Sabar dan Terus Berjuang

 

Lika-liku kehidupan membuatku tangguh. Keinginan yang senantiasa harus aku pendam, membuatku menjadi perempuan yang gigih, untuk memperjuangkan apa yang aku mau. Pekka lalu datang menempaku, menjadikanku manusia yang selalu siap membantu.

 

Sabar dan terus berjuang, itulah pegangan bagiku, Ismiati Ismail yang senantiasa aku pertahankan. Lahir sebagai anak pertama dari lima bersaudara, aku sering kali memendam keinginan, temasuk keinginanku yang paling besar, yaitu bersekolah sampai ke perguruan Tinggi.

Aku dilahirkan di Desa Lampoh, Kecamatan Jeunib, Kabupaten Bireun, pada tahun 1972. Aku menempuh pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah Negeri (setingkat SD), lalu melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah Negeri (setingkat SMP) Jeunieb. Selama bersekolah, aku harus berjalan kaki sepanjang tiga kilometer setiap hari.

Orang tuaku sangat miskin dan tidak berdaya. Mereka sering sakit-sakitan. Aku seringkali tidak membawa bekal apa-apa ke sekolah, apalagi uang jajan. Keadaan ini membuat orang tua melarangku untuk melanjutkan sekolah lagi setelah aku lulus Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN). Orang tuaku tidak sanggup membayar biayanya. 

Mendengar larangan orang tuaku, aku sempat stres. Aku sempat menulis apa saja yang ada di pikiranku, seperti tidak sadar, karena begitu besar keinginanku melanjutkan sekolah, di tanah. Ibu menangis melihatku seperti itu. Keesokan harinya, ayah dan ibuku berusaha mendapatkan pinjaman uang kepada tetangga untuk bisa membayar uang masuk SMA. Setelah mendapatkan pinjaman, Ayah mendaftarkan aku ke SMA Jeunieb.

Bukan berarti kesulitanku berhenti sampai di situ. Untuk bersekolah, aku harus menempuh perjalanan jauh dari kampungku, Cot Geulungku. Aku harus berjalan kaki selama 30 menit untuk mencapai simpang jalan besar yang menjadi titik tempat aku naik bus menuju sekolah. Sering juga aku harus pulang berjalan kaki karena tidak punya uang lagi untuk membayar ongkos bus. Bila ini terjadi, aku baru sampai rumah sekitar pukul 4 sore, dalam keadaan lapar dan pusing karena lelah berjalan dengan perut yang kosong.

Ayahku tidak sanggup lagi membayar SPP dan uang ujian kenaikan kelas ketika aku duduk di kelas 2. Aku tidak diberi nomor ujian karena menunggak uang SPP selama enam bulan. Mau tidak mau, aku harus berhenti sekolah. Aku tinggal di kampung dan pergi ke sawah setiap hari untuk membantu orang tua.

 

Menikah Muda dan Pasang Surut Pernikahan

Baru beberapa bulan aku berhenti sekolah, datang seorang pemuda untuk melamar. Aku menolaknya, karena aku tidak suka dengan pemuda itu. Sementara itu, aku sedang menjalin hubungan dengan seorang laki-laki, namun tidak direstui oleh Ayah dan Ibu. Mereka memaksaku menerima lamarannya, dan menikah dengan laki – laki pilihan orang tuaku, yang usianya terpaut 6 tahun diatas usiaku. Tanggal 5 Oktober 1992, aku resmi menikah di usiaku saat itu baru 19.

Setelah menikah, kami masih tinggal bersama orang tuaku. Anak  pertama kami lahir pada tanggal 5 Mei 1991.  Ketika anak kami  berusia sembilan bulan, suami mengajakku untuk tinggal bersama orang tuanya. Sebenarnya aku merasa enggan, tetapi di sisi lain aku merasa harus menurut. Sehingga permintaannya aku turuti. Baru beberapa hari tinggal bersama mertua, aku merasa tidak nyaman. Suamiku sering marah. Sedikit saja masalah timbul di antara kami, dia mengadu kepada orang tuanya. Aku sering tersinggung, karena bila suamiku memberi uang untuk orang tuaku, dia akan menceritakan hal ini kepada orang tua dan saudara-saudaranya. Dia bahkan sampai berkata bahwa saya tidak akan seberuntung sekarang, bila aku tidak menikah dengannya.

