Bangkit dan Kembali Kuat Lewat Sungai Kehidupan
Kisah Diri Eva Nurlina Septiana

Aku pernah terpuruk dua kali. Aku mengambil pelajaran dari kesulitan-kesulitan yang pernah aku alami. Melalui kegiatan simpan-pinjam dan koperasi, Pekka mengajariku untuk mandiri.

Aku lahir sebagai anak yatim. Ayahku meninggal dunia ketika aku masih berada dalam kandungan Ibu. Empat puluh hari setelah Ayah meninggalkan kami, di pertengahan September 1989, aku lahir di sebuah dusun di Desa Bagik Payung, Kecamatan Suralaga, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Namaku Eva Nurlina Septiana. Aku memiliki seorang kakak.

Ibu menikah lagi dengan seorang duda ketika aku berusia empat tahun. Aku berpisah dengan Ibu, dan tinggal bersama Nenek. Meski demikian, aku tetap mendapat kasih sayang dari beliau. Kehidupan Ibu dengan ayah sambungku baik secara ekonomi, sehingga mereka menginginkanku untuk sekolah setinggi mungkin. Oleh sebab itu, setelah lulus SMA pada 2008, aku melanjutkan pendidikanku di sebuah sekolah tinggi swasta di Lombok.

Di tengah perjalananku mencapai cita-cita, aku kawin lari dengan seorang laki-laki yang tidak aku kenal sebelumnya. Aku sendiri tidak pernah mengerti, mengapa aku memilih dia, dan mengambil keputusan itu. Padahal, aku baru bertemu dua kali dengan laki-laki itu. Semua orang yang mengenalku berpikir bahwa aku terkena peletan.

Orang tuaku tidak pernah memberi restu. Mereka ingin aku kembali, tetapi karena cinta, aku bersikukuh untuk tetap tinggal bersama laki-laki itu. Akhirnya, mereka menyerah dan memberi restu. Mereka bahkan membangunkan rumah untuk kami.

Suamiku bekerja sebagai kuli bangunan. Untuk mencukupi kebutuhan kami, aku bekerja sebagai guru honorer di sebuah madrasah tsanawiyah di Kecego, Lombok Timur. Di tengah kesibukan ini, aku tetap kuliah. Aku tetap menjalankan kedua aktivitas ini, meskipun aku hamil. Anak kami lahir pada pertengahan 2012. Sebagai orang tua, tentu saja aku merasa sangat bahagia.

Sayangnya, kebahagiaan itu tidak menutupi kenyataan buruk akibat perangai suamiku. Ia jarang pulang. Kata orang, ia sering jalan bersama perempuan. Ia pun sering memukulku. Puncaknya adalah ketika ia membawa seorang perempuan ke rumah saat Idulfitri. “Teman,” kata dia. Aku hanya menangis, dan tidak bisa berbuat apa-apa.

Mertua dan saudara-saudara iparku jatuh iba melihat keadaanku. Mereka menyuruhku pergi merantau. Apalagi, suamiku tidak pernah memberiku nafkah. Aku mengikuti kata-kata mereka, meskipun dengan berat hati. Anakku lantas diasuh oleh ibuku. Suamiku tidak peduli, dan membiarkanku pergi.

Aku mengikuti pembekalan sebelum berangkat bekerja ke luar negeri pada 2014. Di saat menunggu itu, suamiku meminta dikirimi uang untuk belanja. Ia berjanji untuk mengembalikan uang itu dalam tiga hari. Tanpa pikir panjang, aku menuruti permintaannya. Namun, uang itu tidak pernah ia kembalikan. Aku tidak pernah menanggapi teleponnya lagi setelah kejadian itu. Aku sudah tidak percaya lagi. Mungkin karena kesal, ia menjatuhkan talak melalui pesan singkat. Pesan itu aku teruskan kepada orang tuaku. Dan dengan tekad kuat, aku bersikukuh pada niatku untuk merantau, meskipun orang tua memintaku untuk kembali ke Lombok.

