Pekka Membuatku Berdaya, Meski Tidak Pernah Berhasil Meraih Cita-Cita

Aku setengah mati menolak dinikahkan. Namun, kemauan orang tua dan ikatan adat membuatku tidak berdaya. Aku harus berjuang demi anak-anak ketika pernikahanku kandas. Pekka memberiku pemahaman baru tentang hak perempuan, serta memberiku kekuatan untuk menghadapi segala tantangan.


Noeng, begitu orang-orang di kampung memanggilku. Padahal, Ibu dan Abu memberiku nama Lismayani. Aku lahir tahun 1980, di Desa Dayah Kumba, Kecamatan Mutiara Timur, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh. Aku lahir sebagai anak pertama dari 11 bersaudara. Namun, delapan adikku meninggal dunia saat mereka masih bayi. Abu, begitu aku memanggil ayahku, bekerja sebagai petani. Kami hidup sederhana, tetapi rukun, harmonis, dan saling membantu.

Aku mulai masuk SD di tahun 1985. Jarak antara sekolah dengan rumahku tidak terlalu jauh, kira-kira satu kilometer. Aku belajar di SD selama tujuh tahun, karena kepala sekolahku sengaja menahanku untuk naik kelas dengan alasan aku belum cukup umur sewaktu masuk sekolah. Aku melanjutkan pendidikanku ke jenjang SMP di tahun 1991.

Di tahun 1990, ibuku meninggal dunia ketika melahirkan. Aku sangat sedih, karena tidak ada lagi tempat untuk aku mengadu dan berkeluh kesah.  Satu tahun setelah kepergian Ibu, Abu menikah lagi dengan seorang perempuan yang juga warga kampung di tempat kami tinggal. Aku dan kedua adikku dibawa Abu ke rumah istri barunya. Aku tetap bisa melanjutkan sekolah di SMP, begitu pun adikku yang masih duduk di sekolah dasar. Sementara adik bungsuku saat itu masih berusia 5 tahun, dan belum bersekolah. 

Dipaksa Menikah

Aku hanya bisa bersekolah sampai kelas 2 SMP. Saat aku naik ke kelas 3, aku dipaksa Abu untuk menikah dengan seorang pria dari kampung tetangga. Kejadian ini terjadi pada masa liburan sekolah. Aku sedang mengangkat kain jemuran. Nenek dari pihak almarhum ibuku yang tinggalnya tidak jauh dari rumah melintas di depan rumah ibu tiriku. Beliau berkata, “Neong (panggilan untuk anak perempuan di Aceh), kamu akan aku bawakan linto baro (sebutan untuk pengantin pria di daerah kami).”

Aku sangat terkejut. Aku jawab ucapan Nenek dengan berkata, “Apa-apaan Nenek ini. Aku nggak mau, aku masih mau melanjutkan sekolah.” Setelah itu aku tidak memedulikan apa yang Nenek katakan, karena aku pikir nenekku hanya menggodaku.

Selang beberapa hari, pada suatu malam, Abu memanggilku. “Neong, sini sebentar.” Aku pun menghampiri Abu yang sedang duduk di ruang tamu, dan duduk di hadapannya. Dengan polosnya aku bertanya, “Ada apa, Abu?”

Tanpa basa basi, Abu langsung mengatakan bahwa ada orang yang ingin melamarku. “Bagaimana menurut kamu?” tanya Abu. Dadaku tiba-tiba terasa sangat sesak. Aku teringat perkataan Nenek beberapa hari lalu. Ternyata, yang beliau katakan bukanlah sekadar candaan. Aku diam seribu bahasa. Hatiku hancur. Aku ingin menangis, tetapi aku tahan. 

“Bagaimana, mau atau tidak?” Abu bertanya lagi. Aku masih diam. Akhirnya, Abu berkata,”Ya sudah, pergi tidur. Kamu pikirkan apa yang Abu tanya tadi.”

Namun, janji tinggal janji. Aku tetap dinikahkan tahun itu juga, tidak lama setelah aku menerima rapor. Aku hanya bisa pasrah, meski jiwaku memberontak. Aku benar-benar tidak suka dijodohkan, dinikahkan secara paksa. Apalagi, laki-laki yang akan menikahiku usianya 15 tahun lebih tua dariku.

Acara pernikahanku diadakan di rumah, bukan di kantor KUA, dan dihadiri oleh Pak Kuaket, Kepala Desa, Teungku Imam, para perangkat desa, dan undangan lainnya. Aku masih berusia 15 tahun saat itu.

Pernikahan tidak membawa kesejahteraan dalam hidupku. Selama menikah, suamiku tidak pernah memberiku nafkah. Bila ada uang, dia tidak pernah memberitahuku. Namun, bila dia tidak punya uang, dia akan meminta uangku. Padahal, aku tidak bekerja. Uang yang aku punya hanyalah simpanan dari sisa uang belanja yang sengaja aku tabung.

