Kesabaran Menanti Kabar

Cita-cita untuk bersekolah tinggi terpaksa aku tinggalkan karena keterbatasan ekonomi. Sepuluh tahun ditinggalkan oleh suami, aku ditempa untuk senantiasa bersabar dan pantang berdiam diri. Pekka membuka kesempatan bagiku untuk mengembangkan potensi dalam diri.

Hidup pas-pasan bukan berarti tidak bahagia. Itulah yang aku rasakan selama masa kecilku. Lahir dari orang tua yang tidak pernah tahu rasanya duduk di bangku sekolah, aku bercita-cita untuk bersekolah yang tinggi agar bisa lahir menjadi orang sukses. Oleh karena itu, aku tidak mempedulikan jarak sejauh 10 kilometer yang harus aku tempuh setiap hari. Aku menjalaninya dengan mengendarai sepeda tua meski terik matahari atau hujan deras menerpaku.

Namaku Naharia Ali, kelahiran April 1982. Aku  anak  ketiga dari empat bersaudara, dari orang tua bernama Timang Bandu dan Ali Patta. Kami bersaudara perempuan semua, dan masih tinggal bersama orangtua di Desa Cempaka, Kecamatan Sangtombolang, Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Orang tuaku bekerja sebagai petani. Kehidupan kami sàngat sederhana, bisa dibilang pas-pasan malahan. Namun kami sangat bersyukur. Kedua orangtua kami tidak pernah mengenal bangku sekolah, tetapi mereka berusaha untuk menyekolahkan kami walau hanya sampai tingkat SMP dan SMA. Kami berempat diajarkan untuk membantu pekerjaan di kebun dan tidak lupa mengerjakan shalat.

Sejak kecil aku bercita-cita ingin sekolah yang tinggi agar menjadi orang yang sukses.Oleh karena itu, setelah lulus dari Sekolah Dasar Negeri 2 Ayong di Desa Cempaka pada tahun 1996, aku melanjutkan sekolah ke SMPN 1 Sangtombolang yang berada di Desa Lolanan. Tidak peduli jarak  antara rumah dengan sekolah yang mencapai 10 km. Pada saat itu kendaraan umum belum banyak dan secanggih seperti yang ada saat ini. Maka, aku ke sekolah menggunakan sepeda setiap hari. Aku berangkat dan pulang bersama beberapa teman. Bila ada sepeda temanku yang rusak, atau mengalami kecelakaan, aku membantu mendorong sepedanya sampai rumah. Pernah pada suatu hari, aku dan temàn-teman mengikuti upacara HUT Kemerdekaan RI dan kami menunggu sampai upacara penurunan bendera. Waktu kami pulang, hari sudah malam sehingga kami pulang berjàlàn kaki sambil mendorong sepeda karena jalànan sudah sangat gelap. Begitulah, selama tiga tahun pengalaman ini aku jalani. Tidak aku hiraukan teriknya sinar matahari atau hujan demi mengejar cita-cita. Sampai aku lulus SMP pada tahun 1999. Aku bangga, meski aku tidak pernah mendapat juara kelas atau mencetak prestasi. Tetapi, aku tidak pernah tinggal kelas.

Setamat SMP, ada keinginan melanjutkan sekolah ke tingkat atas. Awalnya aku ingin melanjutkan ke SMA.  Tetapi ketika aku hendak mendaftar, sudah tidak ada SMA yang masih membuka pendaftaran. Aku terpaksa mendaftar ke sebuah SMK yang pada saat itu masih membuka pendaftaran untuk siswa baru. Orang tuaku selalu mendukung apapun pilihan sekolah anak-anak mereka, asalkan itu bukan sekolah elit yang mahal biayanya.

Pada tahun 1999, aku masuk SMK Teknologi Informasi Cokroaminoto di Kotamobagu, sekitar 52 km dari desa tempat tinggalku. Aku memilih menyewa kamar kos di dekat sekolah dengan membayar Rp 50 ribu per bulan. Aku berbagi kamar dengan seorang teman. Meski sekamar, kami beda sekolah. Temanku masuk SMEA. Belum lagi naik kelas dua, aku mendapat kabar bahwa ayahku meninggal dunia. Beliau tenggelam saat membersihkan saluran irigasi. Untung ada orang yang melihat dan menolongnya. Ayah dibawa pulang ke rumah, dan masih bisa berkata hendak pergi shalat Jumat. Namun karena sudah tidak mampu lagi berdiri, beliau shalat di rumah, dan menghembuskan nafas terakhirnya setelah selesai shalat. 

