Berbagi dan Menebar Ilmu, “Tantangan” Terbesar yang Sulit Aku Tinggalkan

Hidup tidak selamanya bahagia. Itu kata banyak orang. Aku mengalaminya saat masih belia. Mengoncek kelapa demi mendapat nafkah kami lakukan sekeluarga. Namun, kesusahan tidak sanggup menghalangiku untuk menggapai cita-cita.

 

Orang tuaku adalah orang tua yang hebat. Ayahku berprofesi sebagai supir truk pembawa bahan makanan seperti belacan, ikan asin, dan lain-lain. Ibuku, seorang ibu rumah tangga. Mereka memberiku nama: Riri Erisa. Aku lahir di Sei Merbau pada tanggal 13 Maret 1997 sebagai anak ke-4 dari tujuh bersaudara. 

Pada saat itu, penghasilan ayahku terbilang lumayan besar. Kami pun hidup berkecukupan. Ayah pergi ke berbagai provinsi. Kadang ke Jambi, Bengkulu, Kalimantan, dan beberapa kota di provinsi lainnya. Ayahku bisa bepergian hingga satu bulan, tergantung jarak kota yang harus dia datangi. Dan hal paling menyenangkan yang aku ingat adalah bila Ayah pulang. Ayah selalu membawa oleh-oleh berupa makanan, apalagi kalau musim durian tiba. Dari depan rumah, aroma durian sudah tercium saking banyaknya durian yang dibeli Ayah.

Sayangnya, ayahku lama kelamaan berhenti membawa truk pembawa bahan. Sampai sekarang, aku tidak mengetahui apa alasan pasti yang menyebabkan Ayah berhenti menjadi supir truk. Setelah itu, Ayah hanya bekerja sebagai supir panggilan yang baru akan bekerja bila ada orang yang memerlukan jasanya untuk mengantar mereka bepergian. Tentu saja, hal ini menyebabkan banyak perubahan dalam kehidupan kami. Dunia seakan berputar ke bawah, keuangan kami diuji pada masa itu.

Ayahku bahkan sempat menderita batu ginjal. Kondisi keuangan keluarga yang terpuruk membuat kami tidak bisa membayar biaya pengobatan untuk Ayah. Kakakku yang bekerja sebagai buruh pabrik terpaksa berhutang agar bisa membawa ayahku berobat.

Alhamdulillah, ayahku kembali sehat setelah dibawa berobat ke Medan. Orang tuaku kemudian mencari pekerjaan, dan kebetulan di daerah kami banyak orang yang membutuhkan tenaga untuk mengupas kelapa. Jadi, Ibu dan Ayah memutuskan untuk mengambil pekerjaan itu, dan mengerjakannya di rumah. Kami, anak-anaknya, pun membantu mengoncek setelah kami pulang sekolah. Kami mendapat upah setiap dua pekan, dan uang tersebut kami gunakan untuk membeli makan.

Pendidikan formal pertama aku tempuh di sebuah SD Negeri yang jaraknya hanya 300 meter dari rumah. Aku benar-benar menikmati perjalanan menuju dan dari sekolah, karena aku melakukannya bersama teman-teman. Kami bisa bertukar cerita selama dalam perjalanan. Alhamdulillah, selama di SD aku selalu masuk tiga besar.

Aku lulus SD dengan nilai Ujian Nasional yang terbilang bagus. Oleh karena itu, orang tuaku mencoba mendaftarkanku ke SMP Negeri yang terbilang favorit di wilayah tempat tinggalku. Alhamdulillah, aku lulus. 

Banyak perubahan terjadi setelah aku masuk SMP. Salah satunya adalah, aku harus naik becak untuk bisa sampai ke sekolah karena letaknya jauh dari rumah, sekitar 3 km. Biaya transportasi bukanlah satu-satunya pengeluaran yang harus dipenuhi. Aku juga harus mengikuti les matematika ketika duduk di kelas 1 SMP. Untuk menghemat, aku tetap berada di sekolah sampai waktu les diadakan, yakni pukul 2 siang. Untunglah, beberapa temanku ada juga yang tidak pulang. Sehingga, dua jam menunggu di sekolah tidak terlalu terasa karena aku punya teman dan sekolah tidak terlalu sunyi.