Aku memilih bercerai dengan mengajukan gugatan perceraian ke Mahkamah Syariah di tahun 2013. Gugatanku dikabulkan di tahun yang sama. Saat ini aku sudah menikah dengan lelaki pilihanku sendiri. Alhamdulillah, suami keduaku hatinya baik. Dia bersedia memberiku uang belanja, walaupun hanya semampunya dia. Aku bersyukur, anak-anak dan keluargaku sudah bisa menerima kehadirannya.

Bergabung dengan Pekka

Untuk memenuhi kebutuhan rumah tanggaku, aku sempat bekerja di tempat orang lain, namun pandemi COVID-19 menyebabkan pelanggan tempatku bekerja berkurang, sehingga aku mengundurkan diri. Setelah itu, aku mencari penghasilan dengan menerima jahitan di rumah. Meskipun pelangganku masih sedikit, aku tidak putus asa.

Aku bergabung dengan Pekka pada 2017, berkat ajakan Ibu Saudah, Ketua Serikat Pekka Desa Dayah Kumba. Kelompok Sepakat, yang menjadi wadah kegiatanku, mengadakan kegiatan simpan-pinjam. Alhamdulillah, hingga sekarang kelompok ini masih aktif.

Aku merasa gembira bila rapat diadakan. Aku jadi bisa berkumpul bersama teman-teman. Dengan mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan Pekka, aku bisa berkenalan dengan anggota Pekka lain, selain menambah ilmu dan wawasan. Kegiatan yang pernah aku ikuti antara lain adalah Moneva di Banda Aceh pada 2019 dan 2022. Sebelumnya, aku hadir dalam Forum Wilayah di Meulaboh pada 2018. Aku juga pernah mengikuti pelatihan di Bogor pada 2018, dan Pelatihan Jurnalisme Warga Pekka pada 2019. Tulisanku yang pernah dimuat dalam Buletin JWP berjudul “Dituduh Selingkuh”, yang ceritanya berdasarkan pengalamanku sendiri. Aku menuliskannya agar bisa menginspirasi orang lain, selain untuk mengasah kemampuanku agar lebih bisa lancar menulis. 

Sejak tahun 2017 sudah ada beberapa kali kegiatan hukum yang kuikuti di Pekka. Umumnya aku terlibat sebagai panitia. Mulai dari KLIK PEKKA, Yandu, Diskusi Kampung dan FPK. Kami menolong kebutuhan identitas dan perlindungan sosial masyarakat yang tidak terjangkau oleh program-program bantuan dari pemerintah. Semua itu diajarkan oleh Yayasan PEKKA, dilakukan oleh kader Pekka dan didukung oleh berbagai pihak.

Diriku yang sekarang benar-benar berbeda dengan diriku yang dulu. Aku jadi lebih percaya diri, terutama setelah melihat teman-teman dari Yayasan PEKKA, seperti Mbak Rom, Bunda Nani, dan Mbak Nunik. Motivasi yang aku dapat dari mereka membuatku senantiasa berpikir: “Orang-orang itu bisa, kenapa kita enggak bisa?” Kepercayaan diriku ini membuatku berani berbicara dengan orang-orang dari berbagai instansi, mulai dari kantor-kantor dinas, juga kantor pemerintahan desa.

Pekka memang tidak memberi pelatihan khusus tentang keberanian dan kepercayaan diri. Namun, semua itu bisa tumbuh dalam diriku dan teman-teman setelah melihat para pendamping lapang dan staf Yayasan Pekka saat berbicara dengan orang-orang yang kita anggap ada di atas kita. Kami jadi mampu menyampaikan maksud dan tujuan kami secara baik.

Selama ini, keluarga senantiasa mendukung keterlibatanku di Pekka. Bahkan, anak perempuanku, Balqis, juga merupakan anggota Pekka. Sebelumnya, Balqis sering membantuku dan teman-teman ketika kami sedang mempersiapkan kegiatan, seperti KLIK PEKKA dan sebagainya. Akhirnya, kami memintanya untuk bergabung, dan dia bersedia.

Kegiatan yang diikuti Balqis adalah pendataan dalam Survei KLIK PEKKA-Bank Dunia. Sebetulnya anakku ini bukan termasuk kader yang dilatih untuk mendata, tetapi dia meminta ikut serta. Bagiku, Pekka juga bisa memberdayakan anak muda, sehingga Balqis aku izinkan ikut.

Berkat pelatihan tersebut, Balqis bisa membantu mengentri data yang telah diisi di dalam kuesioner. Kemampuan mendata dan melakukan pembukuan ini belum tentu dia dapatkan dari sekolah.

Bagikan Cerita Ini

Cerita Terkait

Leave a Comment