Aku bertekad untuk terus bersekolah setelah lulus SMK pada tahun 2002, meski Ayah sudah tidak ada. Sekolah yang tinggi adalah cita-citaku sejak kecil. Sayangnya, cita-cita itu tinggallah angan. Aku harus mengubur impianku karena kondisi ekonomi keluarga yang tidak mendukung. Aku sering terlambat membayar uang SPP dan uang kos.

Setamat SMK, aku bekerja membantu Ibu mencari nafkah demi kebutuhan sehari-hari seperti menanam jagung di kebun, juga menanam padi di sawah. Sambil menunggu masa panen, yakni sekitar tiga sampai empat bulan, aku bekerja sebagai buruh tani dengan memetik jagung milik orang lain. Upah yang aku dapat adalah Rp 10 ribu per karung.  Tiap hari aku hanya sanggup memanen lima karung. Untuk memperoleh pendapatan lain, aku memotong rumput di sawah dengan upah Rp 50 ribu per hari. Apa pun pekerjaannya, selalu aku tekuni dengan penuh semangat. Bagiku yang penting adalah, kebutuhan sehari-hari tercukupi. Aku rela bekerja dari satu kebun ke kebun yang lain. Berapa pun hasilnya tetap aku syukuri. 

 

Dipaksa Menikah

Ibu mengajak aku dan adik-adik mengunjungi kampung halamannya di Bone, Sulawesi Selatan, pada Februari 2004. Aku senang dengan suasana kampungnya. Pemandangannya indah, dan di pagi hari udaranya  sejuk sekali. Setelah beberapa hari kami tinggal di sana, Ibu menjodohkanku dengan seorang laki-laki bernama Ridwan Lanai yang berasal dari Kendari. Awalnya aku menolak dijodohkan karena merasa belum siap untuk menikah dan berumah tangga. Aku juga sama sekali tidak mengenal laki-laki itu. Tapi ibuku bilang, “mau atau tidak mau, kamu harus menikah dengan dia.” 

Beberapa hari kemudian dia datang dari Kendari bersama keluarganya. Kedatangan mereka adalah untuk melamar dan menentukan hari pernikahan kami. Semua biaya akad nikah akan ditanggung oleh keluarga calon suamiku. Kami pun menikah pada bulan Maret 2004 dan setelah akad nikah berlangsung dilanjutkan dengan menandatangani berkas. 

Setelah menikah, suami ikut kami pulang ke Manado. Kami tinggal bersama ibuku di Desa Cempaka. Dia bekerja untuk menafkahi keluarga kami dengan menanam padi dan jagung. Setelah mendapatkan hasil panen, suami mulai sering mabuk-mabukan. Mungkin karena kami hanya dijodohkan, dan pada saat itu aku mengidap penyakit gondok luar. Penyakit ini membuat leherku membesar. Meski sering mabuk, dia tidak pernah sampai memukuli ku. Hanya saja, dia sering tidak pulang bila sedang mabuk. Aku tidak bisa marah, karena kami masih menumpang pada orangtua. Aku  hanya bisa diam dan bersabar.

Pada awal November 2004, suami pamit untuk pergi ke Kendari. Dia bilang ingin menjenguk keluarganya. Awalnya, dia mengajakku untuk bertemu dengan ibunya, karena pada saat kami menikah, sang ibu tidak hadir. Aku menolak ajakannya karena penyakit di leherku makin hari makin membesar, dan itu membuatku malu. Padahal, berbagai macam pengobatan aku lakukan, mulai mengkonsumsi obat dari dokter hingga ramuan obat tradisional seperti benalu yang ada di pohon dan sarang semut. Namun tetap tapi tidak ada perubahan. Maka, suamiku berangkat sendiri ke Kendari.