Selama bersekolah, aku harus betul-betul menghemat uang sakuku, karena aku harus naik mopen, sebutan khas daerah untuk mobil angkutan umum. Itu pun harus berjalan kaki sejauh satu kilometer dari sekolah untuk mencapai terminal mopen agar bisa berhemat.  Kadang dari sekolah ke terminal mopen itu melewati pasar jadi aku kadang dengan teman-teman tektean (iuran) 1000 per orang untuk membeli jeruk atau salak dan dimakan bersama di dalam mopen.

Keluargaku berhenti mengoncek (menggerok) kelapa setelah kakakku yang pertama menikah. Pada waktu itu, kami cuti untuk mempersiapkan acara pernikahan kakakku. Namun, setelah acara pernikahan itu, persediaan kelapa tidak terlalu banyak. Jadi, kami berhenti mengoncek meski kerepotan di keluarga kami sudah usai.

Saat itu, lima dari tujuh anak orang tuaku bersekolah. Lima orang masih SD, tiga orang SMP, dan satu orang duduk di bangku SMA. Sampai suatu hari, ketika kami hendak berangkat ke sekolah, Ayah bertanya, “Siapa yang ada ujian?” Kami semua menjawab, “Tidak ada.” Lalu Ayah berkata, “Kalau tidak ada yang ujian, tak usahlah dulu sekolah.” 

Ayah berkata seperti itu karena sekolah kami jauh, dan ongkos becak terasa sangat mahal. Apalagi, aku, kakak, dan abangku berbeda sekolah. Akhirnya, adikku yang tetap berangkat karena bisa berjalan kaki menuju sekolah karena tidak harus mengeluarkan ongkos.

Tidak lama setelah kejadian itu, kilang pengoncekan yang ada di dekat rumah kembali dibuka. Kami pun bisa mengoncek lagi. Setiap hari, Omak (panggilan kami untuk Ibu) pergi ke kilang setelah selesai memasak. Kami pun membantu beliau mengoncek setelah pulang dari sekolah. Sementara di hari Minggu, kami pergi ke kilang lebih dulu, dan Omak menyusul setelah beliau selesai memasak.

Aku lulus SMP di tahun 2012. Nilaiku lumayan bagus, sehingga Omak mendaftarkanku ke SMA Negeri di Tanjungbalai. Aku pun mengikuti ujian tertulis, dan lulus. Aku tidak mengalami perubahan berarti semasa SMA, karena jarak SMP dan SMA tempat aku bersekolah hanya dipisahkan oleh gedung Perpustakaan Umum dan SD. 

Aku masuk ke kelas X. Saat ujian semester diumumkan, ternyata aku masuk peringkat 10 besar. Atas prestasi itu, aku berhak mengikuti kursus komputer secara gratis selama satu bulan. Dengan gembira aku mendaftar ke tempat kursus komputer yang memberikan beasiswa tersebut dengan berbekal kupon dari sekolah. Sayang, aku tidak meneruskan hingga selesai karena selama kursus aku hanya diajari mengetik 10 jari. Aku sama sekali tidak melihat komputer, hanya keyboard yang aku gunakan untuk belajar mengetik.

Setelah lulus SMA di tahun 2015, aku tidak mendaftar kuliah. Aku tahu orang tuaku tidak sanggup membiayainya. Empat bulan setelah kelulusan, aku memutuskan untuk bekerja sebagai guru PAUD. Awalnya aku ditawarkan oleh bu Arnila, keluarga dari omak. “Riri kan ndak kuliah, gimana kalau mengajar,” katanya. Awalnya aku ragu karena belum pernah mengajar, tapi dia bilang nanti ada diklat atau pelatihan, jadi aku terima tawaran itu. Saat awal mengajar, aku menemukan banyak kesulitan, karena aku mengajar anak yang berusia di bawah 6 tahun. Kemauan dan sifat yang mereka miliki amat beragam. Aku harus benar-benar bisa memahami mereka. Alhamdulillah, ternyata tidak terlalu susah untuk bisa dekat dengan anak-anak, selama kita mau mencoba. 