Lama kelamaan aku tidak tahan. Satu minggu setelah pindah ke rumah mertua, aku pergi dengan membawa anakku. Tapi aku tidak mau pulang ke rumah orang tuaku. Aku pergi ke rumah abang sepupuku. Di sana aku menangis terus, sampai-sampai aku ditanya oleh kakak iparku. Aku ceritakan semua kejadiannya. Dua hari setelah aku pergi dari rumah mertua. Dan kabarnya, ayah dan ibuku mencari ke sana kemari. Sampai akhirnya Ayah tahu kalau aku kabur ke rumah abang sepupuku. Lima hari aku tinggal di sana. Ayah lalu datang, dan membujukku untuk ikut pulang.

Selama aku pergi, suami sama sekali tidak mencariku. Dia seolah tidak mempedulikanku. Namun, Ayah selalu membujukku untuk kembali ke rumah mertua, dan aku selalu bersikeras untuk menolaknya. Ayah lalu memanggil mertuaku. Mereka pun datang untuk memusyawarahkan bagaimana baiknya rumah tangga kami.

Selama aku tinggal di rumah orang tuaku, suami sering datang. Tetapi aku enggan melayani, meskipun untuk sekadar mengobrol dengannya. Bila dia datang, yang dia lakukan hanya mengajak bayi kami bermain dan mengobrol. Setelah satu bulan tinggal di rumah orang tua, aku luluh juga. Aku tidak tega melihat suami yang selalu datang dan mengajakku untuk kembali ke rumah orang tuanya. Juga karena nasihat Ayah yang selalu menguatkanku untuk kembali bersama suami, dan tidak mempermalukan keluarga. Belum lagi melihat posisi Ayah yang dituakan di kampung kami. Banyak orang datang untuk meminta nasihat kepada beliau.

Aku memutuskan untuk menuruti orang tua dan kembali tinggal bersama suami. Tetapi dengan satu syarat: aku hanya mau tinggal di rumah sendiri, bukan di rumah mertua.  Suamiku menyetujui persyaratanku, kami membangun rumah di atas tanah yang diberikan ayahku sendiri. Ayah  memberikan warisan terlebih dahulu untukku, supaya aku bisa membangun rumah dan tinggal di rumah kami sendiri. Rumah kami cukup dekat dengan rumah ayahku, tetapi cukup  jauh dengan rumah mertuaku. Rumah kami satu desa dengan ayahku, yaitu di Desa Lampoh U, Kecamatan Jeunieub . Akhirnya rumah tangga kami baik kembali sampai akhirnya kami dikaruniai lima orang anak. Satu perempuan dan empat laki-laki.

Cobaan baru datang ke dalam rumah tangga kami. Hari itu, di tahun 2003, suamiku jatuh sakit. Penyakit hernia yang sudah lama dia derita kambuh. Aku tahu, penderita penyakit hernia tidak boleh kerja berat. Tetapi suami tidak mengindahkan kata-kataku setiap aku melarangnya untuk melakukan pekerjaan berat. Kali ini sakitnya disertai komplikasi penyakit lain, serta trauma yang muncul sebagai dampak dari pemukulan yang dia terima. Pemukulan itu terjadi ketika konflik masih berkecamuk di Aceh. Satu minggu suamiku terbaring sakit, sampai akhirnya dia meninggal dunia. 

Duniaku seolah runtuh waktu itu. Aku merasa sangat sedih dan kehilangan. Apalagi kelima anak-anakku m asih kecil-kecil. Waktu itu usia anak saya yang pertama masih 9 tahun, anak kedua 8 tahun , anak ketiga 6 tahun , anak keempat 3,5 tahun dan anak kelima 1 tahun. Dan aku harus menanggung hidup mereka sendirian.