Satu bulan kemudian, suamiku mengirim kabar bahwa dia mau balik ke Manado tetapi tidak punya ongkos. Aku katakan padanya bahwa ongkos nanti dibayar di Manado. Setelah sampai di Desa Cempaka,  dia kembali bekerja di sawah untuk  menanam padi, karena di desa kami mayoritas petani padi dan setelah empat bulan, padi bisa dipanen. Satu bulan sesudah panen, dia mengatakan kalau dia rindu dengan keluarganya di Kendari. 

Suamiku kembali berangkat ke Kendari pada bulan Mei 2005. Sejak saat itu, dia tidak pernah memberi kabar sama sekali, juga tidak kembali sampai sekarang. Kami belum memiliki àlat komunikasi yang canggih pada saat itu. Aku tidak pernah mencari tahu tentang keberadaannya, karena aku tidak tahu bagaimana caranya. Aku tidak punya alamat tempat tinggal dia di Kendari, sehingga aku tidak bisa mengirim surat. Sampai suatu hari, aku mendapat kabar dari tetangga bahwa dia bertemu dengan suamiku di Wajo, Sulawesi Selatan, dan sudah menikah lagi. 

Ketika suamiku pergi, aku sedang hamil. Hingga tiba waktunya anak kami lahir, dia belum kembali. Aku tetap bersabar, dan memutuskan untuk melahirkan sendiri di rumah dengan dibantu keluarga. Aku tidak mau membebani mereka dengan biaya persalinan, bila aku melahirkan di rumah sakit. Aku besarkan anakku dengan penuh kasih sayang, meski tanpa didampingi suami.

 

Aktif di PKK, Mencari Nafkah, dan Bergabung dengan Pekka

Pada tahun 2012, saya mulai bergabung dengan kelompok PKK. Awalnya adalah ketika aku diminta oleh ketua tim penggerak PKK sebagai sekretaris tim penggerak PKK di desa untuk membantu tugas dan tanggung jawab pengurus di Desa Cempaka.  Suatu ketika ada pertemuan di tingkat kecamatan, aku diminta hadir dan membuat laporan kegiatan di desa. Aku tidak tahu bagaimana caranya membuat laporan karena aku baru bergabung. Tetapi aku tetap hadir di kegiatan tersebut. Pada saat pertemuan, aku melihat kegiatan apa saja yang dibuat di desa, seperti mengadakan rapat koordinasi setiap bulan dengan berpindah tempat secara bergilir, dari satu desa ke desa yang lain di satu kecamatan. Dalam rapat koordinasi setiap desa harus melaporkan kegiatan yang ada di desa. Program PKK meliputi kegiatan seperti arisan di kecamatan, dan kerja bakti setiap bulan. 

Setelah bertahun-tahun ditinggal suami tanpa kabar, aku masih berharap suatu hari nanti akan kami akan bersama lagi, karena kami sudah mempunyai seorang anak. Namun,  kenyataannya tidak seperti yang aku harapkan. Aku bersabar dan ikhlas menerima takdir dari Allah. Aku berusaha mencari nafkah sendiri, karena ada seorang anak yang harus dibesarkan dan dinafkahi. Pada tahun 2015, aku diterima bekerja sebagai pegawai honorer di sekolah Paud RA Ahmad Sainul Wathoni Cempaka. Dari pekerjaan ini, aku mendapat honor Rp150 ribu. Aku bersyukur, masyarakat di sekitar tempat tinggalku tidak mempermasalahkan keadaanku yang hidup tanpa suami.

Aku mulai mengenal PEKKA dari seorang Faslap (fasilitator lapang) bernama Firta Nurcita dan juga melalui Ibu Keysia, Ketua Serikat Pekka Bolmong dan Ibu Nursia, seorang anggota Pekka. Saat itu, mereka datang ke Desa Cempàka untuk mensosialisasikan program membantu masyarakat yang membutuhkan. Aku tertarik dengan kegiatan yang mereka tawarkan. Aku mulai bergabung menjadi anggota dengan membentuk satu kelompok baru yakni, Kelompok Pekka Sejati dengan 10 orang anggota di Desa Cempaka pada tanggal 3 Desember 2014. Aku terpilih sebagai sekretaris kelompok dengan tugas mengelola simpanan anggota. 