Salah satu anak yang aku ajar terkenal pendiam dan jarang bergaul dengan anak-anak lain. Tetapi setelah aku dekati, dia bisa bercerita panjang lebar. Aku pun dibuat terkaget-kaget olehnya, ketika dia bercerita tentang pertengkaran yang terjadi antara ayah dengan ibunya. Aku lalu menarik kesimpulan, bahwa pertengkaran orang tua yang dilakukan di hadapan anak bisa mempengaruhi psikisnya. Mereka tidak seharusnya melihat atau mendengar kejadian yang tidak pantas untuk mereka lihat, atau permasalahan yang belum saatnya mereka ketahui. 

Kegiatan belajar mengajar di PAUD tidak hanya membuatku mengajari anak-anak. Namun, itu juga mengajariku banyak hal. Pekerjaan yang awalnya sulit untuk aku lakukan, berubah menjadi sesuatu yang sulit untuk aku tinggalkan. 

Latar belakang pendidikanku yang hanya lulusan SMA membuatku merasa harus banyak belajar. Jadi, aku rajin mengikuti berbagai pelatihan yang dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan Kota Tanjungbalai, mulai dari yang berbayar hingga yang digratiskan oleh Dinas Pendidikan karena besarnya minat guru-guru PAUD untuk mengikuti pelatihan tersebut. 

Bergabung dengan Pekka

Pada Januari 2016, aku memutuskan untuk bergabung dengan organisasi Pekka. Aku diajak oleh Ibu Nila, yang kebetulan adalah penyelenggara PAUD tempatku bekerja. Banyak pertanyaan yang berkelebatan di pikiranku ketika diajak bergabung. Sewaktu berjumpa dengan anggota Pekka yang lain, kebanyakan dari mereka berstatus janda, juga ada yang bersuami. Tetapi, aku tidak melihat ada anggota yang berstatus lajang sepertiku. Aku pun bertanya-tanya, apakah aku bisa bergabung. Setelah mendapat penjelasan tentang kriteria pekka, aku baru yakin bahwa aku termasuk di dalam salah satu kriterianya. Aku lalu bergabung dalam Kelompok Udang Kelong yang diketuai Ibu Rahmawati. 

Pertama kali bergabung di Pekka, keluargaku mendukung sebab Omak  ikut bergabung di Pekka. Tertarik masuk Pekka karena ingin menambah pengalaman dalam berorganisasi dan menjalin kerjasama dengan pemerintah dan mengurus legalitas hukum dan belajar bagaimana menangani kasus hukum. 

Aku mendapat kesempatan untuk ikut Akademi Paradigta, kelas CO (Community Organizer), yakni semacam keterampilan dalam mengorganisir Pekka setelah satu tahun bergabung. Pelatihan ini difasilitasi oleh PEKKA dan dimentori oleh Ibu Nila. Di hari pertama pelatihan, kami melakukan perkenalan agar komunikasi antar peserta berjalan dengan baik. Selama pelatihan, aku sangat senang karena bisa bertemu dengan teman baru. Aku juga belajar banyak hal, mulai dari begitu pentingnya pendidikan – terutama pendidikan perempuan, cara mengembangkan kelompok, mengorganisir masyarakat untuk berkelompok, sampai advokasi ke pemerintah.

Usai pelatihan bukan berarti perjuangan para peserta sudah tuntas. Kami masih harus menyelesaikan tugas lapangan dan tugas akhir. Setelah berhasil menyelesaikan seluruh tugas, kami diberitahu bahwa kami akan diwisuda. Acara wisuda ini akan dihadiri oleh Bunda Nani Zulminarni, Direktur Yayasan PEKKA. Kami sangat senang dengan berita ini. Kami pun membeli selempang agar semakin terlihat seperti anak kuliah yang mau diwisuda.

