perempuan. Namun, yang paling menggugahku adalah tujuan Pekka, yakni menjunjung tinggi harkat dan martabat perempuan, khususnya yang menjadi kepala keluarga.

Aku bertambah semangat untuk berkegiatan bersama Pekka setelah mengikuti kelas Akademi Paradigta Kewirausahaan. Aku jadi bisa bertemu perempuan-perempuan hebat dari berbagai desa, sekaligus bertukar pikiran dan berbagi pengalaman.

Setelah wisuda sebagai tanda kelulusan dari APK, kami diberi tugas untuk membentuk kelompok. Untuk saat ini, baru ada satu kelompok yang berhasil kami bentuk, dengan jumlah anggota 25 orang. Sayangnya, hanya 12 orang yang aktif dalam kegiatan kelompok.

Kegiatan kami selama ini adalah mengelola bahan baku yang tersedia di lingkungan kami, sebagai modal usaha bersama. Kami mencoba menjalankan usaha pembuatan keripik rumput laut dan virgin coconut oil (VCO). Selain itu, kami juga memulai kegiatan simpan-pinjam yang baru berjalan dalam tiga bulan ini.

Selama kami mengikuti APK, kami sering ditanya, untuk apa ikut APK, dan setelah itu mau jadi apa? Kami mencoba menjelaskan program-program dan kegiatan-kegiatan Pekka. Bahwa Pekka bertujuan memberdayakan perempuan, terutama di bidang ekonomi, yang tidak memiliki suami karena suaminya meninggal dunia atau bercerai, atau yang belum menikah tetapi harus menopang kehidupan orang tuanya dan saudara-saudaranya.

Kami bisa dengan mudah mendekati masyarakat karena istri Kepala Desa juga ikut sebagai peserta APK. Beliau bahkan bersedia bergabung dengan kelompok kami. Berkat keikutsertaan beliau, banyak anggota masyarakat yang mendaftar untuk menjadi peserta APK untuk periode selanjutnya, tanpa perlu diajak. Mereka juga telah membentuk satu kelompok Pekka, dan melakukan usaha bersama.

Banyak pengetahuan yang membawa perubahan baik dalam diriku setelah aku bergabung dengan Pekka. Aku merasa lebih percaya diri dan berani. Aku pun bersyukur, karena suamiku mendukung kegiatan-kegiatanku bersama Pekka.

Untuk di tahun-tahun mendatang, aku bersama teman-teman di kelompok Pekka akan terus mengembangkan kelompok kami. Kami ingin dapat membuat lebih banyak kelompok dan memanfaatkan bahan baku yang tersedia di desa kami untuk mengembangkan usaha kelompok.

Aku berharap Pekka terus berkembang dan melahirkan generasi perempuan luar biasa. Semoga, ilmu yang aku dapat dari Pekka bisa bermanfaat baik untuk diriku, keluargaku, juga untuk masyarakat di sekelilingku.(*)

Bagikan Cerita Ini

Cerita Terkait

Pekka Menjauhkanku Dari Rentenir: Kisah Diri

Pekka Menjauhkanku Dari Rentenir Aku sempat terjerat b...

Dari Tulang Punggung Keluarga Ke Pengorganisi

Dari Tulang Punggung Keluarga Ke Pengorganisir Kelompok...

Leave a Comment