Salah satu motivasiku bergabung adalah banyak program dari Serikat Pekka yang bertujuan membantu masyarakat, atau khususnya anggota Kelompok Sejati, terutama dalam pengurusan kartu identitas diri. Ada syarat yang harus dipenuhi setiap kelompok yang tergabung dengan Serikat Pekka, yakni setiap anggota wajib membayar simpanan wajib, simpanan pokok, simpanan sukarela, dan iuran serikat setiap bulan. Perlahan tapi pasti, ada perubahan dalam diriku. Aku yang dulunya tidak percaya diri, sudah berani dan memiliki rasa percaya diri untuk berbicara di sebuah forum. Aku juga sudah mampu membantu orang lain mengurus identitas hukum. Semuanya itu bisa aku dapatkan melalui pelatihan-pelatihan yang diberikan Serikat Pekka.

Pada pertengahan 2015, aku ditunjuk sebagai ketua kelompok karena ketua kelompok pindah bekerja ke desa lain. Sejak saat itu aku mulai terlibat dalam rapat serikat, juga pelatihan-pelatihan di tingkat kabupaten dan pelatihan tingkat provinsi, seperti pelatihan paralegal yang dilaksanakan di Center Pekka  Lolak. Selain itu, aku juga mengikuti Jambore Nasional tentang Buruh Migran Indonesia di Jember, Jawa Timur, yang diselenggarakan oleh Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) pada 23-25 November 2015. Dengan mengikuti acara ini, aku tahu tentang perlindungan buruh migran. Ada banyak kasus kekerasan yang dialami para buruh migran di luar negeri. Ini pengalaman pertama aku mengikuti kegiatan di wilayah lain. Awalnya, aku ditelepon anggota Pekka Sukmawati. “Mau nggak pergi ke Surabaya, nanti aku antar ke bandara,” katanya. Aku bilang bersedia walau hanya sendiri yang diutus ke acara itu. Kemudian, aku diantarkan ke bandara. Sesampainya di Bandara Internasional Sam Ratulagi, Manado, aku diantar sampai pintu masuk pemeriksaan tiket. Aku agak gugup dan takut, ketika check in, aku mengamati dulu cara orang lain melakukannya. Pikiran pun berkecamuk, yang terlintas dalam benak, balik lagi tidak ya ke Manado. Acaranya 5 hari, termasuk perjalanan pulang pergi Surabaya-Manado. 

Setelah sering ikut kegiatan serikat, aku jadi tahu bahwa Serikat Pekka Bolmong mempunyai kegiatan Layanan Terpadu, yang bekerja sama dengan Pengadilan Agama melalui program pro deo. Aku memberanikan diri untuk menggugat cerai suami dengan membawa surat keterangan tidak mampu dari desa. Berbekal itu semua, aku bisa mendaftar secara gratis pada saat sidang keliling. Kemudian pihak Pengadilan Agama datang ke Center Pekka Lolak untuk melakukan sidang yang pertama. Pada  persidangan yang kedua hakim ketua memutuskan perceraian dan aku mendapatkan kartu kuning, begitu kata orang, yakni kartu yang diberikan oleh pengadilan. Akhirnya aku resmi berpisah setelah 10 tahun ditinggal tanpa kabar. Baru aku merasa terbebas dan lepas dari masa lalu dengan adanya akta cerai.

Pada 2016, aku mengikuti acara Pekka-Perintis (Perempuan Inovator Indonesia) di Jakarta yang diikuti 1.800 orang dari 34 provinsi. Sebelum terpilih sebagai peserta, aku diminta membuat cerita tentang kegiatan yang aku lakukan di desa. Cerita yang aku tulis tersebut kemudian diserahkan kepada panitia di Yayasan PEKKA. Dengan seleksi yang ketat, akhirnya aku terpilih sebagai Perintis bersama 4 anggota Pekka lainnya. Namun ada juga Perintis terpilih non-anggota Pekka. Mereka adalah perempuan inovatif berasal dari Kotamobagu. Kami sama-sama berangkat dalam satu rombongan dari Sulawesi Utara. Dalam acara itu, ada materi kepemimpinan perempuan, malam budaya, dan jalan-jalan ke TMII. 