Wisuda pun digelar pada 26-27 Desember 2017.  Acara ini diawali dengan peresmian Center Pekka Sumatera Utara yang dilakukan oleh Bunda Nani dan Bapak Ai, yang mewakili Walikota Tanjungbalai yang tidak dapat hadir. Setelah peresmian Center Pekka, kami pun dipanggil satu per satu untuk diberi selempang dan sertifikat oleh Bunda Nani, dan pemberian makalah tugas akhir oleh perwakilan pengurus PKK. Selesai acara, banyak peserta, termasuk aku, yang berfoto dengan Bunda Nani. Akhirnya, aku bisa berfoto dengan salah seorang yang sangat penting perannya dalam organisasi Pekka. Saking senangnya, aku langsung membagikan foto itu ke akun sosial mediaku. Acara peresmian Center Pekka dan Wisuda ini merupakan penutup tahun 2017 bagi kami, para anggota Pekka di wilayah Tanjungbalai.

Di bulan Februari 2018, aku terlibat dalam acara Musyawarah Besar untuk memilih kepengurusan untuk wilayah Kota Tanjungbalai, Kabupaten Asahan, dan Kabupaten Batubara. Selama acara, aku menyaksikan langsung pemilihan kepengurusan untuk daerah Sumatera Utara. Aku terpilih sebagai anggota Divisi Pendidikan untuk Kota Tanjungbalai. Alhamdulillah acara berakhir dengan tertib. Aku berharap, semoga semua anggota pengurus yang terpilih bisa mengemban amanah dengan baik.

Naik Pesawat

Beberapa bulan kemudian, kami dari wilayah ABATA (Asahan, Batubara, dan Tanjungbalai), kembali lagi ke Center Pekka untuk menghadiri acara Moneva, monitoring dan evaluasi keuangan serikat dan koperasi. Acara yang diadakan pada September 2018 ini dihadiri perwakilan dari Sekretariat Nasional PEKKA, yakni Mbak Nunik dan Mbak Novi, serta Ibu Diah selaku fasilitator lapang untuk Sumatera Utara. Dalam acara itu, aku terpilih menjadi salah seorang anggota Pekka yang akan berangkat ke Jakarta untuk mengikuti pelatihan keuangan dan pengelolaan data serikat. 

Aku senang sekali bisa terpilih. Aku melonjak dalam hati dan berkata, “Aku akan naik pesawat!” Saking girangnya, aku langsung mengambil KTP yang tertinggal di rumah agar segera bisa aku berikan kepada Ibu Diah. Beliaulah yang memesankan tiket pesawat untukku.

Aku tak putus bersyukur bahkan ketika aku sudah berada di bandara dan pesawat. Aku kegirangan setelah mengetahui bahwa aku mendapat kursi di sebelah jendela. Aku jadi bisa melihat keadaan di bawah ketika pesawat yang kami tumpangi sudah lepas landas.

Ada kejadian lucu ketika aku naik pesawat. Sewaktu menunggu waktu keberangkatan, Ibu Yusroh, anggota Pekka asal Asahan, memberiku telur rebus. Telur itu aku simpan di dalam kantong plastik yang berisi makanan. Aku pikir aku akan memakannya di atas pesawat nanti. Begitu duduk di kursi pesawat, aku meletakkan plastik tersebut di atas meja. Sesaat sebelum lepas landas, pramugari memintaku untuk melipat meja. Aku bisa membukanya lagi setelah proses lepas landas selesai. Aku mematuhi kata-kata pramugari tadi, dan memegang plastik itu di pangkuanku. Aku sama sekali tidak berpikir bahwa pesawat akan menukik bila sedang lepas landas. Saking terkejutnya, plastik yang aku pegang terlepas dan telur rebus yang aku masukkan tadi jatuh. “Bejayo la ni,” begitu kataku dalam hati. Telur itu menggelinding entah kemana.

Untuk menenangkan hati, aku melepaskan pandanganku keluar jendela. Pemandangan dari pesawat sungguh indah. Apalagi sewaktu melewati Laut Jawa, sungguh menakjubkan. Ketika pesawat sudah mendarat dan aku hendak turun, mataku tak sengaja melihat telur rebusku yang malang sudah hancur terinjak.

Kedatangan kami disambut rombongan dari Aceh Tamiang, juga panitia. Tetapi aku sedikit sedih karena tadinya aku berpikir kami akan singgah di Monas. Ternyata acaranya di Gadog, Bogor, yang berjarak kira-kira 62,5 km dari Monas. 