Meski harus menanggung kesedihan, aku sadar, aku harus bekerja keras demi masa depan anak-anakku. Aku harus tetap bersemangat dan terus berjuang. Aku mulai bekerja di sawah, juga berjualan kecil-kecilan bila aku tidak pergi ke sawah. 

Alhamdulillah, aku masih tinggal di lingkungan keluarga. Mereka siap membantuku bila aku terdesak tidak punya uang atau terlibat masalah. Prioritasku saat itu adalah membiayai anak pertama dan keduaku yang sudah duduk di kelas 3 dan kelas 2 SD, selain memenuhi kebutuhan sehari-hari. Aku tidak mau mereka sampai harus putus sekolah. Pemikiran ini yang membuatku terus bersemangat membanting tulang demi mereka.

Bila aku pergi bekerja, anak bungsuku dititipkan kepada tetangga. Anak sulung dan keduaku akan menjaga mereka di sore harinya. Kelima anakku belajar mengaji setiap malam. Mereka tetap bersemangat, meski kehidupan mereka tidak sama seperti anak-anak lain, yang hidup bersama keluarga utuh, memiliki Ayah dan Ibu, sementara anak – anaku  tidak memiliki Ayah.

Berkembang dengan Pekka

Aku berkenalan dengan Pekka tidak lama setelah suamiku meninggal dunia. Saat itu aku masih tidak tahu, apa yang dimaksud dengan Pekka. Aku mengetahui Pekka dari Mamak. Mamakku adalah pengurus lama, kelompok Pekka di kampungku. Satu bulan setelah aku bergabung, aku diangkat menjadi bendahara kelompok, menggantikan Mamak, karena Mamak merasa sudah tidak sanggup lagi menjadi bendahara.

Aku diikutsertakan dalam Forum Nasional yang diselenggarakan di Hotel Milenium, Jakarta pada tahun 2004. Banyak pengalaman yang mengundang rasa geli bila aku mengingat kejadian itu. Penunjukkan terhadapku untuk berangkat ke Jakarta membuatku harus naik pesawat untuk pertama kalinya. Begitu sampai di hotel, aku tidak berani naik lift. Juga ketika hendak mandi, aku terpaksa meminta tolong kepada teman satu kamar karena aku tidak tahu bagaimana caranya memutar keran. Tetapi aku senang dan bahagia. Forum ini membuka wawasanku. Aku mendapat banyak pengalaman, juga teman yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia. Subhanallah, alangkah senang dan bahagianya aku.

Gempa bumi yang menimbulkan tsunami melanda Aceh pada hari Minggu, 26 Desember 2004. Bencana ini sungguh dahsyat. Bumi berguncang dan air laut naik ke daratan. Korban tewas tidak terhitung jumlahnya, saking banyaknya. Aku tinggal di tempat yang jauh dari pantai, sehingga tidak mengalami tsunami.

Pada tahun 2006, anggota Pekka bahu membahu membantu, dalam membangun kembali rumah anggota Pekka lain di Bireun yang terdampak tsunami. Kegiatan ini diorganisir oleh para kader Pekka Bireun. Alangkah hebatnya para perempuan ini, mereka sanggup membangun rumah seperti laki-laki. Mereka tetap tabah meski telah mengalami musibah. Aku tertular semangat mereka, meski belum menjadi kader. Kegiatan ini berjalan hingga 2007. Para anggota dan kader Pekka Bireun juga sanggup membangun center, walaupun pada saat itu tanah tempat center dibangun masih berstatus tanah sewa.

Aku menghadiri pertemuan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di Center Pekka pada tahun 2008. Meski hanya pengurus kelompok di desa yang diundang  untuk hadir, aku sangat senang. Aku bisa bertukar pengalaman dengan teman dari desa lain yang senasib denganku. Pertemuan ini membahas pelatihan pendidikan Keaksaraan Fungsional (KF), yang diadakan di Center Pekka Bireun, dengan mentor Ibu Kodar dan Mas Yanto. Peserta pelatihan yang hadir pada saat itu dari Kabupaten Idi (Aceh Timur) dan Pidie, aku sudah lupa tanggal berapa pelatihan tersebut berlangsung karena sudah sangat lama.