Pada pertengahan 2017, aku mengikuti sekolah kader melalui pendidikan Akademi Paradigta. Melalui kegiatan ini, aku mendapatkan banyak ilmu dan juga pengalaman. Hal yang paling utama aku dapatkan adalah keberanian untuk terutama belajar untuk berbicara di depan teman-teman. Memasuki akhir 2017, para akademia mengikuti wisuda Akademi Paradigta. Aku senang dan bangga  bisa menjalani wisuda Akademi Paradigta. Selain bangga, lebih dari itu, aku merasakan pengetahuan dan pengalamanku bertambah seperti peran penting perempuan untuk terlibat dalam penyusunan program desa, mengembangkan jaringan dan advokasi mulai tingkat desa dan kecamatan, dan juga menjadi lebih paham terkait masalah-masalah yang ada di desa. 

Berkat latihan-latihan yang aku dapatkan di Akademi Paradigta, alhamdulillah, aku makin percaya diri dan mampu memberikan pendampingan kepada masyarakat. Saat itu juga ada agenda musyawarah besar Serikat Pekka Bolmong. Dalam mubes ini aku terpilih sebagai badan pengawas serikat. 

Hatiku semakin mantap dengan Pekka. Di tahun yang sama, tepatnya pada bulan Agustus, aku mengikuti pelatihan JWP – Jurnalisme Warga Pekka di Pusdiklat Altakarya, Bogor, Jawa Barat. Pelatihannya berlangsung selama tiga hari. Senang rasanya, karena selain bertemu dengan teman-teman Pekka dari wilayah lain, aku juga mendapat pelajaran menulis berita, mencari berita. Keseruan lainnya adalah kami bisa saling berbagi cerita mengenai kegiatan Serikat Pekka di wilayah masing-masing. Karena bertepatan dengan acara Agustus-an, kami para peserta juga melakukan upacara kemerdekaan di tempat pelatihan. 

Sebelum mengikuti pelatihan ini, aku merasa menulis kisah hidup sebenarnya sangat sulit, karena aku tidak pandai merangkai kata atau pun menyusun kata-kata dengan baik, mencari berita yang menarik, menulis berita, memotret berita, mengumpulkan data informasi. Tantangan lain adalah ketika melakukan wawancara. Ada kalanya orang yang aku wawancarai hanya memberikan informasi sedikit dan tidak mau terbuka.

 

Aku dan KLIK Pekka

Serikat Pekka dan pemerintah desa melaksanakan KLIK-Klinik Layanan Informasi dan Konsultasi Perlindungan Sosial di Desa Lolanan, Kecamatan Sangtombolang, Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara pada 21 Februari 2019. Kegiatan ini menghadirkan narasumber dari Dinas Sosial, BPJS, Disdukcapil, Dinas Kesehatan, dan TKSK (Tenaga Kerja Sosial Kecamatan) dengan tujuan agar masyarakat mudah mendapatkan informasi tentang pembuatan kartu  identitas diri.  

Serikat Pekka juga mengundang masyarakat yang ada di desa tersebut agar bisa berkonsultasi secara langsung dengan narasumber atau bertanya tentang tata cara dan syarat pembuatan kartu identitas diri atau cara untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah dan dari dinas seperti kartu PKH dan Kartu Indonesia Sehat (KIS PBI). Setelah kegiatan KLIK selesai, panitia mengumpulkan data masyarakat yang berkonsultasi pada acara tersebut. Pada acara KLIK ini, aku berperan sebagai panitia pelaksana, dengan tugas antara lain adalah melayani masyarakat untuk mendaftar kegiatan KLIK dan mengarahkan mereka yang sudah mendaftar di meja mana akan berkonsultasi dan juga menulis keluhan masyarakat. 