Cuaca seperti mendukung suasana hatiku yang mendung. Hujan turun dengan lebat sepanjang perjalanan menuju Gadog. Suasana hatiku mulai membaik ketika tiba di Gadog, karena melihat pemandangan yang indah. Kami menginap di Pusdiklat Altakarya, Gadog, dan panitia sudah menentukan kamar untuk para peserta. Perwakilan dari Sumatera Utara mendapat kamar pertama yang berada di sebelah kanan pintu masuk. Malam itu kami beristirahat sambil bersiap untuk pelatihan yang dimulai keesokan harinya.

Seperti biasa, acara pelatihan dimulai dengan perkenalan. Peserta pelatihan ini berasal dari berbagai provinsi. Sehingga, kami diminta memperkenalkan diri dengan bahasa daerah masing-masing. Melalui perkenalan ini, kami belajar bahwa Pekka tidak hanya menyatukan orang-orang yang berasal dari daerah atau provinsi yang berbeda. Tetapi, Pekka juga mengajarkan bahwa perbedaan tidak akan menjadi masalah selama kita memiliki tekad dan impian yang sama di Pekka. 

Pelatihan berlangsung hingga pukul 4 sore. Di akhir pelatihan, kami saling berpelukan. Suasana yang awalnya biasa saja berubah menjadi penuh haru. Apalagi, aku memang gampang menangis. Suasana kembali ceria ketika kami hendak berangkat untuk membeli oleh-oleh. Setelah berbelanja, kami berkemas di hotel dan bersiap. Keesokan subuh kami sudah harus tiba di bandara.

Kami berangkat ke bandara menggunakan mobil yang sudah dipesan panitia. Sambil menunggu keberangkatan di bandara, kami makan Pop Mie. Perjalanan menuju Bandara Kualanamu tidak sebaik saat keberangkatan. Hujan deras terjadi tidak berapa lama setelah pesawat lepas landas, membuatku takut. Aku melihat keluar jendela, petir menyambar dan keadaan sangat gelap. Alhamdulillah penerbangan tidak berlangsung lama. Kami, para perwakilan dari Sumatera Utara, berfoto dulu sebelum pulang ke rumah masing-masing. Kami bertemu lagi beberapa hari setelah pulang, untuk membahas materi yang kami telah dapatkan selama di Jakarta untuk dibagikan kepada teman-teman.

Wawasan dan Pengetahuanku Semakin Berkembang

Pada bulan Desember tahun yang sama, aku mengikuti pelatihan Kesehatan Reproduksi. Pelatihan ini merupakan pelatihan kesehatan pertama yang pernah aku ikuti. Dalam pelatihan ini, kami dimentori oleh Bu Diah, faslap kami. Bicara tentang reproduksi, aku memang pernah mempelajari sistem reproduksi di SMA. Tetapi aku tidak pernah belajar tentang penyakit yang bisa disebabkan oleh sistem reproduksi. Pelatihan ini membuatku mengubah pola pikir untuk lebih peduli terhadap kesehatan, karena penyakit bisa datang dari mana saja dan kapan saja.

Hanya berselang tiga hari, Pekka menyelenggarakan Pelatihan Paralegal dengan mentor Mbak Wilu dari Jakarta. Mbak Wilu memang merupakan fasilitator khusus untuk bidang hukum. Peserta yang ikut dalam pelatihan ini kebanyakan adalah anggota Pekka Kota Tanjungbalai, meski ada juga yang berasal dari Asahan. Dalam pelatihan ini, ada beberapa pengalaman dari beberapa anggota yang dapat dijadikan pelajaran dan menambah wawasan terkait masalah hukum seperti masalah perkawinan dini akibat pergaulan bebas dan pengaruh media internet. Pelajaran menarik ini membuat pelatihan yang berlangsung selama tiga hari tidak terasa. Semoga pelajaran yang didapat bermanfaat dan lebih menambah pengetahuan dan wawasan akan hukum.

Bagikan Cerita Ini

Cerita Terkait

Leave a Comment