Aku mendapat pekerjaan di Oman. Alhamdulillah, majikanku sangat baik. Mereka selalu membayar gajiku tepat waktu, dan beberapa kali menaikkan gajiku. Empat tahun aku tinggal bersama mereka, hingga aku bertemu dengan seorang laki-laki melalui Facebook. Ia berasal dari desa yang sama denganku, dan kami bersekolah di SD yang sama. Kami sama-sama merantau. Aku bekerja di Oman, sedangkan ia di Malaysia.

Akhirnya, kami bersepakat untuk menikah. Aku pun pulang ke Lombok pada Desember 2018, untuk mengurus Surat Cerai dan berkas-berkas lain, dan menyiapkan pernikahanku. Kami pun menikah pada Januari 2019, dengan pesta yang amat sederhana. Setelah menikah, aku tinggal bersama mertua. Aku bahagia, karena kali ini pernikahanku direstui oleh orang tua.

Aku dan suami sama-sama tidak bekerja, dan menumpang hidup kepada orang tua suamiku. Melihat kondisi ekonomi kami yang semakin buruk, dengan berat hati suamiku kembali merantau. Aku sedih ditinggal suami, karena saat itu aku sedang hamil.

Kehamilan tidak menghentikanku untuk beraktivitas. Aku bergabung dengan tim Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Aku terpilih karena di daerah tempat tinggalku, hanya sedikit anggota masyarakat yang pernah kuliah sepertiku.

Anakku dari pernikahan kedua ini lahir pada Oktober 2019. Kami semua bahagia, meskipun aku juga merasa sedih karena melahirkan tanpa didampingi suami. Aku bersyukur, suami tidak pernah putus mengirimkan gajinya. Uang itu cukup untuk memenuhi kebutuhan aku dan anakku setiap hari.

Pada Juli 2020, kader Pekka, Ibu Haerun Nubuah, dan ketua kelompok Pekka di desaku, Fitriana Hendriani datang ke rumah. Mereka melakukan pendataan, sekaligus sosialisasi tentang Pekka. Ibu Haerun menjelaskan apa itu Pekka, dan apa saja manfaatnya. Hatiku langsung tersentuh dan tiba-tiba saja ingin bergabung dengan komunitas ini. Apalagi setelah mendengar penjelasan Ibu Haerun, bahwa Pekka bertujuan untuk membantu perekonomian para perempuan kepala keluarga. Aku lihat, Ibu Haerun adalah seorang janda, tetapi ia bisa menyekolahkan anaknya sampai kuliah.

Beberapa hari kemudian, Ibu Haerun dan Ibu Fitri mengajakku berkumpul bersama beberapa ibu janda. Dengan semangat tinggi, aku dan ibu-ibu yang berkumpul membentuk kelompok baru. Walaupun ada juga yang enggan bergabung. Mereka takut diminta mengeluarkan uang bila ikut kelompok.

Kelompok ini kami beri nama Anisa Bahagia, dengan anggota 14 orang. Aku diangkat sebagai ketua kelompok, karena berpendidikan tinggi. Aku dibantu Ibu Haeriah sebagai wakil ketua kelompok, dan Ibu Nurhayati yang ditunjuk sebagai bendahara. Kami bersepakat untuk untuk bertemu setiap tanggal 1 dan 15. Dari pertemuan rutin ini, kami bergabung dengan kelompok lain yang ada di desa kami, yakni Kelompok Anisa Sejahtera.

Dalam setiap pertemuan, kami melakukan kegiatan simpan-pinjam, arisan, dan jual-beli sembako. Penjualan sembako dilakukan dengan meminta anggota yang berjualan atau memiliki kios di rumah untuk membawa barang dagangan mereka untuk dibeli anggota lain. Pembayaran dilakukan dengan sistem utang, yang akan dibayar pada pertemuan di bulan berikutnya.

Di tengah kegembiraanku berkegiatan bersama Pekka, tiba-tiba suamiku mengucapkan talak. Peristiwa itu terjadi ketika aku mengunjungi ibuku yang sedang jatuh sakit. Melihat keadaan ibuku, aku kembali ke rumah untuk mengambil uang, lalu kembali ke rumah orang tua untuk menginap. Di saat aku mengambil uang di lemari, aku melihat adik iparku sedang menelepon seseorang. Aku menaruh curiga pada adik iparku, karena ketika ia melihatku, teleponnya langsung ia matikan. Di tengah perjalanan menuju rumah orang tua, suamiku menelepon. Ia marah-marah. “Pokoknya, saya tidak mau dengan orang yang suka bohong dan licik,” kata dia. Kalimat itu disusul dengan kata-kata kasar dan kotor. Aku tidak tahan, dan minta cerai. Permintaanku langsung dibalasnya dengan talak.

