Bangkit dari Kemiskinan di Kampung Orang
Kisah Diri Soinem

 

Aku dibesarkan dalam keadaan benar-benar miskin, oleh ibu yang pernah dipasung karena menderita gangguan kesehatan mental. Bertahun-tahun aku merantau ke banyak tempat. Di kampung suami aku bertemu dengan Pekka, dan mendapatkan jalan untuk memperbaiki kondisi ekonomi keluarga.

Namaku Soinem Aku lahir pada 1974 di Desa Purbosuman, Kecamatan Ponorogo, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Desaku ini dikenal dengan sebutan kampung sate, karena mayoritas penduduknya berjualan sate. Ayah dan ibuku bekerja sebagai pedagang kue keliling. Malam hari, ayahku juga berkeliling desa menjajakan wedang jahe. Aku memiliki empat orang adik, dua laki-laki, dan dua perempuan.

Saat aku berusia 5 tahun, kami pindah ke rumah Nenek yang juga terletak di Desa Purbosuman. Rumah yang kami tempati sebelumnya tidak memiliki akses menuju jalan desa, dan keadaan ini menyulitkan kami untuk beraktivitas.

Ketika aku berusia 9 tahun, aku mulai memahami keadaan orang tua yang kurang mampu. Ayahku mulai sakit-sakitan karena penyakit jantung. Akibatnya, ibuku yang menjadi lebih dominan dalam mencari uang untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Aku mendesak Ibu untuk membantu menjajakan kue buatannya setelah pulang sekolah. Awalnya Ibu melarang, tetapi akhirnya mengalah karena aku terus menerus mendesaknya. Keuntungan dari berjualan kue aku pakai untuk membeli buku pelajaran. Aku sangat senang, meskipun aku hanya mampu membeli buku bekas.

Kemiskinan membuatku pernah mengalami perundungan. Saat duduk di kelas 5 SD, seorang tetangga melarangku bermain dengan cucunya. Aku dikejar, dicaci maki, dan bahkan diludahi, hanya karena aku anak orang miskin. Aku tidak berani mengadu kepada Ibu, dan hanya bisa menangis.

Setelah lulus SD pada 1990, aku terpaksa mengubur keinginanku untuk terus bersekolah. Kondisi ekonomi keluargaku sama sekali tidak memungkinkan untuk aku melanjutkan pendidikan. Untuk kehidupan sehari-hari saja, keluargaku harus dibantu oleh Nenek dan saudara-saudara kandung ibuku. Apalagi, adik-adikku masih bersekolah.

Aku memutuskan untuk menerima tawaran dari seorang tetangga untuk bekerja di sebuah toko kelontong di pusat kota Ponorogo. Menurutku, gaji sejumlah Rp 30 ribu per bulan sudah besar. Aku berhenti setelah setahun bekerja, karena harus menjaga Nenek yang sakit keras.

Pada suatu siang, ketika aku sedang menjaganya, Nenek tiba-tiba menangis dan meminta maaf kepadaku. Aku belum sempat bertanya mengapa Nenek menangis, tiba-tiba Ibu pulang dari berjualan. Ibu menutup mulut ketika aku tanya tentang apa yang membuat Nenek menangis. Baru pada keesokan paginya, Ibu bercerita. Nenek menyesali sikapnya yang tidak adil kepada keluarga Ibu, terutama kepada anak-anak Ibu. Waktu kami berempat masih kecil, Nenek sering memarahi kami. Sekarang, setelah Nenek jatuh sakit, para cucu yang dulu beliau banggakan tidak mau merawatnya. Mereka sibuk dengan urusan keluarga masing-masing.

Setelah Nenek sembuh, aku merantau ke Surabaya untuk bekerja. Aku bekerja sebagai asisten rumah tangga di sebuah keluarga keturunan Cina. Semua gaji yang aku terima aku kirim ke kampung untuk membantu Ibu dan Nenek. Namun, baru setahun menikmati pekerjaanku, aku diminta pulang karena Ibu jatuh sakit.

Ibu mengalami depresi. Sungguh berat melihat keadaan Ibu, yang tidak lagi bisa mengenali anak-anaknya. Aku pun teringat kejadian ketika aku masih kecil. Aku pernah melihat seorang perempuan dipasung di rumah kami. Kelak, aku diberitahu Ibu, bahwa perempuan yang dipasung itu adalah Ibu.

Belum lagi aku sanggup menerima kenyataan atas kondisi Ibu, Nenek meninggal dunia. Kepergian Nenek semakin memperparah kondisi kejiwaan Ibu. Hari-hariku kemudian diisi dengan menemani Ibu berobat ke rumah sakit jiwa, juga klinik pengobata alternatif, hingga kondisi Ibu membaik.