Pada hari yang sama, setelah pelaksanaan KLIK-PEKKA, Serikat Pekka dan pemerintah Desa Lolanan melaksanakan diskusi kampung yang dihadiri oleh pemerintah desa, rukun tetangga sampai Sangadi – sebutan untuk kepala desa. Ketua Serikat memberikan sambutan tentang keberadaan Serikat Pekka yang ada di Bolaang Mongondow dan juga program-program Serikat Pekka, untuk kemudian menyampaikan kepada pemerintah desa, dalam hal ini Sangadi, tentang hasil  KLIK atau data masyarakat yang berkonsultasi dalam kegiatan KLIK yang akan diserahkan kepada pemerintah desa (Sangadi) yang akan merealisasikan atau membawa ke dinas terkait secara kolektif  dan dilanjutkan dengan penandatanganan nota kesepahaman antara Serikat Pekka dengan pemerintah desa.

 

Aku dan Pekka

 

Semenjak bergabung di Serikat Pekka, banyak perubahan yang terjadi pada diriku. Aku sudah bisa memimpin pertemuan ràpat serikat, bisa membuat  laporan kegiatan, menjadi panitia kegiatan dan juga bisa mengikuti pelatihan-pelatihan di tingkat kabupaten seperti  pelatihan Paralegal dan juga pelatihan JWP tingkat nasional. Pengalaman baik setelah menjadi kader Paralegal adalah saat mengurus perceraian karena aku hanya perlu membayar biaya transportasi ke kantor Pengadilan Agama. Setelah sampai sana, aku mendaftar dengan cara pro deo atau gratis, dan juga membantu masyarakat dàlam mengurus pelaksanaan isbat nikah di Center Pekka Desa Motabang. Awalnya aku mengumpulkan dokumen warga yang belum punya buku nikah dan kartu keluarga untuk diikutsertakan dalam pembuatan buku nikah. Aku mendaftarkan mereka ke Pengadilan Agama dan beberapa hari kemudian pihak PA dan KUA melaksanakan isbat di Center Pekka. Mereka  kemudian mengikuti sidang isbat agar bisa mendapatkan buku nikah. 

Serikat Pekka selalu diajak bekerja sama dengan OPD (organisasi pemerintah daerah), misalnya pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan oleh Dinas Sosial Kabupaten Bolaang Mongondow. Pihak dinas juga sering melibatkan Serikat Pekka bila ada program-progràm bantuan bagi anggota Pekka. Pada tahun 2018, kelompok Pekka Sejati mengajukan proposal bantuan mesin jahit dan bantuan kursi ke Dinas Sosial. Ketua Serikat selalu mengawal proposal tersebut dan diterima oleh Dinas Sosial pada tahun 2019. Pada 12 Oktober 2020,  pengajuan bantuan itu turun ke kelompok Pekka Sejati, namun yang terealisasi bantuan berupa 100 buah kursi dari Dinas Sosial yang diserahkan langsung oleh Kepala Bidang dan diterima oleh ketua kelompok Sejati didampingi ketua Serikat Pekka dan Faslap di Desa Lalow.  Pada hari yang sama, kelompok Cempaka menerima bantuan berupa 2 unit mesin jahit dan 2 mesin obras yang diusulkan melalui desa. Aku sampaikan kepada  anggota kelompok Pekka Sejati bisa menggunakan mesin jahit dan mesin obras, juga kursi. Saat ini bantuan tersebut dikelola oleh pengurus kelompok. Hasil usaha menjahit yang dijalankan akan digunakan untuk perawatan mesin dan untuk menambah simpanan anggota.

Selama bergabung dan melakukan kegiatan di Serikat Pekka, aku sering menitipkan anak kepada kakakku. Kini, anakku sudah besar dan sudah duduk di kelas 1 SMK Negeri Samtongbolang. Di usianya sekarang, ia mulai memahami kesibukan ibunya. Kadang dia suka mengeluh ketika aku sering pergi melakukan pertemuan atau kegiatan-kegiatan di Serikat Pekka. Aku coba mengajaknya bicara dan memberikan pemahaman tentang aktivitasku, “Keterlibatan Mamak di Pekka untuk menambah pengetahuan dan mencari peluang Mamak memperbaiki kehidupan ekonomi keluarga agar lebih baik lagi.” Akhirnya, anakku merespon dengan baik dan mulai bisa menerima dan memahami aktivitasku selama bergabung di Pekka.

Bagikan Cerita Ini

Cerita Terkait

Leave a Comment