Menjalani statusku yang baru sangat tidak mudah. Banyak omongan negatif mengenai diriku yang tidak sesuai dengan kenyataan. Untuk keluar rumah pun aku malu, karena aku merasa setiap orang melihatku dengan pandangan menuduh. Aku nyaris putus asa, dan ingin kembali merantau. Aku bersyukur, teman-temanku di kelompok Pekka selalu mendukung. Mereka selalu memberiku saran yang positif. Setiap hadir dalam pertemuan, aku merasa seolah-olah masalahku tidak ada. Apalagi ketika melihat semangat ibu-ibu pekka yang luar biasa.

Pada Januari 2021, kelompok kami bersepakat untuk membentuk koperasi, sebagai pengembangan dari kegiatan simpan-pinjam yang secara rutin kami lakukan. Sejak saat itu, kegiatanku bersama Pekka semakin banyak. Selain pertemuan rutin kelompok, aku juga menghadiri pertemuan koperasi yang diadakan setiap bulan.

Kegiatan koperasi benar-benar membantuku dalam memenuhi kebutuhan hidup. Aku bisa meminjam uang dari koperasi untuk modal berjualan produk kosmetika, pakaian, dan peralatan rumah tangga. Pelangganku bisa memesan produk-produk yang mereka inginkan secara daring, dan aku akan mengantarnya ke rumah mereka. Suamiku memang memberi jatah bulanan untuk anakku. Jumlahnya memang tidak seberapa, tetapi tetap aku syukuri pemberiannya.

Ketika aku mengikuti Pelatihan Paralegal yang diselenggarakan Yayasan PEKKA di Desa Jenggik, Kecamatan Terara, aku belajar membuat sungai kehidupan. Dalam kegiatan ini, para peserta pelatihan diminta menceritakan kehidupannya sejak lahir sampai saat mengikuti pelatihan dalam bentuk aliran sungai. Ternyata, aku baru menyadari berbagai persoalan dan kegagalan yang pernah aku alami. Melalui sungai kehidupan ini aku juga menyadari bahwa hidupku memang berat, tetapi ternyata banyak orang lain yang mengalami kesulitan hidup yang lebih berat. Pengetahuan ini membuatku merasa kuat dan ingin bangkit dari keterpurukan.

Selain itu, selama tahun 2020-2021, aku bersama Bu Haerun ikut dalam kegiatan pendataan dari desa di Bagik Payung Selatan dan Suralaga. Tantangan yang kami dapatkan selama melakukan pendataan adalah waktu. Kebanyakan masyarakat tidak berada di rumah saat pagi hari. Mereka bekerja di sawah sedari pagi hingga siang. Akibatnya, kami sulit menemui dan mendata mereka. Akhirnya, kami meminta bantuan dari kader-kader di desa tersebut untuk mengumpulkan data. Kami juga mengajak mereka berkunjung ke rumah warga.

Kesulitan lain adalah mencari rumah warga. Biasanya, orang tua mencantumkan nama anaknya sebagai pengganti nama mereka. Kebiasaan ini menyebabkan kami sulit menemukan rumah mereka ketika melakukan pendataan.

Selama mengumpulkan data, kami banyak mendengar keluhan dari masyarakat mengenai bantuan. Mereka belum pernah mendapat bantuan dari pemerintah, sehingga mereka beranggapan bahwa pendataan yang kami lakukan akan membuat mereka segera mendapat bantuan. Aku dan Bu Haerun pun menjelaskan secara hati-hati, apa sebenarnya tujuan dari pendataan yang kami lakukan.

Pada dasarnya, aku lebih sering aktif berkegiatan di ruang lingkup kelompokku. Apalagi, kelompok Anisa Bahagia memproduksi kopi bubuk. Inisiatif memproduksi kopi bubuk datang dari kebutuhan para anggota, yang memang meminum kopi setiap hari.