Namun setelah pelatihan pendidikan KF tersebut, aku diangkat menjadi kader pendidikan Keaksaraan Fungsional (KF), yang harus turun  lapangan untuk mengajari ibu-ibu Pekka yang tidak bisa membaca dan menulis. Pelatihan membaca dan menulis tersebut aku lakukan pada saat pertemuan kelompok. Alhamdulillah, aku bisa berbuat untuk perempuan lain di desa. Walau hanya satu huruf yang aku ajarkan, tetapi satu huruf itu bisa bermanfaat bagi orang lain.

Empat tahun setelah mengikuti pertemuan tentang LKM, aku diangkat menjadi bendahara LKM. Aku agak terkejut dengan pengangkatan ini, karena aku sama sekali tidak menguasai pembukuan keuangan. Tetapi aku terpacu untuk belajar. Selama melakukan tugas ini, aku didampingi oleh Pendamping Lapang, Ibu Keumalawati.

Tidak lama setelah aku menjabat sebagai bendahara LKM, diadakan pelatihan mengenai pembukuan keuangan di Banda Aceh. Aku kebingungan, tidak mengerti sama sekali isi materi pelatihan. Tetapi aku tetap fokus mengikuti dengan tekun. Ketika pelatihan ini berakhir, aku jadi memahami cara-cara pembukuan keuangan, termasuk mengenai saldo awal dan saldo akhir, rekap simpanan dan rekap pinjaman.

Terjerat KDRT

Pada tahun 2015, datang seorang pemuda untuk melamarku. Tanpa pikir panjang aku menerima lamarannya. Aku berpikir dia tidak punya istri, dan tidak ada yang menghalangiku untuk menjadi istrinya. Aku juga bukan perebut suami orang. Aku bangga bisa mendapatkan suami yang masih jejaka dan ganteng.

Baru beberapa bulan menikah, sifat aslinya muncul. Suamiku seorang pemarah dan suka memukul. Bukan hanya aku yang sering menjadi sasaran kemarahannya, tetapi anak-anakku juga. “Aku benci sama anak-anakmu,” begitu kata dia, ketika anak bungsuku pulang dari pesantren untuk beristirahat. Semua anak lelakiku tinggal di pesantren,  hanya anak keduaku yang tinggal bersama Mak Cik, adik dari ayahku, karena dia perempuan. Tetapi aku tetap bersabar, aku juga meminta anakku untuk bersikap sabar. Alhamdulillah, anakku masih mau mendengarkanku.

Anak bungsuku lantas pergi ke kamarnya, dan tertidur. Tiba-tiba saja suamiku memukulnya dan menyuruh dia bangun. Padahal, anakku hanya ingin beristirahat sebentar, untuk kemudian kembali ke pesantren. Anakku lalu menangis dan mengadu kepada kakak dan abangnya. Kakaknya yang saat itu sedang berada di rumah makcikku di Lhokseumawe, dan abangnya yang tinggal di pesantren yang sama dengan tempat dia bersekolah. Akhirnya  abangnya pulang dari pesantren untuk konfirmasi ke ayah tirinya, apakah benar telah memukul adiknya. Suamiku tidak menjawab. Bahkan anakku malah dia usir.

Suamiku tega mengusir anak-anakku bila mereka berkumpul di rumah. Dia tidak terima bila aku memberi mereka uang. “Suruh saja minta sama saudaranya,” begitu kata dia. Ya Allah, bagaimana ini. Padahal, uang yang aku kasih adalah hasil peninggalan harta  ayah mereka. Tetapi kenapa dia begitu marah. Bila marah, suamiku akan pergi dari rumah. Namun dia akan pulang lagi setelah beberapa hari. Entah apa yang membuatku masih mau menerimanya. Kondisi rumah tanggaku semakin hari semakin ruwet. Dia sering melakukan kekerasan terhadapku, dan tidak menyayangi anak-anakku. 

