Demi Anak-Anakku, Aku Rela Berjuang Seorang Diri:
Kisah Hidup Veronika Tuto Wara

Bertahun-tahun suamiku pergi tanpa membawa hasil. Aku berjuang memenuhi kebutuhan rumah tanggaku seorang diri. Koperasi Pekka berhasil membuatku mandiri. Anak-anakku berhasil sekolah hingga ke jenjang perguruan tinggi.

 

Aku bernama Veronika Tuto Wara. Lahir pada 1965 di sebuah desa di Kecamatan Adonara Timur, Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur, sebagai anak kedua dari empat bersaudara. Saat ini aku tinggal di kecamatan Ile Boleng, masih di kabupaten yang sama. Aku pindah ke kecamatan ini setelah menikah. Letaknya di lereng Gunung Boleng, sehingga udaranya sejuk dan menyegarkan.

Aku menikah dengan suamiku saat kami sama-sama merantau di Sandakan, Sabah, Malaysia. Kami dikaruniai seorang anak laki-laki dan anak kembar, yang keduanya perempuan. Selama di perantauan, hidup kami serba berkecukupan. Namun, kami memutuskan untuk kembali ke kampung halaman saat anak kembarku berusia lima bulan, karena suamiku punya tanggung jawab adat.

Kehidupan kami pun berubah. Kami hidup serba kekurangan, karena suamiku tidak mendapatkan pekerjaan yang bisa menghasilkan uang. Kami harus bekerja sebagai petani, menggantungkan hidup pada kebun yang belum dibersihkan. Kami baru bisa memetik hasil tani berupa jagung dan padi satu tahun sekali, dan itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Uang tabungan yang kami bawa dari perantauan semakin menipis, bahkan habis ketika aku melahirkan anak keempat kami.

Hidup bersama keluarga suami membuatku sering sakit hati, karena mereka sering mencampuri urusan rumah tangga kami. Namun, rasa sakit hati itu aku pendam agar kehidupan kami terlihat senantiasa harmonis.

Ditinggal Merantau

Saat putri kembarku berusia tiga tahun, aku dan suamiku sepakat agar dia kembali merantau, mencari pekerjaan demi anak-anak kami. Awalnya, suamiku menolak karena tidak tega meninggalkan anak-anak yang masih kecil. Namun, aku mendesaknya demi masa depan anak-anakku. Kami pun mencari pinjaman uang untuk tiket kepergian suamiku. Aku meminjam dari saudari ayahku sebesar Rp 250.000,00 dengan masa pinjaman satu tahun. Besarnya uang yang harus aku kembalikan adalah Rp 500.000,00, dua kali lipat dari jumlah uang yang aku pinjam. Suamiku pun berangkat pada Juli 1998.

Dua hari setelah suamiku pergi adalah jadwal Pasar Senadan, yakni pasar rakyat yang digelar setiap Rabu dan Sabtu. Hari Jumat, satu hari sebelum pasar itu diadakan, aku mengajak anak tertuaku untuk pergi ke kebun dan memetik kelapa. Aku panjat pohon tinggi itu, dan berhasil memetik enam butir kelapa. Kami juga memetiki daun ubi yang ada di kebun. Semuanya itu aku bawa ke Pasar Senadan untuk dijual. Perlu satu jam berjalan kaki untuk sampai ke pasar itu dari rumahku. Letih dan lelahku hilang karena hasil kebun yang aku bawa habis terjual. Uangnya aku belikan beras dua kilogram, ikan, dan garam. Aku pun pulang dengan ceria.

Sejak saat itu aku selalu membawa hasil kebun seadanya ke pasar rakyat tersebut. Hasilnya aku belikan kebutuhan rumah dan membeli hasil kebun orang lain yang juga dijual di pasar itu, untuk aku jual kembali di rumah. Modal yang sedikit itu aku putar, dan keuntungannya aku pakai untuk memenuhi kebutuhan anak-anakku.

Tidak ada sepucuk surat pun datang dari suamiku, meski sudah enam bulan dia pergi merantau. Saat itu belum ada telepon genggam. Satu-satunya cara berkomunikasi jarak jauh adalah dengan menulis surat yang dikirim melalui Kantor Pos. Baru setelah satu tahun, kami menerima surat dari suamiku. Isinya mengabarkan bahwa dia telah bekerja di Sandakan, dan janji untuk mengirimkan kami uang.

Janji tinggal janji. Hingga dua tahun dia pergi, suamiku sama sekali tidak pernah mengirimkan uang. Bahkan dia tidak pernah membayar uang yang aku pinjam dari saudaraku untuk membeli tiket saat dia hendak berangkat. Terpaksa ayahku yang melunasinya.