Bahan dasar pembuatan kopi bubuk adalah biji kopi dan beras. Kami membuatnya sesuai dengan permintaan pembeli. Setiap bulan, kami menghabiskan 5 kilogram biji kopi. Untuk setiap toples kopi, kami menjualnya dengan harga Rp 30 ribu.

Sebelum kami mengikuti berbagai pelatihan wirausaha, kami menggunakan toples bekas sosis yang kami beli dari anggota. Setiap anggota yang membawa toples bekas, kami catatkan ke dalam simpanan sukarela mereka.

Selain mengembangkan usaha kopi bubuk, kami juga mengembangkan usaha minyak kelapa. Bahan baku kelapa kami dapatkan dari anggota. Kelapa yang dibawa anggota ke pertemuan kelompok akan dicatat sebagai simpanan sukarela mereka.

Kelapa yang telah dikumpulkan diproses menjadi minyak. Batok kelapanya dijual kepada pengumpul, sementara ampas minyaknya dijual kepada anggota. Sampai saat ini, minyak kelapa yang kami produksi dijual di kalangan anggota kelompok saja. Sekarang, kami telah mendapatkan bantuan dari desa, berupa mesin parut kelapa. Setiap bulan, kami bisa memproduksi 50 kemasan berukuran 500 ml.

Kelompok kami kemudian mendapat kesempatan untuk mengikuti pelatihan yang difasilitasi langsung oleh Dinas Koperasi dan Dinas Kesehatan. Berkat pelatihan ini, kami telah mendapatkan Nomor Induk Berusaha (NIB), lalu setelah itu memperoleh Perizinan Industri Rumah Tangga (PIRT), serta label halal yang masih kami tunggu pengesahannya.

Materi yang kami dapat di pelatihan tersebut mendorong kami untuk mengubah kemasan kopi bubuk yang kami produksi, agar menarik minat masyarakat di luar kelompok kami. Setiap toples yang berisi bubuk kopi seberat 200 gram, kami jual dengan harga Rp 20 ribu. Laba bersih dari penjualan kopi aku catat sebagai uang kas kelompok.

Setiap bulan, kelompok kami telah mampu memproduksi 5 kilogram kopi. Aku jadi sering berpartisipasi dalam pasar murah UMKM, salah satunya adalah yang diadakan di Balai Pelatihan Vokasi dan Produktivitas (BPVP) Kabupaten Lombok Timur saat acara Dharma Wanita se-Indonesia.

Pekka telah mengantarku untuk mengenal banyak orang dan lembaga. Tidak hanya mengikuti pelatihan yang berguna untuk kepentingan pribadiku dan kelompok, tetapi juga untuk kepentingan masyarakat. Seperti ketika aku diajak untuk melakukan sosialisasi ke kantor-kantor dinas yang ada di Kabupaten Lombok Timur, serta ke Kantor Desa Sukamulia Induk. Kami berlima: Bq. Winar Ningsih, Mustaqimatun, Haerun Nubuah, Fitriana Hendriani, dan aku sendiri, tidak hanya menjelaskan profil dan program-program dari Yayasan PEKKA, tetapi juga mengantarkan surat undangan untuk acara Forum Pemangku Kepentingan (FPK).

Aku sama sekali tidak membayangkan akan bisa menginjakkan kaki ke kantor-kantor dinas, sekaligus bertemu dengan para pejabatnya. Pekka benar-benar telah  mengubahku. Aku merasa telah menjadi perempuan yang kuat, dan mampu bersosialisasi secara baik dengan masyarakat. Berkat Pekka, aku mendapat pengetahuan tentang berwirausaha dengan baik. Aku pun menjadi perempuan mandiri dan mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari untukku dan anakku. Dan yang paling aku syukuri adalah: masyarakat di sekitar tempat tinggalku tidak lagi merendahkanku. Mereka justru menghargaiku.

Aku memang telah mengalami kegagalan dalam hidup. Namun, semua itu aku jadikan pelajaran dan motivasi untuk terus berjuang demi diriku sendiri, anakku, keluarga, dan orang lain. Semoga kisah hidupku ini bisa menginspirasi banyak orang, terutama ibu-ibu yang menjadi kepala keluarga.(*)

Bagikan Cerita Ini

Cerita Terkait

Leave a Comment