Pada saat hari ke-2 Lebaran tahun 2016, anak-anakku tidak mau pulang.  Mereka tidak terima karena suamiku yang sering memarahi saat mereka pulang. Anak bungsuku lebih memilih untuk pulang ke rumah Mamak, sementara abangnya lebih memilih tidak pulang dan tetap tinggal di dayah (pesantren) . 

“Kenapa anak-anak tidak pulang ke rumah Lebaran ini?” suamiku bertanya. 

“Karena kamu sering marah-marah dan memukul mereka. Mereka semua kesal sama kamu,” jawabku. 

Saat lebaran karena anak – anaku tidak pulang dan aku juga ingin berlebaran kepada orang tuaku, aku  ingin sekali kerumah mamaku tetapi suamiku tidak mengijinkannya.

Bulan Juli 2016, tepat sebulan setelah lebaran, dengan alasan anak-anak tidak pulang, suamiku izin pulang ke kampungnya di Kapung Iloet, Kecamatan Sigli di Aceh Pidie. Setelah mendengar ayah tirinya pulang ke kampungnya, anak-anakku langsung pulang untuk menemuiku. Setelah 14 bulan suamiku  tidak kembali juga, aku mulai memikirkan untuk menggugat cerai. Aku tidak pernah memikirkan suamiku kembali, karena aku sibuk mencari nafkah, juga berkegiatan di Pekka.

Perceraian adalah jalan terbaik bagiku, juga bagi perkembangan anak-anakku. Aku memutuskan menggugat cerai suamiku pada tahun 2018, dari pernikahan ke 2 ku, kami tidak dikaruniai anak. Sayang, aku tidak bisa menggugat cerai dengan cara pro deo (tidak membayar), karena aku dan suami berdomisili di kabupaten yang berbeda. 

Dengan terpaksa aku membayar perkara ke Pengadilan Agama. Aku urus sendiri berkas permohonan gugatan ceraiku sampai ke Mahkamah Syariah. Dari panggilan pertama hingga panggilan ketiga, suamiku tidak pernah menghadiri persidangan. Maka, hakim langsung mengabulkan gugatanku. Akta Cerai keluar satu bulan kemudian, dan ini menandai berakhirnya pernikahanku dengan dia. Aku kembali menjanda.

Bersinar Melalui Berbagai Pelatihan

Pada Tahun 2017 aku mendapat kesempatan untuk mengikuti Pelatihan untuk melatih (Trainer on Training – ToT) bagi mentor sekolah kader yang diadakan di Bekasi, Jawa Barat. Lokasinya di Hotel Santika, kalau aku tidak salah ingat. Ada dua orang dari Bireun yang dikirim untuk mengikuti pelatihan ini, aku sendiri, dan Marlina. 

Selama pelatihan, aku mendapat banyak materi mengenai cara-cara menjadi mentor. Kami juga harus mempelajari modul, dan belajar memfasilitasi tanpa melihat teks. Rasa tidak percaya diri sempat menghampiriku. Aku ragu apakah aku sudah menguasai materi untuk bisa menyampaikan materi modul. Namun, aku menganggapnya sebagai tantangan, dan aku harus bisa menerapkannya di wilayahku begitu aku pulang. Ini sudah menjadi tugasku sebagai mentor. Pelatihan ini difasilitasi beberapa tim dari Sekretariat Nasional Pekka.

Sayangnya, sekolah kader belum bisa langsung kami adakan setelah aku dan Marlina mengikuti pelatihan. Faslap yang mendampingi kami mengatakan, Pekka Kabupaten Bireun belum memiliki kerja sama dengan KOMPAK atau MAMPU, sehingga rencana mengadakan sekolah kader terpaksa kami tunda. Meski demikian, kami tetap mensosialisasikan bahwa Serikat Pekka Bireun akan mengadakan sekolah kader, yang diadakan khusus bagi perempuan desa agar mereka bisa berkontribusi dalam pembangunan. Sambil menunggu, kami tetap melakukan pendampingan kelompok, sosialisai program Pekka, juga pendampingan kasus. 