Dengan berbagai cara, aku mencari uang. Aku berjualan di pasar, bekerja di kebun, mengangkat pasir, juga menjahit. Semua yang aku lakukan itu bisa memenuhi kebutuhanku dan anak-anakku. Suamiku pulang di tahun 2000, tetapi hanya satu bulan untuk kemudian berangkat lagi ke Sabah. Kepulangan ini kami sambut dengan suka cita, karena suamiku bisa mendampingi anak tertuaku merayakan pesta kelulusan dari sekolah dasar.

Ketika hendak berangkat, kami duduk bersama dan berencana membuat rumah. Namun, sekali lagi, janji tinggal janji. “Bapa, kalau pergi merantau lagi, tolong ingat, kerja baik-baik dan kumpulkan uang untuk sekolah anak-anak dan buat rumah kita yang sudah reyot ini,” saranku. “Iya Mama, anak-anak harus sekolah,” jawabnya singkat.

Sama seperti kepergiannya yang pertama, suamiku sama sekali tidak memberi kabar. Dan aku sama sekali tidak berniat menyusulnya ke perantauan. Bagiku, anak-anak adalah mutiara terindahku. Aku bertekad akan menyekolahkan mereka, meski hanya bisa sampai tingkat SMA. Aku rela membanting tulang demi mereka.

Empat tahun setelah suamiku pergi, aku berhasil meneleponnya melalui telepon genggam pinjaman. “Saya akan pulang, Mama. Tapi hanya punya ongkos kapal saja,” katanya. Dalam hati aku bertanya-tanya, kemana uangnya selama dia bekerja. Mengirim uang tidak pernah, mengapa selalu tidak ada uang? “Tidak apa-apa Bapa, kami butuh kehadiranmu dalam kebahagiaan anak-anak kita, jawabku.

Kali ini pun dia hanya cuti satu bulan, setelah itu dia pergi lagi. Aku biarkan saja, dan tidak melarangnya. Aku hanya berdoa, semoga dia berubah. Doaku rupanya terkabul. Mungkin dia sadar, anak tertua kami sudah masuk SMA. dia mulai sering mengirimkan uang. Meskipun masih tidak mencukupi, setidaknya bebanku berkurang. Anak pertamaku pergi ke Nabire, Papua, untuk bekerja setelah dia lulus SMA. Di kota yang terletak di Papua itu, dia tinggal bersama adik bungsuku. Satu setengah tahun kemudian aku panggil dia pulang, setelah aku mendengar dia hendak menikah.

Nyaris Gagal Bergabung Dengan Pekka

Tahun 2003, aku mendengar tentang organisasi Pekka dari seorang anggotanya, Kresensia Kewa. Ceritanya itu membuatku ingin segera bergabung. Namun, Kepala Desa tidak mendukung. Alasannya, dia takut kami tidak bisa mengembalikan uang dan membuat malu desa karena utang perempuan. Beliau berpikir PEKKA itu sama dengan PKK. Aku pun tidak bisa berbuat apa-apa.

Awal tahun 2010, di bawah kepemimpinan kepala desa yang baru, kami mendapat informasi, bahwa kami akan kedatangan petugas PEKKA. Kunjungannya ini bertujuan untuk mensosialisasikan organisasi PEKKA kepada ibu-ibu di desa. Pada saat itu, suamiku masih merantau.

Kebetulan, Kresensia Kiwa datang di hari Jumat, yang merupakan jadwal bersih desa. Semua ibu di desa tempat tinggalku bergotong royong membersihkan desa. Setelah selesai, kami berkumpul di halaman kantor desa untuk mengisi daftar hadir. Kader-kader dari Pekka, yakni Ibu Susana Rawa, Kornelia Bunga, dan Teresia Ina Duran telah datang sebelum kami selesai. Dengan sabar mereka menunggu kami. Namun, setelah mengisi daftar hadir, ibu-ibu pulang dan tidak mau mendengar penjelasan tentang Pekka. Hanya delapan orang yang tinggal. Dengan kecewa, aku bertanya kepada Ina Duran: “Kami yang ada di sini hanya delapan orang. Apa kami bisa membentuk satu kelompok di sini?”

“Sekurang-kurangnya sepuluh orang, baru bisa,” jawab Ina Duran. Beliau lalu menambahkan: “Jangan bosan-bosan memberikan pemahaman pada ibu-ibu tentang organisasi PEKKA ini, dan minggu depan baru kami datang lagi.”

Setelah mereka pulang, aku menyampaikan kepada Kepala Desa bahwa hanya kami berdelapan yang berkumpul, sehingga PEKKA belum bisa dibentuk. Bapak Kepala Desa bertanya: “Harus berapa orang baru PEKKA bisa dibentuk?”