Meskipun kondisi kesehatan jiwa Ibu belum kembali normal, tetapi aku memutuskan untuk melamar menjadi buruh migran. Aku terdorong keinginan menyekolahkan adik-adikku hingga tamat SMA. Aku pun berangkat ke Singapura pada awal 1996. Di negara ini, aku bekerja sebagai asisten rumah tangga (ART).

Belum genap satu tahun bekerja di Singapura, ayahku meninggal dunia. Aku hanya bisa menangis sendirian. Aku tidak dapat pulang ke Indonesia, karena masih terikat dengan kontrak kerja. Aku baru bisa kembali ke kampung halaman setelah 2 tahun bekerja.

Setelah kontrak kerjaku di Singapura selesai, aku pulang dan menemui Ibu. Aku merasa lega karena bisa berkumpul lagi dengan Ibu dan adik-adik. Satu tahun aku tinggal di kampung, aku kembali bekerja di luar negeri. Kali ini aku berangkat ke Taiwan. Namun, aku kembali ke tanah air sebelum menyelesaikan kotrak, karena gemba bumi yang melanda wilayah tempat aku bekerja.

Aku menikah pada 2000 dengan seorang laki-laki asal Surabaya. Suamiku ini keturunan India. Sebelum menikah, ia berjanji untuk memeluk agamaku. Namun, suamiku tidak kunjung memenuhi janjinya. Sampai akhirnya aku hamil 3 bulan, ia kembali memeluk keyakinannya yang lama. Aku pun memutuskan untuk mengajukan gugatan cerai.

Aku kembali bekerja setelah anakku lahir dan berusia 8 bulan. Aku titip anakku untuk tinggal bersama Ibu dan adik-adikku. Aku bekerja di  RSPAD Jakarta hingga 2005, lalu setelah itu aku bekerja di Malaysia, lalu pindah bekerja ke Riau pada 2006. Di Malaysia, aku bekerja di rumah kakak ipar Mahathir Mohamad, mantan perdana menteri Malaysia.

Ketika bekerja di Riau inilah, aku bertemu dengan suamiku yang sekarang. Kami menikah pada 2008. Suamiku seorang duda, dan bekerja di sebuah tempat pembuatan perabot dan kusen. Saat kami menikah, usianya telah menginjak 53 tahun.Aku pun pindah untuk tinggal bersama suamiku di sebuah dusun di Desa Ganting Damai, Kecamatan Salo, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.

Awalnya kami tinggal bersama mertua. Namun, setelah anak pertama kami lahir pada 2009, mertuaku memberi kami sebidang tanah untuk membangun rumah. Kami pun pindah ke rumah yang kami bangun sendiri. Dua tahun kemudian, suamiku tidak bekerja lagi karena tempat kerjanya tutup. Suamiku tidak mau mencari kerja lagi. Akhirnya, aku memberanikan diri untuk berdagang di pasar. Aku berjualan ikan, buah, sayur, dan ubi kayu. Kami juga mengurus kerbau milik orang lain.

Alhamdulillah, sejak aku berdagang, kebutuhan ekonomi keluarga kami tercukupi. Ketika anak kedua kami lahir pada 2016, aku mulai mengembangkan usaha dengan membuat kue dari ubi kayu. Aku sama sekali tidak menduga, kue buatanku selalu habis terjual. Aku pun beralih dari penjual sayuran menjadi penjual kue. Berkat jerih payahku ini, keluarga suami jadi lebih menghargaiku.

Aku bergabung dengan Pekka pada 2022. Awalnya, Ibu Datmi dan Ibu Yusnita dari Federasi Serikat Pekka Indonesia datang ke desa tempat tinggalku. Mereka berdua mengumpulkan ibu-ibu dan menjelaskan mengenai Yayasan PEKKA. Dalam pertemuan itu ada 13 orang yang datang, termasuk aku. Setelah memahami penjelasan yang disampaikan Ibu Datmi dan Ibu Yusnita, kami sepakat untuk membentuk kelompok Pekka di Desa Ganting Damai, sekaligus membentuk pengurus kelompok. Aku diangkat sebagai ketua kelompok.

Satu bulan kemudian, aku bersama ketua kelompok lain dari 6 desa dilatih untuk mengikuti Training of Trainer yang difasilitasi Ibu Yusnita dan Ibu Datmi. Pelatihan ini memberiku lebih banyak pengetahuan mengenai perempuan kepala keluarga, visi dan misi dari Yayasan PEKKA, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap perempuan dan anak, perkawinan anak dan bagaimana mencegahnya, perkawinan menurut hukum, stunting, dan sebagainya.

Materi yang diberikan dalam pelatihan tersebut amat berkaitan dengan kegiatanku di desa sebagai kader Posyandu. Aku benar-benar bersyukur, dan langsung menerapkan pengetahuan itu ke dalam kegiatan Posyandu.