Aku mendapat kesempatan lagi untuk mengikuti pelatihan pada tahun 2018. Kali ini adalah pelatihan mentor Akademi Paradigta yang diadakan di Gadog, Bogor. Ada tiga kader yang berangkat dari Bireun, yakni Marlina, Mulyani, dan aku sendiri. Pelatihan ini berlangsung selama lima hari, dan dimulai sejak pukul 09.00 hingga 21.00 WIB. Lama sekali, memang, karena modul yang harus kami pelajari jumlahnya banyak sekali. 

Kami tidak hanya mempelajari materi, tetapi juga praktik bagaimana memfasilitasi. Aku gembira sekali bisa mengikuti pelatihan ini. Bukan hanya karena aku akan menjadi mentor setelah aku selesai pelatihan, tetapi juga karena mendapatkan banyak kawan dari wilayah lain yang mampu memberiku wawasan dan pengetahuan baru. 

Aku memiliki tanggung jawab untuk menjalankan tugas dan menerapkan ilmu yang kami dapat selama pelatihan begitu sampai kembali di Bireun. Namun, sebelum membuka kelas, aku bersama mentor-mentor lain di wilayah ini harus melakukan sosialisasi ke kelompok-kelompok untuk mencari peserta dan mengumpulkan data mereka, juga meminta izin ke Kepala Desa. 

Untuk mencari peserta tidak sulit. Program ini sudah kami sampaikan di desa masing-masing sebelumnya. Kami melakukan sosialisasi selama satu bulan. Setelah peserta dan data mereka terkumpul, barulah kami membuka Akademi Paradigta. Kami mendampingi teman-teman akademia untuk mempelajari berbagai modul, mulai dari modul mengenai Perempuan Pemimpin hingga Perempuan Mengadvokasi Kebijakan.

Kelas pertama Akademi Paradigta ini diadakan di Center Pekka pada Agustus 2018 – Februari 2019. Kami melakukan pertemuan dua kali dalam seminggu dengan 60 akademia. Sayang, 10 orang gugur sehingga hanya 50 orang yang bisa ikut wisuda, wisuda angkatan pertama kami gelar pada bulan Juli 2019. Kelas kedua diadakan tahun 2019-2020 dengan 30 peserta. 10 orang berhenti ikut belajar dengan berbagai alasan. Tapi tidak mengapa. Aku tetap merasa bangga bisa menjadi mentor di Akademi Paradigta. Aku bisa membagi ilmu yang aku dapat selama bergabung dengan Pekka kepada perempuan lain.

Berbagai lika-liku kehidupan sudah aku lalui. Anak-anakku sudah dewasa sekarang. Sulungku sudah menikah dan memiliki satu anak. Alhamdulillah, aku sudah menjadi seorang nenek. Anak keduaku sudah bergelar sarjana dari sebuah perguruan tinggi di Aceh. Anak ketiga dan keempat sudah bekerja, dan yang kelima masih mondok di pesantren. Berkat kerja keras mereka, aku bisa membangun rumah. Aku juga sudah tidak perlu lagi bekerja di sawah. Aku tinggal memetik hasil dari segala jerih payah yang telah aku lakukan, sambil mengikuti berbagai kegiatan positif seperti menjadi kader Pekka, mengembangkan koperasi, mendampingi kelompok Pekka, mendampingi masyarakat khususnya perempuan dalam proses pembuatan legalitas hukum, serta kegiatan lain yang bermanfaat bagi masyarakat.

Aku masih menjadi pengurus LKM saat ini, juga membantu kegiatan serikat bersama kader Pekka yang lain. Aku berharap, aku bisa selamanya aktif berkegiatan bersama Pekka.

Bagikan Cerita Ini

Cerita Terkait

Gembira dan Bersemangat karena Pekka Membuatk

Gembira dan Bersemangat karena Pekka Membuatku Kuat Ki...

Perjuangan dari Masa Kecil yang Membuahkan Ha

Perjuangan dari Masa Kecil yang Membuahkan Hasil Kisah...

Leave a Comment