“Sepuluh orang,” jawabku dengan singkat.

“Semoga minggu depan ada yang masuk lagi,” tambah beliau.

Seminggu kemudian, tanggal 10 Juni 2010, berkumpul sebelas orang. Ibu Susan dan kawan-kawan yang kembali datang membantu kami membentuk kelompok Pekka bersama Bapak Kepala Desa. Kelompok ini kami beri nama Melati Dokeng. Aku terpilih sebagai ketua kelompok.

Kegiatan pertama yang diikuti kelompok kami adalah Forum Wilayah Pekka pada November 2011 di Kota Larantuka. Acara ini benar-benar berkesan bagiku, karena aku terpilih menjadi pimpinan sidang Musyarawarah Besar. Aku benar-benar bingung waktu itu, ketika Kornelia Bunga menyampaikan hal ini. Aku jadi tidak bisa tidur semalaman. Takut, bingung, dan malu campur aduk menjadi satu. Aku bersyukur, Mbak Mien dari Sekretariat Nasional Yayasan Pekka memberiku arahan singkat. Pembekalan itu membuatku percaya diri dalam memimpin sidang.

Tidak lama setelah Forwil tersebut, aku berangkat ke Jakarta untuk mengikuti Pelatihan Hukum. Aku senang bukan kepalang. Ada empat orang yang diutus dari NTT: aku dan Lusia Beribe dari Pekka, serta dua orang laki-laki dari masyarakat pendukung Pekka. Kami berempat mengikuti Pelatihan Hukum di Wisma Hijau, Cimanggis, Depok, Jawa Barat.

Berjaya dengan Koperasi Pekka

Setelah aku sudah menjadi anggota Pekka, aku memanggil anak tertuaku untuk pulang. Aku memintanya untuk kuliah. Maklum anak muda, biar sudah bekerja tetap tidak punya uang, sama seperti ayahnya.

Aku meminjam uang melalui kegiatan simpan-pinjam di kelompok Pekka sebesar satu juta rupiah. Aku kirim uang itu ke anakku di Nabire untuk membeli tiket pulang. Dia pulang bulan Desember 2010, dan membantuku mencari uang dengan menjadi pengemudi ojek sebelum kuliah di Makassar.

Awal 2011 aku memberanikan diri meminjam uang kepada koperasi Pekka sebesar lima juta rupiah. Uang itu digunakan untuk anak tertuaku berangkat ke Makassar, dan putri kembarku yang bersekolah ke Larantuka. Tak apa banyak hutang, asal anak-anakku bisa bersekolah. Uang itu bisa aku lunasi dengan cara mencicil setiap bulan, dibantu suamiku meskipun hanya sedikit.

Puji Tuhan, anakku bisa bersekolah berkat akses pinjaman uang dari koperasi Pekka. Saat ini satu dari anak kembarku kuliah di Makassar berkat dana beasiswa yang diupayakan oleh Pekka. Saudara kembarnya tidak kuliah, dan bekerja di sebuah apotek setelah tamat dari SMK jurusan kesehatan. Anak bungsuku pun sudah kuliah di Surabaya.

Pada 2012, aku diangkat menjadi bendahara koperasi. Posisi ini membuatku sering dimintai pendapat oleh anggota yang terlilit utang. Hingga saat ini, belum ada masalah koperasi yang tidak bisa aku atasi, karena aku dibantu para pengurus dan anggota untuk menyelesaikannya bersama-sama. Koperasi Pekka kami hingga saat ini dijadikan percontohan bagi koperasi Pekka di wilayah lain. Aku berharap, kami bisa terus memberi inspirasi bagi anggota Pekka lain yang aktif menjalankan koperasi.

 

Dorongan dan ajaran dari Pekka, melalui berbagai pelatihan, membuatku menjadi seorang ibu yang sangat percaya akan keputusanku untuk menyekolahkan anak-anak. Aku benar-benar ingin mereka menjadi manusia yang berguna bagi masyarakat, terutama bagi keluarga.

Suamiku meninggal dunia pada 2017. Namun, aku bertekad untuk tidak larut dalam kesedihan dan keterpurukan. Aku bangkit kembali, berjalan bersama Pekka demi masa depan anak-anak. Pekka memang sungguh luar biasa, mampu memberdayakanku menjadi perempuan tangguh dan percaya diri.

Aku berharap, seluruh anggota Pekka yang tersebar di persada Nusantara bisa saling membantu, melengkapi, dan membagi segala beban, karena semua kesulitan hidup akan menjadi ringan. Pengalaman kehidupan, baik suka maupun duka, adalah pelajaran yang membantu kita untuk tetap semangat dan maju bersama.

Bagikan Cerita Ini

Cerita Terkait

Leave a Comment