Tiga bulan setelah pelatihan, aku dan para kader Pekka di Kabupaten Kampar diajak Ibu Datmi dan Ibu Yusnita untuk berkunjung ke kantor-kantor dinas yang ada di kabupaten ini, yaitu: Dinas Koperasi, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, Dinas Sosial, dan Pengadilan Agama. Kunjungan ini bertujuan untuk memperkenalkan komunitas Pekka, serta memberitahu para pejabat di dinas-dinas tersebut mengenai rencana kegiatan Klinik Layanan Informasi dan Konsultasi (KLIK) PEKKA di Kabupaten Kampar.

KLIK PEKKA pertama di Kabupaten Kampar diadakan pada November 2023 di Desa Ganting, Kecamata Salo. Setelah itu, kegiatan ini diadakan di Desa Bukit Melintang, Kecamatan Kuok. Kedua kegiatan ini mendapat sambutan yang sangat baik dari warga. Banyak dari mereka yang datang untuk mengurus dokumen identitas diri seperti Kartu Keluarga, Akta Kelahiran, KTP, Akta Kematian, dan Kartu Identitas Anak. Ada juga warga yang datang untuk berkonsultasi dengan Pengadilan Agama untuk isbat nikah dan mengajukan gugatan cerai.

Sebagai tindak lanjut dari KLIK PEKKA, kami mengadakan Forum Pemangku Kepentingan (FPK) Kabupaten Kampar di Kantor Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB). FPK ini difasilitasi oleh Nunik Sri Harini dari Yayasan PEKKA.

Sampai akhir 2023, sudah 7 desa yang mengadakan KLIK PEKKA. Selain itu, Diskusi Kampung berhasil digelar di 6 desa, yang diadakan sebagai tindak lanjut dari KLIK PEKKA. Hanya 1 desa yang tidak mau menjalin kerja sama dengan Pekka, yaitu Desa Siabu, Kecamatan Salo, yang tidak mau menandatangani surat perjanjian kerjasama.

Dari ketujuh KLIK PEKKA yang diadakan di Kabupaten Kampar, aku terlibat sebagai panitia pada kegiatan yang diadakan pada 22 November 2023. Keesokan harinya, aku mengikuti Forum Pemangku Kepentingan (FPK) yang dihadiri perwakilan dari beberapa kantor dinas terkait. Acara ini diadakan di Aula Kecamatan Salo, dan difasilitasi oleh Ibu Devi Herawati dari Yayasan PEKKA.

Selain KLIK PEKKA dan Diskusi Kampung, aku juga berpartisipasi dalam Forum Nasional IV Yayasan PEKKA yang diadakan pada awal November 2022, melalui aplikasi Zoom. Aku merasa bangga melihat besarnya organisasi ini, dan bisa menjadi bagian dari gerakan pemberdayaan perempuan kepala keluarga.

Berbagai pelatihan dan kegiatan Pekka yang aku ikut membuatku banyak berubah. Aku menjadi lebih sabar dan mampu mengontrol emosi, terutama dalam menghadapi suamiku yang saat ini telah berusia lanjut. Aku bersyukur, suami dan anak-anak sangat mendukungku untuk aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan Pekka.

Kapasitas diriku yang meningkat juga membuat keluarga dari pihak suami menghargaiku. Sebelumnya, mereka selalu mencemooh dan menghinaku. Mereka sudah mau menyapaku apabila kami bertemu di jalan. Pandangan para tetanggaku pun berubah. Mereka bahkan bertanya, “Kenapa Kakak bisa dekat dengan orang dinas di Pengadilan Agama, Capil, dan dinas lain yang ada di kabupaten? Apa sih kerja Kakak?”

 

Aku dengan senang hati menjelaskan, bahwa aku tidak bekerja. Namun, aku bergabung dengan kelompok Pekka Kabupaten Kampar, dan kami sering melakukan kunjungan ke kantor-kantor dinas yang ada di kabupaten. Aku pun menambahkan, bahwa para kader Pekka selalu bersedia membagi pengetahuan kepada para anggota kelompok, juga anggota masyarakat lain, agar dapat mandiri dan mampu mencukupi kebutuhan keluarga mereka. Orang-orang yang bertanya tadi sempat terkejut ketika aku mengatakan bahwa kami tidak menerima bantuan dalam bentuk uang. Bantuan yang kami dapat adalah berupa pengetahuan dan pengalaman.

Aku berharap Pekka di Kabupaten Kampar bisa bertambah banyak anggotanya, juga semakin berkembang. Aku yakin bahwa pengetahuan dan pengalaman yang diberikan, baik melalui pelatihan dan kegiatan yang diadakan Yayasan PEKKA bermanfaat untuk membuat para perempuan, terutama perempuan kepala keluarga, menjadi berdaya.(*)

 

Bagikan Cerita Ini

Cerita Terkait

Leave a Comment